Halo, namaku Kinjo Miki, 25 tahun. Aku menjalani kehidupanku dengan baik sejak bergabung dengan HCO. Kira-kira... Hm... Sebulan yang lalu?
Iya, aku bisa membayar tagihanku, bahkan aku punya cukup uang untuk bisa makan tiga kali sehari. Aku juga bisa membeli kopi yang selama ini hanya ada dalam angan-angan saja. Aku pun bisa istirahat dengan cukup.
...
Cukup, kecuali pagi ini.
Brrrrrrt!
Brrrrrrt!
Brrrrrrt!
Tut.
"Ya… Halo…? Oh… Hongo-san… Ini masih jam lima... Ada apa menelepon pagi-pagi begini? … Eh? Ke kantor sekarang juga?"
Pada suatu pagi yang masih nyaman untuk istirahat, Hongo-san meneleponku agar segera datang ke kantor. Katanya, "Kemasi pakaianmu. Kita akan menginap sampai beberapa hari."
Titah bos adalah absolut. Meski sukma dan ragaku belum bersatu, aku mulai berkemas.
Kami akan pergi ke Prefektur Miyagi bersama klien kami dengan naik mobil. Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi memakan waktu lima setengah jam. Sebuah mobil sport hitam datang tidak lama setelah aku sampai di HCO. Itu adalah mobil milik Hongo-san. Dia turun dari mobil untuk membantuku memasukkan koper ke bagasi.
Dia terlihat rapi seperti biasanya. Rambut hitamnya diberi gel, lalu sedikit disisir ke belakang. Ada sebuah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya untuk mengatasi sadisnya cahaya mentari selama menyetir. Kemeja putih yang dibalut dengan blazer hitam elegan menempel pada tubuh atletis miliknya dan dasi berwarna hitam mengalungi bagian kerah. Jam tangan Romex kesukaannya tak luput untuk menghias pergelangan tangan kiri. Sedangkan untuk bawahannya, dia mengenakan celana kain berwarna hitam dan sepatu pantofel kulit berwarna senada.
...
Entahlah...
Apakah semua pria tampan sangat mudah membuat netra yang memandang jadi kesilauan?
Apakah semua pria tampan, mau sesimpel apapun yang mereka kenakan, akan membuat mereka tetap tampil seperti pangeran manhwa?
...
Kemudian di sisi lain, aku masih dengan baju tidurku. Aku tidak sempat berganti pakaian karena terlalu terburu-buru. Untuk kakiku, aku hias dengan sepasang sandal jepit.
…
Hah...
Aku malu.
Sebetulnya, cerita di balik kenapa kami buru-buru adalah seperti ini. Kusumoto Kimiko, seorang ibu guru muda di SMA Sendai no Kibou, datang ke HCO atas utusan dari sekolah. Dirinya diminta untuk menjemput kami ke Prefektur Miyagi. Berhubung dia juga memiliki jadwal mengajar sekitar pukul 11 siang, akhirnya dia datang sepagi itu dan berniat untuk kembali sebelum jam ajarnya dimulai.
Kedatangan klien pukul 04.30 pagi, tentu Hongo-san juga kaget. Beruntung dia sudah terjaga setengah jam sebelumnya untuk jogging. Dia sempat menyarankan agar Kusumoto-san pulang duluan saja, sedangkan kami akan menyusul siang hari.
Namun Kusumoto-san memohon dengan sangat agar kami mau berangkat bersamanya. Rupanya selama di perjalanan, dia telah mendapatkan gangguan mistis. Dia menolak untuk menceritakan apa yang dia alami karena sangat traumatis bagi dirinya. Paling tidak, jika hal ‘itu’ terjadi lagi, dia tidak mau sendiri.
Akhirnya karena tidak tega Hongo-san mengiyakan. Dia menawarkan untuk naik mobilnya saja. Memang lebih lama, tetapi akan lebih aman karena ada pelindung yang sudah ditanamkan di situ.
Dan... yah... Karena kami naik mobil... Waktunya jadi mepet.
Anyway, kami berangkat tidak lama setelah aku sampai di kantor. Hongo-san menyetir, aku duduk di sampingnya dan Kusumoto-san duduk di belakang.
-Prefektur Miyagi-
Kami sampai di sebuah bangunan megah dengan halaman yang sangat luas. Papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou dapat ditemukan di samping gerbang masuknya. Kami menurunkan Kusumoto-san di sana, lalu izin guna mencari tempat kami menginap terlebih dahulu.
“Ya, Hongo-san, Kinjo-san. Kalian dapat menemui Pak Kepala Sekolah ketika sudah jam dua nanti.”, kata Kusumoto-san.
Nah, terjadi sesuatu yang menyenangkan di sini.
Tiga kilometer dari SMA Sendai no Kibou, kami menemukan sebuah hotel bintang empat super mewah, dengan 24 lantai dan konsep western. Tentu aku menyarankan agar bisa menginap di hotel yang lain. Tidak terbayang akan seperti apa nasib rekeningku jika kami betul-betul menginap di situ. Tiba-tiba, si bos Hongo langsung ke resepsionis, lalu membayar uang sewa dua kamar hotel untuk satu minggu. Katanya, “Sekarang kita punya waktu untuk beristirahat sebentar.”.
Ehehe...
Aku tidak dapat menyembunyikan lesung pipiku.
-Dua setengah jam kemudian-
"Oke! Dengan begini, aku tidak terlihat gembel!", tuturku dalam hati, seraya menutulkan taburan bedak di wajahku.
Aku sangat jarang menggunakan make up, tetapi demi tidak 'terbanting' sewaktu berdiri di samping sang pangeran manhwa, ini harus dilakukan. Tenang, aku tidak menggunakan make up tebal seperti yang kalian bayangkan. Hanya bedak tipis untuk kulitku dan lipstik natural untuk memoles bibirku.
Aku segera keluar setelah Hongo-san memintaku untuk bertemu di resepsionis. Dia juga sedikit mengganti tampilannya dengan pakaian yang lebih formal. Kini dia tampil tanpa kacamata hitam dan mengenakan setelan jas hitam di badannya.
...
Sesungguhnya hampir tidak ada bedanya.
Kami langsung berangkat kembali ke SMA Sendai no Kibou untuk menemui kepala sekolah. Hongo-san akan jadi juru bicaranya, sedangkan aku diminta untuk mengikuti alur saja.
"Perkenalkan, saya adalah Murakawa Naoto, Kepala Sekolah SMA Sendai no Kibou. Terima kasih sudah jauh-jauh datang kemari, Hongo-san, dan…"
"Dia adalah asisten baru saya, Kinjo Miki. Suatu kehormatan bagi kami, telah dipercayakan untuk membantu SMA Sendai no Kibou. Yoroshiku onegaishimasu (Mohon bantuan dan kerja samanya).", ujar Hongo-san, sambil membungkukkan badan. Aku pun juga mengikuti.
"Kochira koso, yoroshiku onegaishimasu (Sayalah yang membutuhkan bantuan anda), Hongo-san, Kinjo-san.", balas Murakawa-san sambil membungkuk ke arah kami.
Formalitas selesai, Murakawa-san langsung menjelaskan kasus yang akan kami tangani.
"Awal tahun lalu, ada seorang siswi kami yang melakukan bunuh diri di sekolah ini. Dia gantung diri di sebuah pohon sakura yang ada di taman sekolah. Sejak saat itu, dua bulan sekali, akan ada siswa yang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama di pohon itu. Menurut perhitungan, bulan ini akan jatuh satu korban lagi. Kami sudah melakukan segala usaha, dari lapor polisi hingga melakukan pembersihan aura, tetapi tetap saja ada korban lagi. Hongo-san, Kinjo-san, kalian adalah satu-satunya harapan kami yang tersisa. Kami bingung harus datang kepada siapa lagi. Kami mohon, hentikan kutukan ini sebelum ada korban berjatuhan lagi."
"Pembersihan aura? Jika boleh tahu siapa yang didatangkan untuk melakukan itu?"
"Namanya adalah Goto Eiji. Dia melabelkan dirinya sebagai ahli supranatural. Saya dengar hari ini Goto-san juga ada di sekolah. Mungkin nanti kalian bisa berbincang-bincang dengannya."
“Baik, kami akan lakukan itu jika memang kami bertemu dengan dia.", riak wajah Hongo-san menunjukkan ada ketidaksukaan di sana. Entahlah, apakah dia mengenal Goto Eiji?
"Lalu terkait siswa-siswi yang meninggal, apakah kami boleh meminta data diri mereka?", tanya Hongo-san, melanjutkan percakapan.
"Tentu saja. Kalian boleh minta data apapun yang kalian butuhkan. Saya akan menitipkan data-data tersebut kepada Kusumoto-sensei."
"Baiklah. Sebelumnya kami juga ingin memohon izin untuk bisa berkeliling area sekolah meskipun sudah di luar jam operasional dan untuk melakukan wawancara langsung pada peserta didik di sini."
"Ya, silahkan lakukan apa yang kalian butuh lakukan. Saya telah memberitahukan kepada staf dan karyawan sekolah. Selama kalian mengenakan ID CARD tamu, mereka akan bertindak kooperatif dan tidak akan menegur kalian. Yang penting kalian tidak mengganggu siswa dalam belajar. Apabila kalian membutuhkan bantuan lagi, kalian bisa sampaikan melalui Kusumoto-sensei."
"Terima kasih banyak, Murakawa-san. Kalau begitu, kami akan mulai melaksanakan tugas kami. Kami mohon pamit, shitsurei shimasu (permisi)."
Hongo-san lebih dulu melangkah melewati ambang pintu, kemudian aku menyusul di belakangnya. Dia menungguku hingga menutup pintu dengan baik, lalu kami berjalan bersama menuju tangga yang ada di ujung lorong. Belum jauh kami berjalan, kami mendengar ada orang yang berbincang. Sumber suaranya terdengar dari arah tangga. Pada awalnya, kami acuh saja. Akan tetapi ketika para sumber suara masuk ke dalam jarak pandang kami, aku bisa mendengar Hongo-san mendengkus.
Aku secara otomatis mengintip ke arah Hongo-san. Wajahnya nampak datar, seperti orang tidak punya emosi. Namun ketika aku melihat matanya, aku tahu orang ini sangat tidak menyukai orang di depan kami. Pupil yang seharusnya bulat pada sepasang mata onyx Hongo-san menjadi tajam, mirip seperti kucing ketika terkena silaunya mentari. Itu adalah reaksi alami yang Satoru-san tunjukkan ketika dia tidak suka dengan sesuatu. Memang aneh, aku pun pada mulanya mengira bahwa dia telah kerasukan hantu. Namun katanya, dia memang memiliki kelainan sejak lahir.
Kami berpapasan dengan dua orang. Satu orang adalah pria flamboyan berumur kurang lebih 20 tahunan. Rambutnya blond panjang dan setengah bagian atasnya diikat. Dia mengenakan kacamata hitam besar yang dia pasang agak turun. Tak ketinggalan sepasang anting berbentuk bulat kecil hitam tertempel pada kedua telinganya. Pakaian yang dia pilih tergolong heboh, dengan setelan jas berwarna magenta penuh glitter, kemeja kuning dan dasi hitam, plus syal bulu berwarna putih. Sedangkan yang satu orang adalah pria 30 tahunan yang tampilannya berkebalikan dengan yang lebih muda. Hanya mengenakan kemeja putih berlengan pendek dan celana kain berwarna hitam.
Tatapan Hongo-san yang tajam itu lebih ditujukan kepada pria yang flamboyan. Aku sungguh tergelitik untuk bertanya, sebetulnya ada apa? Namun sepertinya, aku tak perlu melakukan itu.
“Hei! Lihat ada siapa di sini? Siapa sangka ada Satoru si serba bisa di sini. Lama sekali kita tidak berjumpa! Apa yang kamu lakukan di sini?”, sapa si pria flamboyan.
Mendengar kalimat yang dilontarkan, Hongo-san menyeringai, kemudian menjawab, “Hahaha... Konbanwa (selamat siang), Eiji dan manajer. Ya... Mereka mengundangku kemari untuk menyelesaikan kasus yang tidak bisa kamu selesaikan. You see, karena aku serba bisa. Oh, omong-omong, perkenalkan. Dia asistenku, Kinjo Miki. Dia adalah spiritualis baru, tapi dia juga lebih bisa diandalkan dibanding seseorang.”
“Hahaha! Kamu bisa saja. Hei, bagaimana jika dia dibandingkan denganmu? Siapa yang lebih baik? Setahuku kamu serba bisa karena kamu punya banyak sekali alat-alat magis. Enak sekali ya? Aku juga ingin menjadi anak orang kaya.”
“Haha. Apalah artinya itu semua? Meskipun aku punya banyak aset, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan orang yang banyak koneksi. Andai saja aku punya, saat ini aku pasti sudah terkenal sepertimu.”
“KAMU-! E-ehem! ... Satoru, kalau kamu ingin sekali terkenal, bagaimana kalau kita lakukan ini? Kita akan adu cepat untuk menyelesaikan masalah SMA Sendai no Kibou. Jika kamu bisa selesai duluan, aku akan promosikan agensi mungilmu kepada dunia. Kebetulan, aku yang ahli supranatural ini, sedang bekerjasama dengan media internasional, CMM!”
“Tidak terdengar begitu menggiurkan. Terakhir kali acaramu diputus kontrak oleh televisi setelah lima hari tayang-”
“HEI! E-ehem! ... Kali ini itu tidak akan terjadi. Kamu tenang saja. Akan tetapi jika aku yang bisa menyelesaikan duluan, kamu tidak boleh muncul di hadapanku lagi!”
“Kedengarannya menarik. Menang atau kalah, aku tidak rugi. Ayo, Kinjo-san. Waktunya bekerja dengan santai.”
Hongo-san menggandeng tanganku, menarikku agar bisa segera pergi. Aku masih bisa dengar Goto Eiji berteriak-teriak di belakang kami, tetapi Hongo-san sudah enggan menanggapi.
“Hei! Hei tunggu! Hei! Kamu tidak bisa bertemu dengan aku selamanya! Kau dengar aku? HEI, SATORU!”
Setelah itu Hongo-san menceritakan bahwa 24 tahun yang lalu, Goto Eiji merupakan anak tetangga sebelah apartemennya. Dia selalu iri dengan mainan atau buku bacaan yang dimiliki oleh Hongo-san. Mereka selalu berkelahi dan itu terbawa hingga mereka dewasa.
Sekali lagi aku mendengar dia mendengkus, lalu berkata, “Dari semua orang, kenapa harus bertemu dengan dia?”
“Bagiku kalian terlihat sangat akrab.”
“Berhenti bercanda. Aku tidak bisa akrab dengannya.”
Aku hanya bisa membalas dengan senyum simpel, kemudian berkata, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
Dia hening sesaat sambil memandang ke bawah.
“Aku tidak ingin menjawab tantangan Eiji... Itu sangat tidak penting. Tapi di sisi lain, aku merasa kasus di sekolah ini memang harus kita tangani secepat mungkin. Nasib satu nyawa bergantung di sini.”
Saat itu kami telah berada di lantai dasar. Sebuah taman megah terbentang di hadapan kami.
Hongo-san memejamkan mata kurang lebih lima detik, kemudian berkata kepadaku.
“Aku tahu cara tercepat untuk menuntaskan kasus ini.”
SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain. Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis. Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka tam
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga. Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian… Aku tertinggal. "Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis. Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai. Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas ter
Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan. "Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura." Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus. Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram. Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun. Nam
Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini
Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk
“WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A
Aku menceritakan segala yang terkait pertemuanku dengan Banshee pada Satoru-san. Tidak ada satu pun yang aku tutupi. Usai kuceritakan, Satoru-san langsung kembali ke kamarnya untuk bersiap. Aku juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa cepat. Butuh waktu yang lebih lama bagiku untuk bersiap karena kakiku yang masih sakit. Untungnya Satoru-san sangat tolerir dengan itu. Dia bahkan membawakan sarapan ke kamarku dan kami makan bersama terlebih dahulu. Kami berdua menggunakan meja dan sofa mewah yang berada tepat di depan ranjang. ... Aku jadi tidak enak hati... Dalam batin aku berkata, “Harusnya aku yang membawakan makanan-makanan ini padanya, bukan sebaliknya.”. Aku adalah asistennya, tapi selama 30 hari bersama Satoru-san, aku sangat jarang memberikan bantuan yang berarti. Sebaliknya, kurasa aku lebih sering merepotkan dirinya. Lihat yang belakangan ini saja, berapa banyak uang dan perhatian sudah dia keluarkan hanya untuk mengurusku? Kamar hotel bintang 4, biaya rumah saki
Mobil sport hitam yang ditumpangi olehku dan Satoru-san telah sampai di depan bangunan sekolah megah dengan papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou. Kali ini bukan Satoru-san yang menyetir, tapi seorang pria paruh baya berkemeja biru terang. Perawakannya tidak begitu tinggi dan ekspresinya secerah kemeja yang ia kenakan.“Toru tidak tidur semalaman ya?”, tanya pria itu, sambil menatap Satoru-san yang terlelap di kursi belakang. Pria itu memiliki hubungan dekat dengan Satoru-san, sampai dirinya memanggil Satoru-san dengan sebutan ‘Toru’. Tak heran, rupanya pria paruh baya itu adalah paman Satoru-san yang kebetulan sedang berada di Sendai. Namanya adalah Hongo Yuma.“Apakah kalian sedang menangani kasus yang sulit hingga dia kerepotan seperti ini?”, tanyanya lagi.Aku ingin sekali menjawab dengan, “Yuma-san, yang merepotkan itu aku, bukan kasusnya.”. Namun aku memilih untuk mengangguk saja, kemudian menambahkan, “Terima kasih sudah mengantar kami sampai di sini, Yuma-san. Kuharap kam
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se
“... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku
“Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik
KRAK!Shadow itu memperkuat lilitan, sehingga retakan pada dinding kubah pelindung tak dapat terelakkan. Semua orang yang berada di dalam kubah, bahkan Yuma-san dan Satoru pun menjadi tegang dan mengeraskan rahang. Aku sendiri sampai memejamkan mata, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua. Akan tetapi, shadow itu tertawa dan berkata, “Aku bercanda!”“B-bercanda?”, batinku seraya membuka perlahan kedua mataku.Makhluk supranatural yang melilit kubah kami itu tertawa terbahak-bahak, lantas kembali melontarkan beberapa kalimat, “Aku baru saja mengatakan bahwa kalian patut diapresiasi! Bentuk apresiasi kami, makhluk yang kalian sebut shadow, adalah dengan membuat yang diapresiasi untuk merasakan emosi yang paling sulit kami alami. Dengan kata lain, membuat mereka ketakutan! Hahaha!”“Namun dalam bahasa manusia, sepertinya tidak begitu. Apa yang aku lakukan barusan, tidak terhitung dalam bentuk apresiasi. Jika aku tidak salah, aku harus berlaku ‘baik’ terhadap kal
Kami melintasi jalan berair dengan penuh kehati-hatian. Sebab, jalur yang awalnya hanya dipenuhi air hitam dan rambut panjang, kini juga diisi oleh tubuh buaya dengan jumlah yang tak terhitung. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar bus hingga buaya dengan ukuran yang dapat kita temui di alam manusia.Kami dapat dengan mudah menghindari buaya dengan ukuran masif, tentu karena tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh air yang setinggi pinggang. Justru buaya-buaya yang lebih kecil lah yang membuat kami was-was. Tubuh mereka cukup ‘kecil’, membuat mereka dapat diselimuti air hitam dengan sempurna. Kami jadi tidak tahu apakah tubuh yang ada di bawah sana benar-benar sudah mati, atau belum. Maka ketika kaki kami tidak sengaja bertabrakan dengan moncong mereka, jantung rasanya hampir keluar dari badan.“Toru, apakah mungkin jika mereka adalah hewan biasa yang diambil dari alam manusia?” tanya Yuma-san dari barisan paling belakang.Pertanyaan yang dilontarkan Yuma-san sontak m
“... Tempat ini benar-benar persis dengan penglihatan yang saya dapatkan ketika menggunakan POD.”, ujar Satoru dengan nada yakin. Pria itu menggunakan pilihan kata yang sopan, menandakan bahwa kalimatnya itu dialamatkan kepada Shiroyama-san. Sang detektif pun langsung paham apa maksud Satoru berkata demikian dan menimpali, “Jika benar seperti itu, apakah saya dapat mengambil kesimpulan bahwa saya akan segera bertemu dengan buah yang saya nanti-nantikan?”.Tentu saja orang selain aku, Satoru dan Shiroyama-sanakan memasang raut wajah bingung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Maka seperti biasa, Satoru memintaku untuk memberi penjelasan secara singkat kepada mereka yang tidak paham.“Sebelumnya kami menggunakan alat bernama pendant of the deaduntuk mencari tahu di mana keberadaan bagian kepala korban yang hilang. Saat itu informasi yang didapat adalah bagian kepala korban berada di suatu tempat di Higashi Shinagawa,