"Sudah, Ma," jawab Ali dengan kedua tangan yang dinging seperti es."Heh... yakin ga akan pingsan?" tanya Bu Miranti meledek sang putera yang sangat terlihat nervous."Yakin, Ma. Kalau pun pingsan, ada Mama yang menolong Ali'kan?" jawab Ali sambil menahan senyumya.Teet!Teet!"Biar saya yang buka pintunya, Bu," ucap Parni saat Bu Farida hendak memanggil bibik untuk melihat ada siapa di depan."Oh, ya sudah," sahut Bu Farida sambil kembali menyesap teh jahe yang baru saja dibuat oleh Parni.Dengan langkah ringan, Parni berjalan menuju halaman depan, sesekali memandang langit yang gelap, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Ia benar tidak tahu, siapa tamu yang masih pagi sudah berkunjung."Siapa?" tanya Parni dari balik pagar."Saya, Bu Miranti," jawab Bu Miranti. Parni memutar bola mata malasnya, mau apalagi ibunya Ali itu menemuinya. Dengan malas, ia membuka kunci gembok pagar, lalu dengan sedikit tenaga menggeser pintu gerbang. Betapa ia kaget, nafasnya seakan terhenti seketika, ta
Ali dilarikan ke rumah sakit karena darah yang mengalir dari kepala belakangnya cukup banyak. Dibantu oleh Bu Farida dan Suraya, Bu Miranti membawa Ali yang tak sadarkan diri dengan bibir memutih. Parni sendiri cukup syok dengan apa yang belum lama ia lakukan, apa jadinya kalau Ali benar mati? Pasti ia akan dipenjara. Ya Allah, semoga Ali baik-baik saja. Gumam Parni sambil menggigit kuku jarinya karena resah.Berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar keluarga Bu Farida, sambil melihat dengan takut, bibik yang sedang mengguyur dengan air, darah kepala Ali yang masih berceceran di halaman rumah keluarga Bu Farida. Air mata Parni luruh, tidak ada niatan ia sama sekali untuk benar-benar membuat Ali sampai kehilangan nyawa. Tapi, kenapa jadi seperti ini.Ponselnya berdering, ada nama Emir di sana. Tidak, ia sedang tidak ingin berbicara dengan Emir. Ia tak sanggup bicara pada siapapun saat ini, sebelum mengetahui bagaimana keadaan Ali. Panggilan dari Emir terhenti, Parni mengambil cepat
Sebelum pulang ke rumah bersama Bu Farida dan Suraya, Parni menyempatkan diri untuk menjenguk Saka dan Lingga. Dua bayi yang masih saja sedikit gelisah. Padahal sudah ada obat yang diberikan melalui alat-alat yang menempel di badannya, agar bayi itu tenang. Parni yang melihatnya sedikit iba, ingin sekali ia masuk ke dalam sana lalu menimang keduanya agar tenang."Kenapa bisa rewel ya, Sus, bayi saya?" tanya Parni pada perawat yang kebetulan lewat di depannya."Mungkin mereka tidak nyaman dengan semua alat di dalam kotak itu, Bu. Atau bisa jadi karena ada sesuatu yang terjadi dengan ayah ibunya di luar sana, sehingga kontak batin ke bayi cukup terasa.""Oh, baik, Sus. Terimakasih atas penjelasannya," ujar Parni sambil tersenyum tipis. Dia jadi teringat akan Ali yang hampir saja ia bunuh tadi. Untung saja tidak terjadi, mungkin dia memang tidak akan pernah memaafkan Ali, namun ia juga tidak ingin menjadi pembunuh ayah dari kedua buah hatinya."Mau pulang sekarang atau masih mau di sini?"
Ali tengah duduk di kursi roda, matanya berkaca-kaca memandang dua box bayi di dalam sana dengan banyak alat terpasang di tubuh bayi kembar itu. Saka dan Lingga, itulah nama yang diberikan Teh Parni untuk dua buah hatinya yang sedari bayi saja sudah terlihat tampan. Ali tersenyum, tetapi air matanya mengalir, betapa bodohnya ia dulu yang tak segera menyelesaikan semua masalah sebelum pergi. Namun, semua sudah terjadi, sekarang dia akan fokus pada kedua buah hatinya dan juga seorang wanita di sana yang masih belum mau memaafkannya."Anak Ali ganteng ya, Ma," ujar Ali pada sang mama."Ehm...persis seperti kamu saat baru lahir. Ini mama bawa fotonya," Bu Miranti mengambil dompet dari dalam tasnya, lalu mengeluarkan selembar foto yang terselip di antara lipatan. Ali menerimanya dengan senyuman, menatap foto itu dengan seksama, lalu berpindah pada kedua bayi di sana yang masih terlelap."Benar, Ma. Mereka mirip sekali dengan Ali." Ali tersenyum lebar."Kalau kata orang jaman dulu, jika ana
Emir dapat mempresentasikan tesisnya di depan mata penguji dengan baik. Walaupun hatinya kalut dengan kabar yang baru saja sang mama sampaikan, tetapi ia berusaha tetap fokus. Karena lulus sidang dengan baik, maka ia akan bisa secepatnya kembali ke Indonesia. Ya, ia tidak boleh gagal kali ini.Emir keluar ruang sidang dengan nafas lega, AC ruangan tak berasa sedikit pun karena rasa grogi membuat ia begitu keringatan. Hanya satu tujuan kakinya kini, ruang administrasi mahasiswa, memastikan apa yang harus ia lakukan setelah sidang ini selesai, karena ia berharap bisa segera kembali ke Indonesia.Parni sedang duduk mengantre dipanggil oleh dokter anak. Masih antrean nomor tiga, sedangkan dirinya nomor enam. Tanpa ia sadari, Ali yang kondisinya sudah semakin baik, kini tengah berjalan sedikit ragu ke arah kursi kosong di sebelah Parni."Setan!" pekik Parni membuat semua orang di sana menoleh padanya dan juga Ali."Ngapain kamu di sini? Ngagetin aja!" Parni mengusap dadanya yang benar-bena
Petugas kepolisian mencatat keterangan yang sebenar-benarnya diberikan oleh Ali dan juga Bu Miranti. Lelaki muda itu tak nampak ragu. Ia telah memantapkan hatinya agar berani bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan.Bu Miranti menangis saat ditanya oleh polisi. Bukan karena takut ia akan dipenjara juga karena menutupi sebuah kesalahan, tetapi membayangkan anak lelakinya harus mendekam di dalam jeruji besi, membuat hatinya hancur."Sudah, Ma. Ali gak papa kok," ujar Ali menenangkan sang mama."Hiks ... Mama akan sering membawakan makanan untuk kamu," sahut sang mama sambil memberikan pelukan hangat untuk Ali. Dokter Alan akhirnya ikut meneteskan air mata. Tangannya terbuka lebar untuk memeluk sulungnya, memberikannya semangat agar kuat dan berani menanggung resiko dari semua perbuatannya."Titip anak Ali ya, Pa. Tolong jaga mereka, sementara Ali ada di sini," bisik Ali pada sang papa sambil meneteskan air mata."Pasti." Dokter Alan menepuk punggung anaknya."Mari Mas Ali, seln
"Ali, sebenarnya apa maksud kamu dengan menyerahkan diri ke polisi?""Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya. Agar Teteh memaafkan saya.""Kalau saya sudah memaafkan kamu, trus kamu mau apa lagi?""Teteh...mmm...mau tidak jadi istri saya?""Ha ha ha ha ... " Parni tertawa lebar dan Ali memandangnya tanpa berkedip, barulah ia semakin sadar, kalau Teh Parni memiliki wajah yang cantik. Kenapa ia baru menyadarinya?"Hhhmmm... Ali, Ali. Maaf, untuk yang satu itu aku tidak bisa kabulkan. Kamu cukup jadi ayah anak-anakku saja. Bukan lelaki yang menjadi imamku," ujar Parni sambil tersenyum."Tapi, Teh. Saya akan berjanji menjadi suami yang baik, sholeh, dan tidak mesum. Beneran!" "Kamu ini...ssst... benar-benar belum sembuh. Sudah, saya mau pulang." Parni berdiri dari duduknya. Ali memandang Parni dengan tatapan sayu. Entah kenapa ia ingin sekali memeluk wanita yang dengan susah melahirkan anak-anaknya. Tetapi, pasti ia akan tambah dibenci oleh Parni."Jaga diri, jangan sampai baba
Selamat pagiSelamat beraktifitas.****Parni sudah siap dengan kotak bekal cukup besar. Si kembar juga sudah dimandikan oleh neneknya, yaitu Bu Parti. Mau ke mana sih pagi-pagi begini? Mau ketemu Oma Miranti. Wanita paruh baya itu, pasti selalu mampir ke rumah Parni setiap harinya untuk melihat cucu kesayangan. Jika tidak pagi hari, maka siang hari Bu Miranti menyempatkan untuk melihat cucunya. Seperti pagi ini, mobil yang dikendarai Bu Miranti sudah masuk ke dalam pekarangan rumah Anton. Dengan penuh suka cita, ia turun dari mobil, lalu menghampiri Bu Parti yang sedang menyuapi sarapan Andrea, anak kembar tiga dari Parmi"Assalamualaykum, Bu.""Wa'alaykumussalam. Mari masuk, Bu. Silakan duduk.""Mau duduk di dalam atau di luar saja?""Di sini saja, Bu. Ini siapa? Aleta ya?" tanya Bu Miranti, ia belum bisa membedakan anak kembar tiga milik Parmi. Mana Andrea, mana Aleta, dan mana Andini. Karena wajah ketiganya sama semua."Ini Andrea, Bu Miranti. Ada tahi lalat kecil di hidungnya. K