Parni menikmati waktu sore yang sejuk sambil bermain dengan ketiga keponakan kembarnya. Wajahnya tersipu malu, dadanya sedari pagi turut berdebar. Nanti malam, keluarga besar Iqbal akan melamarnya. Tidak pernah disangka-sangka, akhirnya sebentar lagi ia akan menikah dengan Iqbal. Tidak apa jika duda, asal baik dan bertanggung jawab, juga mencintainya. Parni yang awalnya ragu, menjadi yakin setelah Iqbal membawa Parni berkunjung ke rumah keluarga besar Iqbal. Mengenalkannya sebagai calon istri.
Betapa bahagianya Parni saat itu, bahkan hingga hari ini rasanya udara dalam dadanya berlomba ingin keluar, menikmati kelegaan menanti jodoh yang akhirnya datang jua. Kegagalan pernikahan Parni yang pertama, sempat juga membuatnya ragu menerima Iqbal. Namun duda itu dengan segala cara membuat hatinya luluh.
"Teh, sana mandi! Habis magrib lho acaranya," ujar Parmi pada kakak perempuannya.
"Iya, sebentar," sahutnya sambil mengulum senyum dengan menunduk.
"Teh, ngapain senyum sama ubin? Ini lho ada orang di depan Teteh." Parmi bersungut, ikut duduk di tikar yang dibentang di depan teras.
"Teteh deg-degan, Mi." Parni meraba tengkuknya yang tiba-tiba merinding.
"Deg-degan mau dibelah duren, ya? Semoga Mas Iqbal tidak kecewa melihat yang ada di balik sempak anda."
"Aaaaaauuu..." Parmi meringis saat rambutnya ditarik gemas oleh Parni.
"Sembarangan!" tegur Parni sambil cemberut. Ia meninggalkan Parmi yang masih saja berteriak porno padanya.
"Jangan lupa dicukur hutan bambunya, Teh. Tajem soalnya. Hahahahahhaha..." Parmi terus saja menggoda Parni, membuat Parni memerah wajahnya. Parni menutup telinga agar tidak mendengar ocehan mesum adiknya. Dengan membanting pintu kamar mandi, Parni akhirnya melalukan ritual mandi.
Adzan magrib berkumandang. Mereka semua melakukan sholat magrib berjamaah, dipimpin oleh Anton. Suara petir tiba-tiba menggema di langit malam. Membuat penduduk bumi kaget akan suaranya yang memekakkan telinga. Setelah selesai sholat magrib, Parni masuk ke dalam kamarnya untuk berhias sedikit. Tidak mungkin ia tampil kucel di depan calon mertuanya'kan?
"Mi, Teteh pinjam lipstik, bedak dan parfum, dong." Parni menghampiri Parmi di kamarnya, saat akan meniduri si kembar tiga.
"Tuh, pake aja, Teh." Parmi menunjuk meja riasnya menggunakan dagu.
"Kenapa emangnya lipstik Teteh?"
"Malu atuh pake yang sepuluh ribuan, takut tiba-tiba bibir teteh kremes. Hihihihi..." Parni terkikik geli, ia melangkahkan kaki keluar dari kamar adiknya.
Malam ini, ia akan di lamar oleh Iqbal Haris, seorang duda tanpa anak yang berusia tiga puluh enam tahun. Iqbal adalah sepupu dari adik iparnya, Anton Yasin. Ia tidak menyangka, dengan kegigihan dan ketulusan Iqbal, yang akhirnya dapat menyembuhkan luka hatinya beberapa tahun lalu, akibat ditinggal saat hari pernikahan.
Suara pintu pagar terbuka, tanda tamu yang dinanti sudah tiba. Hati Parni semakin berdebar, tanpa menggunakan blush on, wajahnya sudah merona merah. Hujan di luar sana ternyata tidak menyurutkan langkah Iqbal dan keluarganya untuk melamar Parni.
"Ni, Iqbal dan keluarganya sudah datang," panggil Bu Parti sambil membuka pintu kamar anaknya.
"Aduh, Bu. Parni kok mules ini?" karena salah tingkah dan nervous, menyebabkan saraf perutnya bereaksi. Bahkan kipas angin yang berputar kencang tak mampu mengusir rasa gerah pada tubuhnya yang mulai berkeringat.
"Ya sudah ke WC dulu sana! Awas, jangan lupa cebok!"
Bu Parti terbahak, sedangkan Parni hanya bisa cemberut, mengerucutkan bibirnya. Sejak tinggal bersama Parmi, ibunya menjadi senang sekali mengoceh tidak jelas.
Iqbal duduk diapit oleh kedua orangtuanya, adiknya dan juga paman dan bibinya. Mereka membawakan aneka buah tangan untuk keluarga Parni. Mulai dari aneka kue bolu, parcel buah, puding coklat, dan aneka kue basah. Walaupun sudah pernah melakukan lamaran pada pernikahan sebelumnya, tetap saja Iqbal merasa deg-degan. Tentu saja hatinya senang, karena ia telah menemukan wanita yang baik untuk pendamping hidupnya, gadis pula. Untuk itulah Iqbal memperlakukan Parni sangat spesial. Ah, betapa beruntungnya Parni saat ini.
Parni keluar dari kamarnya menuju ruang tamu sambil menunduk malu, tidak berani ditatapnya Iqbal dan keluarganya. Parni yang sudah berdandan mati-matian malam ini tentu saja membuat Iqbal dan keluarganya kaget. Bahkan Iqbal mengerjapkan kedua matanya untuk meyakinkan bahwa wanita yang saat ini berjalan ke arahnya adalah Parni. Dengan baju terusan sampai bawah lutut, rambut yang digerai indah dan sapuan make up mahal adiknya, Parmi. Membuat wajahnya seakan dimake over.
"Wah, saya pangling, Ni. Kirain artis, cantik banget calon mantu Mamah," puji Bu Reni, mama dari Iqbal. Parni semakin tersapu ijuk. Eh, tersipu malu. Dengan takzim, Parni mencium punggung tangan kedua calon mertuanya, Pak Haris Nugraha dan Ibu Reni Hartati, dilanjutkan mencium punggung tangan anggota keluarga yang lain. Termasuk Iqbal. Bahkan Iqbal menahan sebentar jabat tangan Parni, sedikit menggoda calon istrinya itu, dengan menggelitik telapak tangan Parni.
"Lha, sabar Mas Iqbal, masih tiga minggu lagi. Tahan ya," celetuk Parmi yang membuat semua yang hadir di sana tertawa.
Parni benar-benar malu, karena Iqbal menatapnya begitu intens, seperti hendak menerkamnya saat ini juga. Parni memilih duduk di antara ibunya dan juga Parmi. Di samping Parmi sudah ada Anton suaminya yang menjadi wakil dari keluarga Parni.
"Jadi begini, Bu. Saya dan keluarga datang kemari ingin melamar anak ibu yang bernama Parni untuk Iqbal anak kami. Yah, walaupun anak kami statusnya seken, tapi udah diinstal ulang kok, Bu. Hahahahaha," ucap Pak Haris sambil terbahak. Yang lain pun ikut terbahak, kecuali Iqbal yang cemberut mendengar ucapan papanya. Dengan tersipu malu, Parni melirik Iqbal. Begitu pun juga dengan Iqbal, yang kini mengerlingkan sebelah matanya pada Parmi.
"Jadi..." Pak Haris hendak melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong tadi.
"Saya terima," sela Parni cepat.
"Hahahahahha..., Semangat sekali calon menantuku. Sudah tidak sabar, ya?" ledek Bu Reni sambil menyeringai.
Bu Reni memakaikan cincin ke jari manis Parni. Cincin yang dipilih Parni dan Iqbal saat mereka sedang berjalan-jalan di sebuah mall. Cincin tanda pengikat Parni, bukan cincin pernikahan. Karena untuk mahar pernikahannya, Iqbal sudah menyiapkan seperangkat perhiasan lainnya.
Semua yang ada di sana mengucapkan hamdalah, setelah adegan memasangkan cincin selesai. Ditutup dengan doa dari Anton.
Waktunya telah ditentukan, tiga minggu dari sekarang, acara pernikahan Iqbal dan Parni akan dilaksanakan di Sasono Adi Mulyo di area Taman Mini. Parni bahagia, begitu baik calon mertua dan calon suaminya memperlakukannya, padahal ia hanya gadis kampung.
Setelah menjamu keluarga Iqbal dengan berbagai aneka masakan yang menggugah selera. Iqbal dan keluarganya pun pamit pulang. Besok Iqbal akan mengajak Parni untuk mengunjungi EO yang akan membantu mereka menggelar acara pernikahan agar lancar dan meriah.
****
Pllakk!Sebuah tamparan melayang ke arah pipi tunangan Ali, Karina. Bagaimana bisa wanita tunangannya itu berciuman mesra di dalam restoran? Yang kebetulan Ali pun berada di sana. Dada Ali terbakar, jika tidak dilerai oleh karyawan restoran, tentu saja Karina dan teman lelakinya itu babak belur.
"Dasar wanita murahan! Gue kira lu berbeda dari yang lain, ternyata sama busuknya. Cih, dasar wanita ular!" hardik Ali sangat marah dengan wanita di depannya ini.
"Pertunangan kita batal!" Ali menggebrak kursi restoran hingga teronggok mengenaskan di lantai.
****
Hallo semua, ketemu lagi dengan cerita baru saya. Semoga suka dan mampu menghibur kalian semua. Jangan lupa, masukkan ke dalam perpustakaan kalian ya.Parni sudah berdandan rapi, memakai baju kaus couple yang dibelikan oleh Iqbal. Lengkap dengan rok plisket yang panjangnya hingga betis, serta rambut yang diikat tinggi menyerupai ekor kuda. Tak lupa tas selempang rajut hasil buatannya. Tautan antara jari telunjuk dan juga jempol, memutar-mutar cincin lamaran yang semalam ia dapat dari calon mertuanya. Sedikit longgar tak apa, nanti jika sudah menikah, pasti jemarinya ikut melebar, seperti Parmi, adiknya saat ini.Parni memilih duduk di teras sambil menunggu Iqbal yang akan menjemputnya siang ini. Mereka akan pergi menemui Event Orginazer yang akan membantu terlaksananya acara pernikahan mereka. Sebenarnya Parni tidak terlalu paham, ia lebih suka jika acara berlangsung sederhana. Namun apalah daya, jika Iqbal dan keluarganya yang ingin memberikan pesta meriah untuk Parni.Senyumnya tak kunjung surut dari semalam, terharu dan juga bahagia bercampur jadi satu. Makannya lebi
21+Brondong kesepian, duda galau, duda pending, perawan ting-ting, setengah perawan, hampir tidak perawan. Dilarang keras baca part ini! Karena dapat menyebabkan minta dikawinin.🤣🤣🤣****Seorang lelaki dewasa tengah duduk gelisah di kursinya, sudah dua puluh menit sejak dia kembali dari kamar mandi, pacarnya tidak ada. Iqbal mencoba untuk tidak berpikiran jelek. Dengan sabar ia menunggu sang kekasih yang tidak kunjung keluar dari lorong toilet. Tas selempang rajut milik pacarnya pun tergelatak manis di atas meja. Tentu saja itu yang membuat Iqbal berpikiran kalau Parni sedang berada di toilet.Iqbal menarik nafas gusar, matanya sejurus ke arah lorong toilet, namun tak ada tanda-tanda juga. Akhirnya Iqbal memutuskan untuk menyusul Parni di toilet wanita. Ada petugas wanita muda di sana yang sedang membersihkan kaca."Mba, Permisi," sapa dengan
Awan gelap memayungi bumi, kelam dan dingin merasuk pori-pori kulit. Hujan besar sepertinya sebentar lagi akan turun, melihat awan yang tadinya putih, kini berganti warna. Tangan lelaki dewasa itu gemetar, bahkan dadanya tidak berhenti berdetak dengan sangat cepat saat mendengar kabar calon istrinya pulang ke rumah dalam keadaan tidak baik.Hatinya resah, ia merasa begitu bersalah pada Parni. Ia akan bertanggung jawab apapun itu, Iqbal akan berusaha berlapang dada. Jika ini adalah bagian dari ujian cintanya pada Parni.Iqbal membuka pintu pagar rumah Anton, sepupunya. Kemudian masuk dan memarkirkan motornya di samping mobil Anton. Dengan tergesa ia turun dari motor. "Assalamua'alaykum," ucapnya di depan pintu rumah Anton."Wa'alaykumussalam," jawab Bik Jum, pembantu rumah keluarga Anton. Lalu membukakan pintu untuk Iqbal."Masuk, Den, sudah ditunggu!" Bik Jum mempersilakan Anton untuk langsung menuku
Parni hanya bisa memandang sendu punggung Iqbal yang berjalan keluar dari kamarnya. "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya sangat pelan, sehingga hanya helaan nafas dan air mata yang dapat mendengar gumamnya. Setelah pintu itu tertutup, Parni turun dari ranjang sambil tertatih, kembali mengunci pintu kamar sebelum adik dan ibunya masuk ke kamar lalu mengintrogasinya. Wajahnya tampak meringis saat merasai perih dan kebas pada kewanitaannya saat ia berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di dalam kamarnya.Bu Parti yang sedang melatih Andrea berjalan di teras, menoleh pada Iqbal yang wajahnya murung, matanya memerah seperti baru saja menangis, "nak Iqbal, ada apa?" tanya Bu Parti mendekat pada Iqbal."Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana?""Bagaimana apanya, Bal?""Saya pulang dulu, Bu. Besok saya kembali lagi." Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, membuat B
Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.Tuk!Tuk!"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni."Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkanhandle
Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh."Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran."Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya."Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal."Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"