Parni hanya bisa memandang sendu punggung Iqbal yang berjalan keluar dari kamarnya. "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya sangat pelan, sehingga hanya helaan nafas dan air mata yang dapat mendengar gumamnya. Setelah pintu itu tertutup, Parni turun dari ranjang sambil tertatih, kembali mengunci pintu kamar sebelum adik dan ibunya masuk ke kamar lalu mengintrogasinya. Wajahnya tampak meringis saat merasai perih dan kebas pada kewanitaannya saat ia berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di dalam kamarnya.
Bu Parti yang sedang melatih Andrea berjalan di teras, menoleh pada Iqbal yang wajahnya murung, matanya memerah seperti baru saja menangis, "nak Iqbal, ada apa?" tanya Bu Parti mendekat pada Iqbal.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana?"
"Bagaimana apanya, Bal?"
"Saya pulang dulu, Bu. Besok saya kembali lagi." Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, membuat Bu Parti semakin kebingungan. Mulutnya setengah terbuka, bermaksud meminta penjelasan dari Iqbal, namun calon menantunya itu sudah naik ke atas motor lalu pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Cepat Bu Parti masuk kembali ke dalam rumah sambil menggendong Andrea. Menitipkan Andrea pada bibik yang sedang merapikan lemari dapur, "Bik, titip Andrea sebentar ya," ujarnya pada pembantunya.
"Iya, Bu," sahut Bibik, lalu mengambil Andrea dari dalam gendongan Bu Parti.
Bu Parti kemudian kembali berjalan ke kamar Parni, mengetuk pintu kamar itu berkali-kali, namun tetap tidak ada sahutan.
"Ada apa, Bu?" Parmi, adiknya Parni menghampiri ibunya.
"Iqbal sudah bicara dengan tetehmu, tapi sekarang sudah pulang. Tidak bilang apa-apa, cuma wajahnya terlihat sedih dan murung," terang Bu Parti pada Parmi.
Mereka berdua kembali menggedor pintu kamar Parni, bahkan hingga lelah. Namun, tetap tidak ada suara apapun di sana.
"Teteh buka pintunya! Kalau tidak, saya dobrak ya, Teh!" gertak Parmi tidak sabaran, ia hanya khawatir kalau tetehnya kenapa-napa di dalam sana.
"Ya jangan didobrak, Mi. Nanti rusak," sela Bu Parti.
"Ya dibenerin kalau rusak, Bu. Masa dibiarin ga ada pintu." Parmi menyeringai.
"Ni, buka pintunya!" ujar Bu Parti lagi.
Kleeekk
Pintu terbuka, Parni tidak berani melihat wajah ibu dan juga adiknya. Ia lebih memilih menunduk, rambutnya basah, wajahnya pun terlihat sembab.
"Ya Allah, Parni. Kamu kenapa, Nak?" Bu Parti memegang kedua lengan Parni. Namun hanya isakan yang terdengar dari mulut anaknya.
"Teteh ada apa? Kalau teteh tidak cerita, bagaimana kami tahu apa yang terjadi sama teteh, teh...!"
"Saya putus, Bu," lirih Parni.
"Lulus apaan?" potong Parmi dengan wajah polosnya.
Bu Parti melotot ke arah Parmi, bisa-bisanya kuping Parmi tidak bisa dikondisikan dalam keadaan seperti ini.
"Bukan lulus, Mi. Tapi putus!" terang Bu Parti dengan sedikit mendelik pada Parmi.
"Putus? Tali beha? Sini Parmi yang sambungin lagi," ujar Parmi pada tetehnya.
"Udah sana deh, kamu masuk sana! Lama-lama ada kamu di sini, bisa bikin ibu bunuh diri ," usir Bu Parti sambil mendorong tubuh Parmi menjauh. Bu Parti membawa Parni masuk kembali ke kamar lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Ayo, sini!" Bu Parti mengajak Parni duduk kembali di atas ranjang. Menatap sedih wajah anak perempuannya.
"Sekarang ceritakan pada ibu, ada apa!"
Parni menggeleng, "saya putus, Bu," lirihnya.
"Iya tapi kenapa? Dua minggu lagi kamu menikah, Ni. Ga bisa tahu-tahu putus begini. Emang salah Iqbal apa?" cecar Bu Parti tidak terima dengan pernyataan anaknya.
"Salah Parni, Bu. Sa-salah Parni, hiks...!" Parni kembali tersedu.
"Mungkin su-sudah takdir Parni, ti-tidak boleh menikah dengan siapapun,"
"Ada apa sebenarnya ini Parni? kamu jangan bikin ibu takut."
Parni yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat wajahnya, wajah ibunya berbayang di pelupuk matanya, karena terlalu banyak air mata yang menggenang. Parni memajukan tubuhnya, lalu memeluk erat ibunya. "Hiks, salah Parni apa sebenarnya, Bu? Parni hanya ingin seperti wanita yang lain, punya suami dan anak-anak. Apakah tidak pantas? Salah Parni apa?!" rahangnya menegang.
Bu Parti ikut menangis sesegukan sambil memeluk erat tubuh Parni. Telapak tangannya yang kasar, mengusap pelan punggung Parni, "siapa bilang kamu tidak pantas? Dua minggu lagi kamu akan menikah. Sebentar lagi kamu akan jadi istri dari Iqbal, Ni."
"Maaf, Bu. Saya tidak bisa, k-karena...hiks...hiks...!" tangis Parni semakin kencang.
"Sudah-sudah, kamu tenang dulu. Tenang ya! Ibu ambilkan nasi ya, kamu harus makan. Ini sudah mau ashar." Bu Parti merenggangkan pelukanya pada Parni, mengusap kepala anaknya, lalu berjalan keluar hendak mengambilkan makanan untuk Parni. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada puterinya, namun di dasar hatinya menebak, kejadian buruk baru saja menimpan anaknya. Dan ia tidak berani membayangkannya. Dengan langkah gemetar, Bu Parti menuju dapur, mengambilkan sepiring nasi serta lauk untuk Parni.
****
Sementara itu di apartemen, Bu Miranti ditemani oleh Ali sedang meminta izin kepada petugas apartemen untuk mengecek CCTV. Bu Miranti memaksa mencari tahu siapa wanita yang telah dinodai oleh anaknya. Kini mereka sudah di dalam ruangan, berisi tiga layar besar yang bisa memantau kejadian di sekitaran apartemen."Ini, Bu. Kejadian semalam. Ini anak ibu'kan?" tunjuk sang petugas pada layar monitor besar tersebut, sambil menoleh ke arah Ali.
Bu Miranti dan Ali memandang dengan seksama. Mulai dari masuk ke lobi apartemen, belum jelas melihat wajahnya, tampak dari layar, Ali tanpa sengaja menarik ikatan rambut wanita tersebut. Hingga wajahnya semakin tidak kelihatan karena tertutup rambut panjangnya yang tergerai.
"Siapa wanita itu, Li? Seperti tidak asing, tapi siapa?" tanya Bu Miranti pada Ali, keningnya berkerut, nampak berusaha mengingat wajah wanita di layar sana, yang tidak begitu jelas. Padahal gambarnya sudah diperbesar.
"Siapa ya, Ma? Ali tidak kenal, Ma. Tidak jelas wajahnya. Apa dia salah satu penghuni apartemen di sini, Pak?" tanya Ali pada petugas CCTV.
"Sepertinya tidak, Mas. Itu lihat, ia berjalan payah keluar dari kamar Mas tadi pagi," tunjuk petugas itu sambil mencibir.
"Apa dia teman kamu, Li?" tanya Bu Miranti lagi sambil memijat pelipisnya keras.
"Semoga wanita ini tidak berjalan ke kantor polisi ya, Mas," sindirnya tegas sambil menatap Bu Miranti dan Ali bergantian.
"Aduh, Pak. Jangan nakutin saya. Justru ini saya mau cari tahu wanita itu siapa, biar dinikahi sama anak saya. Kami mau bertanggung jawab," terang Bu Miranti pada petugas pengendali CCTV.
"Mmm...baiklah, jadi ibu sudah mengenali siapa wanita itu?" tanya petugas itu kembali.
Bu Miranti menggeleng, begitu pun juga Ali. Sedangkan petugas itu hanya bisa tersenyum getir, "jika sudah selesai, saya rasa harus melanjutkan lagi pekerjaan saya." Petugas itu menunjuk arah pintu keluar.
****
Hari berjalan begitu lambat bagi Parni, sudah pukul dua belas dini hari, Parni tidak juga bisa memejamkan kedua matanya. Sedari tadi ia hanya bisa menggosok dengan kasar leher, tangan, bibir, dan semua anggota tubuhnya yang telah dicicipi oleh mulut Ali. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, air matalah yang masih menemaninya meratapi nasib."Seandainya aku tidak perlu menolong pemuda laknat itu!" sesalnya pada diri sendiri, begitu penuh kemarahan. Namun semua telah terjadi, ia hanya berharap Iqbal tidak menceritakan apapun pada ibunya. Jika sampai ibunya tahu, ia tidak yakin ibunya akan selamat. Jantung ibunya pasti akan kembali sakit.
"Ya Allah jangan sampai aku hamil," doanya lirih sambil menunduk meratapi perutnya, baru dua hari lalu ia selesai haid. Dan itu membuat Parni semakin takut dan gelisah.
Sedangkan di apartemennya, Ali pun juga tidak bisa memejamkan mata. Berulang kali ia memutar video CCTV wanita yang memapahnya masuk ke dalam apartemen. Namun tetap ia tidak mengenalinya. Kini ia memiringkan tubuhnya, menatap bagian kosong ranjangnya yang semalam ditiduri oleh wanita yang telah ia renggut mahkotanya. Ia tidak ingat sampai berapa kali, yang jelas ia begitu lepas dan...,"shit!" makinya pada pada kejantanannya yang beraksi saat ia memikirkan kejadian kemarin.
Ali meremas rambutnya kasar. Minggu depan ia harus berangkat ke Jerman, sedangkan di sini ia baru saja membuat masalah, "semua ini karena Karina sialan! Aarrrgghh...!" erangnya keras melemparkan bantal ke lantai.
****
Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.Tuk!Tuk!"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni."Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkanhandle
Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh."Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran."Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya."Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal."Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany
Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi."Ada apa, sayang?" tanya Anton"Pa, ini tadi Teh Parni telepon.""Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget."Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif."Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya."Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias."Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar
Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir."Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya."Kamu punya stok tolak
Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda."Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi."Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.Kleek...Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi."Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna."Tolak miskin ada gak?" tanya Parni."Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh."Ya sudah, mau deh," kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana."Nih, minum Mbak!" titah Luna.Parni menerima