Home / Horor / Bayangan Dalam Pandang / The Girl Meets The Guy and The Shadow

Share

Bayangan Dalam Pandang
Bayangan Dalam Pandang
Author: Louisa Reign

The Girl Meets The Guy and The Shadow

Author: Louisa Reign
last update Last Updated: 2023-02-12 16:06:52

“Kinjo-san, hari ini kamu lembur lagi?”, tanya seorang rekanku sambil melepaskan baju hazmat yang dia kenakan. Itu adalah baju kebangsaan para manusia yang bekerja di bagian produksi dari sebuah industri farmasi. Aku juga mengenakan baju yang sama.

“Kalau kamu tidak lembur, mau ikut goukon?”, tanyanya lagi.

Aku menghela nafasku dan bergumam kecil, "Goukon lagi…"

Kamu tahu goukon? Goukon dapat disebut kencan buta. Kalau kamu bertemu orang yang kamu suka, kamu boleh mencoba berkencan dengannya. Jika tidak ada yang kamu suka, anggap saja sebagai acara hangout yang menyenangkan.

“Ayolah! Parasmu cantik! Pasti para pria itu akan suka denganmu!", banyak orang mengajakku ikut goukon dengan alasan itu.

Cantik? Aku tidak pernah menyebut wajahku cantik, aku hanya memiliki mata yang lebih lebar dari perempuan lain dengan bulu mata yang lentik. Alisku kebetulan saja lebih tebal dan rapi. Bibirku memang berwarna merah jambu, tetapi semua orang bisa mendapatkan bibir dengan warna yang sama dengan menggunakan lipstik. Kulitku putih dan pada bagian pipi terlihat sedikit kemerahan.

“Jika kamu tidak suka, kamu tidak harus berkencan dengan mereka! Kita hanya akan bersenang-senang!”

Aku terdiam sesaat. Kalimat rekanku terus berputar di dalam benak dan membuat hatiku mempertanyakan, "Di mana letak senangnya?". Aku bukan orang yang gemar mengeluarkan uang dengan percuma demi menjadi saksi para laki-laki yang membesar-besarkan dirinya agar terlihat keren atau para perempuan yang berlaga imut demi memikat hati pujaannya. Kecuali ada seseorang yang menutup semua biaya yang akan kukeluarkan, baru akan kukatakan aku bersenang-senang. 

"Aku lebih baik menggunakan waktuku untuk mencari uang dibanding datang ke acara seperti itu.", celetukku dalam hati.

Keengganan yang begitu kental segera mengisi relung hati, sehingga aku tidak begitu sulit untuk menolak ajakan tersebut. Sambil melontarkan sebuah senyum, aku berkata, “Wah, sepertinya asyik. Sayang sekali hari ini aku lembur.”.

“Yah… Padahal kamu pasti populer...”

“Hahaha… Kamu bisa saja. Have a good time!”

Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, aku buru-buru keluar dari ruang ganti perempuan.

...

Jika boleh jujur, awalnya aku bukanlah orang yang seperti sekarang. Aku bukan orang yang sangat berhati-hati dengan keuanganku. Namun sejak enam tahun yang lalu, semuanya berubah.

Hm? Ada apa? Apakah kamu penasaran? Baiklah… Sambil lanjut lembur, akan aku ceritakan. Kebetulan aku butuh teman mengobrol.

Enam tahun yang lalu, waktu aku masih menjadi mahasiswa, aku mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal. Mobil yang dikendarai ayah dan ibu menabrak pembatas jalan lalu jatuh dari tebing. Seperti orang tua pada umumnya, ayah dan ibuku memberikan warisan kepadaku. Akan tetapi bukan berupa harta, seperti yang mungkin kalian bayangkan, melainkan hutang senilai seratus juta yen.

Tepat pada acara pemakaman kedua orang tuaku, tiba-tiba ada dua orang yakuza yang menerobos masuk ke dalam ruang duka. Mereka berkata di hadapan orang banyak bahwa orang tuaku punya hutang raksasa dan memintaku untuk melunasi semuanya. Reaksi pertamaku saat itu adalah,“Hah? Lelucon macam apa ini?”.

Tentu saja aku tidak percaya! Orang tuaku tidak pernah terlihat seperti punya hutang sebesar itu. Bahkan sehari sebelum kejadian naas menimpa mereka, keduanya masih makan malam di sebuah restoran yakiniku dengan wajah sumringah. Apakah kemewahan mereka berasal dari uang hutang? Tidak! Kedua orang tuaku adalah orang yang bertanggung jawab! Mereka tidak akan melakukan itu!

Aku masih sangat ingat hingga detik ini bagaimana mereka memandangiku dengan ekspresi bengis. Seorang dari mereka berkata, "Kami membantu orang tuamu ketika mereka kesusahan, lalu lihat sekarang? Sampai mati pun mereka tak pernah membayar kemurahan hati kami! Kamu sebagai anak mereka harus membayar!", lantas ditambah oleh seorang yang lain, "Ya! Jangan menjadi orang yang tidak tahu terima kasih!".

Darahku mendidih ketika mendengar kalimat itu terlontar dari bibir mereka. Ini adalah acara pemakaman kedua orang tuaku. Bisa-bisanya mereka mempermalukan aku seperti ini. Aku sampai membentak, "Memangnya mana bukti yang menyatakan mereka memiliki hutang itu!? Tidak ada kan!? Andaikan mereka memang membutuhkan pertolongan uang, mereka tidak akan datang pada yakuza! Mau ditunggu sampai langit runtuh pun tidak mungkin!".

Mendengar aku berkata begitu, mereka malah cekikikan. Tentu itu membuat aku emosi, begitu pula dengan orang-orang di sekitar karena mereka mengenal kedua orang tuaku dengan baik. Riak wajah mereka semua ikut kecut. Namun tidak ada satu orang pun yang berani membantuku mengusir mereka karena mereka berdua membawa pistol.

Sepertinya ada yang sudah berusaha menelepon polisi, tapi respon mereka berdua malah balik menantang. Seakan tidak ada hal yang dapat membuat mereka takut. Kemudian duo yakuza itu mengeluarkan surat perjanjian hutang piutang dan tanda tangan Ayah memang ada pada surat itu.

"Saksikan saja sendiri! Biar surat ini yang berbicara padamu."

Barulah ketika dihadapkan dengan lembaran surat tersebut, kedua mataku dibuat membelalak. Rasa-rasanya rahangku pun hampir jatuh ke lantai. Namun hati kecilku masih berusaha menolak fakta yang begitu menampar itu, "Apakah ini sungguhan? T-tentu saja tidak! Itu pasti palsu! Aku harus melaporkan ini kepada polisi!".

Esok hari aku datang ke kantor polisi dan melaporkan segalanya. Mereka langsung menindaklanjuti laporanku. Aku terus menunggu kelanjutan dari proses mereka hingga pada sore hari. Seorang polisi memberiku sebuah pemberitahuan melalui telepon. Katanya, “Kami sudah melakukan pengecekan dan kami menemukan bahwa ayahmu memang benar memiliki pinjaman sebesar seratus juta yen. Surat perjanjian hutang piutang itu memang asli dan ditandatangani sendiri oleh ayahmu. Kami tidak bisa melakukan apa-apa, Kinjo-san.”

“Itu tidak mungkin! Ayah tidak mungkin-”

Tuuuuut.

Telepon sudah diputus sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Otot-otot yang menempel di badanku langsung lunglai. Aku limbung hingga hanya mampu bersandar di tembok dalam hening.

"Ini bohong... Apakah polisi telah dibeli oleh para yakuza itu...?", begitu pikirku.

Tak lama, ponselku bergetar lama, tanda ada seseorang yang menelepon. Itu adalah telepon dari nomor asing, tetapi aku seperti sudah bisa menebak siapa orang yang berada di seberang. Ketika kuangkat telepon itu, ya memang benar tebakanku.

“Hei, kamu lapor ke polisi ya? Hahaha! Buang-buang waktu sekali. Kamu pikir kamu bisa kabur dari hutang-hutangmu dengan lapor polisi? Yang ada malah kami yang bisa balik melaporkan kamu, bang***!”, katanya.

Aku tidak menjawab. Otakku masih terlalu sibuk untuk mengolah semuanya.

"Ayah, Ibu, aku tersandung kasus apa ini...? Aku harus minta tolong siapa? Apakah ini mimpi? Mungkin ketika aku bangun, aku masih bertemu Ayah dan Ibu yang bersenda gurau di ruang keluarga. Ini hanya mimpi buruk!", aku terus-terusan mengulang kalimat itu dalam kepalaku.

Aku menoleh ke arah dua bingkai foto yang terpajang di belakangku. Satu adalah foto ayah, satu adalah foto Ibu. Perlahan bulir-bulir bening mulai mengucur dari ujung mataku. Aku terisak tanpa suara di dalam rumah yang masih meninggalkan bekas kehangatan kedua orang tuaku.

...

Aku tahu ini bukan mimpi... Jika memang hanya bermimpi, mengapa aku tidak kunjung bangun? Ini bukan mimpi, melainkan kenyataan yang berusaha aku tolak.

Mungkin karena aku diam terlalu lama, si yakuza berkata lagi, “Jangan coba-coba kabur dari tanggung jawabmu atau main lapor-lapor seperti tadi. Sekarang kamu masih aman, tapi nanti kamu akan tanggung akibatnya. Kami tahu di mana kamu tinggal!”.

Aku memejamkan mataku, dalam hati aku berdoa pada Tuhan. Sekedar meminta petunjuk apa yang harus kukatakan pada yakuza ini. Hatiku tergerak untuk mengatakan, “Baiklah, aku akan membayar, tapi beri aku waktu sampai aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Barulah aku mulai membayar hutang orang tuaku secara berkala.”

Entah bagaimana, aku mendengar dia menjawab, “Oke.”

Sebenarnya sebagian dalam diriku seperti ingin membuat laporan lagi kepada polisi. Akan tetapi, sebagian yang lainnya berkata kalau yakuza itu sudah membeli polisi. Aku jadi tidak tahu harus datang ke polisi yang mana. Salah-salah aku malah akan membawa petaka terhadap diriku sendiri.

Tidak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Aku tidak mau melakukan hal yang membahayakan diriku. Si yakuza itu hanya menjawab 'Oke' dan tidak mengamuk atas syarat yang kuajukan saja sudah merupakan sebuah keajaiban.

Singkat cerita, aku melanjutkan kuliahku dengan baik lulus dengan cepat. Aku pun mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus di sebuah industri farmasi sejak satu tahun yang lalu dan ya, gaji-gajiku langsung lari ke yakuza mulai dari tahun yang sama. Tidak apa lah... Toh gajiku sebetulnya lumayan besar. Mungkin bekerja sampai sepuluh tahun lebih sedikit juga sudah lunas, dengan catatan setiap hari aku lembur.

Jadi... Begitulah kisahku sebelumnya.

-Lima hari kemudian-

Aku datang ke industri seperti biasanya, tetapi aku tidak bisa masuk ke dalam karena kerumunan pekerja di depan gerbang. Kurasa mereka juga tidak bisa masuk ke dalam.

“Apa yang terjadi?”, tanyaku dalam hati.

Aku menepuk pundak salah satu pekerja yang ada di dekatku dan bertanya padanya. Dia dengan wajah pucat, menjawab, “Mereka bilang perusahaan sudah bangkrut. Semua pekerja diberhentikan tanpa santunan karena mereka tidak punya cukup uang.”

Aku membisu. Cobaan apa lagi ini?

Ah! Aku tahu. Ini masih pagi. Siapa tahu aku memang masih tidur di futon*. Mungkin yang satu ini adalah mimpi!

*kasur tradisional Jepang

Aku mendaratkan tamparan yang begitu keras pada pipi kananku hingga berbunyi nyaring, "PLAK!".

Satu detik, dua detik, tiga detik… Pipi kananku terasa panas.

...

Oh Tuhan… Jangan lagi... Apa yang harus kulakukan?

-Malam harinya-

“Nona… Nona, ayo bangun. Kami sudah mau tutup.”, kata seseorang, sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Itu adalah pemilik warung gyoza langgananku.

Setelah kejadian di depan tempat kerjaku, aku datang kemari. Makan gyoza dan pesan bir bergelas-gelas. Aku minum dan menangis sepuasnya sampai aku ketiduran.

Ini adalah kali pertama aku menghambur-hamburkan uang setelah enam tahun... Otakku begitu diselimuti oleh stres.  Bagaimana tidak? Bayangkan! Aku diputus hubungan kerja sebelum mendapatkan gaji bulan ini dan aku juga tidak mendapatkan uang santunan. Sedangkan dua hari lagi adalah tanggal jatuh tempo cicilan hutangku. Hah…

Aku bangkit untuk membayar lalu berjalan agak sempoyongan keluar warung. Bapak pemilik warung sempat menawarkan bantuan untuk memanggilkan taksi untukku. Aku berterima kasih, hanya saja aku sedang ingin berjalan malam itu sehingga aku menolaknya.

“Kamu yakin, Nona? Ini sudah sangat larut loh.”

“Ya, ya… Aku sangat ingin berjalan. Sekalian untuk membuang stres. Terima kasih atas tawarannya, pak.”

“Baiklah… Aku tidak tahu apa yang nona alami hari ini… Semoga nona bisa melewatinya dengan baik. Nona harus semangat!”

“Hahaha… Ya, Pak. Nanti waktu saya kembali lagi, saya sudah semangat!”

Si pemilik warung menyerukan padaku untuk berhati-hati di jalan sambil melambaikan tangannya.

Hanya ini yang bisa sedikit meleburkan beban jiwaku hari ini.

“Setelah menangis berjam-jam sampai mata sembab, ternyata obatku adalah ucapan semangat dari bapak penjual gyoza.”, ucapku dalam hati, sambil terkekeh geli.

Tidak bertahan lama sih. Alisku kembali berkerut sekalinya aku mengingat masalah hutang dan sebangsanya.

Aku menghela napas panjang seraya mendongak ke atas. Aku menatap kosong hamparan langit bertabur bintang yang saling beradu gemerlapnya. Dalam hati aku berkeluh kepada Tuhan, “Oh, Tuhan, aku sedang kesusahan. Apakah Tuhan tidak mau membantuku? Sekali saja... Tolonglah aku.”.

Detik aku berkata begitu, tiba-tiba saja angin kencang berhembus dan… 

Wuuuuushhhh!

SRAAAAAAAK! PLAK!

Ada selembar koran yang terbang bebas hinggap di wajahku.

Aku yang sedang dalam sendu berubah menjadi emosi. Yah... Mohon maklumi aku. Aku hanyalah perempuan yang sedang mabuk akibat minum alkohol.

“Hih! Apa lagi sih! Aku itu sudah cukup sial! Kamu jangan tambah kesialanku, hei koran! Sini aku baca kamu! Awas kalau tidak penting. Kubakar kamu!”, kataku, mengomel sendiri pada koran.

Aku melihat tanggal koran itu, tertulis 1 Januari 2023. Itu baru dua hari yang lalu. Bunyinya kurang lebih, "Dibutuhkan segera, asisten serba bisa. Gaji besar. Hubungi 0000 atau datang langsung ke kantor Hongo-San’s Odd Cases.".

Lowongan kerja...? Apakah Tuhan ingin menjawab doaku dengan ini? Tapi... Mau dilihat dari sudut mana pun, ini sangat mencurigakan. Ditambah lagi dengan nama kantornya…

“Apa yang mesti aku lakukan? Ini kesempatan atau kesesatan?”, tanyaku dalam hati.

-Tidak lama kemudian-

Hongo-San’s Odd Cases. Aku bisa membaca papan nama itu dari dekat sekarang. Itu terletak di seberang jalan tempat aku berdiri.

“Tidak kusangka tempatnya sedekat ini dengan apartemenku… Sekarang apa yang harus kulakukan? Masuk? Telepon?”, gumamku dalam batin. Usai menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk melakukan panggilan lewat telepon terlebih dahulu. Tidak pakai lama, telepon diangkat oleh seorang laki-laki dengan suara bass yang indah. Namun, kalimat yang diutarakan tidak seindah suaranya.

“Kamu diterima. Kutunggu kamu di kantor Hongo-San’s Odd Cases. Jangan lama-lama ya. Aku sudah tidak tahan.”

Tuuuuuuuuut.

Telepon terputus.

...

Hahaha… Sudah tidak tahan? Tidak tahan apa maksudnya…? Betulkah ini bantuan yang Tuhan kirimkan padaku?

Aduh… Masuk atau tidak…?

Ah! Sudahlah!

Aku mengumpulkan keberanian kemudian melangkah maju. Ketika sudah sampai tepat di depan pintu kantornya, aku tidak pakai berpikir lagi dan langsung membukanya, tetapi yang kutemukan adalah… Ruangan kosong- Tidak. Ini lebih cocok disebut dengan ruang hampa yang gelap.

Di depan mataku, ini betul-betul hanya warna hitam. Entah karena efek alkohol atau bagaimana, terlihat seperti aliran-aliran energi hitam mencuat dari situ. Kemudian suara bass yang tadi berbicara denganku lewat telepon terdengar kembali, “Aku tahu kamu sudah sampai. Dengarkan aku. Masuklah dan katakan ‘segel’ dengan lantang.”.

Sungguh. Berbagai macam pertanyaan menyeruak masuk ke dalam sukmaku, tetapi anehnya aku tetap menuruti arahannya. Ya, aku adalah perempuan yang sedang masuk. Aku masuk ke dalam kegelapan itu, berjalan beberapa langkah kemudian aku menyerukan kata itu dengan lantang.

“Segel!”

...

Tidak ada yang terjadi... Namun entah mengapa, tempat ini menjadi sangat... Aneh. Bagaimana caranya aku menjelaskan...? Aku seperti sedang menyelam di dalam air. Telingaku menjadi terasa agak kedap suara dan mendadak ada hawa dingin yang begitu menusuk kulit. Bulu kuduk di sekujur tubuhku pun naik tanpa ada alasan yang jelas. Pada saat itulah aku yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus keluar dari sini! Aku segera berbalik badan dan...

“Di mana pintunya?”

Betapa kagetnya aku ketika melihat pintu keluar yang seharusnya ada tepat di belakangku, tiba-tiba lenyap.

Ya, aku mabuk. Namun, apakah aku semabuk itu sampai tidak bisa mencari pintu? Sekelilingku sekarang hanya kegelapan! Pintunya ke mana? Dalam keteganganku, tiba-tiba aku mendengar, sesuatu berbisik di telingaku.

“Bedebah…”

Aku tersentak dan refleks bertanya “Siapa itu!?”, sambil celingak-celinguk, mencari sumber suara.

Aku tetap tidak melihat apapun. Hanya kegelapan di sana sini. Kemudian aku mendengar suara yang sangat mengerikan. Ada banyak suara bercampur menjadi satu mengatakan hal yang sama berulang kali.

“DARAH! DARAH! AHHAHAHAHA! DARAH! DARAH!”

“DARAH! DARAH! DARAH!”

“DARAAAAAAAAAAAH!”

Dan puncaknya, semua suara itu berhenti. Tercipta sebuah keheningan yang sangat tidak nyaman sampai beberapa saat sampai ada sebuah bola menggelinding ke arahku. Kini terdengar lagi suara anak kecil berkata, “Darah?”.

Aku sempat celingak-celinguk lagi untuk mencari sumber suara, tetapi entah kenapa aku yakin suaranya muncul dari bola itu. Ketika kuperhatikan lagi, barulah aku sadar itu bukan bola.

Itu…

Kepala bayi!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nana Mitsuke
ya ampun.... merinding
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bayangan Dalam Pandang   The Girl Meets The Guy and The Shadow #2

    “Itu… Bukan bola…”, batinku. Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi. “Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!” Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian! Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku. Aku mul

    Last Updated : 2023-02-13
  • Bayangan Dalam Pandang   The Girl Meets The Guy and The Shadow #3

    “Aduh…” Aku terbangun karena rasa sakit di seluruh badanku. Ini seperti habis dipakai untuk lari maraton 10 km. Sangat lelah dan otot-ototku seperti ditusuk jarum kalau mau digerakkan. But that aside, aku baru sadar kalau aku tidak bangun di kamarku. Cat tembok kamarku itu berwarna biru muda, tetapi ini warna putih. "Aku ada di mana?", tanyaku dalam hati. Aku paksakan badanku untuk duduk agar aku dapat melihat ruangan itu dengan lebih baik. Ruangan itu lumayan luas dengan beberapa perabot bertema vintage. Penataannya tidak asal-asalan sehingga sangat nyaman untuk dipandang. Pada bagian atap dan beberapa sudut kamar terdapat kaca jendela super besar sehingga memudahkan cahaya matahari untuk menyisip masuk dan menambah kesan hangat dari ruangan itu. “Apakah aku ada di hotel?” Aku melakukan sedikit peregangan agar badanku tidak terlalu sakit kemudian berjalan ke arah pintu. Ada dua pintu di sana, yang satu adalah kamar mandi dan yang satu membuka jalan untuk turun ke bawah. Aku tur

    Last Updated : 2023-02-14
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School

    Halo, namaku Kinjo Miki, 25 tahun. Aku menjalani kehidupanku dengan baik sejak bergabung dengan HCO. Kira-kira... Hm... Sebulan yang lalu? Iya, aku bisa membayar tagihanku, bahkan aku punya cukup uang untuk bisa makan tiga kali sehari. Aku juga bisa membeli kopi yang selama ini hanya ada dalam angan-angan saja. Aku pun bisa istirahat dengan cukup. ... Cukup, kecuali pagi ini. Brrrrrrt! Brrrrrrt! Brrrrrrt! Tut. "Ya… Halo…? Oh… Hongo-san… Ini masih jam lima... Ada apa menelepon pagi-pagi begini? … Eh? Ke kantor sekarang juga?" Pada suatu pagi yang masih nyaman untuk istirahat, Hongo-san meneleponku agar segera datang ke kantor. Katanya, "Kemasi pakaianmu. Kita akan menginap sampai beberapa hari." Titah bos adalah absolut. Meski sukma dan ragaku belum bersatu, aku mulai berkemas. Kami akan pergi ke Prefektur Miyagi bersama klien kami dengan naik mobil. Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi memakan waktu lima setengah jam. Sebuah mobil sport hitam datang tidak lama setelah aku sampai

    Last Updated : 2023-02-16
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #2

    SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain. Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis. Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka tam

    Last Updated : 2023-02-18
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #3

    Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga. Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian… Aku tertinggal. "Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis. Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai. Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas ter

    Last Updated : 2023-02-19
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #4

    Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan. "Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura." Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus. Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram. Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun. Nam

    Last Updated : 2023-02-28
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #5

    Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini

    Last Updated : 2023-03-08
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #6

    Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk

    Last Updated : 2023-03-14

Latest chapter

  • Bayangan Dalam Pandang   Aku Juga Siap

    Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep

  • Bayangan Dalam Pandang   Satoru's Request

    “Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala

  • Bayangan Dalam Pandang   Two Invitations

    Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti

  • Bayangan Dalam Pandang   Unexpected Invitation

    “Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #16

    “... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #15

    “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #14

    KRAK!Shadow itu memperkuat lilitan, sehingga retakan pada dinding kubah pelindung tak dapat terelakkan. Semua orang yang berada di dalam kubah, bahkan Yuma-san dan Satoru pun menjadi tegang dan mengeraskan rahang. Aku sendiri sampai memejamkan mata, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua. Akan tetapi, shadow itu tertawa dan berkata, “Aku bercanda!”“B-bercanda?”, batinku seraya membuka perlahan kedua mataku.Makhluk supranatural yang melilit kubah kami itu tertawa terbahak-bahak, lantas kembali melontarkan beberapa kalimat, “Aku baru saja mengatakan bahwa kalian patut diapresiasi! Bentuk apresiasi kami, makhluk yang kalian sebut shadow, adalah dengan membuat yang diapresiasi untuk merasakan emosi yang paling sulit kami alami. Dengan kata lain, membuat mereka ketakutan! Hahaha!”“Namun dalam bahasa manusia, sepertinya tidak begitu. Apa yang aku lakukan barusan, tidak terhitung dalam bentuk apresiasi. Jika aku tidak salah, aku harus berlaku ‘baik’ terhadap kal

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #13

    Kami melintasi jalan berair dengan penuh kehati-hatian. Sebab, jalur yang awalnya hanya dipenuhi air hitam dan rambut panjang, kini juga diisi oleh tubuh buaya dengan jumlah yang tak terhitung. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar bus hingga buaya dengan ukuran yang dapat kita temui di alam manusia.Kami dapat dengan mudah menghindari buaya dengan ukuran masif, tentu karena tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh air yang setinggi pinggang. Justru buaya-buaya yang lebih kecil lah yang membuat kami was-was. Tubuh mereka cukup ‘kecil’, membuat mereka dapat diselimuti air hitam dengan sempurna. Kami jadi tidak tahu apakah tubuh yang ada di bawah sana benar-benar sudah mati, atau belum. Maka ketika kaki kami tidak sengaja bertabrakan dengan moncong mereka, jantung rasanya hampir keluar dari badan.“Toru, apakah mungkin jika mereka adalah hewan biasa yang diambil dari alam manusia?” tanya Yuma-san dari barisan paling belakang.Pertanyaan yang dilontarkan Yuma-san sontak m

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #12

    “... Tempat ini benar-benar persis dengan penglihatan yang saya dapatkan ketika menggunakan POD.”, ujar Satoru dengan nada yakin. Pria itu menggunakan pilihan kata yang sopan, menandakan bahwa kalimatnya itu dialamatkan kepada Shiroyama-san. Sang detektif pun langsung paham apa maksud Satoru berkata demikian dan menimpali, “Jika benar seperti itu, apakah saya dapat mengambil kesimpulan bahwa saya akan segera bertemu dengan buah yang saya nanti-nantikan?”.Tentu saja orang selain aku, Satoru dan Shiroyama-sanakan memasang raut wajah bingung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Maka seperti biasa, Satoru memintaku untuk memberi penjelasan secara singkat kepada mereka yang tidak paham.“Sebelumnya kami menggunakan alat bernama pendant of the deaduntuk mencari tahu di mana keberadaan bagian kepala korban yang hilang. Saat itu informasi yang didapat adalah bagian kepala korban berada di suatu tempat di Higashi Shinagawa,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status