Home / Horor / Bayangan Dalam Pandang / Shadow at School #4

Share

Shadow at School #4

Author: Louisa Reign
last update Last Updated: 2023-02-28 23:20:29

Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan.

"Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura."

Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus.

Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram.

Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun.

Namun satu hal yang pasti...

Aku tahu ini bukanlah manifestasi dari kesedihanku.

Ini... Mungkinkah karena aku merasa bersalah...?

Ingatan ketika diriku dan Hongo-san hendak keluar dari SMA Sendai no Kibou siang tadi segera menyisip ke dalam batinku. Setelah kami turun dari lantai 2 dan sampai di lantai dasar Gedung C,  kami bertemu dengan Murakawa-san. Orang itu memang berdiri di depan tangga untuk menanti kami, lengkap dengan warna wajah khawatir yang menggebu. Kurasa dia takut jika terjadi sesuatu kepada kami, tetapi di saat yang bersamaan juga takut untuk melangkah naik.

Benar saja, ternyata aku turun dengan kondisi kaki terkilir akibat shadow bermata bolong itu.

Aku ingat Murakawa-san menatapku yang sedang dalam gendongan Hongo-san dengan penuh rasa bersalah. Dia memohon maaf berulang kali, mengatakan bahwa seharusnya dia menahan kami untuk tidak naik ke atas, karena dia tahu apa yang menunggu kami di sana. Dia juga sempat mengatakan keinginannya untuk ikut dengan kami ke rumah sakit. Hanya saja, tiba-tiba ponselnya berdering dan kami mohon izin untuk pergi duluan dengan alasan kakiku harus segera ditangani.

Mengapa saat itu kami tidak menantinya? Jika dia ikut dengan kami, apakah tubuhnya tidak akan berakhir terayun-ayun di dahan pohon sakura? Apakah mungkin jika aku dan Hongo-san adalah orang terakhir yang memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Murakawa-san?

Sesak di dada dan leher yang tercekat...

Benar…

Ini adalah manifestasi dari perasaan bersalahku.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul secara bergantian. Setiap perenunganku itu membawa rasa pahit di hati. Bulir-bulir bening akhirnya mulai jatuh dari indera penglihatanku.

Sedih? Sekali lagi tidak.

Kesedihanku tidak ada bandingannya dengan kekesalan dan rasa kecewa yang menderu batinku. Aku kesal dan kecewa terhadap diriku sendiri. Aku terus menikmati kepahitan hati itu sampai akhirnya terdengar, "Pip!", sekitar kurang lebih tiga puluh menit kemudian.

Pip!

Pip!

Pip!

Itu adalah suara notifikasi dari ponsel Hongo-san. Jemari pria itu otomatis bergerak menekan layar ponsel guna mengecek semua pesan yang masuk. Setelah dia purna membaca seluruh pesan itu...

Bruk!

Dia membanting tubuhnya ke belakang. Setengah tubuh bagian atasnya kini menelentang di atas kasur. Dia meletakkan satu tangannya di atas dahi, bersamaan dengan dadanya terlihat mengempis karena menghela nafas. Katanya, "Murakawa-san tidak meninggal. Untungnya dia cepat ditemukan dan langsung dilarikan ke rumah sakit.".

Ribuan ucapan syukur segera mengisi relung hatiku dan aku turut menghela nafas. Berkali-kali bibirku berujar, “syukurlah!” atau “untunglah!”, seraya menyeka air mata.

Rasa bersalah yang menunjam hatiku sejak tadi berangsur-angsur lenyap, berhasil tergantikan dengan sebuah rasa kelegaan.

"Lalu bagaimana kondisinya sekarang?", tanyaku pada pria yang terbaring di sampingku.

“Dia masih berada di emergency room. Masih belum sadarkan diri.”

Pria itu memutar tubuhya sehingga dia tidur dengan posisi telungkup. Wajahnya dia pendam dalam-dalam pada permukaan kasur. Sebelah tangan yang awalnya bertengger pada dahinya kini ia gunakan untuk memijat bagian tengkuk. Dia melepaskan keluhannya bersamaan dengan itu.

"Hah… Tensiku…”

“Kamu tidak apa-apa?”, tanyaku.

Dia melambaikan tangannya sambil membalas, “Ya, ya. Aku tidak apa-apa.”.

Aku tidak dapat menahan sudut-sudut bibirku untuk naik. Sepertinya bukan hanya aku yang menikmati sensasi jadi manusia paling berdosa sejagad raya. Kutepuk-tepuk punggung pria itu sambil berkata, “Ini masih belum terlalu malam. Sepertinya akan lebih baik jika kita ke rumah sakit sekarang, Hongo-san.”

Aku sempat menelik ke arah jam dinding di atas punggung kasur. Waktu baru menunjuk pada pukul 18.30.

“Kamu benar.”, dia bangkit, kemudian menatapku lama.

“A-ada apa?”, tanyaku, akibat merasa canggung.

Dia terlihat menggelengkan kepala kemudian menjawab, “Tidak ada. Hanya menimbang ini dan itu... Sebelum kita berangkat, aku ingin melakukan sesuatu.”

“Apa itu?”, tanyaku.

Dia tidak menjawab, melainkan beranjak dari kasur menuju ke hadapanku. Dia berlutut dan mengambil salah satu tanganku. Pada punggung tangan itu, dia seperti menggambar garis imaginer berupa lingkaran dan sebuah titik pada tengahnya.

“Apa yang kamu lakukan?”, tanyaku.

“Memasang sebuah pelindung untukmu. Akan tetapi, ini hanya dapat diaktifkan satu kali saja. Gunakan pada saat kamu betul-betul dalam keadaan genting dan kamu sedang tidak berada di dekatku.”

“... Apakah aku akan diserang lagi?”

Mendengar pertanyaanku, dia menjawab, “Shadow adalah makhluk yang obsesif. Ketika dia sudah menentukan target buruannya tetapi gagal untuk mendapatkan, mereka tidak semudah itu untuk berganti mangsa. Usaha selanjutnya akan dilakukan sampai target berada dalam genggamannya.”

Aku terdiam. Otakku otomatis mereview kembali kejadian horor hari ini.

Oh... Darahku berdesir kuat setiap ingatan itu kembali.

Aku sungguh tidak ingin berurusan dengan shadow itu lagi. Pengalaman yang ia berikan hari ini sudah cukup untuk menanamkan sebuah trauma baru. Namun di saat yang sama, aku juga tidak ingin ada korban lain mengalami hal yang serupa denganku.

Percayalah...

Pengalaman itu sangat mengerikan. Tak perlu ada orang lain mencicipi sensasi tersebut. Mereka bisa mati. Aku sendiri hanya beruntung karena Hongo-san datang menyelamatkanku.

Aku tidak mau sampai ada yang nyawa terenggut. Oleh karena itu, aku harus berani berjuang untuk mereka.

Tapi... Aku sangat takut...

...

"Miki."

Aku tehenyak. Pria di hadapanku tiba-tiba saja memanggil nama belakangku. Tak berhenti, selanjutnya dia menggenggam tanganku dengan erat. Sepasang onyx miliknya memandangi kedua irisku dengan begitu dalam dan tenang.

“Kali ini aku tidak akan gagal untuk melindungimu.”

...

Ah...

Apakah yang terpikir olehku tadi tertera jelas di wajahku?

Aku berdehem kecil dan tidak dapat menahan diri untuk memasang seutas senyum. Kalimat yang dilontarkan oleh pria itu telah berhasil meneduhkan ketakutanku. Rasa getir yang hadir di dalamku perlahan luruh dan berubah menjadi sebuah perasaan yang lain. Aku dapat merasakan kehangatan pada kedua pipiku.

Masih dengan senyum bertengger pada wajah, aku menimpali pria itu.

“Terima kasih, Satoru-san.”.

-Rumah Sakit-

Aroma karbol menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku. Itu adalah aroma yang biasa tercium oleh indera ketika seseorang berada di sebuah rumah sakit.

Saat ini, aku memang tengah berada di sana bersama Satoru-san. Lebih tepatnya, di depan ruang emergency room. Ini adalah kali kedua aku kemari. Sebelumnya adalah untuk merawat kaki kananku, sedangkan sekarang adalah untuk Murakawa-san.

Sambil menyandarkan punggung pada kursi roda yang baru dibelikan oleh bosku, aku mengedarkan pandanganku. Kami berdua tidak sendiri di situ. Ada pula Goto-san dan manajernya, Kusumoto-san dan beberapa guru lain, serta istri dan putri Murakawa-san yang masih menggunakan seragam SMP.

Melalui obrolan mereka, kami mengetahui bahwa yang menemukan Murakawa-san pertama kali adalah Goto-san. Namun bukan dalam posisi tergantung, melainkan hampir tergantung.

Murakawa-san dengan tatapan kosong membawa kursi ke bawah pohon sakura terkutuk itu, lalu meraih salah satu tali tambang, bersiap menggantungkan dirinya. Beruntung semua adegan itu disaksikan oleh Goto-san yang berniat membersihkan aura di sana. Detik Goto-san menyentuh tubuh Murakawa-san, pria paruh baya tersebut langsung jatuh pingsan.

Kusumoto-san berkali-kali memohon maaf kepadaku dan Satoru-san. Sepertinya dia mengalami shock yang dalam, sehingga dia gagal menyampaikan pesan yang seharusnya. Pada akhirnya kami pun baru mengetahui kabar bahwa Murakawa-san tidak meninggal dari Goto-san. Yah...

Itu tidak masalah, yang penting kami telah mengetahui yang sesungguhnya.

Setelah perbincangan itu, Goto-san mengajak Satoru-san untuk berbincang empat mata. Tidak jauh, aku masih dapat melihat mereka berdua. Mereka hanya menyingkir ke depan vending machine minuman di ujung bangunan rumah sakit, sekitar 10 meter dari pintu masuk emergency room.

“Miki, jika nanti muncul lingkaran pada punggung tangan kananmu, katakan ‘pertemukan langit dan bumi, aku Kinjo Miki, lindungi aku yang berada di dalamnya’. Nanti akan terbentuk barier pelindung untukmu. Kemudian jika muncul titik di tengah lingkaran, segera panggil ‘Hongo Satoru’ dengan lantang. Mengerti?”, katanya kepadaku sebelum pergi mengikuti Goto-san.

Aku menanggapi kepergian mereka dengan santai. Tidak ada rasa takut sama sekali, sebab kondisi emergency room memang sangat ramai.

“Dengan orang sebanyak ini, mungkin akan aman.”, begitu pikirku.

Berbeda cerita ketika kondisinya tidak ramai. Mungkin aku akan...

Tidak... Mari tidak pikirkan itu.

Pada deretan bangku di depan emergency room, meski terdapat banyak orang, sayangnya aku hanya mengenal dua orang. Mereka adalah Kusumoto-san dan manajer Goto-san. Berhubung aku tidak pernah berbincang dengan si manajer, aku pun lebih luwes berbincang dengan Kusumoto-san.

“Kinjo-san, bagaimana kakimu?”, tanya Kusumoto-san.

“Tidak terlalu buruk, tapi rasanya lumayan sakit.”

“Saya dengar itu disebabkan karena terjatuh di Gedung C?”

“Benar. Bagaimana anda tahu?”

Ibu guru itu tersenyum kecut. Suaranya menjadi sedikit serak ketika menjawab, “Murakawa-sensei memberitahu saya. Saya sempat menelepon beliau sebelum mau menggantung diri.”

Semakin aku berbincang dengan Kusumoto-san, aku semakin menyadari bahwa orang ini sangat peduli dengan Murakawa-san. Rupanya mereka berdua adalah teman sejak masih kecil. Tak heran jika Kusumoto-san mengalami shock berat ketika tahu Murakawa-san mengalami hal itu. Kemudian, pikiranku tiba-tiba teralih kepada istri dan anak dari Murakawa-san.

Aku mengalihkan pandang ke arah mereka berdua. Berbeda dengan reaksi Kusumoto-san, mereka berdua hanya menatap kosong ke arah emergency room. Tidak menangis, tidak juga memasang ekspresi khawatir. Wajah mereka sangat datar. Namun aku tidak menganggap anak dan istri Murakawa-san aneh.

...

Maaf. Aku berbohong.

Aku hanya berusaha menghormati anggota keluarga Murakawa-san. Sesungguhnya, jauh di lubuk hatiku, aku merasa mereka sangat janggal. Aku tidak mengerti bagaimana caranya mereka tetap memasang poker face di hadapan anggota keluarga yang nyaris meninggal.

Ya... Aku memang tidak langsung menangis ketika mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal, tetapi shock itu tetap ada. Aku ingat hal pertama yang kurasakan saat aku mendengar berita orang tuaku meninggal adalah shock dan tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

Saat ini, aku berusaha berpikir positif. Mungkin mereka terlalu shock atau masih belum bisa menerima kenyataan, karena yang namanya shock manifestasinya bisa bermacam-macam.

...

Meski wajah mereka memang terlalu datar bagi orang dalam keadaan shock sih...

Related chapters

  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #5

    Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini

    Last Updated : 2023-03-08
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #6

    Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk

    Last Updated : 2023-03-14
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #7

    “WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A

    Last Updated : 2023-03-19
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #8

    Aku menceritakan segala yang terkait pertemuanku dengan Banshee pada Satoru-san. Tidak ada satu pun yang aku tutupi. Usai kuceritakan, Satoru-san langsung kembali ke kamarnya untuk bersiap. Aku juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa cepat. Butuh waktu yang lebih lama bagiku untuk bersiap karena kakiku yang masih sakit. Untungnya Satoru-san sangat tolerir dengan itu. Dia bahkan membawakan sarapan ke kamarku dan kami makan bersama terlebih dahulu. Kami berdua menggunakan meja dan sofa mewah yang berada tepat di depan ranjang. ... Aku jadi tidak enak hati... Dalam batin aku berkata, “Harusnya aku yang membawakan makanan-makanan ini padanya, bukan sebaliknya.”. Aku adalah asistennya, tapi selama 30 hari bersama Satoru-san, aku sangat jarang memberikan bantuan yang berarti. Sebaliknya, kurasa aku lebih sering merepotkan dirinya. Lihat yang belakangan ini saja, berapa banyak uang dan perhatian sudah dia keluarkan hanya untuk mengurusku? Kamar hotel bintang 4, biaya rumah saki

    Last Updated : 2023-03-25
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #9

    Mobil sport hitam yang ditumpangi olehku dan Satoru-san telah sampai di depan bangunan sekolah megah dengan papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou. Kali ini bukan Satoru-san yang menyetir, tapi seorang pria paruh baya berkemeja biru terang. Perawakannya tidak begitu tinggi dan ekspresinya secerah kemeja yang ia kenakan.“Toru tidak tidur semalaman ya?”, tanya pria itu, sambil menatap Satoru-san yang terlelap di kursi belakang. Pria itu memiliki hubungan dekat dengan Satoru-san, sampai dirinya memanggil Satoru-san dengan sebutan ‘Toru’. Tak heran, rupanya pria paruh baya itu adalah paman Satoru-san yang kebetulan sedang berada di Sendai. Namanya adalah Hongo Yuma.“Apakah kalian sedang menangani kasus yang sulit hingga dia kerepotan seperti ini?”, tanyanya lagi.Aku ingin sekali menjawab dengan, “Yuma-san, yang merepotkan itu aku, bukan kasusnya.”. Namun aku memilih untuk mengangguk saja, kemudian menambahkan, “Terima kasih sudah mengantar kami sampai di sini, Yuma-san. Kuharap kam

    Last Updated : 2023-04-02
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #10

    Hari ini begitu cerah. Matahari nampak menggantung di langit biru tanpa ada sedikit pun kapas yang menghalangi. Beberapa burung saling beradu lagu dan kupu-kupu asyik melintas mencari bunga termanis di taman sekolah milik SMA Sendai no Kibou. Alam seakan tidak sudi bersimpati meski seseorang telah diculik di depan mataku dan Yuma-san....Ya?Aku ada di mana?Aku ada di taman terkutuk itu. Aku berada tepat di jantung taman, di bawah pohon sakura yang terkenal horor di SMA Sendai no Kibou. Makanya aku bisa tahu aktivitas satwa-satwa yang kusebutkan tadi, karena semuanya aku lihat di taman ini. Aku dan Yuma-san sedang beristirahat sebentar di sana. Kami habis berkeliling mengitari lingkungan SMA Sendai no Kibou yang super luas.Tenang, kali ini aku berjalan sendiri kok. Aku tidak enak hati jika terus merepotkan orang tua. Kami sempat mendatangi UKS, dan untungnya mereka memiliki krak dan bersedia meminjamkannya kepadaku sampai aku selesai berkeliling sekolah.Aku duduk di bangku yang ad

    Last Updated : 2023-04-09
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #11

    SRAAAAK!BRAK!Rasa sakit segera menghunjam bagian punggung dan belakang kepalaku. Usai tubuhku ditarik paksa oleh shadow ke dalam ruang kebersihan, bagian belakangku berbenturan dengan sesuatu yang keras hingga aku sempat hilang kesadaran.…Aku terbangun kembali dan mendapati bahwa tubuhku masih terjerat tali tambang. Tubuhku diseret menembus lorong sebuah sekolah yang terlihat kotor dan berantakan. Tak jarang aku bertabrakan dengan benda-benda seperti kayu atau runtuhan plafon di sepanjang lorong. Kurasa itu yang membantuku untuk siuman.…Ada cahaya bernada kehijauan yang memancar dari kaca jendela di sepanjang lorong. Itu artinya aku telah berpindah ke alam supranatural.“Oh? Kamu terbangun?”Bangunku saat itu diketahui oleh shadow yang menyeretku. Wujud shadow itu berbentuk seperti kumpulan awan hitam. Dia hadir tanpa wajah, tetapi aku dapat merasakan dia tengah memandangiku sambil memajang seringaian bengis. Dari bagian sentral tubuhnya menjulur tali-tali t

    Last Updated : 2023-04-09
  • Bayangan Dalam Pandang   Shadow at School #12

    Sebuah kaca jendela di lantai tiga Gedung C telah pecah. Suaranya begitu nyaring, sehingga tidak mungkin tidak didengar oleh orang yang berada di sekolah, apalagi yang memang berada di gedung tersebut. Tidak heran ketika aku dan Yuma-san ke sana, banyak siswa kelas 12 yang harusnya sedang dalam proses ajar di lantai dua, ingin menelik apa yang terjadi di lantai tiga. Namun akibat dihalangi oleh segelintir guru, mereka tidak dapat ke sana dan tertumpuk pada tangga yang menuju lantai tiga. “Sudah! Sudah! Bubar! Kembali ke kelas kalian!”, ucap seorang guru laki-laki, meminta para siswa untuk kembali. Aku dan Yuma-san dengan susah payah menembus barisan para siswa yang masih menggerombol di tangga. Seraya berteriak, “Permisi! Permisi! Kami mau lewat!”, akhirnya kami pun sampai juga di depan guru laki-laki itu. Yuma-san menjadi yang pertama melayangkan pertanyaan kepadanya. “Sumimasen*, Sensei. Apa yang telah terjadi di ini?”, tanya Yuma-san. *Permisi Guru itu mempe

    Last Updated : 2023-04-12

Latest chapter

  • Bayangan Dalam Pandang   Aku Juga Siap

    Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep

  • Bayangan Dalam Pandang   Satoru's Request

    “Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala

  • Bayangan Dalam Pandang   Two Invitations

    Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti

  • Bayangan Dalam Pandang   Unexpected Invitation

    “Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #16

    “... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #15

    “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #14

    KRAK!Shadow itu memperkuat lilitan, sehingga retakan pada dinding kubah pelindung tak dapat terelakkan. Semua orang yang berada di dalam kubah, bahkan Yuma-san dan Satoru pun menjadi tegang dan mengeraskan rahang. Aku sendiri sampai memejamkan mata, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua. Akan tetapi, shadow itu tertawa dan berkata, “Aku bercanda!”“B-bercanda?”, batinku seraya membuka perlahan kedua mataku.Makhluk supranatural yang melilit kubah kami itu tertawa terbahak-bahak, lantas kembali melontarkan beberapa kalimat, “Aku baru saja mengatakan bahwa kalian patut diapresiasi! Bentuk apresiasi kami, makhluk yang kalian sebut shadow, adalah dengan membuat yang diapresiasi untuk merasakan emosi yang paling sulit kami alami. Dengan kata lain, membuat mereka ketakutan! Hahaha!”“Namun dalam bahasa manusia, sepertinya tidak begitu. Apa yang aku lakukan barusan, tidak terhitung dalam bentuk apresiasi. Jika aku tidak salah, aku harus berlaku ‘baik’ terhadap kal

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #13

    Kami melintasi jalan berair dengan penuh kehati-hatian. Sebab, jalur yang awalnya hanya dipenuhi air hitam dan rambut panjang, kini juga diisi oleh tubuh buaya dengan jumlah yang tak terhitung. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar bus hingga buaya dengan ukuran yang dapat kita temui di alam manusia.Kami dapat dengan mudah menghindari buaya dengan ukuran masif, tentu karena tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh air yang setinggi pinggang. Justru buaya-buaya yang lebih kecil lah yang membuat kami was-was. Tubuh mereka cukup ‘kecil’, membuat mereka dapat diselimuti air hitam dengan sempurna. Kami jadi tidak tahu apakah tubuh yang ada di bawah sana benar-benar sudah mati, atau belum. Maka ketika kaki kami tidak sengaja bertabrakan dengan moncong mereka, jantung rasanya hampir keluar dari badan.“Toru, apakah mungkin jika mereka adalah hewan biasa yang diambil dari alam manusia?” tanya Yuma-san dari barisan paling belakang.Pertanyaan yang dilontarkan Yuma-san sontak m

  • Bayangan Dalam Pandang   Look for The Head #12

    “... Tempat ini benar-benar persis dengan penglihatan yang saya dapatkan ketika menggunakan POD.”, ujar Satoru dengan nada yakin. Pria itu menggunakan pilihan kata yang sopan, menandakan bahwa kalimatnya itu dialamatkan kepada Shiroyama-san. Sang detektif pun langsung paham apa maksud Satoru berkata demikian dan menimpali, “Jika benar seperti itu, apakah saya dapat mengambil kesimpulan bahwa saya akan segera bertemu dengan buah yang saya nanti-nantikan?”.Tentu saja orang selain aku, Satoru dan Shiroyama-sanakan memasang raut wajah bingung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Maka seperti biasa, Satoru memintaku untuk memberi penjelasan secara singkat kepada mereka yang tidak paham.“Sebelumnya kami menggunakan alat bernama pendant of the deaduntuk mencari tahu di mana keberadaan bagian kepala korban yang hilang. Saat itu informasi yang didapat adalah bagian kepala korban berada di suatu tempat di Higashi Shinagawa,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status