Setelah selesai acara resepsi, dua keluarga ini melanjutkan dengan acara makan malam keluarga inti. Hanya ada keluarga Fahri dan Zakia saja, sedangkan Naomi memilih untuk tidak ikut karena merasa bukan bagian dari keluarga Zakia.
"Akhirnya semua berjalan lancar," ucap Hendra, ayah Fahri, kepada Pak Kusuma.
"Saya pun sangat bersyukur karena Zakia sekarang ada yang menjaganya lagi. Semoga Nak Fahri menjadi imam yang baik bagi Zakia," ucap Pak Kusuma.
Terlihat raut wajah tidak suka dari Bu Hendra. Karena status janda yang melekat pada Zakia, serta mengetahui jejak Zakia yang dulu pernah merebut suami ibu Naomi, sebenarnya Bu Hendra tidak setuju dengan pernikahan ini. Namun, entah mengapa Pak Hendra sangat setuju jika Zakia menjadi menantunya. Ada perasaan tidak enak di hati Bu Hendra. Secara riwayat, Zakia adalah perebut suami orang.
"Bagaimana kalau Zakia sementara tinggal bersama kami?" tawar Pak Hendra dengan mimik wajah berbunga-bunga.
"Terserah saja, kami manut, Pak," ujar Pak Kusuma.
"Bagaimana kamu, Fahri? Apa kamu setuju?" tanya Bu Hendra.
Awalnya Fahri memang berniat langsung mengajak Zakia pindah, sebab rumah ini adalah milik Naomi. Fahri merasa tidak enak jika berada dalam satu rumah dengan mantan kekasihnya itu. Tanpa berpikir panjang, Fahri langsung menyetujui ucapan ayahnya.
Mungkin ini yang terbaik, batin Fahri.
Maafkan aku, Naomi, lanjutnya dalam hati."Bang," panggil Zakia.
"I-iya?"
"Mama manggil, Bang."
Segera Fahri keluar dari kamar menghampiri ibunya.
"Kenapa, Mah?"
"Kamu jaga baik-baik, ya, istrimu itu. Jangan sampai terlalu dekat dengan Papa," ucap Bu Hendra sedikit khawatir.
"Maksud Mama?"
"Kamu jangan berpura-pura lupa. Dia itu wanita yang dulu merebut ayahnya Naomi dari ibunya. Wanita seperti itu akan selamanya seperti itu, Fahri."
"Mamaaa..." Fahri mengingatkan ibunya untuk tidak berprasangka buruk pada Zakia.
"Kalau bukan karena cucu Mama yang dikandung Zakia, Mama lebih memilih Naomi daripada dia, Fahri."
Fahri hanya mampu diam dengan apa yang telah dikatakan ibunya. Kedekatan ibunya dan Naomi memang sudah terlihat sejak awal Fahri memperkenalkan Naomi kepada keluarganya. Ayahnya juga cukup baik pada Zakia, tetapi kedekatan keluarganya dengan Naomi sudah sangat erat.
"Ya sudah, Fahri, kembali ke kamar, ya?"
"Eh, nanti dulu. Nih, bawa air putih dulu ke kamar, biar pas bangun tidur enggak perlu turun lagi," kata Bu Hendra sambil menyerahkan secangkir air putih.
Fahri meraih cangkir tersebut untuk diminum nanti setelah bangun tidur. Sesampainya di kamar...
"Ada apa, Bang?" tanya Zakia penasaran dengan pembahasan mertua dan suaminya.
"Ini," Fahri hanya menunjukkan cangkir air putih sebagai jawaban.
"Aku tidur di sofa," ucap Fahri.
"Loh, kok di sofa, Bang? Kita kan sudah suami istri?" tanya Zakia.
"Aku enggak akan menyentuhmu sampai anak itu lahir. Faham?" ucap Fahri tegas.
Masih teringat bayangan kebersamaannya dengan Naomi dulu. Malam ini seharusnya menjadi malam terindah bersama Naomi, tetapi kini telah digantikan oleh Zakia. Fahri sangat berat rasanya melepas Naomi dan menjalani bahtera rumah tangga bersama Zakia. Empat tahun impiannya bersama Naomi hancur sudah, hanya tinggal kenangan indah bersamanya.
Segera Fahri mengambil selimut dan bantal untuk tidurnya.
"Banggg..."
"Sudah malam, aku capek."
Zakia tidak melanjutkan ucapannya. Malam yang diharapkan Zakia tidak ia dapatkan. Bukannya bercumbu, ini malah seperti air dan minyak.
Dasar cowok enggak tahu diuntung. Ada ikan, enggak mau diembat, batin Zakia.
---Keesokan harinya.
"Bang! Bangun, sayang."
"Hmmm, sudah jam berapa ini?"
"Jam sembilan, sayang. Perut aku keruyuk-keruyuk, sepertinya anak kita lapar, sayang," ujar Zakia mencoba mencairkan suasana.
"Aku mau mandi dulu," ucap Fahri sambil melangkah meninggalkan Zakia yang masih berdiri di samping sofa.
Di ruang makan.
"Duh... pengantin baru, baru bangun, nih," goda Pak Hendra.
"Masak apa, Mah?" tanya Zakia berusaha mengakrabkan diri pada mertuanya, sebab sejak awal terlihat bahwa bu Hendra tidak menyukai keberadaannya.
"Masak sayur sop sama bistik daging sapi," jawab Bu Hendra dengan nada malas.
---
"Jadi batal beneran, ya, Mi, pernikahanmu?" tanya Maya, sahabatnya.
"Ya, mau gimana lagi, May. Aku tidak bisa menantang takdir. Kalau dipaksakan juga tidak baik, kan? Nanti judulnya Suamiku adalah Ayah Adikku," ujar Naomi bercanda.
"Kamu bisa aja, Mi."
"Tapi sayang, lo, Mi. Persiapan udah lama, menguras waktu dan tenaga, tahu-tahunya zonk," ujar Maya.
"Aku juga mikirnya gitu, May. Tapi mau gimana lagi," ujar Naomi.
"Kamu yang sabar, ya."
Naomi memeluk Maya. Persahabatan mereka sudah cukup lama, sejak Naomi baru menjadi karyawan di kantor ini. Maya adalah orang pertama yang menjadi temannya.
"Semoga kamu mendapat pengganti yang lebih baik dari Fahri, ya, Mi. Pasti ibu brengsekmu akan mendapatkan karmanya," ujar Maya kesal.
"Terima kasih, May. Aku sudah ikhlas. Mungkin ini jalan terbaik dari Tuhan untukku. Untung tahunya sekarang. Kalau sudah nikah, kan berabe. Mau minta cerai juga nanti bingung, baru nikah langsung menjanda. Kan malu."
"Kamu nggak ada niatan membalas mereka, Mi?" tanya Maya.
"Nggak, May. Kayaknya aku fokus ke diri aku sendiri aja. Nggak ada waktu ngurusin orang," ucap Naomi menenangkan diri.
"Terus rumah orang tuamu gimana, Mi?"
"Entahlah. Mau gimana lagi, May? Di sana juga masih ada Subhan yang berhak atas rumah itu," ujar Naomi.
"Subhan kan anak dari Zakia, Mi. Sedangkan rumah itu kan hasil perjuangan ayah kamu dan ibu kamu."
"Aku belum kepikiran ke situ, May."
Maya mengelus pundak Naomi, bermaksud menguatkannya.
"Aku doakan yang terbaik buatmu, Mi."
"Terima kasih, May. Kamu memang sahabat terbaikku."
---Malam ini, Naomi pulang cukup larut. Selain pekerjaan akhir tahun yang memang banyak karena kejar target, dia juga sedang malas, jadi semuanya terasa melelahkan.
Di dalam kontrakan, Naomi memilih untuk mandi, menyegarkan tubuh yang masih terasa lelah dan penat.
Trettt... trettt...
Suara ponsel terdengar dari dalam kamarnya. Naomi segera menyelesaikan rutinitas mandinya. Dengan masih memakai handuk, Naomi mengangkat panggilan teleponnya.
"Halo?"
"Hai."
Terdengar suara yang tak asing baginya.
"Ada perlu apa kamu malam-malam nelepon aku?!"
"Aku hanya kangen, Mi."
"Nggak waras kamu, ya, Fahri?"
"Setelah bayi itu lahir, aku akan menceraikan Zakia, Mi."
"Kamu pikir hidupku ini apa, hah? Seenaknya kamu keluar masuk dalam kehidupanku. Tidak semudah itu, Ri! Kekecewaan yang kamu torehkan terlalu dalam. Jadi, tolong pergi jauh-jauh dari hidupku!" ucap Naomi tegas.
"Mi, Mama masih mengharapkan kamu sebagai menantunya," bujuk Fahri.
"Terus?! Karena itu kamu harus dapatkan aku lagi? Maaf, Fahri. Aku memang telah memaafkanmu, tapi bukan berarti aku akan bisa menerimamu lagi."
"Mi, sudah berapa kali aku jelaskan padamu. Semua ini hanya kecelakaan. Saat itu aku tidak sadarkan diri."
Sebenarnya, Naomi telah mengetahui kebenaran bahwa Fahri dijebak. Wanita ular itu memang sangat licik. Tapi, Naomi tetap tidak mau menerima Fahri lagi.
"Mi..." bujuk Fahri.
Tut... tut... tut.
Naomi mematikan ponselnya.
Di seberang sana, Fahri frustrasi terus memikirkan Naomi.
"Kamu kenapa, Bang?" tanya Zakia.
Fahri hanya melirik malas dan pergi memasuki kamar.
Seminggu telah berlalu."Mi... boleh aku masuk?" tanya Laras yang berdiri di depan pintu kontrakan Naomi."Boleh.""Sedang apa, Mi?" tanya Laras basa-basi."Ini lagi beres-beres, Ras, mumpung lagi libur.""Kamu enggak kerja, Ras?" tanya Naomi yang tahu Laras merupakan penjaga warung makan, jadi harus kerja setiap hari."Lagi libur, Mi. Ibu mimin sedang ada acara nikahan anaknya.""Oh.""Mi, aku boleh minta tolong?""Apa?""Aku lagi butuh uang, Mi, untuk biaya berobat adikku.""Adik kamu sakit?""Iya, Mi. Mau dioperasi minggu ini, jadi membutuhkan biaya yang besar. Kamu tahu sendiri kan hasil dari pekerjaanku tidaklah cukup.""Memangnya kamu membutuhkan uang berapa?""100 juta, Mi.""Besar juga, ya.""Iya, Mi, untuk biaya pengobatan adikku.""Kalau segitu enggak ada, Ras. Kamu tahu sendiri kan kebutuhan aku juga banyak, apalagi sekarang harus bayar kontrakan. Gaji ak
Pagi-pagi sekali, Fahri sudah pergi bekerja karena ia sudah menduduki jabatan yang baru dan tidak ingin terlambat.Di perjalanan, Fahri justru melihat Naomi yang sedang berjalan kaki ke arah kantornya. Sudah lebih dari sepekan mereka tidak bertemu, membuat Fahri merasa rindu.Fahri menghentikan mobilnya tepat di samping Naomi yang sedang berjalan, membuat Naomi menghentikan langkahnya."Mi... Naomi," panggil Fahri yang keluar dari mobilnya.Naomi tidak tahu itu mobil Fahri karena Fahri telah mengganti mobilnya sejak naik jabatan."Ayo bareng," ajak Fahri."Tidak, kantorku sudah dekat," tolak Naomi dengan segera."Ayolah, Mi, hitung-hitung kamu mencoba naik mobil baruku. Aku sekarang sudah naik jabatan, Mi.""Oh ya? Selamat kalau begitu, tapi aku tidak bisa! Aku duluan," pamit Naomi sambil berjalan lagi. Namun, Fahri mengejarnya dan menarik tangannya."Lepas!" Naomi menepisnya."Apa salahnya kamu ikut aku?"
Malam mulai larut ketika Naomi melangkah menuju area parkiran tempat kerjanya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.00. Suasana di sekitar sudah cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang masih terparkir di sana. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan gedung kantor yang kini mulai terasa sunyi.Naomi berdiri di tepi jalan, menunggu taksi online yang telah ia pesan. Biasanya, setelah memesan, taksi akan tiba dalam waktu kurang dari dua menit. Namun, malam ini berbeda. Ia sudah menunggu hampir dua puluh menit, tetapi kendaraan yang dinantikan tak kunjung datang.Gelisah mulai menyelimuti perasaannya. Jalanan di depan kantor memang masih cukup terang karena lampu-lampu jalan yang menyala, tetapi tetap saja, semakin malam, semakin sepi."Seharusnya tadi aku menerima tawaran Maya untuk pulang bareng," batinnya menyesal.Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari kejauhan. Naomi terlonjak kaget, matanya refleks menoleh ke arah sumber suara. Dari dalam mobil hi
Setelah seharian dirawat di rumah sakit, Alto akhirnya dijemput oleh sekretaris pribadinya, Rio. Alto memilih Rio bukan tanpa alasan. Ia sengaja memilih sekretaris pria karena merasa tidak nyaman jika terlalu dekat dengan wanita.Sebenarnya, Alto tidak yakin apakah ini normal atau tidak, tetapi yang jelas, setiap kali ia memiliki sekretaris wanita, selalu saja ada hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Beberapa dari mereka kerap mengenakan pakaian yang melebihi standar kantor, dengan rok terlalu pendek atau kancing kemeja yang sengaja dibiarkan terbuka.Ia tidak tahu apakah dirinya hanya terlalu berpikir berlebihan atau memang para wanita itu sengaja mencoba menarik perhatiannya. Namun, ia bukan tipe pria yang mudah terpengaruh. Oleh karena itu, untuk menghindari drama, ia kini lebih memilih sekretaris pria.Di dalam mobil, Rio menoleh sekilas ke arah Alto yang duduk di kursi belakang dengan wajah datar."Pak, Anda yakin nggak mau mampir ke kantor dulu?" tanya Rio. "Ada beberapa dok
Alto duduk di ruang kerjanya dengan tatapan dingin yang penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria berkemeja hitam duduk dengan sikap tenang, tangannya menggenggam sebuah map tebal yang berisi informasi tentang seseorang yang kini menarik perhatian Alto—Naomi Prameswari.“Jadi, ini semua tentang dia?” tanya Alto, suaranya datar.Detektif itu, seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan sorot mata tajam, mengangguk. “Benar, Tuan Verdatoro. Semua informasi yang bisa saya dapatkan dalam waktu singkat sudah ada di sini. Jika Anda ingin detail lebih lanjut, saya masih bisa menggali lebih dalam.”Alto mengambil map itu dan membukanya. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen, foto, serta laporan mengenai pekerjaan Naomi, kebiasaannya, dan lingkaran sosialnya.“Dia bekerja di sebuah perusahaan media digital sebagai content writer,” gumam Alto sambil membaca. “Dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di daerah Jakarta Selatan... sering menghabiskan waktu be
Di sebuah restoran mewah di pusat kota, suasana terasa begitu formal dan penuh ketegangan. Di salah satu sudut VIP, Alto Verdatoro duduk dengan elegan, mengenakan jas hitam yang selalu membuatnya terlihat berwibawa. Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit rasa ingin tahu di dalamnya.Di hadapannya, duduklah Fahri. Pria yang dulunya adalah tunangan Naomi, tetapi sekarang justru menjadi suami ibu tirinya.Fahri membuka percakapan lebih dulu."Sepertinya kau sudah cukup menyelidik tentang Naomi," ujarnya dengan nada datar, tetapi jelas mengandung sindiran.Alto tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya perlahan, lalu menatap lurus ke mata Fahri."Aku hanya ingin mengenal lebih jauh orang yang menarik perhatianku," balas Alto santai.Fahri tersenyum miring. "Apa yang kau inginkan dari Naomi?"Alto meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, suaranya tetap dingin namun tajam. "Itu urusan antara aku dan dia.""Aku tidak akan memb
Fahri memandangi cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. Setelah pertemuannya dengan Alto, pikirannya terus dipenuhi oleh Naomi."Aku memang masih mencintaimu, Naomi..." batinnya lirih.Bukan sekali dua kali ia ingin mendekatinya kembali, bukan untuk mengusik, melainkan untuk melindunginya. Namun, Naomi selalu menolaknya, bahkan menghindarinya.Dan yang paling membuatnya frustasi adalah kenyataan bahwa Naomi lebih memilih hidup sederhana, mengontrak rumah kecil, dibanding tinggal di rumah mewah peninggalan ayahnya. Bahkan, perusahaan milik ayahnya yang kini telah kembali padanya pun tidak ia kelola sendiri, melainkan ia percayakan pada pamannya.Fahri tahu, semua ini karena Zakia.Zakia, ibu tiri Naomi sekaligus istrinya saat ini, adalah sumber dari semua penderitaan Naomi.Dulu, saat Naomi kehilangan ayahnya, Zakia dengan liciknya mengambil alih semua harta dan perusahaan, meninggalkan Naomi dalam keadaan tak berdaya. Naomi bahkan hampir k
Naomi berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat, menyesali keputusannya keluar tanpa membawa payung. Langit mendung mulai menghitam, pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Ia baru saja selesai mengurus dokumen di kantor pamannya dan kini dalam perjalanan pulang ke apartemen Maya."Semoga sempat sampai sebelum hujan turun," gumamnya sambil menarik jaketnya lebih erat.Namun, keberuntungan sepertinya tidak berpihak padanya hari ini. Baru beberapa langkah dari halte, hujan mulai turun dengan derasnya. Naomi terpaksa berteduh di bawah kanopi sebuah kafe kecil di pinggir jalan.Ia menghela napas dan memutuskan untuk masuk ke dalam kafe agar tidak basah kuyup. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu ia membuka pintu. Suasana kafe yang hangat dan nyaman membuatnya sedikit lebih tenang.Naomi memilih duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan hujan yang membasahi jalanan kota. Ia memesan secangkir cokelat panas dan mulai sibuk dengan ponselnya, tidak m
Setelah semalaman menikmati kebersamaan yang begitu intim, pagi itu Naomi terbangun dengan senyum di wajahnya. Angin laut yang sejuk menerpa kulitnya, membawa aroma khas laut yang menyegarkan. Ia menoleh ke samping, mendapati Alto masih tertidur dengan ekspresi tenang. Pria itu terlihat lebih damai dibandingkan biasanya—tidak ada sorot dingin dan penuh tekanan yang sering ia tunjukkan saat berada di kantor.Naomi menyentuh pipi Alto dengan lembut, membuat pria itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Ia tersenyum kecil."Selamat pagi," ucap Alto dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi," balas Naomi dengan lembut. "Ayo kita jalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan bawah laut Pulau Amora."Alto meregangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk di ranjang. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Kedengarannya bagus. Tapi jangan menyelam terlalu dalam, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Naomi tertawa kecil. "Aku bisa berenang, Alto. Kau
Stelah menempuh perjalanan panjang selama lima jam, akhirnya Alto dan Naomi tiba di Pulau Amora, sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto yang telah dipersiapkan khusus untuk bulan madu mereka.Begitu mereka turun dari kapal, tiga orang pegawai sudah menanti di dermaga. Dua perempuan dan satu laki-laki, semuanya berpakaian seragam rapi dengan senyuman ramah di wajah mereka."Selamat datang, Tuan Alto dan Nyonya Naomi," ucap seorang wanita yang tampak lebih senior dari yang lain. "Nama saya Liana, dan ini Adinda serta Rudi. Kami akan memastikan semua kebutuhan Anda selama di sini terpenuhi."Naomi tersenyum sopan. "Terima kasih, senang bertemu dengan kalian."Alto hanya mengangguk kecil. "Pastikan semuanya sesuai dengan yang sudah saya instruksikan sebelumnya.""Tentu, Tuan," jawab Liana dengan penuh hormat.Mereka mengantar Alto dan Naomi ke dalam vila utama yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Naomi hampir tidak bisa menyembunyikan ke
Setelah hari pernikahan yang digelar dengan megah dan penuh kebahagiaan, pagi ini Naomi dan Alto bersiap untuk menikmati bulan madu mereka. Destinasi mereka adalah sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto, tempat yang indah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.Naomi yang duduk di dalam mobil menatap suaminya yang sedang fokus menyetir. Hari ini, Alto terlihat lebih santai dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Sementara itu, Naomi mengenakan dress berwarna biru muda yang memberi kesan lembut namun elegan."Apa kau yakin ingin menyetir sendiri? Kita bisa meminta sopir untuk mengantar kita sampai pelabuhan," ucap Naomi sambil melirik Alto.Alto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku ingin menikmati perjalanan ini hanya denganmu. Lagipula, aku sudah terbiasa menyetir sendiri."Naomi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Baiklah, tapi kalau lelah, kita bisa berhenti sebentar."Perjalanan berlangsung dengan t
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hari di mana Naomi dan Alto akan mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Acara ini tidak digelar dengan megah, hanya sebuah pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka. Naomi dan Alto memang sepakat untuk tidak membuat pesta besar-besaran.Hanya beberapa rekan kerja yang diundang, baik dari pihak Naomi maupun Alto. Orang tua Alto juga hanya mengundang teman kerja mereka, membuat suasana pernikahan terasa lebih intim dan penuh kehangatan.Di salah satu ruangan khusus, Naomi tengah bersiap dengan gaun pengantinnya. Sebuah gaun putih sederhana namun elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ditata dengan rapi, dihiasi aksesori kecil yang semakin mempermanis penampilannya.Saat Naomi memandang dirinya di cermin, jantungnya berdebar kencang. Ia masih sulit percaya bahwa hari ini akhirnya tiba—hari di mana ia menjadi istri Alto Verdatoro."Naomi, kau sudah siap?" suara lembut seorang MUA m
Siang itu, matahari bersinar terik, menyengat kulit siapa pun yang berjalan di bawahnya. Suasana kota masih sibuk, dengan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya.Naomi baru saja turun dari mobil setelah kembali dari kunjungannya ke MUA. Tangannya masih memegang ponsel, jari-jarinya secara refleks menggulir layar, melihat-lihat pesan yang masuk. Tatapannya sesaat kosong. Pikirannya masih sedikit kacau setelah kejadian semalam—jebakan Zakia yang hampir membuatnya berada dalam situasi sulit.SMS dari Zakia masih tersimpan di ponselnya. Kata-kata penuh provokasi yang seolah ingin mengaduk-aduk perasaannya terus berputar di benaknya.Namun, langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seseorang berdiri di depan apartemennya.Fahri.Jantung Naomi berdegup lebih cepat. Ia tidak pernah memberi tahu Fahri alamat apartemennya. Bagaimana pria itu bisa tahu?Sebelum Naomi sempat mengatakan sesuatu, langkah lain terden
Naomi masih terengah-engah setelah ciuman mereka berakhir. Tatapan Alto yang dalam seolah membakar kulitnya. Ia bisa merasakan tangan pria itu tetap bertahan di pinggangnya, jemarinya mencengkeram seakan enggan melepaskannya."Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu," gumam Alto, suaranya terdengar rendah dan berat.Naomi tidak menjawab. Ia hanya bisa menatap pria di hadapannya, merasakan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Namun, sebelum pikirannya bisa kembali jernih, Alto sudah kembali menundukkan kepalanya.Bibirnya kembali menyapu bibir Naomi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Naomi tak sempat berpikir lagi, tubuhnya sudah mengikuti ritme yang Alto berikan. Ia membalasnya dengan penuh perasaan, kedua tangannya naik ke dada pria itu, mencengkeram kerah kemejanya seolah takut kehilangan pegangan.Alto menarik Naomi lebih dekat, hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Tubuhnya terasa begitu panas, setiap sentuhan pria itu membuatnya hampir kehilangan kendali
Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Hanya suara mesin yang terdengar, sementara Naomi terus memandangi Alto tanpa sadar. Pria itu memang dingin, tapi malam ini, Naomi melihat sisi lain darinya—sisi yang peduli dan melindungi.Jika bukan karena Alto, mungkin ia sudah terjebak dalam rencana licik Zakia. Naomi masih tidak habis pikir bagaimana sahabatnya sendiri tega melakukan hal itu padanya. Tapi satu hal yang lebih mengejutkan adalah bagaimana Alto menangani semuanya dengan kepala dingin. Ia tidak menyakiti Zakia, padahal ia punya kesempatan. Bahkan, Alto memastikan wanita itu dibawa kepada Fahri agar tetap dalam pengawasan.“Kau mau terus menatapku seperti itu, atau mau bilang sesuatu?” suara Alto tiba-tiba memecah kesunyian.Naomi tersentak dan langsung membuang muka ke luar jendela. “Aku cuma… masih syok.”Alto meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Itu wajar. Tapi kau aman sekarang.”Naomi mengangguk kecil. Perjalanan menuju apartemen dilanjutkan tanpa banyak bicara.
Malam itu, Naomi sudah bersiap tidur ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.Fahri:"Naomi, aku ingin bertemu denganmu sebentar. Ada Subhan juga. Dia ingin bertemu denganmu. Aku kirim lokasinya."Naomi membaca pesan itu sekilas. Bukan hal aneh jika Fahri mengiriminya pesan.Sejak lama, Fahri sering menghubunginya, entah sekadar menanyakan kabar atau mengajak bertemu. Namun, Naomi selalu mengabaikan pesan-pesan itu, tidak ingin lagi terlibat dalam urusan pria yang telah memilih menikahi Zakia.Namun, kali ini berbeda.Subhan.Hanya dengan membaca nama itu, hatinya langsung tergerak. Ia sangat merindukan bocah itu. Naomi tahu bahwa Subhan bukan adik kandungnya, tetapi mereka sangat dekat sejak kecil.Tanpa banyak berpikir, ia membalas singkat.Naomi:"Baik, aku akan ke sana."Tak ingin membuang waktu, ia segera mengenakan jaketnya dan melangkah keluar apartemen tanpa suara.Yang tidak disadariny
Naomi masih merasakan debaran di dadanya. Apa yang Alto lakukan semalam membuatnya gelisah, bukan karena ia tidak menyukainya, tetapi karena ia tahu dirinya selalu kehilangan kendali setiap kali Alto menyentuhnya. Itu yang membuatnya takut—takut akan dirinya sendiri.Malam itu, Naomi memastikan dirinya tidur lebih awal dan mengunci pintu kamar rapat-rapat. Ia ingin menenangkan pikirannya sebelum kembali beraktivitas esok hari. Namun, satu hal yang ia lupakan—ini adalah apartemen milik Alto, dan pria itu memiliki semua duplikat kunci ruangan.Pagi yang MengejutkanKetika sinar matahari mulai masuk melalui celah tirai, Naomi perlahan membuka matanya. Ia merasakan sesuatu yang hangat dan berat di pinggangnya. Jantungnya seketika berdegup kencang saat menyadari bahwa Alto sedang memeluknya dari belakang.Matanya membelalak. Kapan Alto masuk ke kamarnya? Kenapa dia ada di sini?Naomi menahan napas, berusaha tidak membuat gerakan yang dapat membangunkan pria itu. Dengan hati-hati, ia mencob