SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain.
Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis.
Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka taman inilah yang akan menang. Namun ketika kakimu melangkah semakin dalam ke jantung taman, kamu akan tersadar pada sebuah realita bahwa tempat itu menyeramkan.
Ada sebuah pohon sakura yang berdiri kokoh di tengah taman. “Tentulah pohon sakura itu elok rupanya.”, apakah begitu yang terlintas dalam benak kalian? Ya, tentu pohon tersebut terlihat elok. Ditambah lagi, pohon sakura milik SMA Sendai no Kibou dilengkapi dengan fitur tambahan berupa tali-tali tambang yang menggantung pada dahan-dahannya. Total tali tambang yang menggantung di sana ada enam, sesuai dengan jumlah korban yang meninggal sejak tahun lalu.
…
Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa tali-tali itu tidak dicopot? Sebagai pengingat? Mengapa tidak menggunakan cara yang lain saja? Ini hanya membuat bulu kuduk merinding.
“Kinjo-san.”, suara bass Hongo-san menghenyakkan aku dari pikiranku.
“Y-ya?”
"Jangan tegang."
…
Tidak akan ada orang normal yang tidak tegang melihat ini, Hongo Satoru-san! Terutama kalau tahu tali tambang yang gelantungan di sana asli bekas ‘sesuatu’!
Lagipula, AKU DUDUK TEPAT DI BAWAH POHON INI!
Aku menghela nafas panjang untuk mengatur kembali emosiku, kemudian memulai percakapan.
“Hongo-san, boleh aku bertanya?”.
“Boleh.”, timpalnya.
“Apa yang kita lakukan di sini?”
Aku bertanya karena sejak kami turun tangga, dia belum menjelaskan apapun kepadaku. Dia hanya mengatakan kalau dia tahu cara paling cepat untuk menuntaskan masalah SMA Sendai no Kibou, kemudian memintaku untuk mengikutinya dan sampailah kami di pohon sakura ‘legendaris’.
“Kita sudah di sini sejak satu setengah jam yang lalu. Selama itu, kita hanya duduk dalam keheningan. Hongo-san... Sebetulnya apa yang kita lakukan di sini?”
“... Pertanyaan yang bagus.”
…
Kupikir dia akan melanjutkan kalimatnya, akan tetapi tidak. Dia diam setelah itu.
...
Aku sudah tidak tahan.
Bolehkah aku curhat sedikit kepada kalian?
Sesungguhnya, aku mengakui bahwa orang ini tampan- Tidak. Sangat tampan. Bahkan jika ada satu tingkat lagi di atas ‘sangat tampan’, akan kuberikan kepadanya. Seumur hidup aku belum pernah menemukan orang yang lebih tampan dari orang ini. Ditambah lagi, sebetulnya dia sangat perhatian dengan orang di sekitarnya.
Aku pernah dengan bodohnya mengenakan rok terbalik ketika menemui klien di sebuah perusahaan besar. Bagian ritsleting yang harusnya di belakang malah ada di sisi depan. Aku masih belum sadar akan kebodohanku itu. Tiba-tiba, dia meletakkan jasnya di atas pangkuanku. Kupikir itu adalah salah satu tugasku sebagai asisten, maka aku membiarkan jas Hongo-san bertengger di pahaku. Aku baru meyadari bahwa rok yang kukenakan terbalik ketika kami berada di mobil untuk kembali ke kantor HCO.
Kemudian secara ekonomi, aku yakin kasta orang ini melejit ke langit tingkat tujuh. Buktinya saja dia dapat memberiku upah dua kali lipat gajiku di industri farmasi. Itu juga setiap selesai satu kali permintaan klien, bukan tiap bulan. Selain itu, dia mampu membayar uang sewa dua kamar hotel bintang empat untuk tujuh hari. Setelah mengeluarkan uang sebanyak itu pun dia masih tampil dengan ekspresi datar, seperti tidak pernah mengeluarkan uang sama sekali. Belum lagi mobil sport miliknya yang harganya pasti sangat fantastis.
Tampan, perhatian, dan bergelimang harta. Bukankah dia sempurna?
Sayangnya...
Hah...
Setelah aku bergabung dengan HCO selama satu bulan, akhirnya aku menyadari sebuah fakta baru. Sebesar apapun misteri yang dihadapkan kepadaku, sebutlah itu shadow, hantu, aura, apapun itu. Tidak ada yang bisa mengalahkan Hongo Satoru.
Apa sebutan yang paling cocok untuknya? Raja Misteri?
Tidak.
Hongo Satoru adalah misteri itu sendiri. Mungkin jika kepalanya dibuka, kita akan melihat ratusan ribu atau bahkan jutaan keping puzzle. Waktu kepingan puzzle bagian luar diambil, potongan puzzle di bawahnya akan mencuat. Sesering apapun aku berusaha menerka apa yang ada dalam pikirannya, aku hanya akan menemukan sebuah teka-teki baru.
Sungguh...
Hongo Satoru, pemuda yang super tampan, perhatian, dan bergelimang harta, tetapi mistis, misterius, dan jauh dari jangkauan otak manusia normal.
Aku menghela nafasku sekali lagi. Kali ini bibirku sudah kelihatan maju beberapa sentimeter.
“Hongo-san, Kusumoto-san sudah mengirimkan data-data korban kepadaku. Daripada membuang waktu, bukankah akan lebih baik jika kita mulai investigasi kita sekarang?", tanyaku.
Biasanya, kami akan melakukan investigasi singkat terlebih dahulu. Fungsinya adalah untuk mendapatkan informasi tambahan atau sekedar menentukan apakah itu perbuatan shadow, arwah, maupun hal lain. Penanganan yang akan kami lakukan bisa berubah tergantung siapa musuh yang kami hadapi.
"Tidak. Itu akan terlalu lama. Kali ini kita akan bekerja dengan cara yang berbeda.", timpalnya.
"Kalau begitu, bisakah kamu menjelaskan padaku, apa yang kita lakukan di sini? Aku tidak akan tahu, jika kamu tidak menjelaskan kepadaku, Hongo-san", tanyaku lagi, dengan nada yang sedikit tinggi.
Aku bisa merasakan emosiku sudah hampir sampai di puncak Gunung Fuji. Akan tetapi orang ini, malah tertawa nyaring melihatku begini. Ini adalah poin minus lain dari Hongo Satoru. Selera humornya agak berbelok dari jalur. Dia selalu tertawa terbahak-bahak ketika melihat aku emosi. Entah lucunya ada di sebelah mana.
“Biar kujelaskan.”, katanya, kemudian tertawa terbahak-bahak lagi.
…
Beruntung dia atasanku.
Masih sambil terkekeh, dia berkata kepadaku, “Penjelasanku akan panjang. Dengarkan baik-baik, ya.”
Dia menarik nafas panjang, lalu membuangnya untuk menenangkan dirinya, kemudian dia mulai menjelaskan.
“Kinjo-san, setiap tempat, di mana pun itu berada, memiliki kemampuan untuk menyimpan suatu memori. Memori itu biasanya berisi kepingan-kepingan kejadian yang pernah berlangsung di situ. Mengingat pohon sakura ini bukan pohon biasa, tentu dia memiliki memori yang sangat bernilai. Maka sejak kita sampai di tempat ini, aku berusaha mengintip ke dalam memori itu. Ini disebut metode investigasi retrokognisi.
Tempat ini... Tidak salah lagi adalah tempat terkutuk. Aku melihat banyak sekali hal buruk terjadi di tempat ini. Penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, dan masih banyak lagi. Memang semuanya terjadi pada masa lampau, jauh sebelum SMA Sendai no Kibou didirikan, tetapi hal-hal buruk tersebut terus menerus diulang sampai akhirnya tercipta energi kutukan.
Masalahnya, energi kutukan adalah energi yang nikmat bagi shadow yang tidak baik. Mereka akan semakin ganas setelah menyerap energi itu. Aku sama sekali tidak heran jika ada shadow yang akhirnya cukup kuat untuk merayu manusia agar menggantung dirinya di pohon ini.”
Dia memberi jeda sejenak, lalu melanjutkan berkata, “Itu adalah infomasi pertama. Informasi kedua... Hm... Kinjo-san biar aku bertanya lebih dahulu. Kamu tahu mitologi Banshee?”.
“… Tidak. Apa itu?”
“Banshee adalah makluk mitologi dari Irlandia, berwujud wanita muda berwajah sedih atau wanita tua dengan pakaian compang-camping. Dia sering disebut-sebut sebagai pembawa pesan kematian.
Konon, dia suka datang dan meraung-raung pada setiap rumah yang anggota keluarganya akan meninggal. Namun sejatinya, Banshee sebagai pembawa pesan kematian tidak bertindak sebatas meraung-raung di rumah orang. Khususnya di tempat-tempat terkutuk seperti di pohon sakura ini, Banshee bisa saja muncul untuk menunjukkan di mana jiwa-jiwa dari korban kutukan terikat.
Maka dari itu, Kinjo-san, setelah ini kita akan menunggu sampai Banshee muncul di depan kita.”
“… Tunggu dulu. Hongo-san, katamu Banshee adalah makluk mitologi Irlandia? Irlandia, kan?”
"Betul."
"Tapi bukankah kita sekarang ada di Jepang? Bagaimana caranya dia muncul di sini?"
“Dia akan naik pesawat dari Irlandia kemari.”
…
Aku memilih diam seribu bahasa.
Aku merasa bodoh menunggu jawabannya.
Sekali lagi, Hongo-san tertawa. Aku tidak ingin mencari tahu kenapa dia tertawa. Aku yakin alasannya masih di seputar ekspresiku. Aku memang melongo mendengar jawabannya tadi.
“Kamu pikir Banshee tidak ada di Jepang? Kita juga punya Banshee hanya saja wujudnya berbeda. Kebanyakan yang aku lihat mengenakan kimono tua.”, ujarnya lagi sambil tertawa.
Aku mendengkus kesal sambil menjawab, “Aku sudah menduganya, Hongo Satoru-san.”.
Pria itu betul-betul membiarkan dirinya tertawa sampai puas. Setelah itu, dia masuk kembali ke dalam mode serius. Dia memberikan jeda lumayan panjang sebelum melanjutkan percakapan. Aku bisa melihat ada sendu pada kedua bola mata Hongo-san.
“Para korban... Mereka masih bocah. Tidak seharusnya jiwa mereka terikat di tempat busuk seperti ini. Aku sungguh berharap bahwa Banshee akan cepat muncul dan membawa kita ke tempat jiwa mereka diikat. Setelah itu, kita akan melepaskan mereka, sekalian mencari tahu nama shadow kepa**t itu. Mereka pasti tahu namanya.”, katanya.
…
Kenapa kita harus tahu nama shadow?
Aku sempat menanyakan hal itu kepada Hongo-san. Katanya, untuk menyegel shadow akan lebih baik jika kita tahu siapa yang kita segel.
Dengan nama, kekuatan dan efektifitas dari mantra penyegel akan menjadi berkali-kali lipat dibandingkan ketika menyegel shadow semudah kita sebut ‘shadow’. Selain hanya membuang energi, para shadow juga akan kabur dengan mudah dalam beberapa hari saja.
Oleh karena itu, aku mengerti mengapa kami harus repot-repot mencari nama shadow.
Kali ini aku lebih tergelitik dengan metode investigasi retrokognisi. Metode itu… Aku rasa jauh lebih efektif dibandingkan dengan proses investigasi yang biasa kami lakukan. Lalu mengapa selama ini dia tidak pernah menggunakannya?
Baru aku mau membuka mulut hendak bertanya kepadanya, tiba-tiba saja darah segar mengucur dari hidungnya.
"E-eh!? Hongo-san, kamu tidak apa-apa!?"
Aku buru-buru mengeluarkan sapu tanganku untuk menyeka darah di hidungya.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih, Kinjo-san.”, ujarnya sambil mengambil alih sapu tangan agar aku bisa menarik tanganku.
...
“Kamu sungguh tidak apa-apa? Darah yang mengalir lumayan deras. Mengapa tiba-tiba begini? Apakah kepalamu pusing?”
Aku membombardir Hongo-san dengan banyak pertanyaan. Mau bagaimana pun, aku pernah berkuliah jurusan farmasi. Jiwaku tetap bergetar setiap melihat orang sakit. Aku mengeluarkan parasetamol yang selalu kubawa di dalam kantong bajuku, lalu kuberikan kepadanya bersama sebotol air dari dalam tasku.
“Ya. Aku tidak apa-apa, hanya pusing sedikit. Kurasa aku terlalu banyak mencari informasi.”, jawabnya, sambil menenggak parasetamol dan air yang kutawarkan kepadanya.
...
“Lain kali... Mari kita lakukan metode investigasi yang biasa. Aku lebih suka bermain detektif.”, ucapku.
Dia membalas kalimatku dengan tawa kecil. Sepertinya kali ini aku menebaknya dengan benar. Metode investigasi retrokognisi yang dia gunakan memiliki dampak bagi tubuhnya.
Aku meminta Hongo-san untuk beristirahat seraya menunggu kehadiran Banshee.
Setelah beberapa saat, warna wajahnya menjadi cerah kembali.
-Setengah jam kemudian-
Kami masih menunggu di bawah pohon sakura. Tiba-tiba terlihat pada ujung pandang kami, ada sesosok yang mendekat.
Bukan Banshee, itu adalah Murakawa-san.
Badan tambunnya seperti dipaksakan untuk berjalan secepat yang dia bisa untuk mendatangi kami berdua. Akhirnya, kami ambil inisiatif untuk jadi yang mendekati Murakawa-san.
“Ada apa, Murakawa-san?”, tanya Hongo-san.
Wajah Murakawa-san sangat putih, seperti habis melihat sesuatu. Dia berusaha mengucapkan apa yang ingin dia sampaikan, tetapi hanya ungkapan terbata-bata yang tidak jelas. Akhirnya, dia hanya mengarahkan telunjuknya.
Kami mendongakkan kepala kami ke arah yang ditunjuk Murakawa-san, di lantai tiga Gedung C.
“Hongo-san, di sana ada apa?”, tanyaku, karena aku tidak melihat apapun.
“Aku juga tidak melihat apapun. Kinjo-san, kita akan mengecek ke sana.”
Kami bergegas menyusuri lorong tangga hingga ke lantai tiga.
Dan jujur…
Itu adalah penyesalanku.
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga. Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian… Aku tertinggal. "Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis. Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai. Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas ter
Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan. "Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura." Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus. Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram. Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun. Nam
Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini
Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk
“WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A
Aku menceritakan segala yang terkait pertemuanku dengan Banshee pada Satoru-san. Tidak ada satu pun yang aku tutupi. Usai kuceritakan, Satoru-san langsung kembali ke kamarnya untuk bersiap. Aku juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa cepat. Butuh waktu yang lebih lama bagiku untuk bersiap karena kakiku yang masih sakit. Untungnya Satoru-san sangat tolerir dengan itu. Dia bahkan membawakan sarapan ke kamarku dan kami makan bersama terlebih dahulu. Kami berdua menggunakan meja dan sofa mewah yang berada tepat di depan ranjang. ... Aku jadi tidak enak hati... Dalam batin aku berkata, “Harusnya aku yang membawakan makanan-makanan ini padanya, bukan sebaliknya.”. Aku adalah asistennya, tapi selama 30 hari bersama Satoru-san, aku sangat jarang memberikan bantuan yang berarti. Sebaliknya, kurasa aku lebih sering merepotkan dirinya. Lihat yang belakangan ini saja, berapa banyak uang dan perhatian sudah dia keluarkan hanya untuk mengurusku? Kamar hotel bintang 4, biaya rumah saki
Mobil sport hitam yang ditumpangi olehku dan Satoru-san telah sampai di depan bangunan sekolah megah dengan papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou. Kali ini bukan Satoru-san yang menyetir, tapi seorang pria paruh baya berkemeja biru terang. Perawakannya tidak begitu tinggi dan ekspresinya secerah kemeja yang ia kenakan.“Toru tidak tidur semalaman ya?”, tanya pria itu, sambil menatap Satoru-san yang terlelap di kursi belakang. Pria itu memiliki hubungan dekat dengan Satoru-san, sampai dirinya memanggil Satoru-san dengan sebutan ‘Toru’. Tak heran, rupanya pria paruh baya itu adalah paman Satoru-san yang kebetulan sedang berada di Sendai. Namanya adalah Hongo Yuma.“Apakah kalian sedang menangani kasus yang sulit hingga dia kerepotan seperti ini?”, tanyanya lagi.Aku ingin sekali menjawab dengan, “Yuma-san, yang merepotkan itu aku, bukan kasusnya.”. Namun aku memilih untuk mengangguk saja, kemudian menambahkan, “Terima kasih sudah mengantar kami sampai di sini, Yuma-san. Kuharap kam
Hari ini begitu cerah. Matahari nampak menggantung di langit biru tanpa ada sedikit pun kapas yang menghalangi. Beberapa burung saling beradu lagu dan kupu-kupu asyik melintas mencari bunga termanis di taman sekolah milik SMA Sendai no Kibou. Alam seakan tidak sudi bersimpati meski seseorang telah diculik di depan mataku dan Yuma-san....Ya?Aku ada di mana?Aku ada di taman terkutuk itu. Aku berada tepat di jantung taman, di bawah pohon sakura yang terkenal horor di SMA Sendai no Kibou. Makanya aku bisa tahu aktivitas satwa-satwa yang kusebutkan tadi, karena semuanya aku lihat di taman ini. Aku dan Yuma-san sedang beristirahat sebentar di sana. Kami habis berkeliling mengitari lingkungan SMA Sendai no Kibou yang super luas.Tenang, kali ini aku berjalan sendiri kok. Aku tidak enak hati jika terus merepotkan orang tua. Kami sempat mendatangi UKS, dan untungnya mereka memiliki krak dan bersedia meminjamkannya kepadaku sampai aku selesai berkeliling sekolah.Aku duduk di bangku yang ad
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se
“... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku
“Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik
KRAK!Shadow itu memperkuat lilitan, sehingga retakan pada dinding kubah pelindung tak dapat terelakkan. Semua orang yang berada di dalam kubah, bahkan Yuma-san dan Satoru pun menjadi tegang dan mengeraskan rahang. Aku sendiri sampai memejamkan mata, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua. Akan tetapi, shadow itu tertawa dan berkata, “Aku bercanda!”“B-bercanda?”, batinku seraya membuka perlahan kedua mataku.Makhluk supranatural yang melilit kubah kami itu tertawa terbahak-bahak, lantas kembali melontarkan beberapa kalimat, “Aku baru saja mengatakan bahwa kalian patut diapresiasi! Bentuk apresiasi kami, makhluk yang kalian sebut shadow, adalah dengan membuat yang diapresiasi untuk merasakan emosi yang paling sulit kami alami. Dengan kata lain, membuat mereka ketakutan! Hahaha!”“Namun dalam bahasa manusia, sepertinya tidak begitu. Apa yang aku lakukan barusan, tidak terhitung dalam bentuk apresiasi. Jika aku tidak salah, aku harus berlaku ‘baik’ terhadap kal
Kami melintasi jalan berair dengan penuh kehati-hatian. Sebab, jalur yang awalnya hanya dipenuhi air hitam dan rambut panjang, kini juga diisi oleh tubuh buaya dengan jumlah yang tak terhitung. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar bus hingga buaya dengan ukuran yang dapat kita temui di alam manusia.Kami dapat dengan mudah menghindari buaya dengan ukuran masif, tentu karena tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh air yang setinggi pinggang. Justru buaya-buaya yang lebih kecil lah yang membuat kami was-was. Tubuh mereka cukup ‘kecil’, membuat mereka dapat diselimuti air hitam dengan sempurna. Kami jadi tidak tahu apakah tubuh yang ada di bawah sana benar-benar sudah mati, atau belum. Maka ketika kaki kami tidak sengaja bertabrakan dengan moncong mereka, jantung rasanya hampir keluar dari badan.“Toru, apakah mungkin jika mereka adalah hewan biasa yang diambil dari alam manusia?” tanya Yuma-san dari barisan paling belakang.Pertanyaan yang dilontarkan Yuma-san sontak m
“... Tempat ini benar-benar persis dengan penglihatan yang saya dapatkan ketika menggunakan POD.”, ujar Satoru dengan nada yakin. Pria itu menggunakan pilihan kata yang sopan, menandakan bahwa kalimatnya itu dialamatkan kepada Shiroyama-san. Sang detektif pun langsung paham apa maksud Satoru berkata demikian dan menimpali, “Jika benar seperti itu, apakah saya dapat mengambil kesimpulan bahwa saya akan segera bertemu dengan buah yang saya nanti-nantikan?”.Tentu saja orang selain aku, Satoru dan Shiroyama-sanakan memasang raut wajah bingung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Maka seperti biasa, Satoru memintaku untuk memberi penjelasan secara singkat kepada mereka yang tidak paham.“Sebelumnya kami menggunakan alat bernama pendant of the deaduntuk mencari tahu di mana keberadaan bagian kepala korban yang hilang. Saat itu informasi yang didapat adalah bagian kepala korban berada di suatu tempat di Higashi Shinagawa,