Bu Parti dibawa ke rumah sakit, setelah mendapat serangan jantung pagi itu. Bibik menemukannya di dalam kamar Parmi setelah mendengar suara dentum jatuh yang cukup keras. Parmi dan Anton yang baru pulang dari minimarket, tentu saja kaget mendapati sang ibu tengah terbujur lemah di samping tempat tidur mereka, dengan ponsel Parmi yang jatuh tak jauh dari sang ibu yang pingsan.
Anton melarikan ibu mertuanya ke rumah sakit, untung saja hari ini dia mengambil cuti karena akan membawa anak dan istri, juga mertuanya menginap di Taman Safari besok.
Namun, belum terlaksana acara jalan-jalan, malah kini sang ibu mertua harus dirawat intensif di rumah sakit."Bagaimana kondisi ibu mertua saya, Dok?" tanya Anton.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Ibu Parti hanya syok saja, mudah-mudahan keluarga bisa lebih menjaga, berita apapun yang kiranya dapat mengganggu kesehatan jantungya, sebaiknya tidak perlu diberit
"Aku jadi ayah, Mir. Aku kini seorang ayah.""A-apa?""Memangnya kamu sudah menikah?"Ali menggeleng, tangis yang tadinya begitu pilu, kini berubah menjadi senyuman."Ha ha ha ... aku seorang ayah, Mir. Anakku kembar, Alhamdulillah."Ali tersungkur di lantai rumput kampus, melakukan sujud sukur atas kabar bahagia yang baru saja ia baca dari pesan sang mama. Emir yang juga ikut tersenyum, kini memeluk Ali seraya menepuk punggunggnya."Selamat, Ali." Hanya kata itu yang mampu Emir ucapkan, karena ia tidak tahu bagaimana bisa Ali mempunyai anak di luar sana, padahal Ali belum menikah. Ya, bisa saja itu anak Ali dengan pacarnya."Terimakasih, Mir." Ali pun tersenyum pada Emir."Apa yang akan kamu lakukan?""Mungkin cuti semester nanti aku akan pulang dulu, aku akan menikahi wanita itu," u
Parni, Anton, dan juga Bu Miranti sudah duduk di teras rumah keluarga Bu Farida. Hening, tidak ada pembicaraan apa pun di antara ketiganya, sampai bibik datang membawakan minum."Mari, diminum tehnya," ujar bibik mempersilakan."Terimakasih, Bik," ujar Parni dengan lembut. Bibik kembali ke dapur sambil membawa nampan, di dalam sudah ada Suraya yang menunggu kembalinya bibik dari teras. Ia penasaran, selain Anton, adik iparnya Parmi, siapa wanita yang bersama Parni, terlihat seperti orang mampu."Mereka bicara apa, Bik?" tanya Suraya saat bibik kembali ke dapur."Pada diem aja, Non," jawab bibik."Oh, Parni tipe wanita irit bicara, jika tamunya juga irit bicara, saya pastikan di depan sana hening seperti kuburan," ujar Suraya yang diikuti anggukan oleh bibik.Kembali ke keadaan di teras, Parni masih menunduk, tidak ingin melihat wajah iba Bu Miran
Perkelahian tidak terelakkan lagi, saat Emir mengetahui bahwa Ali adalah lelaki yang telah menghamili Parni. Ya, Ali menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Emir, bahkan asal mula Ali mengenal Parni tak luput dari bibir Ali, semua hal yang berkaitan dengan Parni, ia ceritakan pada Emir.Alih-alih mendapat simpati, Ali malah harus babak-belur dipukuli oleh Emir. Ali sendiri masih bingung kenapa Emir memukulinya. Jika saja tidak dilerai oleh teman asrama Ali, tentulah saat ini, Ali sudah almarhum.Keduanya sudah diamankan pihak asrama, Ali mendapat perawatan di klinik asrama, sedangkan Emir kini berada di kantor Staf Kemahasiswaan untuk diinterogasi. Bu Miranti yang mendapat kabar Ali berkelahi dengan Emir dan Ali terluka cukup parah, menceritakan hal ini pada Anton, saat Anton membawakan makan malam untuk Bu Miranti di kamar penginapannya."Jadi, maksud Tante, Ali berteman dengan Emir. Lelaki yang mengatakan bahwa ia teman dekat Parni?" tanya Anton masih setengah tidak percaya."Sep
Anton kini sudah di bandara Soekarno Hatta, setelah berdiskusi dengan kakak iparnya, Parni. Ia memutuskan pulang terlebih dahulu ke Jakarta. Setelah ada kabar dari Parni bahwa si kembar boleh pulang, mungkin Anton akan kembali menjemput kakak iparnya di Surabaya.Sementara itu, Parni kini tengah menatap langit-langit kamarnya, ia baru saja selesai pumping ASI yang cukup banyak. Ia sangat bersukur, meskupun kedua bayinya berada di dalam ruangan NICU, tetapi tidak pernah kekeurangan ASI darinya.Malam ini, ia kembali memikirkan bagaimana meminta izin pada Bu Farida yang sudah terlalu baik padanya. Ada perasaan sedih bercampur bingung, tetapi ia memang harus mempunyai keputusan untuk dirinya dan juga kembar, tidak bisa selamanya menyusahkan Bu Farida, Suraya , dan juga Emir.BeepBeepParni menoleh pada ponselnya yang berdering di samping ranjangnya, ada nama Emir di sana yang saat ini melakukan panggilan padanya.[Hallo, assalamua'laykum.][Wa'alaykumussalam. Hallo Mbak, apa kabar?][Al
"Sudah, Ma," jawab Ali dengan kedua tangan yang dinging seperti es."Heh... yakin ga akan pingsan?" tanya Bu Miranti meledek sang putera yang sangat terlihat nervous."Yakin, Ma. Kalau pun pingsan, ada Mama yang menolong Ali'kan?" jawab Ali sambil menahan senyumya.Teet!Teet!"Biar saya yang buka pintunya, Bu," ucap Parni saat Bu Farida hendak memanggil bibik untuk melihat ada siapa di depan."Oh, ya sudah," sahut Bu Farida sambil kembali menyesap teh jahe yang baru saja dibuat oleh Parni.Dengan langkah ringan, Parni berjalan menuju halaman depan, sesekali memandang langit yang gelap, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Ia benar tidak tahu, siapa tamu yang masih pagi sudah berkunjung."Siapa?" tanya Parni dari balik pagar."Saya, Bu Miranti," jawab Bu Miranti. Parni memutar bola mata malasnya, mau apalagi ibunya Ali itu menemuinya. Dengan malas, ia membuka kunci gembok pagar, lalu dengan sedikit tenaga menggeser pintu gerbang. Betapa ia kaget, nafasnya seakan terhenti seketika, ta
Ali dilarikan ke rumah sakit karena darah yang mengalir dari kepala belakangnya cukup banyak. Dibantu oleh Bu Farida dan Suraya, Bu Miranti membawa Ali yang tak sadarkan diri dengan bibir memutih. Parni sendiri cukup syok dengan apa yang belum lama ia lakukan, apa jadinya kalau Ali benar mati? Pasti ia akan dipenjara. Ya Allah, semoga Ali baik-baik saja. Gumam Parni sambil menggigit kuku jarinya karena resah.Berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar keluarga Bu Farida, sambil melihat dengan takut, bibik yang sedang mengguyur dengan air, darah kepala Ali yang masih berceceran di halaman rumah keluarga Bu Farida. Air mata Parni luruh, tidak ada niatan ia sama sekali untuk benar-benar membuat Ali sampai kehilangan nyawa. Tapi, kenapa jadi seperti ini.Ponselnya berdering, ada nama Emir di sana. Tidak, ia sedang tidak ingin berbicara dengan Emir. Ia tak sanggup bicara pada siapapun saat ini, sebelum mengetahui bagaimana keadaan Ali. Panggilan dari Emir terhenti, Parni mengambil cepat
Sebelum pulang ke rumah bersama Bu Farida dan Suraya, Parni menyempatkan diri untuk menjenguk Saka dan Lingga. Dua bayi yang masih saja sedikit gelisah. Padahal sudah ada obat yang diberikan melalui alat-alat yang menempel di badannya, agar bayi itu tenang. Parni yang melihatnya sedikit iba, ingin sekali ia masuk ke dalam sana lalu menimang keduanya agar tenang."Kenapa bisa rewel ya, Sus, bayi saya?" tanya Parni pada perawat yang kebetulan lewat di depannya."Mungkin mereka tidak nyaman dengan semua alat di dalam kotak itu, Bu. Atau bisa jadi karena ada sesuatu yang terjadi dengan ayah ibunya di luar sana, sehingga kontak batin ke bayi cukup terasa.""Oh, baik, Sus. Terimakasih atas penjelasannya," ujar Parni sambil tersenyum tipis. Dia jadi teringat akan Ali yang hampir saja ia bunuh tadi. Untung saja tidak terjadi, mungkin dia memang tidak akan pernah memaafkan Ali, namun ia juga tidak ingin menjadi pembunuh ayah dari kedua buah hatinya."Mau pulang sekarang atau masih mau di sini?"
Ali tengah duduk di kursi roda, matanya berkaca-kaca memandang dua box bayi di dalam sana dengan banyak alat terpasang di tubuh bayi kembar itu. Saka dan Lingga, itulah nama yang diberikan Teh Parni untuk dua buah hatinya yang sedari bayi saja sudah terlihat tampan. Ali tersenyum, tetapi air matanya mengalir, betapa bodohnya ia dulu yang tak segera menyelesaikan semua masalah sebelum pergi. Namun, semua sudah terjadi, sekarang dia akan fokus pada kedua buah hatinya dan juga seorang wanita di sana yang masih belum mau memaafkannya."Anak Ali ganteng ya, Ma," ujar Ali pada sang mama."Ehm...persis seperti kamu saat baru lahir. Ini mama bawa fotonya," Bu Miranti mengambil dompet dari dalam tasnya, lalu mengeluarkan selembar foto yang terselip di antara lipatan. Ali menerimanya dengan senyuman, menatap foto itu dengan seksama, lalu berpindah pada kedua bayi di sana yang masih terlelap."Benar, Ma. Mereka mirip sekali dengan Ali." Ali tersenyum lebar."Kalau kata orang jaman dulu, jika ana
Gemericik suara air mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Tidur yang paling berkualitas sepanjang hidupnya, karena ini pertama kalinya ia tidur sambil dipeluk oleh seseorang yang membuatnya kembali jatuh cinta. Parni membuka matanya pelan, dirabanya sisi kasur yang telah kosong. Ke mana suaminya? Parni turun dari kasur tanpa memperhatikan rasa nyeri."Auu ...." Parni kembali duduk. Kenapa sakit? Karena memang baru ini lagi ia berhubungan intim, tentu saja rasanya bagai baru saja diperawanin. Perih, kebas, dan serasa tebal. Sangat tidak nyaman. Parni meraih selimut tebal untuk menutupi tubuhnya hingga dada. Diliriknya jam di dinding yang sudah pukul setengah delapan pagi.Shubuh tadi, setelah selesai mandi hadas besar dan sholat berjamaah, mereka kembali melanjutkan aktifitas panas, merajut tali cinta. Mengharapkan segera hadir adik bagi Saka dan Lingga. Wajar saja jika saat ini mereka bangun kesiangan. Sepertinya sang suami tidak ada di dalam kamar mandi. Ke mana suara anak-anak? Apa me
"Saka dan Lingga biar tidur di rumah Mama saja, ya?" ujar Bu Miranti yang sudah memangku Saka, sedangkan Lingga di pangku oleh Opanya."Eh, jangan, Ma. Saya iseng, kalau tidak ada orang di rumah," tolak Parni terus terang."Trus itu yang lagi nunduk siapa? Demit?" celetuk Parmi, sang adik yang sangat kebetulan pintar malam ini. Di samping Parni sudah duduk Ali yang kini sedang menunduk."Gak papa, Teh. Pengantin baru itu harus beratapdasi satu sama lain. Benarkan, Yang?" tanya Parmi pada Anton yang kini menyeringai lebar. Baru sepersekian detik dipuji, udah error lagi Nyonya Parmi."Ber-a-dap-ta-si." Anton membetulkan ucapan Parmi."Iya, tadikan Ibu bilang beratapdasi," balas Parmi tak mau kalah. "Ha ha ha ...." semua yang ada di sana tertawa mendengarkan percakapan Parmi dan juga Anton."Besok tinggal jemput ke rumah Omanya. Jangan takut, Teh. Paling digigit sayang doang sama Ali. He he he ...." yang lain pun ikut tertawa. "Ya sudah, kita pulang dulu ya, Ni. Ali, Ibu balik ya?""Eh
[Hallo, selamat sore. Saya dengan Emir. Dua tahun lalu saya mengantar seorang pasien yang melahirkan di rumahnya. Namanya Ami dan bayinya Amira. Apakah Suster tahu keberadaan mereka di mana?][Sore, Mas. Mohon, Maaf. Kami tidak bisa memberitahukan kabar apapun berkaitan dengan pesian kami. Karena itu privacy.][Oh, baiklah. Terimakasih]Emir mematikan teleponnya, lalu memilih duduk di sofa. Jendela rumah yang terbuka lebar, membuat ia dapat menghirup dalam aroma tanah yang basah oleh air hujan yang baru saja reda."Mir, Parni hari ini nikah lho. Kamu sudah ucapkan selamat?" tanya Bu Farida saat menghampiri anaknya di ruang depan."Sudah, Ma. Emir juga sudah transfer uang sebagai hadiah buat Teh Parni," jawabnya sambil tersenyum tipis."Kamu sudah tidak apa-apa?""He he he ... Gak papa Mama, sekarang udah ada Farah yang jadi pacar Emir.""Kapan dia kamu ajak ketemu Mama?""Minggu ini kalau dia ga ada pemotretan, Ma.""Mmm... Okelah, Mama masuk dulu." Bu Farida meninggalkan Emir yang ma
"Bagaimana kalau Teteh menikah dengan saya?" tanya Ali tanpa ragu."Kalau kamu masih bicara seperti itu lagi, lebih baik kamu turun. Jalan kaki saja sana, pulang!""He he he ... Gak mau ya. Ya sudah ga papa, yang penting Teteh ga nikah sama siapa-siapa, saya jadi lega," ujar Ali sambil mengusap kedua pipi Lingga."Oh, jadi kamu doain aku jomblo seumur hidup? Sorry ya, aku udah ikut biro jodoh, paling sebentar lagi juga dapat," balas Parni tak mau kalah."He he he ...Bukan begitu maksud saya, Teteh."Pedebatan pun masih saja terjadi sampai mereka tiba di sebuah rumah minimalis kawasan Jakarta Timur. Bu Miranti hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ocehan dua orang yang duduk di belakangnya, sedangkan Pak Asep, sopir keluarga Bu Miranti hanya senyam-senyum saja."Semoga berjodoh yang duduk di belakang ini ya, Bu," bisik Pak Asep pada Bu Miranti."Aamiin. Saya malah pengennya besok saya nikahin aja, Pak. Biar ga berantem terus," sahut Bu Miranti juga sambil berbisik.Pak Asep turun d
2 Tahun Kemudian.Di luar hujan turun begitu deras, disertai petir yang menggelegar. Sore hari yang tadinya cerah, berubah gelap menjelang adzan magrib. Ali baru saja selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah di masjid di dalam LAPAS, bersama Bang Komeng, Bang Malih, dan Aden, teman satu selnya.Senyumnya tak surut saat membayangkan besok adalah hari ia dibebaskan setelah dua tahun menjalani masa hukuman. Ia tak sabar untuk bertemu dengan Saka dan Lingga, serta ibu si kembar. Ya, meskipun dari kabar yang ia dengar, Parni sudah menikah dengan Emir, tetapi entah kenapa ia merindukan wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu."Duh, yang mau bebas besok. Senyam-senyum terus," goda Aden kini duduk di samping Ali."Udah ga sabar mau ketemu anak, Den," sahut Ali sambil tersenyum."Oh, cuma ga sabar ketemu sama si kembar, kirain sama ibunya juga. Ha ha ha ..." timpal Bang Komeng, hingga yang lainnya ikut tertawa."Istri orang masa dikangenin, Bang. Dosalah," timpal Ali."Yang jelas, d
"Toloong! Ada yang melahirkan. Tolooong!" teriak lelaki histeris bahkan dengan wajah pucat seputih kapas. Karena lokasi yang jauh dari pemukiman, ia berlari keluar villa, lalu menyebrang jalan untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang baru saja turun dari mobil di villa depan. Para ibu dan bapak yang keheranan dengan kedatangan Emir menjadi penasaran."Ada apa, Mas?""Tolong, Pak. Ada wanita melahirkan di dalam rumah besar itu, sepertinya tidak ada orang di dalam kecuali dia. Ayo, Pak. Kita tolong!" tiga orang lelaki dewasa dan dua wanita paruh baya ikut kaget, lalu dengan cepat mengangguk mengikuti langkah Emir. Petugas parkir belum sempat menghentikan kepergian para tamunya, karena sibuk mengatur posisi parkir tamu yang lain. Lelaki yang bertugas sebagai juru parkir itu bergidik ngeri, saat berbondong-bondong sebagian tamunya menyebrang villa di seberang.Bugh!Bugh!Suara hentakan itu semakin keras terdengar, hingga enam orang yang kini berdiri di depan tangga menjadi sangat
"Maksud Mama apa?""Sepertinya, Parni dan Emir akan segera menikah.""Tidak mungkin, Ma. Mama jangan bercanda.""Mama lihat sendiri Emir berlutut di kaki Parni sambil memberikan sebuah cincin.""Ali tidak mau anak-anak Ali memanggil lelaki lain dengan sebutan Papa. Hiks...""Mama juga sedih, tetapi jika ini semua menjadi keputusan Parni, kita tidak boleh protes. Yang penting nanti setelah keluar dari sini, kamu bisa ketemu anak-anak. Selamanya Saka dan Lingga adalah anak-anak kamu, cucu Mama dan Papa." Bu Miranti menangis saat melihat puteranya ikut menangis. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika Allah sudah berkehendak. Ali termenung di dalam sel dinginnya, menatap langit-langit yang penuh dengan bekas kotoran cicak dan noda air hujan. Kepalanya kembali mengingat Parni adalah wanita yang pertama kali ia cium. Parni juga yang selalu saja ketus padanya bila sedang bertamu ke rumah Parni, bahkan ia disuruh mencuci piring oleh Parni setelah ikut sarapan bersama. Hanya Parnilah wanita yang
[Maaf, Mas. Maaf sekali lagi. Saya tidak ingin menikah dengan siapapun. Fokus saya kali ini adalah anak-anak saya.][Tapi kamu masih cinta sama saya kan, Ni?][Cinta tidak harus selalu berakhir di pelaminan'kan?]Mas Iqbal, tolong lupakan saya. Lanjutkan perjalanan kisah Mas Iqbal dengan orang lain. InsyaAllah luka kita akan sembuh dengan hadirnya orang lain yang mengisi ke kosongan][Oh, jadi kamu bisa seperti ini karena ada orang lain yang sudah membuat kamu melupakan saya?][Bukan seperti itu, Mas][Apa Emir orangnya? Atau jangan-jangan lelaki yang sudah memberikanmu anak?][Maaf, Mas Iqbal. Anak saya bangun, saya tutup ya. Assalamualaikum]Tut!Tut!Parni menarik nafas panjang dengan bibir bergetar. Ia tidak menyangka Iqbal berpikiran buruk padanya. Tetapi ya sudahlah, yang penting pesan inti dari pembicaraan ini sudah disampaikan olehnya. Dirinya ingin Iqbal bisa bahagia dengan wanita lain. Ia ikhlas walaupun tak mudah. Parni kembali merebahkan dirinya di atas ranjang. Ditatapny
Semua orang sudah duduk di ruang tamu keluarga Anton. Ada Bu Parti, Bu Farida, Suraya, Iqbal, Parni, dan juga Anton. Sedangkan Parmi sedang mengurus anak kembarnya di dalam kamar. Belum ada pembicaraan di sana, semua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Parni yang begitu salah tingkah saat ini, karena dipandang intens oleh Iqbal, Bu Farida, dan juga Suraya."Mm...jadi, apakah Parni memang mengenal Iqbal?" Bu Farida membuka suara."Parni mantan calon istri saya," jawab Iqbal dengan raut wajah kecewa. Bu Farida dan Suraya tentu kaget mendengar jawaban Iqbal. Namun, mereka tetap tenang, karena memang Suraya dan Bu Farida tipe wanita yang tidak mudah tersulut api amarah. Sedangkan Parni sudah menunduk malu sambil menggendong Saka."Betul itu, Parni?" "Iya, Bu.""Parni dan Iqbal urusannya sudah selesai, sejak Parni memutuskan pergi ke Surabaya. Saya rasa tidak ada yang masalah dengan masa lalu mereka. Bukankan anak Parni bukan anak Iqbal," suara Bu Parti menjabarkan kondi