Kamu tahu Parni kenapa?"
"M...tidak tahu, Bu."
"Kamu yakin?"
"Iya, Bu. Cuma Mbak Parni kemarin sempat pingsan, kata dokter kurang darah," terang Luna sedikit berbohong.
"Oh, mungkin saja. Ya sudah, nanti sore gajiannya ya. Sedang saya masukkan ke dalam amplop," ujar Bu Farida.
"Alhamdulillah. Baik, Bu. Terimakasih, saya pamit ya, Bu." Luna tersenyum keluar dari ruangan Bu Farida, lalu berjalan menghampiri Parni hang sedang duduk di kursi plastik sambil mengiris bawang putih.
"Mbak, nanti sore kita gajian," ujar Luna menepuk lembut pundak Parni.
"Oh ya, alhamdulillah." Parni ikut tersenyum lega. Lalu menarik kursi yang kosong untuk diberikan pada Luna. Keduanya kini duduk bersampingan, sambil memandang ke luar. Belum ada tamu lagi, sehingga mereka masih bisa sedikit bersantai.
"Ga terasa Mbak Parni sudah satu bulan bekerja di sini ya. Betah ga Mbak?"
"Iya, ya. Tidak terasa," jawab Parni hambar. Otaknya kembali mengingat,
Suara riuh ramai memadati warung soto besar milik Bu Farida. Alunan musik gamelan menemani para tamu yang sedang menyantap makan siang, atau sekedar bercengkrama dengan temannya. Semua karyawan sibuk saat ini, bahkan untuk menenggak segelas air pun mereka tidak sempat. Kesepuluh karyawan warung soto Bu Farida, harus siap bahu membahu melayani sepasang anak manusia di depan sana yang baru selesai ijab qabul, dan tengah tersenyum lebar penuh suka cita menyambut para tamu yang memberi doa selamat sekaligus mendoakan mereka.Ya, siang ini warung soto Bu Farida di sewa untuk acara resepsi pernikahan anak dari teman Bu Farida. Bertempat di pusat kota, memiliki lahan parkir yang luas, serta aneka menu makanannya yang enak, membuat warung soto Bu Farida beberapa kali dijadikan tempat berlangsungnya acara pernikahan, selamatan ulang tahun, atau bertunangan. Seperti sore ini, semua karyawannya dikerahkan untuk membantu kelancaran acara tersebut.
Sementara itu di rumah sakit, Ali masih saja muntah-muntah. Berbagai makanan yang masuk ke dalam mulutnya ia keluarkan detik itu juga. Hingga bobot tubuhnya turun drastis. Sang mama dengan sabar merawat Ali, ditemani oleh Farah. Wanita muda itu terlihat sekali peduli pada Ali. Siang, sepulang dari kampus, pasti ia membawakan Ali aneka makanan agar Ali bisa makan. Namun lagi-lagi makanan itu Ali muntahkan. Emir pun tak kalah peduli pada kondisi Ali yang semakin hari semakin payah."Kamu sakit apa sih, Li? Hiks...," isak Bu Miranti menatap lemah tubuh anaknya yang terbaring di brangkar rumah sakit."Sabar, Tante. Kita doa terus dan usaha. Nanti coba Farah ngomong sama temen tante Farah seorang dokter penyakit dalam. Minta Ali dipindahkan ke sana saja," tutur Farah penuh ketulusan."Terimakasih Farah, tante juga bingung ini jadinya bagaimana," sahut Bu Miranti sedih."Assalamualaykum," Emir
"Mbak, coba lihat sini!" wanita itu memaksa Parni melihat layar monitor. Parni yang tidak paham hanya menurut, dan belum ada apa-apa terlihat di layar sana."Mbak yakin mau menggugurkan mereka?""M-maksudnya?""Janinnya kembar, Mbak.""Jangan berbohong, Dok!""Ini, Mbak perhatikan titik ini, masih sangat kecil sekali bahkan lebih kecil dari butiran garam. Ada dua, Mbak bisa melihatnya?""I-iya," Parni menangis. Bahunya bergetar hebat, pikirannya melayang pada ketiga keponakan kembarnya yang selalu saja membuat harinya berwarna. Si kembar tiga juga yang selalu membuat ia tertawa, karena sering sekali tertukar mengenalinya."Bagaimana? Masih sangat muda, jadi mudah untuk digugurkan. Biayanya juga lebih murah," terang dokter itu sambil menatap Parni dengan cukup serius, menanti jawaban yang tak kunjun
Tidak banyak pembicaraan di dalam mobil yang dikendarai oleh Farah. Bu Miranti terlihat sekali tidak suka dengan sikap Farah yang sangat terang-terangan mengungkapkan perasaan pada anaknya.Wanita muda itu memang terlihat pintar, cantik, energik, ditambah lagi dia adalah seorang model lokal di Jerman. Tentu sudah sangat luar biasa untuk dimasukkan dalam list calon menantu. Namun sayang, Bu Miranti sudah terlebih dahulu merasa bertanggung jawab pada Parni. Sehingga ia akan sangat menentang bilamana anaknya, Ali berani mencoba menjalin hubungan dengan wanita lain."Mau mampir makan siang dulu ga, Tante?" tawar Farah dengan suara lemah lembut."Tidak usah, Far. Biar langsung ke asrama saja," sahut Bu Miranti."Ali laper ini, Ma," sela Ali pada ibunya."Apa?""Ali laper,""Buka dulu itu maskernya, Mama ga dengar," tunjuk Bu Miran
Bu Farida mencoba mengatur nafasnya yang baru saja sesak, saat tersedak. Ucapan salah satu karyawannya, yaitu Parni, membuatnya cukup kaget, hingga menyemburkan nasi goreng yang sudah ada di dalam mulutnya.Butiran nasi yang tersembur mengotori meja kerjanya, beberapa map yang ada di atasnya, serta baju yang ia pakai. Matanya tak lepas menatap Parni, saat wanita itu kembali berdiri di depannya setelah memberikannya minum."Kamu jangan bercanda, Parni. Bukannya kamu belum menikah? Apa kamu hamil sama pacar kamu?" Bu Farida menggeleng tidak percaya."S-saya... korban perkosaaan, Bu."Huk!Huk!Huk!Parni kembali mengisi gelas air yang kosong, kemudian memberikannya pada Bu Farida yang lagi-lagi tersedak karena mendengar ucapannya. Parni semakin tidak enak, dalam hati ia pasrah jika Bu Farida memecatn
"Ya Allah, apa ini?" tanya Farah dengan mata mendelik pada penampakan kain bewarna krem yang berlipat bentuk segi empat. Bahannya kaus, persis bahan celana dalam."Ah, ini..." Ali gelagapan, lalu dengan cepat mengambil benda tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam saku celananya."Apa itu? Seperti celana dalam." Kening Farah berkerut, masih memandang curiga pada saku celana Ali, tempat lelaki itu menyimpan celana dalam Parni tadi."Bukan, itu sapu tangan kaus aromaterapi yang selalu aku pakai," terang Ali dengan wajah memerah malu. Tangannya mengurut dada, kemudian menghela nafas panjang. Hampir saja ketahuan oleh Farah, bisa gawat kalau sampai wanita itu tahu. Ali bermonolog."Oh gt, ya udah. Cobain dong masakan aku," ujar Farah dengan bernada manja. Langsung saja Ali menyendokkan nasi goreng nanas buatan Farah. Ia mulai mengunyahnya dengan lahap.
Kini Parni sudah sampai di rumah, tentu saja dengan bekal bubur ayam, aneka rasa roti dan juga sekotak susu hamil rasa mangga. Bergegas ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handuk, lalu melesat ke kamar mandi. Tubuhnya sudah sangat berpeluh dan bau keringat. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu baru menikmati sarapannya.Harum sampo dan sabun begitu disukai Parni sejak ia hamil, sehingga ia selalu berlama-lama di kamar mandi untuk bermain dengan busa-busa tersebut. Berkali-kali membuat buih sabun lalu meniupnya dengan senang. Setelah dirasa cukup, ia pun keluar dari kamar mandi dengan baju daster lebar yang baru ia beli dari pedagang keliling. Dilanjutkan dengan menyantap sarapan nikmat, yaitu bubur ayam dan juga lima jenis roti aneka rasa. Nafsu makan yang benar-benar menggelora."Bunda bisa gendut nih, kalau makannya begini terus. Jangan bikin bunda mual muntah ya, Kembar," ujarnya pada perutnya yang masih rata, sambil mengusapnya penuh sayang. Parni
Selama tiga hari berkabung, warung soto Bu Farida pun ikut tutup. Suasana berduka tidak memungkinkan Bu Farida untuk kembali ke warung menjalankan usahanya. Seluruh karyawan mendapat jatah cuti hingga tiga hari dari Bu Farida. Bagi yang ingin pulang ke rumah orang tuanya di kampung, Bu Farida memberikan izin.Selama tiga hari juga, Parni memasak di rumah Bu Farida, tentu saja itu atas permintaan Bu Farida dan juga Emir. Ternyata anak lelaki Bu Farida itu begitu menyukai masakan Parni. Ia pun meminta Bu Farida untuk membujuk Parni agar menjadi tukang masak di rumah mereka, selagi Emir berada di sana."Masak apa hari ini, Mbak?" tanya Emir saat Parni baru saja pulang dari pasar."Masak seperti pesanan Mas Emir. Ikan mas bumbu kuning, sambal terasi, acar timun dan sayur pokcoy," terang Parni sambil tersenyum sangat tipis, bahkan lebih tipis dari kartu ATM."Oh, makasih Mbak," ujar Emir.