Wajah Farah menegang begitu mendengar penuturan Ali, bahkan matanya tak mampu berkedip beberapa saat. Ia tidak percaya ucapan Ali, lelaki yang memiliki tampang anak baik, bukan bajingan, tetapi memiliki kelakuan minus. Untuk itulah kita jangan pernah memberikan judul seseorang dari tampilan luarnya saja, tetapi harus mengetahui isi dalamnya juga, dan Farah benar-benar tak menyangka, seorang Ali Hakeem pernah memperkosa seorang wanita di Jakarta.
"Tunggu, jangan bilang kalau masker itu ada hubungannya dengan wanita yang kamu perkosa?"
"Iya dan sekarang aku bisa mati kalau aku tidak segera menemuka benda itu. Aarrgh... sial!" Ali kembali berlari menyusuri got besar buatan yang ada di kampusnya. Matanya benar-benar menelisik, memastikan miliknya yang hanyut tersangkut di suatu tempat, namun nihil. Ali hanya bisa meremas rambutnya kasar, bagaimana nanti jadinya bila ia sesak nafas kembali.
"Kamu menyusahkan saja
Bu Miranti melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Setiap kali menelepon Ali, pasti ada saja yang membuatnya kesal. Minta ini, itu, sekarang minta nyolong sempak. Ya Allah, sabar. Bu Miranti mengusap dadanya keras. Semoga penyakit jantungnya tidak kambuh dalam waktu dekat. Setiap kali Ali menelepon pasti saja firasatnya mengatakan hal tidak enak, membuatnya juga menjadi tidak enak badan."Kenapa, Ma?" tanya Dokter Alan saat masuk ke dalam kamar, kemudian melihat sang istri berwajah masam."Ali minta diambilkan celana dalam Parni.""Hah?!""Celana oksigen yang ada di sana hanyut di got.""Ya ampun anak itu ada-ada saja. Jangan dituruti, Ma!""Iyalah, manfaatnya apa coba sempak Parni dibawa lagi ke sana? Diendus-endus gitu.""Apakah Ali menderita gangguan jiwa, Ma?""Kayaknya, Pa. Feeling mama sih, kita sepe
Dua bulan berlalu, kehamilan Parni semakin terlihat. Perutnya yang berisi dua janin sudah nampak muncul ke permukaan baju yang ia kenakan. Semua teman-teman di warung soto, akhirnya mengetahui kondisi Parni yang tengah hamil. Awalnya mereka begitu terkejut, bahkan mereka tak percaya keadaan yang Parni utarakan.Wanita itu mengutarakan bahwa ia hamil oleh sang pacar, tetapi lelaki itu malah kabur dan tak mau bertanggung jawab, sehingga Parni memilih pergi dari rumah, agar ibu dan keluarganya tidak malu dan kecewa. Semua yang ada di sana ikut iba pada kondisi yang dialami oleh Parni, bahkan Eko dan Luna benar-benar memperlakukan Parni dengan sangat baik.Jangan ditanyakan lagi Bu Farida, bos pemilik warung soto itu bahkan tidak membolehkan Parni melayani pesanan Nasi Goreng Nanas di atas jam delapan malam, kecuali sabtu karena minggu adalah jadwal Parni libur.Parni tersenyum di depan ponselnya, lelaki yang be
Ali tengah duduk termenung di bangku taman kampus. Lalu-lalang ramai mahasiswa di sekitarnya tak membuat dia beranjak dari sana. Ali membiarkan tubuhnya berjemur terkena sinar matahari hari pagi. Di tangannya memegang satu cup teh hangat yang ia genggam dengan erat. Entah apa yang sebenarnya membuat ia tidak enak hati seperti ini, yang jelas ia benar-benar malas melakukan apapun hari ini.Pelan diteguknya teh, air hangat dengan asap masih mengepul itu, mampu membuat tenggorokan dan dadanya lebih segar. Dari kejauhan, tampak Emir sedang tersenyum menatap ponselnya.Ali tahu, pasti lelaki itu sedang berkirim pesan pada wanita yang Emir label sebagai calon istri. Omong kosong! Pikir Ali yang tidak percaya dengan ucapan Emir. Seperti akan menikahi artis saja, sampai namanya pun tidak diberitahu. Emir terlalu lebay. Ali terus saja bermonolog, hingga tak sadar jika Emir sudah berdiri tepat di depannya."Ngapain be
[Ha ha ha ... sa-ya E-mir, te -man Par-ni.][Oh, teman Teh Parni. Bilang dong dari tadi. Emang Teh Parni punya teman? Kok bisa? Teh Parni kabur dari rumah udah lama, mana bawa lipstik mahal milik saya. Panjang deh ceritanya.][Oh, gitu. Saya boleh bicara dengan Bu Parti?][Boleh, tunggu ya]Parmi berjalan ke luar kamar, lalu memberikan ponselnya pada sang ibu yang kini baru selesai mengaji."Bu ini ada telepon dari teman Teh Parni," kata Parmi pada ibunya. Bu Parti memandang Parmi dengan tatapan penasaran, langsung saja menyambar ponsel anaknya.[Hallo, Assalamua'laykum. Ibu, saya Emir, teman Mbak Parni]Parmi memperhatikan ibunya yang sedari tadi berbicara di telepon. Wajah sang ibu tidak lagi tegang, dan ada senyum tipis di sana. Parmi yang penasaran apa yang dibic
Emir baru saja pulang dari berkumpul di rumah temannya, orang asli Jerman. Tentu saja dengan ditemani oleh Ali yang selalu saja ingin ikut bersama Emir. Mereka memilih pulang, karena Ali mengeluh sakit perut sedari sore, apalagi di sana tadi, menyantap makanan yang tidak cocok dengan kondisi perutnya. Mereka memilih pulang dengan berjalan kaki, karena memang lokasi rumah teman Emir tidak terlalu jauh dari asrama."Masih kuat ga?" tanya Emir pada Ali yang wajahnya memucat."Kuat, Mir. Dua blok lagi," jawab Ali sambil sedikit meringis memegang perutnya.BeepBeepBeep[Hallo, assalamualaykum][Bayi kembar Parni harus di angkat, Mir. Dia terpeleset di kosan][Apa, Ma? Ya Allah, trus][Doakan saja semua sehat dan Parni segera pulih, tadi sempat pendarahan, tetapi
Bu Parti dibawa ke rumah sakit, setelah mendapat serangan jantung pagi itu. Bibik menemukannya di dalam kamar Parmi setelah mendengar suara dentum jatuh yang cukup keras. Parmi dan Anton yang baru pulang dari minimarket, tentu saja kaget mendapati sang ibu tengah terbujur lemah di samping tempat tidur mereka, dengan ponsel Parmi yang jatuh tak jauh dari sang ibu yang pingsan.Anton melarikan ibu mertuanya ke rumah sakit, untung saja hari ini dia mengambil cuti karena akan membawa anak dan istri, juga mertuanya menginap di Taman Safari besok.Namun, belum terlaksana acara jalan-jalan, malah kini sang ibu mertua harus dirawat intensif di rumah sakit."Bagaimana kondisi ibu mertua saya, Dok?" tanya Anton."Alhamdulillah, sudah lebih baik. Ibu Parti hanya syok saja, mudah-mudahan keluarga bisa lebih menjaga, berita apapun yang kiranya dapat mengganggu kesehatan jantungya, sebaiknya tidak perlu diberit
"Aku jadi ayah, Mir. Aku kini seorang ayah.""A-apa?""Memangnya kamu sudah menikah?"Ali menggeleng, tangis yang tadinya begitu pilu, kini berubah menjadi senyuman."Ha ha ha ... aku seorang ayah, Mir. Anakku kembar, Alhamdulillah."Ali tersungkur di lantai rumput kampus, melakukan sujud sukur atas kabar bahagia yang baru saja ia baca dari pesan sang mama. Emir yang juga ikut tersenyum, kini memeluk Ali seraya menepuk punggunggnya."Selamat, Ali." Hanya kata itu yang mampu Emir ucapkan, karena ia tidak tahu bagaimana bisa Ali mempunyai anak di luar sana, padahal Ali belum menikah. Ya, bisa saja itu anak Ali dengan pacarnya."Terimakasih, Mir." Ali pun tersenyum pada Emir."Apa yang akan kamu lakukan?""Mungkin cuti semester nanti aku akan pulang dulu, aku akan menikahi wanita itu," u
Parni, Anton, dan juga Bu Miranti sudah duduk di teras rumah keluarga Bu Farida. Hening, tidak ada pembicaraan apa pun di antara ketiganya, sampai bibik datang membawakan minum."Mari, diminum tehnya," ujar bibik mempersilakan."Terimakasih, Bik," ujar Parni dengan lembut. Bibik kembali ke dapur sambil membawa nampan, di dalam sudah ada Suraya yang menunggu kembalinya bibik dari teras. Ia penasaran, selain Anton, adik iparnya Parmi, siapa wanita yang bersama Parni, terlihat seperti orang mampu."Mereka bicara apa, Bik?" tanya Suraya saat bibik kembali ke dapur."Pada diem aja, Non," jawab bibik."Oh, Parni tipe wanita irit bicara, jika tamunya juga irit bicara, saya pastikan di depan sana hening seperti kuburan," ujar Suraya yang diikuti anggukan oleh bibik.Kembali ke keadaan di teras, Parni masih menunduk, tidak ingin melihat wajah iba Bu Miran