Beranda / Romansa / Batal Akad / 1. Hari Pertunangan

Share

Batal Akad
Batal Akad
Penulis: Diganti Mawaddah

1. Hari Pertunangan

Parni menikmati waktu sore yang sejuk sambil bermain dengan ketiga keponakan kembarnya. Wajahnya tersipu malu, dadanya sedari pagi turut berdebar. Nanti malam, keluarga besar Iqbal akan melamarnya. Tidak pernah disangka-sangka, akhirnya sebentar lagi ia akan menikah dengan Iqbal. Tidak apa jika duda, asal baik dan bertanggung jawab, juga mencintainya. Parni yang awalnya ragu, menjadi yakin setelah Iqbal membawa Parni berkunjung ke rumah keluarga besar Iqbal. Mengenalkannya sebagai calon istri.

Betapa bahagianya Parni saat itu, bahkan hingga hari ini rasanya udara dalam dadanya berlomba ingin keluar, menikmati kelegaan menanti jodoh yang akhirnya datang jua. Kegagalan pernikahan Parni yang pertama, sempat juga membuatnya ragu menerima Iqbal. Namun duda itu dengan segala cara membuat hatinya luluh.

"Teh, sana mandi! Habis magrib lho acaranya," ujar Parmi pada kakak perempuannya.

"Iya, sebentar," sahutnya sambil mengulum senyum dengan menunduk.

"Teh, ngapain senyum sama ubin? Ini lho ada orang di depan Teteh." Parmi bersungut, ikut duduk di tikar yang dibentang di depan teras.

"Teteh deg-degan, Mi." Parni meraba tengkuknya yang tiba-tiba merinding.

"Deg-degan mau dibelah duren, ya? Semoga Mas Iqbal tidak kecewa melihat yang ada di balik sempak anda."

"Aaaaaauuu..." Parmi meringis saat rambutnya ditarik gemas oleh Parni.

"Sembarangan!" tegur Parni sambil cemberut. Ia meninggalkan Parmi yang masih saja berteriak porno padanya.

"Jangan lupa dicukur hutan bambunya, Teh. Tajem soalnya. Hahahahahhaha..." Parmi terus saja menggoda Parni, membuat Parni memerah wajahnya. Parni menutup telinga agar tidak mendengar ocehan mesum adiknya. Dengan membanting pintu kamar mandi, Parni akhirnya melalukan ritual mandi.

Adzan magrib berkumandang. Mereka semua melakukan sholat magrib berjamaah, dipimpin oleh Anton. Suara petir tiba-tiba menggema di langit malam. Membuat penduduk bumi kaget akan suaranya yang memekakkan telinga. Setelah selesai sholat magrib, Parni masuk ke dalam kamarnya untuk berhias sedikit. Tidak mungkin ia tampil kucel di depan calon mertuanya'kan?

"Mi, Teteh pinjam lipstik, bedak dan parfum, dong." Parni menghampiri Parmi di kamarnya, saat akan meniduri si kembar tiga.

"Tuh, pake aja, Teh." Parmi menunjuk meja riasnya menggunakan dagu.

"Kenapa emangnya lipstik Teteh?"

"Malu atuh pake yang sepuluh ribuan, takut tiba-tiba bibir teteh kremes. Hihihihi..." Parni terkikik geli, ia melangkahkan kaki keluar dari kamar adiknya.

Malam ini, ia akan di lamar oleh Iqbal Haris, seorang duda tanpa anak yang berusia tiga puluh enam tahun. Iqbal adalah sepupu dari adik iparnya, Anton Yasin. Ia tidak menyangka, dengan kegigihan dan ketulusan Iqbal, yang akhirnya dapat menyembuhkan luka hatinya beberapa tahun lalu, akibat ditinggal saat hari pernikahan.

Suara pintu pagar terbuka, tanda tamu yang dinanti sudah tiba. Hati Parni semakin berdebar, tanpa menggunakan blush on, wajahnya sudah merona merah. Hujan di luar sana ternyata tidak menyurutkan langkah Iqbal dan keluarganya untuk melamar Parni.

"Ni, Iqbal dan keluarganya sudah datang," panggil Bu Parti sambil membuka pintu kamar anaknya.

"Aduh, Bu. Parni kok mules ini?" karena salah tingkah dan nervous, menyebabkan saraf perutnya bereaksi. Bahkan kipas angin yang berputar kencang tak mampu mengusir rasa gerah pada tubuhnya yang mulai berkeringat.

"Ya sudah ke WC dulu sana! Awas, jangan lupa cebok!"

Bu Parti terbahak, sedangkan Parni hanya bisa cemberut, mengerucutkan bibirnya. Sejak tinggal bersama Parmi, ibunya menjadi senang sekali mengoceh tidak jelas.

Iqbal duduk diapit oleh kedua orangtuanya, adiknya dan juga paman dan bibinya. Mereka membawakan aneka buah tangan untuk keluarga Parni. Mulai dari aneka kue bolu, parcel buah, puding coklat, dan aneka kue basah. Walaupun sudah pernah melakukan lamaran pada pernikahan sebelumnya, tetap saja Iqbal merasa deg-degan. Tentu saja hatinya senang, karena ia telah menemukan wanita yang baik untuk pendamping hidupnya, gadis pula. Untuk itulah Iqbal memperlakukan Parni sangat spesial. Ah, betapa beruntungnya Parni saat ini.

Parni keluar dari kamarnya menuju ruang tamu sambil menunduk malu, tidak berani ditatapnya Iqbal dan keluarganya. Parni yang sudah berdandan mati-matian malam ini tentu saja membuat Iqbal dan keluarganya kaget. Bahkan Iqbal mengerjapkan kedua matanya untuk meyakinkan bahwa wanita yang saat ini berjalan ke arahnya adalah Parni. Dengan baju terusan sampai bawah lutut, rambut yang digerai indah dan sapuan make up mahal adiknya, Parmi. Membuat wajahnya seakan dimake over.

"Wah, saya pangling, Ni. Kirain artis, cantik banget calon mantu Mamah," puji Bu Reni, mama dari Iqbal. Parni semakin tersapu ijuk. Eh, tersipu malu. Dengan takzim, Parni mencium punggung tangan kedua calon mertuanya, Pak Haris Nugraha dan Ibu Reni Hartati, dilanjutkan mencium punggung tangan anggota keluarga yang lain. Termasuk Iqbal. Bahkan Iqbal menahan sebentar jabat tangan Parni, sedikit menggoda calon istrinya itu, dengan menggelitik telapak tangan Parni.

"Lha, sabar Mas Iqbal, masih tiga minggu lagi. Tahan ya," celetuk Parmi yang membuat semua yang hadir di sana tertawa.

Parni benar-benar malu, karena Iqbal menatapnya begitu intens, seperti hendak menerkamnya saat ini juga. Parni memilih duduk di antara ibunya dan juga Parmi. Di samping Parmi sudah ada Anton suaminya yang menjadi wakil dari keluarga Parni.

"Jadi begini, Bu. Saya dan keluarga datang kemari ingin melamar anak ibu yang bernama Parni untuk Iqbal anak kami. Yah, walaupun anak kami statusnya seken, tapi udah diinstal ulang kok,  Bu. Hahahahaha," ucap Pak Haris sambil terbahak. Yang lain pun ikut terbahak, kecuali Iqbal yang cemberut mendengar ucapan papanya. Dengan tersipu malu, Parni melirik Iqbal. Begitu pun juga dengan Iqbal, yang kini mengerlingkan sebelah matanya pada Parmi.

"Jadi..." Pak Haris hendak melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong tadi.

"Saya terima," sela Parni cepat.

"Hahahahahha..., Semangat sekali calon menantuku. Sudah tidak sabar, ya?" ledek Bu Reni sambil menyeringai.

Bu Reni memakaikan cincin ke jari manis Parni. Cincin yang dipilih Parni dan Iqbal saat mereka sedang berjalan-jalan di sebuah mall. Cincin tanda pengikat Parni, bukan cincin pernikahan. Karena untuk mahar pernikahannya, Iqbal sudah menyiapkan seperangkat perhiasan lainnya.

Semua yang ada di sana mengucapkan hamdalah, setelah adegan memasangkan cincin selesai. Ditutup dengan doa dari Anton.

Waktunya telah ditentukan, tiga minggu dari sekarang, acara pernikahan Iqbal dan Parni akan dilaksanakan di Sasono Adi Mulyo di area Taman Mini. Parni bahagia, begitu baik calon mertua dan calon suaminya memperlakukannya, padahal ia hanya gadis kampung.

Setelah menjamu keluarga Iqbal dengan berbagai aneka masakan yang menggugah selera. Iqbal dan keluarganya pun pamit pulang. Besok Iqbal akan mengajak Parni untuk mengunjungi EO yang akan membantu mereka menggelar acara pernikahan agar lancar dan meriah.

****

Pllakk!

Sebuah tamparan melayang ke arah pipi tunangan Ali, Karina. Bagaimana bisa wanita tunangannya itu berciuman mesra di dalam restoran? Yang kebetulan Ali pun berada di sana. Dada Ali terbakar, jika tidak dilerai oleh karyawan restoran, tentu saja Karina dan teman lelakinya itu babak belur.

"Dasar wanita murahan! Gue kira lu berbeda dari yang lain, ternyata sama busuknya. Cih, dasar wanita ular!" hardik Ali sangat marah dengan wanita di depannya ini.

"Pertunangan kita batal!" Ali menggebrak kursi restoran hingga teronggok mengenaskan di lantai.

****

Hallo semua, ketemu lagi dengan cerita baru saya. Semoga suka dan mampu menghibur kalian semua. Jangan lupa, masukkan ke dalam perpustakaan kalian ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status