“... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku
“Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se
Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Kinjo-san, hari ini kamu lembur lagi?”, tanya seorang rekanku sambil melepaskan baju hazmat yang dia kenakan. Itu adalah baju kebangsaan para manusia yang bekerja di bagian produksi dari sebuah industri farmasi. Aku juga mengenakan baju yang sama.“Kalau kamu tidak lembur, mau ikut goukon?”, tanyanya lagi. Aku menghela nafasku dan bergumam kecil, "Goukon lagi…"Kamu tahu goukon? Goukon dapat disebut kencan buta. Kalau kamu bertemu orang yang kamu suka, kamu boleh mencoba berkencan dengannya. Jika tidak ada yang kamu suka, anggap saja sebagai acara hangout yang menyenangkan. “Ayolah! Parasmu cantik! Pasti para pria itu akan suka denganmu!", banyak orang mengajakku ikut goukon dengan alasan itu.Cantik? Aku tidak pernah menyebut wajahku cantik, aku hanya memiliki mata yang lebih lebar dari perempuan lain dengan bulu mata yang lentik. Alisku kebetulan saja lebih tebal dan rapi. Bibirku memang berwarna merah jambu, tetapi semua orang bisa mendapatkan bibir dengan warna yang sama dengan
“Itu… Bukan bola…”, batinku. Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi. “Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!” Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian! Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku. Aku mul
“Aduh…” Aku terbangun karena rasa sakit di seluruh badanku. Ini seperti habis dipakai untuk lari maraton 10 km. Sangat lelah dan otot-ototku seperti ditusuk jarum kalau mau digerakkan. But that aside, aku baru sadar kalau aku tidak bangun di kamarku. Cat tembok kamarku itu berwarna biru muda, tetapi ini warna putih. "Aku ada di mana?", tanyaku dalam hati. Aku paksakan badanku untuk duduk agar aku dapat melihat ruangan itu dengan lebih baik. Ruangan itu lumayan luas dengan beberapa perabot bertema vintage. Penataannya tidak asal-asalan sehingga sangat nyaman untuk dipandang. Pada bagian atap dan beberapa sudut kamar terdapat kaca jendela super besar sehingga memudahkan cahaya matahari untuk menyisip masuk dan menambah kesan hangat dari ruangan itu. “Apakah aku ada di hotel?” Aku melakukan sedikit peregangan agar badanku tidak terlalu sakit kemudian berjalan ke arah pintu. Ada dua pintu di sana, yang satu adalah kamar mandi dan yang satu membuka jalan untuk turun ke bawah. Aku tur
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se
“... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku
“Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik
KRAK!Shadow itu memperkuat lilitan, sehingga retakan pada dinding kubah pelindung tak dapat terelakkan. Semua orang yang berada di dalam kubah, bahkan Yuma-san dan Satoru pun menjadi tegang dan mengeraskan rahang. Aku sendiri sampai memejamkan mata, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua. Akan tetapi, shadow itu tertawa dan berkata, “Aku bercanda!”“B-bercanda?”, batinku seraya membuka perlahan kedua mataku.Makhluk supranatural yang melilit kubah kami itu tertawa terbahak-bahak, lantas kembali melontarkan beberapa kalimat, “Aku baru saja mengatakan bahwa kalian patut diapresiasi! Bentuk apresiasi kami, makhluk yang kalian sebut shadow, adalah dengan membuat yang diapresiasi untuk merasakan emosi yang paling sulit kami alami. Dengan kata lain, membuat mereka ketakutan! Hahaha!”“Namun dalam bahasa manusia, sepertinya tidak begitu. Apa yang aku lakukan barusan, tidak terhitung dalam bentuk apresiasi. Jika aku tidak salah, aku harus berlaku ‘baik’ terhadap kal
Kami melintasi jalan berair dengan penuh kehati-hatian. Sebab, jalur yang awalnya hanya dipenuhi air hitam dan rambut panjang, kini juga diisi oleh tubuh buaya dengan jumlah yang tak terhitung. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar bus hingga buaya dengan ukuran yang dapat kita temui di alam manusia.Kami dapat dengan mudah menghindari buaya dengan ukuran masif, tentu karena tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh air yang setinggi pinggang. Justru buaya-buaya yang lebih kecil lah yang membuat kami was-was. Tubuh mereka cukup ‘kecil’, membuat mereka dapat diselimuti air hitam dengan sempurna. Kami jadi tidak tahu apakah tubuh yang ada di bawah sana benar-benar sudah mati, atau belum. Maka ketika kaki kami tidak sengaja bertabrakan dengan moncong mereka, jantung rasanya hampir keluar dari badan.“Toru, apakah mungkin jika mereka adalah hewan biasa yang diambil dari alam manusia?” tanya Yuma-san dari barisan paling belakang.Pertanyaan yang dilontarkan Yuma-san sontak m
“... Tempat ini benar-benar persis dengan penglihatan yang saya dapatkan ketika menggunakan POD.”, ujar Satoru dengan nada yakin. Pria itu menggunakan pilihan kata yang sopan, menandakan bahwa kalimatnya itu dialamatkan kepada Shiroyama-san. Sang detektif pun langsung paham apa maksud Satoru berkata demikian dan menimpali, “Jika benar seperti itu, apakah saya dapat mengambil kesimpulan bahwa saya akan segera bertemu dengan buah yang saya nanti-nantikan?”.Tentu saja orang selain aku, Satoru dan Shiroyama-sanakan memasang raut wajah bingung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Maka seperti biasa, Satoru memintaku untuk memberi penjelasan secara singkat kepada mereka yang tidak paham.“Sebelumnya kami menggunakan alat bernama pendant of the deaduntuk mencari tahu di mana keberadaan bagian kepala korban yang hilang. Saat itu informasi yang didapat adalah bagian kepala korban berada di suatu tempat di Higashi Shinagawa,