Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.
Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya.
"Kamu punya stok tolak
Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda."Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi."Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.Kleek...Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi."Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna."Tolak miskin ada gak?" tanya Parni."Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh."Ya sudah, mau deh," kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana."Nih, minum Mbak!" titah Luna.Parni menerima
Selamat membaca.Parni berjalan beriringan dengan Luna. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Luna tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga Parni. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan dan asap ngebul ikut menemani langkah keduanya untuk pulang ke rumah. Jika Luna sibuk memikirkan keadaan Parni yang menyedihkan, maka berbeda dengan Parni yang saat ini memikirkan omong kosong dokter tadi siang yang mengatakan bahwa dirinya hamil."Mbak Parni jadi sekarang bagaimana?" tanya Luna."Pasti dokter itu berbohong," jawab Parni dengan pandangan lurus ke depan."Tapi bukannya garis dua itu tandanya positif, Mbak?" Luna kembali menatap Parni sengan serius."Tapi samar'kan? Test pack bisa saja salah," ucap Parni lagi."Mbak ga mau periksa ke dokter saja?"Parni menggeleng, "tidak perlu, aku baik-baik saja. Bukan hamil," sahut Parni lagi membuat Luna terdiam.Perkataan dokter tadi
Pagi yang sepi di rumah keluarga Ali, karena mamanya, Bu Miranti masih berada di Jerman untuk menemani Ali yang sedang di rawat. Sudah delapan hari Bu Miranti berada di sana, dan konon kabarnya Ali masih dirawat tanpa tahu apa penyakitnya.Annisa, atau biasanya dipanggil Ica melahap sarapannya dengan enggan, padahal bibik membuatkan kwetiau goreng berikut dengan ayam goreng kesukaan Ica."Mau sampai kapan makanannya diaduk-aduk terus, Ca" tegur Dokter Alan pada puterinya."Ica ga berselera, Pa. Mama lama banget di sana," rengeknya manja.Lelaki paruh baya yang sudah rapi dengan kemeja bergaris biru miliknya, memilih untuk meletakkan sendoknya sejenak, kemudian menatap lurus pada puterinya yang saat ini berwajah masam di depannya. "Mama juga di sana bukan liburan, sayang. Mama sedang mengurus abang kamu, yang entah apa sakitnya," ujar Dokter Alan sambil melepas nafas beratnya."Emang Bang Ali sakit apa, Pa?" tanya Ica.Dokter Alan hanya m
Kamu tahu Parni kenapa?""M...tidak tahu, Bu.""Kamu yakin?""Iya, Bu. Cuma Mbak Parni kemarin sempat pingsan, kata dokter kurang darah," terang Luna sedikit berbohong."Oh, mungkin saja. Ya sudah, nanti sore gajiannya ya. Sedang saya masukkan ke dalam amplop," ujar Bu Farida."Alhamdulillah. Baik, Bu. Terimakasih, saya pamit ya, Bu." Luna tersenyum keluar dari ruangan Bu Farida, lalu berjalan menghampiri Parni hang sedang duduk di kursi plastik sambil mengiris bawang putih."Mbak, nanti sore kita gajian," ujar Luna menepuk lembut pundak Parni."Oh ya, alhamdulillah." Parni ikut tersenyum lega. Lalu menarik kursi yang kosong untuk diberikan pada Luna. Keduanya kini duduk bersampingan, sambil memandang ke luar. Belum ada tamu lagi, sehingga mereka masih bisa sedikit bersantai."Ga terasa Mbak Parni sudah satu bulan bekerja di sini ya. Betah ga Mbak?""Iya, ya. Tidak terasa," jawab Parni hambar. Otaknya kembali mengingat,
Suara riuh ramai memadati warung soto besar milik Bu Farida. Alunan musik gamelan menemani para tamu yang sedang menyantap makan siang, atau sekedar bercengkrama dengan temannya. Semua karyawan sibuk saat ini, bahkan untuk menenggak segelas air pun mereka tidak sempat. Kesepuluh karyawan warung soto Bu Farida, harus siap bahu membahu melayani sepasang anak manusia di depan sana yang baru selesai ijab qabul, dan tengah tersenyum lebar penuh suka cita menyambut para tamu yang memberi doa selamat sekaligus mendoakan mereka.Ya, siang ini warung soto Bu Farida di sewa untuk acara resepsi pernikahan anak dari teman Bu Farida. Bertempat di pusat kota, memiliki lahan parkir yang luas, serta aneka menu makanannya yang enak, membuat warung soto Bu Farida beberapa kali dijadikan tempat berlangsungnya acara pernikahan, selamatan ulang tahun, atau bertunangan. Seperti sore ini, semua karyawannya dikerahkan untuk membantu kelancaran acara tersebut.
Sementara itu di rumah sakit, Ali masih saja muntah-muntah. Berbagai makanan yang masuk ke dalam mulutnya ia keluarkan detik itu juga. Hingga bobot tubuhnya turun drastis. Sang mama dengan sabar merawat Ali, ditemani oleh Farah. Wanita muda itu terlihat sekali peduli pada Ali. Siang, sepulang dari kampus, pasti ia membawakan Ali aneka makanan agar Ali bisa makan. Namun lagi-lagi makanan itu Ali muntahkan. Emir pun tak kalah peduli pada kondisi Ali yang semakin hari semakin payah."Kamu sakit apa sih, Li? Hiks...," isak Bu Miranti menatap lemah tubuh anaknya yang terbaring di brangkar rumah sakit."Sabar, Tante. Kita doa terus dan usaha. Nanti coba Farah ngomong sama temen tante Farah seorang dokter penyakit dalam. Minta Ali dipindahkan ke sana saja," tutur Farah penuh ketulusan."Terimakasih Farah, tante juga bingung ini jadinya bagaimana," sahut Bu Miranti sedih."Assalamualaykum," Emir
"Mbak, coba lihat sini!" wanita itu memaksa Parni melihat layar monitor. Parni yang tidak paham hanya menurut, dan belum ada apa-apa terlihat di layar sana."Mbak yakin mau menggugurkan mereka?""M-maksudnya?""Janinnya kembar, Mbak.""Jangan berbohong, Dok!""Ini, Mbak perhatikan titik ini, masih sangat kecil sekali bahkan lebih kecil dari butiran garam. Ada dua, Mbak bisa melihatnya?""I-iya," Parni menangis. Bahunya bergetar hebat, pikirannya melayang pada ketiga keponakan kembarnya yang selalu saja membuat harinya berwarna. Si kembar tiga juga yang selalu membuat ia tertawa, karena sering sekali tertukar mengenalinya."Bagaimana? Masih sangat muda, jadi mudah untuk digugurkan. Biayanya juga lebih murah," terang dokter itu sambil menatap Parni dengan cukup serius, menanti jawaban yang tak kunjun
Tidak banyak pembicaraan di dalam mobil yang dikendarai oleh Farah. Bu Miranti terlihat sekali tidak suka dengan sikap Farah yang sangat terang-terangan mengungkapkan perasaan pada anaknya.Wanita muda itu memang terlihat pintar, cantik, energik, ditambah lagi dia adalah seorang model lokal di Jerman. Tentu sudah sangat luar biasa untuk dimasukkan dalam list calon menantu. Namun sayang, Bu Miranti sudah terlebih dahulu merasa bertanggung jawab pada Parni. Sehingga ia akan sangat menentang bilamana anaknya, Ali berani mencoba menjalin hubungan dengan wanita lain."Mau mampir makan siang dulu ga, Tante?" tawar Farah dengan suara lemah lembut."Tidak usah, Far. Biar langsung ke asrama saja," sahut Bu Miranti."Ali laper ini, Ma," sela Ali pada ibunya."Apa?""Ali laper,""Buka dulu itu maskernya, Mama ga dengar," tunjuk Bu Miran