"Ya, mau gimana lagi, gue kesel sama dia, Des," samar-samar Naomi mendengar suara yang tak asing baginya dan segera mendekatkan posisinya.
"Tega lo ya, Ki. Padahal anak lo itu baik banget. Kita aja kalau pergi ke rumah lo disediakan makanan yang enak-enak, apalagi dia kan orangnya humble gitu," ucap temannya.
Sepulang bekerja, Naomi sengaja pergi ke salah satu kafe untuk menenangkan hati dan pikirannya yang galau. Naomi, yang kebetulan duduk bersebelahan dengan tempat duduk Zakia yang dipisahkan sekat bambu, jadi bisa mendengar suaranya meski tidak melihat wajahnya. Naomi sedang menunggu sahabatnya, Maya.
"Mau gimana lagi, gue terlalu kesal sama suami gue. Dia menumpahkan 80% warisannya ke anak kandungnya itu."
Bukankah ini suara Zakia? Dengan siapa dia bicara?
"Namanya juga anak kandung. Orang lo juga ketemu ayahnya pas dia udah gede, masih punya istri pula."
Siapa yang mereka bicarakan? Apa itu aku? batin Naomi. Perasaannya menjadi tidak enak.
Apa benar kecurigaanku tentang kehamilan Zakia adalah kesengajaan untuk menjebak Fahri, bukan karena kecelakaan?
"Terus gimana dengan Naomi yang lo rebut calon suaminya?"
"Itu urusan dia, mau jadi perawan tua kek. Yang jelas, aku dan Fahri akan menikah dan berbahagia bersama."
"Loe yakin menikah karena cinta, bukan karena iri?"
"Diam lo, Des! Gue ini akan segera melangsungkan pernikahan. Loe malah terus-terusan membela Naomi si bego itu," ketus Zakia. "Sebagai sahabat, lo harusnya mendukung dan bahagia atas pernikahan gue ini," lanjutnya kesal.
Kepala Naomi serasa panas mendengar perkataan Zakia dari balik sekat bambu. Posisi duduknya memang membelakangi Zakia, hanya terpisahkan oleh sekat bambu, sehingga suara terdengar meski wajah tidak terlihat. Jadi selama ini dia berpura-pura baik demi merebut Fahri dariku? Dulu ayah dia rebut dari ibu, sekarang Fahri. Dasar wanita tak tahu malu!
Naomi segera bangkit hendak melabrak Zakia dan temannya itu. Namun, karena tidak waspada saat berjalan, Naomi menabrak seorang pelayan yang sedang membawa minuman untuk pelanggan.
Bruk... Byur...
"Aww... maaf," ujar Naomi. Minuman itu tumpah di jas seorang pemuda tampan.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja. Nona ini yang menabrak saya," ujar pelayan itu ketakutan, membuat Naomi menunduk merasa bersalah.
Pemuda yang berwajah tampan itu menatap datar pada Naomi, membuat Naomi semakin merasa bersalah.
"Saya bisa bersihkan ini, Pak," ujar Naomi ingin mengelap jasnya, tetapi ditepis oleh lelaki itu.
"Tidak usah. Percuma! Tidak akan bisa bersih seperti semula," jawabnya dingin.
"Saya benar-benar minta maaf, Tuan," ucap pelayan itu ketakutan.
Lelaki itu langsung pergi, membuat Naomi keheranan.
"Mi... udah lama?" tanya Maya.
"Lumayan. Yuk, pindah ke kafe lain," ajak Naomi membuat Maya keheranan.
"Itu bukannya Naomi, Ki?" tanya Desi, teman Zakia, membuat Zakia menoleh ke arah perempuan yang baru saja keluar dari kafe.
"Astaga, apa dia dengar, Des?"
"Enggak tahu tuh."
---Naomi menghela napas panjang setelah sampai di kontrakannya. Segera ia merebahkan tubuhnya untuk menghilangkan penat setelah seharian berada di luar. Belum lama Naomi tertidur.
Tok... tok... tok.
Naomi mengerjapkan mata dan menajamkan indra pendengarannya.
Ceklek.
Naomi segera menutup pintu kembali setelah tahu siapa yang datang. Namun, orang itu menahannya.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?! Masih belum puas atas apa yang telah kamu rebut dariku, hah?" ucap Naomi kesal.
"Aku bisa jelaskan semuanya padamu."
"Cukup! Tidak ada yang perlu kamu perjelas lagi karena semuanya sudah sangat jelas. Aku telah mengetahui semuanya, wanita jalang!" bentak Naomi.
Terkuras sudah kesabaran Naomi menghadapi ibu tirinya. Rasa hormatnya sirna atas perbuatan Zakia yang sudah kelewat batas.
Plak!
"Kurang ajar kamu, Naomi!" bentak Zakia.
Plak!
Naomi tidak mau kalah. Dia balik menampar Zakia.
Saat Zakia hendak menampar Naomi lagi, tiba-tiba ada yang menahan tangannya.
"Ada apa ini, Naomi?" tanya pemilik kontrakan yang kebetulan melihat keributan itu.
"Maaf, dia bukan siapa-siapa," ucap Naomi.
"Saya ibunya," sergah Zakia.
"Ibu? Bukan! Dia wanita perampas," ujar Naomi.
Pemilik kontrakan memahami maksud dari ucapan Naomi. Sejak pertama kali Naomi datang, dia telah menceritakan bahwa calon suaminya direbut ibu tirinya. Itu sebabnya Naomi memilih mengontrak.
"Sekarang juga Anda keluar, atau saya suruh orang untuk mengangkat Anda keluar!" usir pemilik kontrakan kepada Zakia.
“ Tapi dia anak saya,” ujar Zakia.
“PERGI!” ucap bu Ratna dengan marahnya sambil menunjuk kearah gerbang kontrakan. Melihat hal itu, akhirnya Zakia pergi dari kontrakan itu dengan rasa kesal."Makasih ya, Bu," ucap Naomi setelah melihat kepergian Zakia.
"Iya. Ibu sudah menganggapmu seperti anak sendiri, jadi jika ada yang mengganggumu lagi, jangan sungkan beri tahu Ibu," ucap Bu Ratna.
Bu Ratna adalah pemilik kontrakan yang suaminya telah direbut oleh pelakor, dan anaknya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Bahkan saat di rumah sakit, anaknya sering memanggil ayahnya. Namun, suami Bu Ratna enggan datang karena larangan dari istri barunya. Sekarang Bu Ratna hidup sebatang kara, jauh dari sanak saudara.
Naomi memeluk Bu Ratna.
"Kamu mau tidur di rumah Ibu atau di sini?" tawar Bu Ratna.
"Di sini saja, Bu. Enggak enak sama yang lain," ujar Naomi.
"Ya sudah, jika ada apa-apa, beritahu Ibu, ya."
Naomi mengangguk.
Bersyukur Naomi mendapat kontrakan yang tak jauh dari kantornya dan memiliki pemilik kontrakan yang sayang padanya.
---"Saya nikahkan dan kawinkan Zakia binti Rusdi Kusuma dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia 30 gram, dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Zakia Kharisma Putri binti Rusdi Kusuma dengan mas kawin tersebut, tunai."
Mantra sakral pernikahan telah selesai diucapkan.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
Semua saksi saling berpandangan. "Sah."
"Hamdalah," pernikahan telah sah. Itu artinya Bang Fahri dan Zakia telah sah menjadi suami istri. Sesekali Naomi melihat ke arah mempelai yang tengah asyik menyambut para tamu. Terlihat Zakia sangat bahagia, berbeda dengan Fahri yang merasa canggung dan sesekali melihat ke arah Naomi yang sedang berdiri. Pandangan mereka bertemu. Hampir saja Naomi menjatuhkan bulir kristal dari kelopak matanya. Segera dia usap sebelum ada yang melihatnya. Mungkin Fahri telah melihatnya.
Acara yang seharusnya menjadi milik Naomi kini telah direbut Zakia beserta mempelai prianya. Mas kawin yang seharusnya milik Naomi juga direbut Zakia.
Apalagi yang akan kamu rebut dariku, batin Naomi.
Naomi segera pergi dari tempat ini. Tak seharusnya ia berada di sini. Akan lebih baik dia pergi ke kafe mengajak Maya bersantai di sana, bukan malah di sini, menyakiti dirinya sendiri. Kalau bukan karena Subhan, mungkin ia tak akan datang.
"Kakak..." teriak Subhan saat melihat Naomi.
"Kakak kok enggak ikut foto sama Ibu dan Ayah?" lanjut Subhan.
"Lain kali ya, Dek. Kakak lagi buru-buru, ada kerjaan mendadak," Naomi berbohong.
"Yahhh," Subhan kecewa.
"Maaf ya."
"Enggak apa-apa kok, Kak. Tapi lain waktu Kakak ajak aku keluar, ya," pinta Subhan.
"Iya."
Setelah selesai acara resepsi, dua keluarga ini melanjutkan dengan acara makan malam keluarga inti. Hanya ada keluarga Fahri dan Zakia saja, sedangkan Naomi memilih untuk tidak ikut karena merasa bukan bagian dari keluarga Zakia."Akhirnya semua berjalan lancar," ucap Hendra, ayah Fahri, kepada Pak Kusuma."Saya pun sangat bersyukur karena Zakia sekarang ada yang menjaganya lagi. Semoga Nak Fahri menjadi imam yang baik bagi Zakia," ucap Pak Kusuma.Terlihat raut wajah tidak suka dari Bu Hendra. Karena status janda yang melekat pada Zakia, serta mengetahui jejak Zakia yang dulu pernah merebut suami ibu Naomi, sebenarnya Bu Hendra tidak setuju dengan pernikahan ini. Namun, entah mengapa Pak Hendra sangat setuju jika Zakia menjadi menantunya. Ada perasaan tidak enak di hati Bu Hendra. Secara riwayat, Zakia adalah perebut suami orang."Bagaimana kalau Zakia sementara tinggal bersama kami?" tawar Pak Hendra dengan mimik wajah berbunga-bunga."Terserah saja, kami manut, Pak," ujar Pak Kusum
Seminggu telah berlalu."Mi... boleh aku masuk?" tanya Laras yang berdiri di depan pintu kontrakan Naomi."Boleh.""Sedang apa, Mi?" tanya Laras basa-basi."Ini lagi beres-beres, Ras, mumpung lagi libur.""Kamu enggak kerja, Ras?" tanya Naomi yang tahu Laras merupakan penjaga warung makan, jadi harus kerja setiap hari."Lagi libur, Mi. Ibu mimin sedang ada acara nikahan anaknya.""Oh.""Mi, aku boleh minta tolong?""Apa?""Aku lagi butuh uang, Mi, untuk biaya berobat adikku.""Adik kamu sakit?""Iya, Mi. Mau dioperasi minggu ini, jadi membutuhkan biaya yang besar. Kamu tahu sendiri kan hasil dari pekerjaanku tidaklah cukup.""Memangnya kamu membutuhkan uang berapa?""100 juta, Mi.""Besar juga, ya.""Iya, Mi, untuk biaya pengobatan adikku.""Kalau segitu enggak ada, Ras. Kamu tahu sendiri kan kebutuhan aku juga banyak, apalagi sekarang harus bayar kontrakan. Gaji ak
Pagi-pagi sekali, Fahri sudah pergi bekerja karena ia sudah menduduki jabatan yang baru dan tidak ingin terlambat.Di perjalanan, Fahri justru melihat Naomi yang sedang berjalan kaki ke arah kantornya. Sudah lebih dari sepekan mereka tidak bertemu, membuat Fahri merasa rindu.Fahri menghentikan mobilnya tepat di samping Naomi yang sedang berjalan, membuat Naomi menghentikan langkahnya."Mi... Naomi," panggil Fahri yang keluar dari mobilnya.Naomi tidak tahu itu mobil Fahri karena Fahri telah mengganti mobilnya sejak naik jabatan."Ayo bareng," ajak Fahri."Tidak, kantorku sudah dekat," tolak Naomi dengan segera."Ayolah, Mi, hitung-hitung kamu mencoba naik mobil baruku. Aku sekarang sudah naik jabatan, Mi.""Oh ya? Selamat kalau begitu, tapi aku tidak bisa! Aku duluan," pamit Naomi sambil berjalan lagi. Namun, Fahri mengejarnya dan menarik tangannya."Lepas!" Naomi menepisnya."Apa salahnya kamu ikut aku?"
Malam mulai larut ketika Naomi melangkah menuju area parkiran tempat kerjanya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.00. Suasana di sekitar sudah cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang masih terparkir di sana. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan gedung kantor yang kini mulai terasa sunyi.Naomi berdiri di tepi jalan, menunggu taksi online yang telah ia pesan. Biasanya, setelah memesan, taksi akan tiba dalam waktu kurang dari dua menit. Namun, malam ini berbeda. Ia sudah menunggu hampir dua puluh menit, tetapi kendaraan yang dinantikan tak kunjung datang.Gelisah mulai menyelimuti perasaannya. Jalanan di depan kantor memang masih cukup terang karena lampu-lampu jalan yang menyala, tetapi tetap saja, semakin malam, semakin sepi."Seharusnya tadi aku menerima tawaran Maya untuk pulang bareng," batinnya menyesal.Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari kejauhan. Naomi terlonjak kaget, matanya refleks menoleh ke arah sumber suara. Dari dalam mobil hi
Setelah seharian dirawat di rumah sakit, Alto akhirnya dijemput oleh sekretaris pribadinya, Rio. Alto memilih Rio bukan tanpa alasan. Ia sengaja memilih sekretaris pria karena merasa tidak nyaman jika terlalu dekat dengan wanita.Sebenarnya, Alto tidak yakin apakah ini normal atau tidak, tetapi yang jelas, setiap kali ia memiliki sekretaris wanita, selalu saja ada hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Beberapa dari mereka kerap mengenakan pakaian yang melebihi standar kantor, dengan rok terlalu pendek atau kancing kemeja yang sengaja dibiarkan terbuka.Ia tidak tahu apakah dirinya hanya terlalu berpikir berlebihan atau memang para wanita itu sengaja mencoba menarik perhatiannya. Namun, ia bukan tipe pria yang mudah terpengaruh. Oleh karena itu, untuk menghindari drama, ia kini lebih memilih sekretaris pria.Di dalam mobil, Rio menoleh sekilas ke arah Alto yang duduk di kursi belakang dengan wajah datar."Pak, Anda yakin nggak mau mampir ke kantor dulu?" tanya Rio. "Ada beberapa dok
Alto duduk di ruang kerjanya dengan tatapan dingin yang penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria berkemeja hitam duduk dengan sikap tenang, tangannya menggenggam sebuah map tebal yang berisi informasi tentang seseorang yang kini menarik perhatian Alto—Naomi Prameswari.“Jadi, ini semua tentang dia?” tanya Alto, suaranya datar.Detektif itu, seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan sorot mata tajam, mengangguk. “Benar, Tuan Verdatoro. Semua informasi yang bisa saya dapatkan dalam waktu singkat sudah ada di sini. Jika Anda ingin detail lebih lanjut, saya masih bisa menggali lebih dalam.”Alto mengambil map itu dan membukanya. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen, foto, serta laporan mengenai pekerjaan Naomi, kebiasaannya, dan lingkaran sosialnya.“Dia bekerja di sebuah perusahaan media digital sebagai content writer,” gumam Alto sambil membaca. “Dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di daerah Jakarta Selatan... sering menghabiskan waktu be
Di sebuah restoran mewah di pusat kota, suasana terasa begitu formal dan penuh ketegangan. Di salah satu sudut VIP, Alto Verdatoro duduk dengan elegan, mengenakan jas hitam yang selalu membuatnya terlihat berwibawa. Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit rasa ingin tahu di dalamnya.Di hadapannya, duduklah Fahri. Pria yang dulunya adalah tunangan Naomi, tetapi sekarang justru menjadi suami ibu tirinya.Fahri membuka percakapan lebih dulu."Sepertinya kau sudah cukup menyelidik tentang Naomi," ujarnya dengan nada datar, tetapi jelas mengandung sindiran.Alto tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya perlahan, lalu menatap lurus ke mata Fahri."Aku hanya ingin mengenal lebih jauh orang yang menarik perhatianku," balas Alto santai.Fahri tersenyum miring. "Apa yang kau inginkan dari Naomi?"Alto meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, suaranya tetap dingin namun tajam. "Itu urusan antara aku dan dia.""Aku tidak akan memb
Fahri memandangi cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. Setelah pertemuannya dengan Alto, pikirannya terus dipenuhi oleh Naomi."Aku memang masih mencintaimu, Naomi..." batinnya lirih.Bukan sekali dua kali ia ingin mendekatinya kembali, bukan untuk mengusik, melainkan untuk melindunginya. Namun, Naomi selalu menolaknya, bahkan menghindarinya.Dan yang paling membuatnya frustasi adalah kenyataan bahwa Naomi lebih memilih hidup sederhana, mengontrak rumah kecil, dibanding tinggal di rumah mewah peninggalan ayahnya. Bahkan, perusahaan milik ayahnya yang kini telah kembali padanya pun tidak ia kelola sendiri, melainkan ia percayakan pada pamannya.Fahri tahu, semua ini karena Zakia.Zakia, ibu tiri Naomi sekaligus istrinya saat ini, adalah sumber dari semua penderitaan Naomi.Dulu, saat Naomi kehilangan ayahnya, Zakia dengan liciknya mengambil alih semua harta dan perusahaan, meninggalkan Naomi dalam keadaan tak berdaya. Naomi bahkan hampir k
Setelah semalaman menikmati kebersamaan yang begitu intim, pagi itu Naomi terbangun dengan senyum di wajahnya. Angin laut yang sejuk menerpa kulitnya, membawa aroma khas laut yang menyegarkan. Ia menoleh ke samping, mendapati Alto masih tertidur dengan ekspresi tenang. Pria itu terlihat lebih damai dibandingkan biasanya—tidak ada sorot dingin dan penuh tekanan yang sering ia tunjukkan saat berada di kantor.Naomi menyentuh pipi Alto dengan lembut, membuat pria itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Ia tersenyum kecil."Selamat pagi," ucap Alto dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi," balas Naomi dengan lembut. "Ayo kita jalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan bawah laut Pulau Amora."Alto meregangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk di ranjang. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Kedengarannya bagus. Tapi jangan menyelam terlalu dalam, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Naomi tertawa kecil. "Aku bisa berenang, Alto. Kau
Stelah menempuh perjalanan panjang selama lima jam, akhirnya Alto dan Naomi tiba di Pulau Amora, sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto yang telah dipersiapkan khusus untuk bulan madu mereka.Begitu mereka turun dari kapal, tiga orang pegawai sudah menanti di dermaga. Dua perempuan dan satu laki-laki, semuanya berpakaian seragam rapi dengan senyuman ramah di wajah mereka."Selamat datang, Tuan Alto dan Nyonya Naomi," ucap seorang wanita yang tampak lebih senior dari yang lain. "Nama saya Liana, dan ini Adinda serta Rudi. Kami akan memastikan semua kebutuhan Anda selama di sini terpenuhi."Naomi tersenyum sopan. "Terima kasih, senang bertemu dengan kalian."Alto hanya mengangguk kecil. "Pastikan semuanya sesuai dengan yang sudah saya instruksikan sebelumnya.""Tentu, Tuan," jawab Liana dengan penuh hormat.Mereka mengantar Alto dan Naomi ke dalam vila utama yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Naomi hampir tidak bisa menyembunyikan ke
Setelah hari pernikahan yang digelar dengan megah dan penuh kebahagiaan, pagi ini Naomi dan Alto bersiap untuk menikmati bulan madu mereka. Destinasi mereka adalah sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto, tempat yang indah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.Naomi yang duduk di dalam mobil menatap suaminya yang sedang fokus menyetir. Hari ini, Alto terlihat lebih santai dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Sementara itu, Naomi mengenakan dress berwarna biru muda yang memberi kesan lembut namun elegan."Apa kau yakin ingin menyetir sendiri? Kita bisa meminta sopir untuk mengantar kita sampai pelabuhan," ucap Naomi sambil melirik Alto.Alto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku ingin menikmati perjalanan ini hanya denganmu. Lagipula, aku sudah terbiasa menyetir sendiri."Naomi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Baiklah, tapi kalau lelah, kita bisa berhenti sebentar."Perjalanan berlangsung dengan t
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hari di mana Naomi dan Alto akan mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Acara ini tidak digelar dengan megah, hanya sebuah pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka. Naomi dan Alto memang sepakat untuk tidak membuat pesta besar-besaran.Hanya beberapa rekan kerja yang diundang, baik dari pihak Naomi maupun Alto. Orang tua Alto juga hanya mengundang teman kerja mereka, membuat suasana pernikahan terasa lebih intim dan penuh kehangatan.Di salah satu ruangan khusus, Naomi tengah bersiap dengan gaun pengantinnya. Sebuah gaun putih sederhana namun elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ditata dengan rapi, dihiasi aksesori kecil yang semakin mempermanis penampilannya.Saat Naomi memandang dirinya di cermin, jantungnya berdebar kencang. Ia masih sulit percaya bahwa hari ini akhirnya tiba—hari di mana ia menjadi istri Alto Verdatoro."Naomi, kau sudah siap?" suara lembut seorang MUA m
Siang itu, matahari bersinar terik, menyengat kulit siapa pun yang berjalan di bawahnya. Suasana kota masih sibuk, dengan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya.Naomi baru saja turun dari mobil setelah kembali dari kunjungannya ke MUA. Tangannya masih memegang ponsel, jari-jarinya secara refleks menggulir layar, melihat-lihat pesan yang masuk. Tatapannya sesaat kosong. Pikirannya masih sedikit kacau setelah kejadian semalam—jebakan Zakia yang hampir membuatnya berada dalam situasi sulit.SMS dari Zakia masih tersimpan di ponselnya. Kata-kata penuh provokasi yang seolah ingin mengaduk-aduk perasaannya terus berputar di benaknya.Namun, langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seseorang berdiri di depan apartemennya.Fahri.Jantung Naomi berdegup lebih cepat. Ia tidak pernah memberi tahu Fahri alamat apartemennya. Bagaimana pria itu bisa tahu?Sebelum Naomi sempat mengatakan sesuatu, langkah lain terden
Naomi masih terengah-engah setelah ciuman mereka berakhir. Tatapan Alto yang dalam seolah membakar kulitnya. Ia bisa merasakan tangan pria itu tetap bertahan di pinggangnya, jemarinya mencengkeram seakan enggan melepaskannya."Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu," gumam Alto, suaranya terdengar rendah dan berat.Naomi tidak menjawab. Ia hanya bisa menatap pria di hadapannya, merasakan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Namun, sebelum pikirannya bisa kembali jernih, Alto sudah kembali menundukkan kepalanya.Bibirnya kembali menyapu bibir Naomi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Naomi tak sempat berpikir lagi, tubuhnya sudah mengikuti ritme yang Alto berikan. Ia membalasnya dengan penuh perasaan, kedua tangannya naik ke dada pria itu, mencengkeram kerah kemejanya seolah takut kehilangan pegangan.Alto menarik Naomi lebih dekat, hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Tubuhnya terasa begitu panas, setiap sentuhan pria itu membuatnya hampir kehilangan kendali
Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Hanya suara mesin yang terdengar, sementara Naomi terus memandangi Alto tanpa sadar. Pria itu memang dingin, tapi malam ini, Naomi melihat sisi lain darinya—sisi yang peduli dan melindungi.Jika bukan karena Alto, mungkin ia sudah terjebak dalam rencana licik Zakia. Naomi masih tidak habis pikir bagaimana sahabatnya sendiri tega melakukan hal itu padanya. Tapi satu hal yang lebih mengejutkan adalah bagaimana Alto menangani semuanya dengan kepala dingin. Ia tidak menyakiti Zakia, padahal ia punya kesempatan. Bahkan, Alto memastikan wanita itu dibawa kepada Fahri agar tetap dalam pengawasan.“Kau mau terus menatapku seperti itu, atau mau bilang sesuatu?” suara Alto tiba-tiba memecah kesunyian.Naomi tersentak dan langsung membuang muka ke luar jendela. “Aku cuma… masih syok.”Alto meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Itu wajar. Tapi kau aman sekarang.”Naomi mengangguk kecil. Perjalanan menuju apartemen dilanjutkan tanpa banyak bicara.
Malam itu, Naomi sudah bersiap tidur ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.Fahri:"Naomi, aku ingin bertemu denganmu sebentar. Ada Subhan juga. Dia ingin bertemu denganmu. Aku kirim lokasinya."Naomi membaca pesan itu sekilas. Bukan hal aneh jika Fahri mengiriminya pesan.Sejak lama, Fahri sering menghubunginya, entah sekadar menanyakan kabar atau mengajak bertemu. Namun, Naomi selalu mengabaikan pesan-pesan itu, tidak ingin lagi terlibat dalam urusan pria yang telah memilih menikahi Zakia.Namun, kali ini berbeda.Subhan.Hanya dengan membaca nama itu, hatinya langsung tergerak. Ia sangat merindukan bocah itu. Naomi tahu bahwa Subhan bukan adik kandungnya, tetapi mereka sangat dekat sejak kecil.Tanpa banyak berpikir, ia membalas singkat.Naomi:"Baik, aku akan ke sana."Tak ingin membuang waktu, ia segera mengenakan jaketnya dan melangkah keluar apartemen tanpa suara.Yang tidak disadariny
Naomi masih merasakan debaran di dadanya. Apa yang Alto lakukan semalam membuatnya gelisah, bukan karena ia tidak menyukainya, tetapi karena ia tahu dirinya selalu kehilangan kendali setiap kali Alto menyentuhnya. Itu yang membuatnya takut—takut akan dirinya sendiri.Malam itu, Naomi memastikan dirinya tidur lebih awal dan mengunci pintu kamar rapat-rapat. Ia ingin menenangkan pikirannya sebelum kembali beraktivitas esok hari. Namun, satu hal yang ia lupakan—ini adalah apartemen milik Alto, dan pria itu memiliki semua duplikat kunci ruangan.Pagi yang MengejutkanKetika sinar matahari mulai masuk melalui celah tirai, Naomi perlahan membuka matanya. Ia merasakan sesuatu yang hangat dan berat di pinggangnya. Jantungnya seketika berdegup kencang saat menyadari bahwa Alto sedang memeluknya dari belakang.Matanya membelalak. Kapan Alto masuk ke kamarnya? Kenapa dia ada di sini?Naomi menahan napas, berusaha tidak membuat gerakan yang dapat membangunkan pria itu. Dengan hati-hati, ia mencob