Selama tiga hari berkabung, warung soto Bu Farida pun ikut tutup. Suasana berduka tidak memungkinkan Bu Farida untuk kembali ke warung menjalankan usahanya. Seluruh karyawan mendapat jatah cuti hingga tiga hari dari Bu Farida. Bagi yang ingin pulang ke rumah orang tuanya di kampung, Bu Farida memberikan izin.
Selama tiga hari juga, Parni memasak di rumah Bu Farida, tentu saja itu atas permintaan Bu Farida dan juga Emir. Ternyata anak lelaki Bu Farida itu begitu menyukai masakan Parni. Ia pun meminta Bu Farida untuk membujuk Parni agar menjadi tukang masak di rumah mereka, selagi Emir berada di sana.
"Masak apa hari ini, Mbak?" tanya Emir saat Parni baru saja pulang dari pasar.
"Masak seperti pesanan Mas Emir. Ikan mas bumbu kuning, sambal terasi, acar timun dan sayur pokcoy," terang Parni sambil tersenyum sangat tipis, bahkan lebih tipis dari kartu ATM.
"Oh, makasih Mbak," ujar Emir.
Parni sedang membantu bibik melipat pakaian di kamar belakang, sambil menonton televisi acara kuliner. Parni menelan ludahnya sendiri, saat melihat pembawa acara makan jajanan pinggir jalan, seperti Cilok, Cireng, Ketoprak, Sempol Ayam yang dicocol saus pedas manis. Parni bahkan mengusap lehernya karena menahan rasa ingin yang begitu kuat. Apalagi sehabis magrib ini, cuaca di luar sedang turun hujan gerimis, betapa Parni ingin makan makanan di antara yang sedang dipertontonkan di layar kaca."Mbak Parni," panggil Emir menghampiri Parni di kamar belakang."Ya, Mas," jawabnya sambil menoleh."Ke supermarket disuruh mama, beli nanas untuk sarapan besok," kata Emir ikut menahan liur."Nanas untuk sarapan? Yakin ga sakit perut?""Bukan mau digadoin, Mbak. Tapi dimasak nasi goreng ala Mbak Parni.""Oh, alah. Tak kira apaan, tapi sudah malam, Mas.
Mulai hari ini, warung soto Bu Farida kembali buka, setelah cuti berduka selama tiga hari. Parni juga sudah kembali bertugas di sana sebagai chef Nasi Goreng Nanas. Emir sebenarnya masih ingin Parni lebih lama masak di rumahnya, namun sang mama menolak, karena tugas utama Parni adalah di warung soto. Apalagi menu tambahan yang baru saja diluncurkan adalah masakan Parni, tentu saja Parni wajib datang.Hari yang sama pula dengan keberangkatan Emir kembali ke Berlin, topi kupluk rajut pensanan Emir sudah selesai ia kerjakan, hanya saja masih ada di warung soto, ia simpan di dalam tas. Emir berjanji sebelum ke bandara, akan mampir ke warung untuk berpamitan serta mengambil topi kupluk buatan Parni.Parni sedang menumis bumbu nasi goreng dalam wajan berukuran sedang di dapur belakang, bumbu yang apabila dimasak terlebih dahulu cukup lama, maka akan lebih awet digunakan. Tinggal disimpan di dalam lemari es setelah dingin, lal
Wajah Farah menegang begitu mendengar penuturan Ali, bahkan matanya tak mampu berkedip beberapa saat. Ia tidak percaya ucapan Ali, lelaki yang memiliki tampang anak baik, bukan bajingan, tetapi memiliki kelakuan minus. Untuk itulah kita jangan pernah memberikan judul seseorang dari tampilan luarnya saja, tetapi harus mengetahui isi dalamnya juga, dan Farah benar-benar tak menyangka, seorang Ali Hakeem pernah memperkosa seorang wanita di Jakarta."Tunggu, jangan bilang kalau masker itu ada hubungannya dengan wanita yang kamu perkosa?""Iya dan sekarang aku bisa mati kalau aku tidak segera menemuka benda itu. Aarrgh... sial!" Ali kembali berlari menyusuri got besar buatan yang ada di kampusnya. Matanya benar-benar menelisik, memastikan miliknya yang hanyut tersangkut di suatu tempat, namun nihil. Ali hanya bisa meremas rambutnya kasar, bagaimana nanti jadinya bila ia sesak nafas kembali."Kamu menyusahkan saja
Bu Miranti melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Setiap kali menelepon Ali, pasti ada saja yang membuatnya kesal. Minta ini, itu, sekarang minta nyolong sempak. Ya Allah, sabar. Bu Miranti mengusap dadanya keras. Semoga penyakit jantungnya tidak kambuh dalam waktu dekat. Setiap kali Ali menelepon pasti saja firasatnya mengatakan hal tidak enak, membuatnya juga menjadi tidak enak badan."Kenapa, Ma?" tanya Dokter Alan saat masuk ke dalam kamar, kemudian melihat sang istri berwajah masam."Ali minta diambilkan celana dalam Parni.""Hah?!""Celana oksigen yang ada di sana hanyut di got.""Ya ampun anak itu ada-ada saja. Jangan dituruti, Ma!""Iyalah, manfaatnya apa coba sempak Parni dibawa lagi ke sana? Diendus-endus gitu.""Apakah Ali menderita gangguan jiwa, Ma?""Kayaknya, Pa. Feeling mama sih, kita sepe
Dua bulan berlalu, kehamilan Parni semakin terlihat. Perutnya yang berisi dua janin sudah nampak muncul ke permukaan baju yang ia kenakan. Semua teman-teman di warung soto, akhirnya mengetahui kondisi Parni yang tengah hamil. Awalnya mereka begitu terkejut, bahkan mereka tak percaya keadaan yang Parni utarakan.Wanita itu mengutarakan bahwa ia hamil oleh sang pacar, tetapi lelaki itu malah kabur dan tak mau bertanggung jawab, sehingga Parni memilih pergi dari rumah, agar ibu dan keluarganya tidak malu dan kecewa. Semua yang ada di sana ikut iba pada kondisi yang dialami oleh Parni, bahkan Eko dan Luna benar-benar memperlakukan Parni dengan sangat baik.Jangan ditanyakan lagi Bu Farida, bos pemilik warung soto itu bahkan tidak membolehkan Parni melayani pesanan Nasi Goreng Nanas di atas jam delapan malam, kecuali sabtu karena minggu adalah jadwal Parni libur.Parni tersenyum di depan ponselnya, lelaki yang be
Ali tengah duduk termenung di bangku taman kampus. Lalu-lalang ramai mahasiswa di sekitarnya tak membuat dia beranjak dari sana. Ali membiarkan tubuhnya berjemur terkena sinar matahari hari pagi. Di tangannya memegang satu cup teh hangat yang ia genggam dengan erat. Entah apa yang sebenarnya membuat ia tidak enak hati seperti ini, yang jelas ia benar-benar malas melakukan apapun hari ini.Pelan diteguknya teh, air hangat dengan asap masih mengepul itu, mampu membuat tenggorokan dan dadanya lebih segar. Dari kejauhan, tampak Emir sedang tersenyum menatap ponselnya.Ali tahu, pasti lelaki itu sedang berkirim pesan pada wanita yang Emir label sebagai calon istri. Omong kosong! Pikir Ali yang tidak percaya dengan ucapan Emir. Seperti akan menikahi artis saja, sampai namanya pun tidak diberitahu. Emir terlalu lebay. Ali terus saja bermonolog, hingga tak sadar jika Emir sudah berdiri tepat di depannya."Ngapain be
[Ha ha ha ... sa-ya E-mir, te -man Par-ni.][Oh, teman Teh Parni. Bilang dong dari tadi. Emang Teh Parni punya teman? Kok bisa? Teh Parni kabur dari rumah udah lama, mana bawa lipstik mahal milik saya. Panjang deh ceritanya.][Oh, gitu. Saya boleh bicara dengan Bu Parti?][Boleh, tunggu ya]Parmi berjalan ke luar kamar, lalu memberikan ponselnya pada sang ibu yang kini baru selesai mengaji."Bu ini ada telepon dari teman Teh Parni," kata Parmi pada ibunya. Bu Parti memandang Parmi dengan tatapan penasaran, langsung saja menyambar ponsel anaknya.[Hallo, Assalamua'laykum. Ibu, saya Emir, teman Mbak Parni]Parmi memperhatikan ibunya yang sedari tadi berbicara di telepon. Wajah sang ibu tidak lagi tegang, dan ada senyum tipis di sana. Parmi yang penasaran apa yang dibic
Emir baru saja pulang dari berkumpul di rumah temannya, orang asli Jerman. Tentu saja dengan ditemani oleh Ali yang selalu saja ingin ikut bersama Emir. Mereka memilih pulang, karena Ali mengeluh sakit perut sedari sore, apalagi di sana tadi, menyantap makanan yang tidak cocok dengan kondisi perutnya. Mereka memilih pulang dengan berjalan kaki, karena memang lokasi rumah teman Emir tidak terlalu jauh dari asrama."Masih kuat ga?" tanya Emir pada Ali yang wajahnya memucat."Kuat, Mir. Dua blok lagi," jawab Ali sambil sedikit meringis memegang perutnya.BeepBeepBeep[Hallo, assalamualaykum][Bayi kembar Parni harus di angkat, Mir. Dia terpeleset di kosan][Apa, Ma? Ya Allah, trus][Doakan saja semua sehat dan Parni segera pulih, tadi sempat pendarahan, tetapi
Gemericik suara air mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Tidur yang paling berkualitas sepanjang hidupnya, karena ini pertama kalinya ia tidur sambil dipeluk oleh seseorang yang membuatnya kembali jatuh cinta. Parni membuka matanya pelan, dirabanya sisi kasur yang telah kosong. Ke mana suaminya? Parni turun dari kasur tanpa memperhatikan rasa nyeri."Auu ...." Parni kembali duduk. Kenapa sakit? Karena memang baru ini lagi ia berhubungan intim, tentu saja rasanya bagai baru saja diperawanin. Perih, kebas, dan serasa tebal. Sangat tidak nyaman. Parni meraih selimut tebal untuk menutupi tubuhnya hingga dada. Diliriknya jam di dinding yang sudah pukul setengah delapan pagi.Shubuh tadi, setelah selesai mandi hadas besar dan sholat berjamaah, mereka kembali melanjutkan aktifitas panas, merajut tali cinta. Mengharapkan segera hadir adik bagi Saka dan Lingga. Wajar saja jika saat ini mereka bangun kesiangan. Sepertinya sang suami tidak ada di dalam kamar mandi. Ke mana suara anak-anak? Apa me
"Saka dan Lingga biar tidur di rumah Mama saja, ya?" ujar Bu Miranti yang sudah memangku Saka, sedangkan Lingga di pangku oleh Opanya."Eh, jangan, Ma. Saya iseng, kalau tidak ada orang di rumah," tolak Parni terus terang."Trus itu yang lagi nunduk siapa? Demit?" celetuk Parmi, sang adik yang sangat kebetulan pintar malam ini. Di samping Parni sudah duduk Ali yang kini sedang menunduk."Gak papa, Teh. Pengantin baru itu harus beratapdasi satu sama lain. Benarkan, Yang?" tanya Parmi pada Anton yang kini menyeringai lebar. Baru sepersekian detik dipuji, udah error lagi Nyonya Parmi."Ber-a-dap-ta-si." Anton membetulkan ucapan Parmi."Iya, tadikan Ibu bilang beratapdasi," balas Parmi tak mau kalah. "Ha ha ha ...." semua yang ada di sana tertawa mendengarkan percakapan Parmi dan juga Anton."Besok tinggal jemput ke rumah Omanya. Jangan takut, Teh. Paling digigit sayang doang sama Ali. He he he ...." yang lain pun ikut tertawa. "Ya sudah, kita pulang dulu ya, Ni. Ali, Ibu balik ya?""Eh
[Hallo, selamat sore. Saya dengan Emir. Dua tahun lalu saya mengantar seorang pasien yang melahirkan di rumahnya. Namanya Ami dan bayinya Amira. Apakah Suster tahu keberadaan mereka di mana?][Sore, Mas. Mohon, Maaf. Kami tidak bisa memberitahukan kabar apapun berkaitan dengan pesian kami. Karena itu privacy.][Oh, baiklah. Terimakasih]Emir mematikan teleponnya, lalu memilih duduk di sofa. Jendela rumah yang terbuka lebar, membuat ia dapat menghirup dalam aroma tanah yang basah oleh air hujan yang baru saja reda."Mir, Parni hari ini nikah lho. Kamu sudah ucapkan selamat?" tanya Bu Farida saat menghampiri anaknya di ruang depan."Sudah, Ma. Emir juga sudah transfer uang sebagai hadiah buat Teh Parni," jawabnya sambil tersenyum tipis."Kamu sudah tidak apa-apa?""He he he ... Gak papa Mama, sekarang udah ada Farah yang jadi pacar Emir.""Kapan dia kamu ajak ketemu Mama?""Minggu ini kalau dia ga ada pemotretan, Ma.""Mmm... Okelah, Mama masuk dulu." Bu Farida meninggalkan Emir yang ma
"Bagaimana kalau Teteh menikah dengan saya?" tanya Ali tanpa ragu."Kalau kamu masih bicara seperti itu lagi, lebih baik kamu turun. Jalan kaki saja sana, pulang!""He he he ... Gak mau ya. Ya sudah ga papa, yang penting Teteh ga nikah sama siapa-siapa, saya jadi lega," ujar Ali sambil mengusap kedua pipi Lingga."Oh, jadi kamu doain aku jomblo seumur hidup? Sorry ya, aku udah ikut biro jodoh, paling sebentar lagi juga dapat," balas Parni tak mau kalah."He he he ...Bukan begitu maksud saya, Teteh."Pedebatan pun masih saja terjadi sampai mereka tiba di sebuah rumah minimalis kawasan Jakarta Timur. Bu Miranti hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ocehan dua orang yang duduk di belakangnya, sedangkan Pak Asep, sopir keluarga Bu Miranti hanya senyam-senyum saja."Semoga berjodoh yang duduk di belakang ini ya, Bu," bisik Pak Asep pada Bu Miranti."Aamiin. Saya malah pengennya besok saya nikahin aja, Pak. Biar ga berantem terus," sahut Bu Miranti juga sambil berbisik.Pak Asep turun d
2 Tahun Kemudian.Di luar hujan turun begitu deras, disertai petir yang menggelegar. Sore hari yang tadinya cerah, berubah gelap menjelang adzan magrib. Ali baru saja selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah di masjid di dalam LAPAS, bersama Bang Komeng, Bang Malih, dan Aden, teman satu selnya.Senyumnya tak surut saat membayangkan besok adalah hari ia dibebaskan setelah dua tahun menjalani masa hukuman. Ia tak sabar untuk bertemu dengan Saka dan Lingga, serta ibu si kembar. Ya, meskipun dari kabar yang ia dengar, Parni sudah menikah dengan Emir, tetapi entah kenapa ia merindukan wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu."Duh, yang mau bebas besok. Senyam-senyum terus," goda Aden kini duduk di samping Ali."Udah ga sabar mau ketemu anak, Den," sahut Ali sambil tersenyum."Oh, cuma ga sabar ketemu sama si kembar, kirain sama ibunya juga. Ha ha ha ..." timpal Bang Komeng, hingga yang lainnya ikut tertawa."Istri orang masa dikangenin, Bang. Dosalah," timpal Ali."Yang jelas, d
"Toloong! Ada yang melahirkan. Tolooong!" teriak lelaki histeris bahkan dengan wajah pucat seputih kapas. Karena lokasi yang jauh dari pemukiman, ia berlari keluar villa, lalu menyebrang jalan untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang baru saja turun dari mobil di villa depan. Para ibu dan bapak yang keheranan dengan kedatangan Emir menjadi penasaran."Ada apa, Mas?""Tolong, Pak. Ada wanita melahirkan di dalam rumah besar itu, sepertinya tidak ada orang di dalam kecuali dia. Ayo, Pak. Kita tolong!" tiga orang lelaki dewasa dan dua wanita paruh baya ikut kaget, lalu dengan cepat mengangguk mengikuti langkah Emir. Petugas parkir belum sempat menghentikan kepergian para tamunya, karena sibuk mengatur posisi parkir tamu yang lain. Lelaki yang bertugas sebagai juru parkir itu bergidik ngeri, saat berbondong-bondong sebagian tamunya menyebrang villa di seberang.Bugh!Bugh!Suara hentakan itu semakin keras terdengar, hingga enam orang yang kini berdiri di depan tangga menjadi sangat
"Maksud Mama apa?""Sepertinya, Parni dan Emir akan segera menikah.""Tidak mungkin, Ma. Mama jangan bercanda.""Mama lihat sendiri Emir berlutut di kaki Parni sambil memberikan sebuah cincin.""Ali tidak mau anak-anak Ali memanggil lelaki lain dengan sebutan Papa. Hiks...""Mama juga sedih, tetapi jika ini semua menjadi keputusan Parni, kita tidak boleh protes. Yang penting nanti setelah keluar dari sini, kamu bisa ketemu anak-anak. Selamanya Saka dan Lingga adalah anak-anak kamu, cucu Mama dan Papa." Bu Miranti menangis saat melihat puteranya ikut menangis. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika Allah sudah berkehendak. Ali termenung di dalam sel dinginnya, menatap langit-langit yang penuh dengan bekas kotoran cicak dan noda air hujan. Kepalanya kembali mengingat Parni adalah wanita yang pertama kali ia cium. Parni juga yang selalu saja ketus padanya bila sedang bertamu ke rumah Parni, bahkan ia disuruh mencuci piring oleh Parni setelah ikut sarapan bersama. Hanya Parnilah wanita yang
[Maaf, Mas. Maaf sekali lagi. Saya tidak ingin menikah dengan siapapun. Fokus saya kali ini adalah anak-anak saya.][Tapi kamu masih cinta sama saya kan, Ni?][Cinta tidak harus selalu berakhir di pelaminan'kan?]Mas Iqbal, tolong lupakan saya. Lanjutkan perjalanan kisah Mas Iqbal dengan orang lain. InsyaAllah luka kita akan sembuh dengan hadirnya orang lain yang mengisi ke kosongan][Oh, jadi kamu bisa seperti ini karena ada orang lain yang sudah membuat kamu melupakan saya?][Bukan seperti itu, Mas][Apa Emir orangnya? Atau jangan-jangan lelaki yang sudah memberikanmu anak?][Maaf, Mas Iqbal. Anak saya bangun, saya tutup ya. Assalamualaikum]Tut!Tut!Parni menarik nafas panjang dengan bibir bergetar. Ia tidak menyangka Iqbal berpikiran buruk padanya. Tetapi ya sudahlah, yang penting pesan inti dari pembicaraan ini sudah disampaikan olehnya. Dirinya ingin Iqbal bisa bahagia dengan wanita lain. Ia ikhlas walaupun tak mudah. Parni kembali merebahkan dirinya di atas ranjang. Ditatapny
Semua orang sudah duduk di ruang tamu keluarga Anton. Ada Bu Parti, Bu Farida, Suraya, Iqbal, Parni, dan juga Anton. Sedangkan Parmi sedang mengurus anak kembarnya di dalam kamar. Belum ada pembicaraan di sana, semua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Parni yang begitu salah tingkah saat ini, karena dipandang intens oleh Iqbal, Bu Farida, dan juga Suraya."Mm...jadi, apakah Parni memang mengenal Iqbal?" Bu Farida membuka suara."Parni mantan calon istri saya," jawab Iqbal dengan raut wajah kecewa. Bu Farida dan Suraya tentu kaget mendengar jawaban Iqbal. Namun, mereka tetap tenang, karena memang Suraya dan Bu Farida tipe wanita yang tidak mudah tersulut api amarah. Sedangkan Parni sudah menunduk malu sambil menggendong Saka."Betul itu, Parni?" "Iya, Bu.""Parni dan Iqbal urusannya sudah selesai, sejak Parni memutuskan pergi ke Surabaya. Saya rasa tidak ada yang masalah dengan masa lalu mereka. Bukankan anak Parni bukan anak Iqbal," suara Bu Parti menjabarkan kondi