Sementara itu di rumah sakit, Ali masih saja muntah-muntah. Berbagai makanan yang masuk ke dalam mulutnya ia keluarkan detik itu juga. Hingga bobot tubuhnya turun drastis. Sang mama dengan sabar merawat Ali, ditemani oleh Farah. Wanita muda itu terlihat sekali peduli pada Ali. Siang, sepulang dari kampus, pasti ia membawakan Ali aneka makanan agar Ali bisa makan. Namun lagi-lagi makanan itu Ali muntahkan. Emir pun tak kalah peduli pada kondisi Ali yang semakin hari semakin payah.
"Kamu sakit apa sih, Li? Hiks...," isak Bu Miranti menatap lemah tubuh anaknya yang terbaring di brangkar rumah sakit.
"Sabar, Tante. Kita doa terus dan usaha. Nanti coba Farah ngomong sama temen tante Farah seorang dokter penyakit dalam. Minta Ali dipindahkan ke sana saja," tutur Farah penuh ketulusan.
"Terimakasih Farah, tante juga bingung ini jadinya bagaimana," sahut Bu Miranti sedih.
"Assalamualaykum," Emir
"Mbak, coba lihat sini!" wanita itu memaksa Parni melihat layar monitor. Parni yang tidak paham hanya menurut, dan belum ada apa-apa terlihat di layar sana."Mbak yakin mau menggugurkan mereka?""M-maksudnya?""Janinnya kembar, Mbak.""Jangan berbohong, Dok!""Ini, Mbak perhatikan titik ini, masih sangat kecil sekali bahkan lebih kecil dari butiran garam. Ada dua, Mbak bisa melihatnya?""I-iya," Parni menangis. Bahunya bergetar hebat, pikirannya melayang pada ketiga keponakan kembarnya yang selalu saja membuat harinya berwarna. Si kembar tiga juga yang selalu membuat ia tertawa, karena sering sekali tertukar mengenalinya."Bagaimana? Masih sangat muda, jadi mudah untuk digugurkan. Biayanya juga lebih murah," terang dokter itu sambil menatap Parni dengan cukup serius, menanti jawaban yang tak kunjun
Tidak banyak pembicaraan di dalam mobil yang dikendarai oleh Farah. Bu Miranti terlihat sekali tidak suka dengan sikap Farah yang sangat terang-terangan mengungkapkan perasaan pada anaknya.Wanita muda itu memang terlihat pintar, cantik, energik, ditambah lagi dia adalah seorang model lokal di Jerman. Tentu sudah sangat luar biasa untuk dimasukkan dalam list calon menantu. Namun sayang, Bu Miranti sudah terlebih dahulu merasa bertanggung jawab pada Parni. Sehingga ia akan sangat menentang bilamana anaknya, Ali berani mencoba menjalin hubungan dengan wanita lain."Mau mampir makan siang dulu ga, Tante?" tawar Farah dengan suara lemah lembut."Tidak usah, Far. Biar langsung ke asrama saja," sahut Bu Miranti."Ali laper ini, Ma," sela Ali pada ibunya."Apa?""Ali laper,""Buka dulu itu maskernya, Mama ga dengar," tunjuk Bu Miran
Bu Farida mencoba mengatur nafasnya yang baru saja sesak, saat tersedak. Ucapan salah satu karyawannya, yaitu Parni, membuatnya cukup kaget, hingga menyemburkan nasi goreng yang sudah ada di dalam mulutnya.Butiran nasi yang tersembur mengotori meja kerjanya, beberapa map yang ada di atasnya, serta baju yang ia pakai. Matanya tak lepas menatap Parni, saat wanita itu kembali berdiri di depannya setelah memberikannya minum."Kamu jangan bercanda, Parni. Bukannya kamu belum menikah? Apa kamu hamil sama pacar kamu?" Bu Farida menggeleng tidak percaya."S-saya... korban perkosaaan, Bu."Huk!Huk!Huk!Parni kembali mengisi gelas air yang kosong, kemudian memberikannya pada Bu Farida yang lagi-lagi tersedak karena mendengar ucapannya. Parni semakin tidak enak, dalam hati ia pasrah jika Bu Farida memecatn
"Ya Allah, apa ini?" tanya Farah dengan mata mendelik pada penampakan kain bewarna krem yang berlipat bentuk segi empat. Bahannya kaus, persis bahan celana dalam."Ah, ini..." Ali gelagapan, lalu dengan cepat mengambil benda tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam saku celananya."Apa itu? Seperti celana dalam." Kening Farah berkerut, masih memandang curiga pada saku celana Ali, tempat lelaki itu menyimpan celana dalam Parni tadi."Bukan, itu sapu tangan kaus aromaterapi yang selalu aku pakai," terang Ali dengan wajah memerah malu. Tangannya mengurut dada, kemudian menghela nafas panjang. Hampir saja ketahuan oleh Farah, bisa gawat kalau sampai wanita itu tahu. Ali bermonolog."Oh gt, ya udah. Cobain dong masakan aku," ujar Farah dengan bernada manja. Langsung saja Ali menyendokkan nasi goreng nanas buatan Farah. Ia mulai mengunyahnya dengan lahap.
Kini Parni sudah sampai di rumah, tentu saja dengan bekal bubur ayam, aneka rasa roti dan juga sekotak susu hamil rasa mangga. Bergegas ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handuk, lalu melesat ke kamar mandi. Tubuhnya sudah sangat berpeluh dan bau keringat. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu baru menikmati sarapannya.Harum sampo dan sabun begitu disukai Parni sejak ia hamil, sehingga ia selalu berlama-lama di kamar mandi untuk bermain dengan busa-busa tersebut. Berkali-kali membuat buih sabun lalu meniupnya dengan senang. Setelah dirasa cukup, ia pun keluar dari kamar mandi dengan baju daster lebar yang baru ia beli dari pedagang keliling. Dilanjutkan dengan menyantap sarapan nikmat, yaitu bubur ayam dan juga lima jenis roti aneka rasa. Nafsu makan yang benar-benar menggelora."Bunda bisa gendut nih, kalau makannya begini terus. Jangan bikin bunda mual muntah ya, Kembar," ujarnya pada perutnya yang masih rata, sambil mengusapnya penuh sayang. Parni
Selama tiga hari berkabung, warung soto Bu Farida pun ikut tutup. Suasana berduka tidak memungkinkan Bu Farida untuk kembali ke warung menjalankan usahanya. Seluruh karyawan mendapat jatah cuti hingga tiga hari dari Bu Farida. Bagi yang ingin pulang ke rumah orang tuanya di kampung, Bu Farida memberikan izin.Selama tiga hari juga, Parni memasak di rumah Bu Farida, tentu saja itu atas permintaan Bu Farida dan juga Emir. Ternyata anak lelaki Bu Farida itu begitu menyukai masakan Parni. Ia pun meminta Bu Farida untuk membujuk Parni agar menjadi tukang masak di rumah mereka, selagi Emir berada di sana."Masak apa hari ini, Mbak?" tanya Emir saat Parni baru saja pulang dari pasar."Masak seperti pesanan Mas Emir. Ikan mas bumbu kuning, sambal terasi, acar timun dan sayur pokcoy," terang Parni sambil tersenyum sangat tipis, bahkan lebih tipis dari kartu ATM."Oh, makasih Mbak," ujar Emir.
Parni sedang membantu bibik melipat pakaian di kamar belakang, sambil menonton televisi acara kuliner. Parni menelan ludahnya sendiri, saat melihat pembawa acara makan jajanan pinggir jalan, seperti Cilok, Cireng, Ketoprak, Sempol Ayam yang dicocol saus pedas manis. Parni bahkan mengusap lehernya karena menahan rasa ingin yang begitu kuat. Apalagi sehabis magrib ini, cuaca di luar sedang turun hujan gerimis, betapa Parni ingin makan makanan di antara yang sedang dipertontonkan di layar kaca."Mbak Parni," panggil Emir menghampiri Parni di kamar belakang."Ya, Mas," jawabnya sambil menoleh."Ke supermarket disuruh mama, beli nanas untuk sarapan besok," kata Emir ikut menahan liur."Nanas untuk sarapan? Yakin ga sakit perut?""Bukan mau digadoin, Mbak. Tapi dimasak nasi goreng ala Mbak Parni.""Oh, alah. Tak kira apaan, tapi sudah malam, Mas.
Mulai hari ini, warung soto Bu Farida kembali buka, setelah cuti berduka selama tiga hari. Parni juga sudah kembali bertugas di sana sebagai chef Nasi Goreng Nanas. Emir sebenarnya masih ingin Parni lebih lama masak di rumahnya, namun sang mama menolak, karena tugas utama Parni adalah di warung soto. Apalagi menu tambahan yang baru saja diluncurkan adalah masakan Parni, tentu saja Parni wajib datang.Hari yang sama pula dengan keberangkatan Emir kembali ke Berlin, topi kupluk rajut pensanan Emir sudah selesai ia kerjakan, hanya saja masih ada di warung soto, ia simpan di dalam tas. Emir berjanji sebelum ke bandara, akan mampir ke warung untuk berpamitan serta mengambil topi kupluk buatan Parni.Parni sedang menumis bumbu nasi goreng dalam wajan berukuran sedang di dapur belakang, bumbu yang apabila dimasak terlebih dahulu cukup lama, maka akan lebih awet digunakan. Tinggal disimpan di dalam lemari es setelah dingin, lal