Ali tengah duduk termenung di bangku taman kampus. Lalu-lalang ramai mahasiswa di sekitarnya tak membuat dia beranjak dari sana. Ali membiarkan tubuhnya berjemur terkena sinar matahari hari pagi. Di tangannya memegang satu cup teh hangat yang ia genggam dengan erat. Entah apa yang sebenarnya membuat ia tidak enak hati seperti ini, yang jelas ia benar-benar malas melakukan apapun hari ini.
Pelan diteguknya teh, air hangat dengan asap masih mengepul itu, mampu membuat tenggorokan dan dadanya lebih segar. Dari kejauhan, tampak Emir sedang tersenyum menatap ponselnya.
Ali tahu, pasti lelaki itu sedang berkirim pesan pada wanita yang Emir label sebagai calon istri. Omong kosong! Pikir Ali yang tidak percaya dengan ucapan Emir. Seperti akan menikahi artis saja, sampai namanya pun tidak diberitahu. Emir terlalu lebay. Ali terus saja bermonolog, hingga tak sadar jika Emir sudah berdiri tepat di depannya.
"Ngapain be
[Ha ha ha ... sa-ya E-mir, te -man Par-ni.][Oh, teman Teh Parni. Bilang dong dari tadi. Emang Teh Parni punya teman? Kok bisa? Teh Parni kabur dari rumah udah lama, mana bawa lipstik mahal milik saya. Panjang deh ceritanya.][Oh, gitu. Saya boleh bicara dengan Bu Parti?][Boleh, tunggu ya]Parmi berjalan ke luar kamar, lalu memberikan ponselnya pada sang ibu yang kini baru selesai mengaji."Bu ini ada telepon dari teman Teh Parni," kata Parmi pada ibunya. Bu Parti memandang Parmi dengan tatapan penasaran, langsung saja menyambar ponsel anaknya.[Hallo, Assalamua'laykum. Ibu, saya Emir, teman Mbak Parni]Parmi memperhatikan ibunya yang sedari tadi berbicara di telepon. Wajah sang ibu tidak lagi tegang, dan ada senyum tipis di sana. Parmi yang penasaran apa yang dibic
Emir baru saja pulang dari berkumpul di rumah temannya, orang asli Jerman. Tentu saja dengan ditemani oleh Ali yang selalu saja ingin ikut bersama Emir. Mereka memilih pulang, karena Ali mengeluh sakit perut sedari sore, apalagi di sana tadi, menyantap makanan yang tidak cocok dengan kondisi perutnya. Mereka memilih pulang dengan berjalan kaki, karena memang lokasi rumah teman Emir tidak terlalu jauh dari asrama."Masih kuat ga?" tanya Emir pada Ali yang wajahnya memucat."Kuat, Mir. Dua blok lagi," jawab Ali sambil sedikit meringis memegang perutnya.BeepBeepBeep[Hallo, assalamualaykum][Bayi kembar Parni harus di angkat, Mir. Dia terpeleset di kosan][Apa, Ma? Ya Allah, trus][Doakan saja semua sehat dan Parni segera pulih, tadi sempat pendarahan, tetapi
Bu Parti dibawa ke rumah sakit, setelah mendapat serangan jantung pagi itu. Bibik menemukannya di dalam kamar Parmi setelah mendengar suara dentum jatuh yang cukup keras. Parmi dan Anton yang baru pulang dari minimarket, tentu saja kaget mendapati sang ibu tengah terbujur lemah di samping tempat tidur mereka, dengan ponsel Parmi yang jatuh tak jauh dari sang ibu yang pingsan.Anton melarikan ibu mertuanya ke rumah sakit, untung saja hari ini dia mengambil cuti karena akan membawa anak dan istri, juga mertuanya menginap di Taman Safari besok.Namun, belum terlaksana acara jalan-jalan, malah kini sang ibu mertua harus dirawat intensif di rumah sakit."Bagaimana kondisi ibu mertua saya, Dok?" tanya Anton."Alhamdulillah, sudah lebih baik. Ibu Parti hanya syok saja, mudah-mudahan keluarga bisa lebih menjaga, berita apapun yang kiranya dapat mengganggu kesehatan jantungya, sebaiknya tidak perlu diberit
"Aku jadi ayah, Mir. Aku kini seorang ayah.""A-apa?""Memangnya kamu sudah menikah?"Ali menggeleng, tangis yang tadinya begitu pilu, kini berubah menjadi senyuman."Ha ha ha ... aku seorang ayah, Mir. Anakku kembar, Alhamdulillah."Ali tersungkur di lantai rumput kampus, melakukan sujud sukur atas kabar bahagia yang baru saja ia baca dari pesan sang mama. Emir yang juga ikut tersenyum, kini memeluk Ali seraya menepuk punggunggnya."Selamat, Ali." Hanya kata itu yang mampu Emir ucapkan, karena ia tidak tahu bagaimana bisa Ali mempunyai anak di luar sana, padahal Ali belum menikah. Ya, bisa saja itu anak Ali dengan pacarnya."Terimakasih, Mir." Ali pun tersenyum pada Emir."Apa yang akan kamu lakukan?""Mungkin cuti semester nanti aku akan pulang dulu, aku akan menikahi wanita itu," u
Parni, Anton, dan juga Bu Miranti sudah duduk di teras rumah keluarga Bu Farida. Hening, tidak ada pembicaraan apa pun di antara ketiganya, sampai bibik datang membawakan minum."Mari, diminum tehnya," ujar bibik mempersilakan."Terimakasih, Bik," ujar Parni dengan lembut. Bibik kembali ke dapur sambil membawa nampan, di dalam sudah ada Suraya yang menunggu kembalinya bibik dari teras. Ia penasaran, selain Anton, adik iparnya Parmi, siapa wanita yang bersama Parni, terlihat seperti orang mampu."Mereka bicara apa, Bik?" tanya Suraya saat bibik kembali ke dapur."Pada diem aja, Non," jawab bibik."Oh, Parni tipe wanita irit bicara, jika tamunya juga irit bicara, saya pastikan di depan sana hening seperti kuburan," ujar Suraya yang diikuti anggukan oleh bibik.Kembali ke keadaan di teras, Parni masih menunduk, tidak ingin melihat wajah iba Bu Miran
Perkelahian tidak terelakkan lagi, saat Emir mengetahui bahwa Ali adalah lelaki yang telah menghamili Parni. Ya, Ali menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Emir, bahkan asal mula Ali mengenal Parni tak luput dari bibir Ali, semua hal yang berkaitan dengan Parni, ia ceritakan pada Emir.Alih-alih mendapat simpati, Ali malah harus babak-belur dipukuli oleh Emir. Ali sendiri masih bingung kenapa Emir memukulinya. Jika saja tidak dilerai oleh teman asrama Ali, tentulah saat ini, Ali sudah almarhum.Keduanya sudah diamankan pihak asrama, Ali mendapat perawatan di klinik asrama, sedangkan Emir kini berada di kantor Staf Kemahasiswaan untuk diinterogasi. Bu Miranti yang mendapat kabar Ali berkelahi dengan Emir dan Ali terluka cukup parah, menceritakan hal ini pada Anton, saat Anton membawakan makan malam untuk Bu Miranti di kamar penginapannya."Jadi, maksud Tante, Ali berteman dengan Emir. Lelaki yang mengatakan bahwa ia teman dekat Parni?" tanya Anton masih setengah tidak percaya."Sep
Anton kini sudah di bandara Soekarno Hatta, setelah berdiskusi dengan kakak iparnya, Parni. Ia memutuskan pulang terlebih dahulu ke Jakarta. Setelah ada kabar dari Parni bahwa si kembar boleh pulang, mungkin Anton akan kembali menjemput kakak iparnya di Surabaya.Sementara itu, Parni kini tengah menatap langit-langit kamarnya, ia baru saja selesai pumping ASI yang cukup banyak. Ia sangat bersukur, meskupun kedua bayinya berada di dalam ruangan NICU, tetapi tidak pernah kekeurangan ASI darinya.Malam ini, ia kembali memikirkan bagaimana meminta izin pada Bu Farida yang sudah terlalu baik padanya. Ada perasaan sedih bercampur bingung, tetapi ia memang harus mempunyai keputusan untuk dirinya dan juga kembar, tidak bisa selamanya menyusahkan Bu Farida, Suraya , dan juga Emir.BeepBeepParni menoleh pada ponselnya yang berdering di samping ranjangnya, ada nama Emir di sana yang saat ini melakukan panggilan padanya.[Hallo, assalamua'laykum.][Wa'alaykumussalam. Hallo Mbak, apa kabar?][Al
"Sudah, Ma," jawab Ali dengan kedua tangan yang dinging seperti es."Heh... yakin ga akan pingsan?" tanya Bu Miranti meledek sang putera yang sangat terlihat nervous."Yakin, Ma. Kalau pun pingsan, ada Mama yang menolong Ali'kan?" jawab Ali sambil menahan senyumya.Teet!Teet!"Biar saya yang buka pintunya, Bu," ucap Parni saat Bu Farida hendak memanggil bibik untuk melihat ada siapa di depan."Oh, ya sudah," sahut Bu Farida sambil kembali menyesap teh jahe yang baru saja dibuat oleh Parni.Dengan langkah ringan, Parni berjalan menuju halaman depan, sesekali memandang langit yang gelap, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Ia benar tidak tahu, siapa tamu yang masih pagi sudah berkunjung."Siapa?" tanya Parni dari balik pagar."Saya, Bu Miranti," jawab Bu Miranti. Parni memutar bola mata malasnya, mau apalagi ibunya Ali itu menemuinya. Dengan malas, ia membuka kunci gembok pagar, lalu dengan sedikit tenaga menggeser pintu gerbang. Betapa ia kaget, nafasnya seakan terhenti seketika, ta