Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.
Tuk!
Tuk!
"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni.
"Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.
Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkan handle pintu, namun tidak bisa karena terkunci dari dalam.
"Ni, buka dulu, kita perlu bicara," panggil Iqbal lagi dengan nada memelas. Sedangkan Parni di dalam sana menutup rapat kedua telinganya dengan telapak tangan. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun, ia tidak ingin bicara dengan siapapun.
Iqbal menyerah, setelah dua jam Parni tidak memberikan respon. Ia melangkah lunglai menuju ruang tamu, di sana sudah ada kedua orangtuanya, Anton, Parmi, serta Bu Parti. Mereka memandang Iqbal dengan wajah iba, terutama Bu Reni, mama dari Iqbal.
"Bagaimana?" tanya lirih wanita paruh baya itu.
Iqbal menggeleng lemah, ada genangan air mata di sana yang sedikit lagi akan mengucur deras. Iqbal memilih duduk di samping ibunya, dengan menunduk. Sangat susah untuk melepaskan Parni, ia mencintai wanita itu. Tapi Parni ingin membatalkan semua karena ia merasa tidak pantas untuk Iqbal dan keluarga, dan Parni mengancam akan bunuh diri, jika sampai Iqbal mengatakan yang sesungguhnya pada Bu Parti, calon ibu mertuanya.
"Maafkan saya, Bu. Rencana pernikahan ini tidak bisa diteruskan," dengan suara sangat berat Iqbal mengambil keputusan paling berat dalam hidupnya.
"Maaf saya tidak bisa memberitahu alasannya, sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Mama dan Papa, maaf," ucapanya lemah, lalu pergi meninggalkan rumah Parni dengan motornya, setelah Iqbal, kini kedua orangtuanya pun pamit dengan wajah sedih dan kecewa.
"Ya Allah, kenapa nasibmu seperti ini Parni?" batin Bu Parti, wanita renta itu mengusap dadanya yang sakit.
"Bu...!" Parmi kaget saat menyadari ibunya kini sudah pingsan. Sigap Anton menggendong tubuh ibu mertuanya untuk rebahan di sofa. Parmi masuk ke dalam kamarnya bermaksud mengambil minyak kayu putih.
"Bik, cepat buatkan ibu teh manis, gulanya dua sendok teh saja!" titah Parmi pada bibik yang sedang menemani si kembar bermain di karpet ruang televisi.
"Ini, Sayang!" Parmi menyerahkan sebotol baby oil kepada Anton.
"Sayang, ini bukan minyak kayu putih, ini minyak untuk pijat bayi lho," sanggah Anton sambil mengembalikan botol yang diberikan istrinya.
"Ibu bukan bayi sayang," ujar Anton lagi menambahkan. Rasanya ingin sekali menghajar istrinya di atas ranjang.
"Eh, salah ya. Buru-buru, sih. Bentar ya sayang, ibu ambilkan lagi," sahut Parmi langsung melesat kembali ke kamarnya.
Setelah diberi minyak kayu putih, Bu Parti perlahan sadar dari pingsannya, menyisakan air mata yang terus saja mengalir di pipi.
"Sabar ya, Bu. Ibu harus kuat seperti Ade Rai," oceh Parmi memeluk pundak ibunya.
"Siapa itu Ade Rai?" tanya Bu Parti.
"Itu atlit binamarga, Bu. Yang ototnya gede-gede kayak bakso atom," terang Parmi antusias.
"Oo..., jadi sekarang Parni beneran tidak jadi menikah?" tanya Bu Parti pada Parmi.
"Iya, Bu. Belum berjodoh," sahut Parmi lemah. Bu Parti menangis dipelukan Parmi, keduanya merasa sangat kasihan atas nasib buruk apa yang menimpa Parni.
****
Plaakk!"Sejak kapan kamu mulai sembarangan menanam benih, hah?!" Dokter Alan membentak dan menampar Ali sekaligus.
"Tidak pernah sama sekali, Pa. Hanya malam itu saja Ali terlalu banyak minum, karena kesal dengan penghianatan Karina."
"Dan sekarang lihat akibatnya! Kamu memperkosa anak perempuan orang. Ya Allah, jangan sampai orang di luar sana tahu, apalagi rumah sakit. Bisa dipecat papa kamu ini, Aliii...!" Dokter Alan menarik kerah baju kemeja Ali. Dari sudut bibir Ali, sudah keluar darah segar akibat tamparan dari papanya.
"Yang jelas tidak mungkin wanita penggoda pakaian dalamnya seperti ini." Dokter Alan melemparkan plastik abu-abu ke depan wajah Ali.
"Papa tidak mau tahu, kamu harus cari wanita itu sampai ketemu, kalau tidak, kamu tidak boleh kuliah di Jerman, paham kamu?!" bentak dokter Alan.
Lelaki paruh baya itu, meninggalkan Ali yang tertunduk. Rasa kesal,marah, dan kecewa menjadi satu. Anak sulung yang diharapkan bisa menjadi seorang yang sukses kelak, malah kini membuat keonaran yang mencoreng nama keluarga.
"Ayo obati dulu!" ujar Bu Miranti, mengangkat wajah Ali. Ia mengompres luka di sudut bibir anaknya dengan air dingin.
"Assalamua'laykum," seru Annisa saat di depan pintu rumah.
"W*'alaykumussalam," jawab Bu Miranti.
"Wah, Bang Ali dicium tangan papa ya?"
Ali memandang adiknya dengan kesal.
"Ye, malah sewot. Makanya jadi anak baik, jadi biar ga ditabok," ujar Annisa lagi sambil berlalu meninggalkan Ali yang sedang diobati oleh mamanya .
"Oh iya, Bang. Sabtu besok Ica pinjam apartemen yak, mau refreshing sebelum UAS. Nginep sama temen-temen Ica," izin Ica pada Ali, sebelum ia menaiki anak tangga, menuju kamar.
"Pakai aja, tapi jangan diacak- acak!" tutur Ali mengingatkan
"Ye, Bang Ali bukannya mau pergi kuliah ke luar negeri? Ya udah ikhlasin aja kenapa buat Ica apartemennya," Ica mengerjapkan matanya memohon kebaikan hati abangnya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan Indonesia.
"Gak bisa!" tolak Ali sambil mengangkat tangannya.
"Udah Ica, sana mandi dulu! Bau bola basket gitu," titah Bu Miranti pada puteri bungsunya.
"Mah,bantu Ali ngomong sama Papa," rengek Ali pada mamanya.
Bu Miranti hanya diam, tidak menolak, tidak juga mengiyakan. Entah bagaimana nanti jadinya.
****
Parni mengemas pakaiannya ke dalam sebuah tas ransel. Ia memutuskan untuk pergi, karena jika dia terus di rumah, ingatannya tentang Ali bisa mengakibatkan dia gila."Parni, kamu mau ke mana?" tanya Bu Parti yang terbelalak heran melihat tubuh kurus lunglai Parni keluar dari kamarnya sambil menggendong tas ransel. Bu Parti meninggalkan aktifitasnya mengiris bawang, lalu menghampiri Parni.
"Parni mau kerja, Bu. Parni pamit ya, salam buat Parmi. Nanti kalau Parni sudah dapat tempat tetap, Parni akan kabari ibu," tutur Parni sambil menarik punggung tangan ibunya, "restui Parni ya, Bu," ucapnya lagi.
"T-tapi, kamu bukannya lagi sakit?"
"Parni sudah sehat, Bu. Ibu jaga diri ya," tanpa melihat lagi raut wajah ibunya, Parni setengah berlari keluar dari rumah.
Bu Parti yang masih belum sadar dengan yang baru saja terjadi, hanya bisa tercengang saat pintu pagar kembali ditutup Parni.
"Parmii!" teriak Bu Parti memanggil Parmi yang sedang berada di dalam kamar. Dengan tergopoh Parmi keluar kamar, merapikan kancing bajunya yang belum lama diacak-acak oleh Anton.
"Ada apa, Bu?" tanya Parmi dan Anton bersamaan.
"Parni pergi, cepat susulin Anton," dengan gemetar Bu Parti meminta Anton menyusul Parni.
"Pergi ke mana, Bu? Ke warung?" tanya Parmi dengan polosnya.
"Bawa ransel, Mi,"
"Mau beli apa ke warung sampe bawa ransel?" Parmi mengerutkan keningnya mencoba berpikir keras.
Anton mencubit gemas pipi istrinya, "dah sana, kamu masuk nemenin si kembar, biar papa susulin Teh Parni bersama ibu," ujar Anton sambil mendorong tubuh Parmi agar kembali masuk ke dalam kamar. Parmi menurut, dengan pikiran masih bertanya-tanya, ngapain disusulin? orang cuma ke warung. Ha ha ha... tobat Parmi, tobaaat!
****
Dengan menggendong tas ranselnya, Parni pergi menuju sebuah gedung sekolah. Tempat di mana Iqbal mengajar. Dengan menahan air mata, ia meminta izin pada penjaga sekolah agar memberinya izin untuk masuk bertemu dengan Iqbal, dengan alasan ingin memberi kejutan."Ruang kelasnya di mana ya, Pak?" tanya Parni pada penjaga sekolah.
"Paling ujung, Neng. Ruang kelas XII."
Dengan berdebar Parni melangkahkan kaki menuju ruang kelas tersebut, keadaan sekolah hening karena semua sedang fokus menerima materi ajar. Dengan air mata yang membanjiri pipinya, Parni memperhatikan Iqbal yang sedang mengajar di dalam sana dengan begitu penuh wibawanya. Ya Allah, betapa ia mencintai lelaki itu, tetapi ia juga harus melepaskannya. Iqbal pantas untuk mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.
"Selamat tinggal, Mas. Semoga kamu menemukan wanita yang lebih baik dari aku."
****
Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh."Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran."Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya."Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal."Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany
Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi."Ada apa, sayang?" tanya Anton"Pa, ini tadi Teh Parni telepon.""Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget."Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif."Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya."Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias."Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar
Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir."Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya."Kamu punya stok tolak
Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda."Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi."Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.Kleek...Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi."Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna."Tolak miskin ada gak?" tanya Parni."Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh."Ya sudah, mau deh," kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana."Nih, minum Mbak!" titah Luna.Parni menerima
Selamat membaca.Parni berjalan beriringan dengan Luna. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Luna tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga Parni. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan dan asap ngebul ikut menemani langkah keduanya untuk pulang ke rumah. Jika Luna sibuk memikirkan keadaan Parni yang menyedihkan, maka berbeda dengan Parni yang saat ini memikirkan omong kosong dokter tadi siang yang mengatakan bahwa dirinya hamil."Mbak Parni jadi sekarang bagaimana?" tanya Luna."Pasti dokter itu berbohong," jawab Parni dengan pandangan lurus ke depan."Tapi bukannya garis dua itu tandanya positif, Mbak?" Luna kembali menatap Parni sengan serius."Tapi samar'kan? Test pack bisa saja salah," ucap Parni lagi."Mbak ga mau periksa ke dokter saja?"Parni menggeleng, "tidak perlu, aku baik-baik saja. Bukan hamil," sahut Parni lagi membuat Luna terdiam.Perkataan dokter tadi