Beranda / Romansa / Batal Akad / 7. Cincin Sebagai Petunjuk

Share

7. Cincin Sebagai Petunjuk

last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-20 22:10:42

Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh.

"Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran.

"Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya.

"Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal.

"Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.

"Iya, izin sama saya mau lihat bapak di kelas. Jadi saya persilakan. Emang bapak tidak tahu?"

"Saya tidak tahu, Pak."

"Bawa ransel, seperti mau pergi ke mana," terang penjaga sekolah lagi.

"Hah? Beneran?!" tanyanya lagi dengan tubuh menegang.

"Terimakasih, Pak," ucap Iqbal, lalu dengan tergesa membuka surat dari Parni.

Assalamua'laykum Mas.

Bagaimana kabarnya? Semoga Mas Iqbal baik-baik saja. Maafkan saya yang tidak berani untuk bertemu, saya pamit. Ingin menyembuhkan luka hati dan tubuh saya. Semoga Mas Iqbal mengerti. Maafkan saya dengan terpaksa membatalkan semuanya, saya tidak punya pilihan lain. Satu hal yang harus Mas tahu, di mana pun saya nanti, saya akan baik-baik saja. Jaga diri ya, Mas. I love you.

Air mata terjun bebas dari kedua matanya, bahkan kini tangannya meremas kuat kertas dari Parni. Cepat ia memakai jaket dan helem, tujuannya saat ini adalah rumah Anton, untuk mendapatkan informasi lebih jelas.

****

Parmi menunggu lama di teras rumah, ketiga anak-anaknya untung saja siang ini anteng dan tidur lebih cepat. Bolak-balik ia mengintip ke pintu pagar, berharap suaminya kembali bersama ibu dan tetehnya. Namun tidak ada siapapun di sana. "Teh Parni ke warung siapa sih? Lama betul," gumamnya, "ini lagi si sayang sama ibu, ga balik-balik. Ikut jajan cilok apa ya?" ocehnya lagi. Parmi memilih kembali ke dalam rumah, ia berjalan masuk ke dalam kamar Parni, membuka lemari pakaian. Benar saja baju tetehnya hanya tersisa sedikit di dalam lemari.

"Ya Allah, Teh Parni berarti pergi beneran," lirih Parmi dengan bahu melorot. Matanya beralih pada meja rias kecil, hampir semua benda di sana sudah tidak ada. Tersisa bedak tabur bayi, jepit rambut, dan lipstik Parni yang selalu dipakai oleh tetehnya. Kening Parmi tiba-tiba berkerut, "wah, benar-benar si teteh. Lipstik dua juta saya dia bawa juga," oceh Parmi sambil menggelengkan kepala.

Kreeeng...

Suara pintu pagar dibuka. Setengah berlari Parmi keluar dari kamar, lalu menghampiri siapa di depan sana. Benar saja, suami dan ibunya baru saja kembali, tanpa Parni bersama mereka. "Gimana, Bu? Mana Teh Parni?" tanya Parmi khawatir. Apalagi wajah ibunya kini basah kembali.

"Tidak ada sayang, kita tidak tahu Teh Parni ke mana," sahut Anton dengan suara lemah.

"Di warung Ucok kali," ujar Parmi.

"Sayangku, cintaku  permaisuriku, ratu lemotku. Teh Parni itu kabur dari rumah, bukan ke warung. Tapi kabur beneran, sayaaang" terang Anton sambil mencubit gemas pipi Parmi.

"Lemot dipiara! Sudah tahu lagi susah, kamu masih aja ga nyampe ke sana otaknya Parmi. Ga tau lagi deh ibu sama kamu. Kalau ibu jadi Anton, kamu udah ibu museumkan," Bu Parti menggelengkan kepala, lalu masuk ke dalam rumah tanpa semangat.

"Teh Parni yang pergi, kenapa Parmi yang mau dimuseumkan? Emang salah ibu apa sayang?" tanya Parmi pada Anton dengan polosnya.

"Salah ibu itu, kenapa terlalu menggemaskan?" Anton sudah mengengkat tubuh sintal Parmi masuk ke dalam rumah.

"Emang mau tambah lagi?" tanya Parmi dengan wajah memerah malu, sambil tangannya bermain di dada suaminya.

"Duh, kalau ke situ cepet banget ngeh sayangnya aku, ha ha ha ...," Anton terbahak.

"Papa belum makan, ambilkan deh sayang. Bawa ke kamar ya!" titah Anton pada Parmi, menurunkan Parmi dari gendongannya tepat di area dapur.

Parmi mengangguk, lalu dengan cepat mengambilkan nasi untuk suaminya. Sedangkan Anton memilih masuk ke kamar untuk mandi.

****

Ali sibuk mempersiapkan semua berkas yang ia butuhkan untuk kepergiannya ke Jerman. Mulai dari SKCK, surat keterangan bebas narkoba, dan berkas lainnya yang ia butuhkan nanti di sana. Ia bahkan sudah membeli tiket pesawat yang akan berangkat hari sabtu siang, setuju atau tidak setuju papanya, ia harus berangkat. Tidak mungkin ia mengabaikan kesempatan untuk kuliah di sana, apalagi melalui jalur beasiswa.  Semua sudah ia urus dan membayarnya dari kantong sendiri, tanpa meminta pada papa dan mamanya.

"Tiketnya sudah?" tanya Bu Miranti saat menghampiri Ali yang sedang merapikan buku-bukunya di kamar.

"Semua sudah, Ma," jawabnya.

"Tinggal restu papa saja yang belum," ujarnya lagi sambil terduduk lemas di dekat mamanya.

"Mama akan bantu cari wanita itu, jika sudah ketemu dan yakin dia, kalian akan tetap mama nikahkan, kamu harus membawanya nanti ke sana," terang Bu Miranti tegas.

"Iya, Ma. Ali setuju," sahut Ali sambil tersenyum tipis.

"Walaupun Ali tidak cinta, Ali akan berusaha bertanggung jawab,"

Pllaaakk..

"Tidak cinta dari mana?" teriak Bu Miranti setelah memukul lengan Ali.

"Anak perawan orang kamu gagahi, mungkin tidak hanya satu kali, mengingat bau percintaan sangat menyengat seperti itu," tutur Bu Miranti sewot.

"Pusing Mama, Li...!"

"Maaf, Ma. Tapi Ali janji akan tanggung jawab."

"Oke, mama pegang ucapan kamu." Bu Miranti keluar dari kamar anaknya.

Ali kembali termenung, apalagi sudah tiga malam sejak kejadian itu, ia terus saja memimpikan wanita yang ia gagahi. Ali meremas rambutnya kasar, "siapa kamu?" bisiknya, "wajah yang tidak asing, tapi siapa?" Ali mencoba mengingat-ingat saudara atau mungkin teman kampusnya, tetapi sepertinya bukan.

****

Sore itu juga, Iqbal menyambangi rumah Anton, mata Iqbal berkaca-kaca, saat mengetahui Parni benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Dan yang paling menyedihkan, mereka tidak ada yang tahu Parni pergi ke mana.

"Sabar, Bal. Mungkin belum berjodoh," ujar Anton sambil merangkul pundak Iqbal.

"Gue berharap, Parni tidak melakukan hal nekat, Ton," sahutnya.

"Gue tahu siapa Teh Parni, ia masih ada iman. Tidak mungkin berbuat nekat. Berdoa saja kita segera dapat kabar darinya," ujar Anton lagi.

"Minum Mas Iqbal." Parmi mempersilakan Iqbal untuk meminum teh yang ia suguhkan.

"Terimakasih, Mi," ujar Iqbal sambil melirik sekilas Parmi.

"Tato di leher gede banget gitu," ledek Iqbal mencoba mencairkan suasana. Anton meraba lehernya, sambil menyeringai.

"Tuh, zombinya," tunjuk Anton pada Parmi yang berjalan ke arah dapur.

"He he he, sabar ya, Bal. Gue doain lu sesegera mungkin mendapatkan biangnya zombi," ujar Anton lagi sambil tersenyum lebar.

Setelah sholat magrib, Iqbal pamit pulang. Ia memilih untuk tidak langsung pulang, tetapi ia berinisiatif untuk bermalam di apartemen yang sedang ia cicil. Ya, di apartemen yang sama tempat Ali berada.

Setelah memarkirkan motor besarnya di area parkir apartemen, ia berjalan masuk melalui lobi belakang. Berjalan menuju lift.

Ting

Pintu lift terbuka, Iqbal masuk ke dalamnya, disusul seorang lelaki muda. Iqbal menoleh sekilas, "Ali ya?" Iqbal mengenali Ali.

"Eh, iya. Saya Ali. Mas siapa?"

"Saya Iqbal, saudaranya suami Parmi, kenal Parmi'kan?"

"Oh, Teh Parmi. Iya ingat, Mas. Ga bakalan bisa saya lupakan, he he he..., kita pernah bertemu di acara akikah anaknya Teh Parmi ya?"

"Iya, betul."

"Teh Parmi sehat, Mas?"

"Sehat, alhamdulillah."

"Teh Parni?"

"Ah...mmm...sehat,"

"Syukurlah, si kembar sudah bisa apa, Mas?"

"Sudah bisa berjalan dan mulai bicara,"

"Wah, sudah lama juga saya tidak silaturahim ke sana. Sudah setahun kayaknya," ujar Ali lagi.

"Salam ya, Mas. Kalau ketemu,"

"Oke, saya duluan ya," pamit Iqbal karena ia sudah sampai di lantai enam.

****

Dokter Alan akhirnya memberi restu pada Ali untuk melanjutkan studi S2 di Humboldt. Dengan catatan, jika wanita yang ia gagahi berhasil ditemukan, Ali akan pulang ke Indonesia untuk menikahi wanita tersebut, lalu membawanya serta ke Jerman. Berat hati sebenarnya bagi dokter Alan, karena bagaimana pun, belum ada dalam silsilah keluarga besarnya, ada anggota keluarga yang mencoreng nama keluarga dengan perbuatan bejat seperti ini, yang seharusnya tak dapat diampuni.

"Sudahlah, Pa. Ali sudah berjanji, pasti ia tepati, jangan kepikiran terus, nanti papa bisa sakit," tutur lembut Bu Miranti, sambil mengusap lengan suaminya.

"Yuk, kita antar anaknya ke bandara!" ajak Bu Miranti menarik tangan suaminya agar berdiri dari duduknya.

Ali sudah siap berangkat. Koper, ransel, berkas-berkas, tak lupa tiket dan data diri lainnya sudah ia siapkan. Ia sudah duduk di sofa depan televisi sambil menanti kedua orang tuanya keluar dari kamar.

"Bang, hati-hati ya!" ujar Ica sambil menepuk pundak Ali.

"Lho kamu ga ikut anter abang?"

"Nggak ah, mau kerkom di apartemen,"

"Bye, Bang. Cup." Ica mengecup pipi abangnya. Lalu berjalan naik ke lantai dua untuk berpamitan pada papa dan mamanya. Tidak lama berselang, Ica turun bersama kedua orang tuanya, melewati Ali sambil melambaikan tangan.

"Ayo, kita juga harus berangkat!" ujar Bu Miranti sambil menarik tangan kedua pria di sampingnya yang masih bermusuhan.

Hanya memakan waktu sejam Ali dan kedua orangtuanya sudah sampai di bandara. Masih ada satu jam lagi, sebelum check-in Bu Miranti memilih mengajak anak dan suaminya berbicara di kafe. Yang tidak jauh dari pintu keberangkatan.

****

Ica dan tiga orang temannya sudah sampai di apartemen Ali. Ica sangat senang akhirnya bisa menginap di sini, setelah lama menanti waktu yang tepat. Untung saja abangnya Ali mau berbaik hati.

"Abang lu ganteng banget, Ca," puji Anita, teman Ica.

"Gue aja cantik, ya abang gue harus ganteng dong," sahut Ica sambil memainkan rambutnya.

"Iya tuh, kayak model ya. Kenalin ke kita dong," rengek Manda kali ini. Tiga orang teman Ica masih asik memandangi foto besar Ali yang terpajang di dinding ruang televisi.

"Nonton yuk!" Anita mengambil remot TV.

"Oh iya, gue ke kamar sebentar ya, mau rebahan, kepala gue kok sakit. Tuh pizza makan aja. Bebas lu di sini mau ngapain aja, asal ntar malam kita siap tempur belajar,"

Ica masuk ke dalam kamar abangnya, merebahkan tubuh di atas ranjang besar milik abangnya. Matanya benar-benar mengantuk, ia meletakkan ponsel persis di sampingnya. Terlelap begitu nyaman, sampai...

Puukk!

"Aduh!" Ica terbangun, kaget dengan suara benda jatuh. Setelah dilihat ternyata ponselnya terlempar ke bawah sofa persis di samping ranjang. Sambil mengucek mata, ia meraba kolong sofa, tangannya menyentuh sesuatu selain ponselnya. Ia mengambil ponselnya terlebih dahulu, kemudian mengambil benda yang ia rasa aneh. Keningnya berkerut, sambil membolak-balik benda tersebut di tangannya. Apa ini? Parni? gumamnya dengan dada berdebar. Seperti nama siapa ya? Aduh, gue kok deg-degan. Ica bermonolog, cepat ia memencet ponsel mamanya, namun tidak diangkat. Ia mencoba ke ponsel Ali, tidak diangkat juga. Ica mencoba kembali menelepon mamanya.

[Hallo mama, Ica nemu cincin seperti cincin pertunangan, di kolong sofa apartemen Bang Ali, ada namanya Parni]

****

Bab terkait

  • Batal Akad   8. Dokter Alan dan Bu Miranti

    Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-20
  • Batal Akad   9. Kebenaran yang Diketahui Ali

    "Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Batal Akad   10.A. Mengabari Keluarga

    Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Batal Akad   10.B. Ngidam

    Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi."Ada apa, sayang?" tanya Anton"Pa, ini tadi Teh Parni telepon.""Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget."Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif."Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya."Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias."Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Batal Akad   11.A. Mual dan Muntah

    Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir."Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya."Kamu punya stok tolak

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Batal Akad   11.B

    Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda."Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi."Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.Kleek...Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi."Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna."Tolak miskin ada gak?" tanya Parni."Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh."Ya sudah, mau deh," kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana."Nih, minum Mbak!" titah Luna.Parni menerima

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Batal Akad   12. Ali Ngidam

    Selamat membaca.Parni berjalan beriringan dengan Luna. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Luna tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga Parni. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan dan asap ngebul ikut menemani langkah keduanya untuk pulang ke rumah. Jika Luna sibuk memikirkan keadaan Parni yang menyedihkan, maka berbeda dengan Parni yang saat ini memikirkan omong kosong dokter tadi siang yang mengatakan bahwa dirinya hamil."Mbak Parni jadi sekarang bagaimana?" tanya Luna."Pasti dokter itu berbohong," jawab Parni dengan pandangan lurus ke depan."Tapi bukannya garis dua itu tandanya positif, Mbak?" Luna kembali menatap Parni sengan serius."Tapi samar'kan? Test pack bisa saja salah," ucap Parni lagi."Mbak ga mau periksa ke dokter saja?"Parni menggeleng, "tidak perlu, aku baik-baik saja. Bukan hamil," sahut Parni lagi membuat Luna terdiam.Perkataan dokter tadi

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-26
  • Batal Akad   13. A. Paket untuk Ali

    Pagi yang sepi di rumah keluarga Ali, karena mamanya, Bu Miranti masih berada di Jerman untuk menemani Ali yang sedang di rawat. Sudah delapan hari Bu Miranti berada di sana, dan konon kabarnya Ali masih dirawat tanpa tahu apa penyakitnya.Annisa, atau biasanya dipanggil Ica melahap sarapannya dengan enggan, padahal bibik membuatkan kwetiau goreng berikut dengan ayam goreng kesukaan Ica."Mau sampai kapan makanannya diaduk-aduk terus, Ca" tegur Dokter Alan pada puterinya."Ica ga berselera, Pa. Mama lama banget di sana," rengeknya manja.Lelaki paruh baya yang sudah rapi dengan kemeja bergaris biru miliknya, memilih untuk meletakkan sendoknya sejenak, kemudian menatap lurus pada puterinya yang saat ini berwajah masam di depannya. "Mama juga di sana bukan liburan, sayang. Mama sedang mengurus abang kamu, yang entah apa sakitnya," ujar Dokter Alan sambil melepas nafas beratnya."Emang Bang Ali sakit apa, Pa?" tanya Ica.Dokter Alan hanya m

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-26

Bab terbaru

  • Batal Akad   48. Dua Satu Plus

    Gemericik suara air mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Tidur yang paling berkualitas sepanjang hidupnya, karena ini pertama kalinya ia tidur sambil dipeluk oleh seseorang yang membuatnya kembali jatuh cinta. Parni membuka matanya pelan, dirabanya sisi kasur yang telah kosong. Ke mana suaminya? Parni turun dari kasur tanpa memperhatikan rasa nyeri."Auu ...." Parni kembali duduk. Kenapa sakit? Karena memang baru ini lagi ia berhubungan intim, tentu saja rasanya bagai baru saja diperawanin. Perih, kebas, dan serasa tebal. Sangat tidak nyaman. Parni meraih selimut tebal untuk menutupi tubuhnya hingga dada. Diliriknya jam di dinding yang sudah pukul setengah delapan pagi.Shubuh tadi, setelah selesai mandi hadas besar dan sholat berjamaah, mereka kembali melanjutkan aktifitas panas, merajut tali cinta. Mengharapkan segera hadir adik bagi Saka dan Lingga. Wajar saja jika saat ini mereka bangun kesiangan. Sepertinya sang suami tidak ada di dalam kamar mandi. Ke mana suara anak-anak? Apa me

  • Batal Akad   47. Pengantin Baru

    "Saka dan Lingga biar tidur di rumah Mama saja, ya?" ujar Bu Miranti yang sudah memangku Saka, sedangkan Lingga di pangku oleh Opanya."Eh, jangan, Ma. Saya iseng, kalau tidak ada orang di rumah," tolak Parni terus terang."Trus itu yang lagi nunduk siapa? Demit?" celetuk Parmi, sang adik yang sangat kebetulan pintar malam ini. Di samping Parni sudah duduk Ali yang kini sedang menunduk."Gak papa, Teh. Pengantin baru itu harus beratapdasi satu sama lain. Benarkan, Yang?" tanya Parmi pada Anton yang kini menyeringai lebar. Baru sepersekian detik dipuji, udah error lagi Nyonya Parmi."Ber-a-dap-ta-si." Anton membetulkan ucapan Parmi."Iya, tadikan Ibu bilang beratapdasi," balas Parmi tak mau kalah. "Ha ha ha ...." semua yang ada di sana tertawa mendengarkan percakapan Parmi dan juga Anton."Besok tinggal jemput ke rumah Omanya. Jangan takut, Teh. Paling digigit sayang doang sama Ali. He he he ...." yang lain pun ikut tertawa. "Ya sudah, kita pulang dulu ya, Ni. Ali, Ibu balik ya?""Eh

  • Batal Akad   46. Takdir Emir

    [Hallo, selamat sore. Saya dengan Emir. Dua tahun lalu saya mengantar seorang pasien yang melahirkan di rumahnya. Namanya Ami dan bayinya Amira. Apakah Suster tahu keberadaan mereka di mana?][Sore, Mas. Mohon, Maaf. Kami tidak bisa memberitahukan kabar apapun berkaitan dengan pesian kami. Karena itu privacy.][Oh, baiklah. Terimakasih]Emir mematikan teleponnya, lalu memilih duduk di sofa. Jendela rumah yang terbuka lebar, membuat ia dapat menghirup dalam aroma tanah yang basah oleh air hujan yang baru saja reda."Mir, Parni hari ini nikah lho. Kamu sudah ucapkan selamat?" tanya Bu Farida saat menghampiri anaknya di ruang depan."Sudah, Ma. Emir juga sudah transfer uang sebagai hadiah buat Teh Parni," jawabnya sambil tersenyum tipis."Kamu sudah tidak apa-apa?""He he he ... Gak papa Mama, sekarang udah ada Farah yang jadi pacar Emir.""Kapan dia kamu ajak ketemu Mama?""Minggu ini kalau dia ga ada pemotretan, Ma.""Mmm... Okelah, Mama masuk dulu." Bu Farida meninggalkan Emir yang ma

  • Batal Akad   45. Ali Melamar

    "Bagaimana kalau Teteh menikah dengan saya?" tanya Ali tanpa ragu."Kalau kamu masih bicara seperti itu lagi, lebih baik kamu turun. Jalan kaki saja sana, pulang!""He he he ... Gak mau ya. Ya sudah ga papa, yang penting Teteh ga nikah sama siapa-siapa, saya jadi lega," ujar Ali sambil mengusap kedua pipi Lingga."Oh, jadi kamu doain aku jomblo seumur hidup? Sorry ya, aku udah ikut biro jodoh, paling sebentar lagi juga dapat," balas Parni tak mau kalah."He he he ...Bukan begitu maksud saya, Teteh."Pedebatan pun masih saja terjadi sampai mereka tiba di sebuah rumah minimalis kawasan Jakarta Timur. Bu Miranti hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ocehan dua orang yang duduk di belakangnya, sedangkan Pak Asep, sopir keluarga Bu Miranti hanya senyam-senyum saja."Semoga berjodoh yang duduk di belakang ini ya, Bu," bisik Pak Asep pada Bu Miranti."Aamiin. Saya malah pengennya besok saya nikahin aja, Pak. Biar ga berantem terus," sahut Bu Miranti juga sambil berbisik.Pak Asep turun d

  • Batal Akad   44. Dua Tahun Kemudian

    2 Tahun Kemudian.Di luar hujan turun begitu deras, disertai petir yang menggelegar. Sore hari yang tadinya cerah, berubah gelap menjelang adzan magrib. Ali baru saja selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah di masjid di dalam LAPAS, bersama Bang Komeng, Bang Malih, dan Aden, teman satu selnya.Senyumnya tak surut saat membayangkan besok adalah hari ia dibebaskan setelah dua tahun menjalani masa hukuman. Ia tak sabar untuk bertemu dengan Saka dan Lingga, serta ibu si kembar. Ya, meskipun dari kabar yang ia dengar, Parni sudah menikah dengan Emir, tetapi entah kenapa ia merindukan wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu."Duh, yang mau bebas besok. Senyam-senyum terus," goda Aden kini duduk di samping Ali."Udah ga sabar mau ketemu anak, Den," sahut Ali sambil tersenyum."Oh, cuma ga sabar ketemu sama si kembar, kirain sama ibunya juga. Ha ha ha ..." timpal Bang Komeng, hingga yang lainnya ikut tertawa."Istri orang masa dikangenin, Bang. Dosalah," timpal Ali."Yang jelas, d

  • Batal Akad   43. Emir si Pria Berhati Mulia

    "Toloong! Ada yang melahirkan. Tolooong!" teriak lelaki histeris bahkan dengan wajah pucat seputih kapas. Karena lokasi yang jauh dari pemukiman, ia berlari keluar villa, lalu menyebrang jalan untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang baru saja turun dari mobil di villa depan. Para ibu dan bapak yang keheranan dengan kedatangan Emir menjadi penasaran."Ada apa, Mas?""Tolong, Pak. Ada wanita melahirkan di dalam rumah besar itu, sepertinya tidak ada orang di dalam kecuali dia. Ayo, Pak. Kita tolong!" tiga orang lelaki dewasa dan dua wanita paruh baya ikut kaget, lalu dengan cepat mengangguk mengikuti langkah Emir. Petugas parkir belum sempat menghentikan kepergian para tamunya, karena sibuk mengatur posisi parkir tamu yang lain. Lelaki yang bertugas sebagai juru parkir itu bergidik ngeri, saat berbondong-bondong sebagian tamunya menyebrang villa di seberang.Bugh!Bugh!Suara hentakan itu semakin keras terdengar, hingga enam orang yang kini berdiri di depan tangga menjadi sangat

  • Batal Akad   42.

    "Maksud Mama apa?""Sepertinya, Parni dan Emir akan segera menikah.""Tidak mungkin, Ma. Mama jangan bercanda.""Mama lihat sendiri Emir berlutut di kaki Parni sambil memberikan sebuah cincin.""Ali tidak mau anak-anak Ali memanggil lelaki lain dengan sebutan Papa. Hiks...""Mama juga sedih, tetapi jika ini semua menjadi keputusan Parni, kita tidak boleh protes. Yang penting nanti setelah keluar dari sini, kamu bisa ketemu anak-anak. Selamanya Saka dan Lingga adalah anak-anak kamu, cucu Mama dan Papa." Bu Miranti menangis saat melihat puteranya ikut menangis. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika Allah sudah berkehendak. Ali termenung di dalam sel dinginnya, menatap langit-langit yang penuh dengan bekas kotoran cicak dan noda air hujan. Kepalanya kembali mengingat Parni adalah wanita yang pertama kali ia cium. Parni juga yang selalu saja ketus padanya bila sedang bertamu ke rumah Parni, bahkan ia disuruh mencuci piring oleh Parni setelah ikut sarapan bersama. Hanya Parnilah wanita yang

  • Batal Akad   41. Salah Paham

    [Maaf, Mas. Maaf sekali lagi. Saya tidak ingin menikah dengan siapapun. Fokus saya kali ini adalah anak-anak saya.][Tapi kamu masih cinta sama saya kan, Ni?][Cinta tidak harus selalu berakhir di pelaminan'kan?]Mas Iqbal, tolong lupakan saya. Lanjutkan perjalanan kisah Mas Iqbal dengan orang lain. InsyaAllah luka kita akan sembuh dengan hadirnya orang lain yang mengisi ke kosongan][Oh, jadi kamu bisa seperti ini karena ada orang lain yang sudah membuat kamu melupakan saya?][Bukan seperti itu, Mas][Apa Emir orangnya? Atau jangan-jangan lelaki yang sudah memberikanmu anak?][Maaf, Mas Iqbal. Anak saya bangun, saya tutup ya. Assalamualaikum]Tut!Tut!Parni menarik nafas panjang dengan bibir bergetar. Ia tidak menyangka Iqbal berpikiran buruk padanya. Tetapi ya sudahlah, yang penting pesan inti dari pembicaraan ini sudah disampaikan olehnya. Dirinya ingin Iqbal bisa bahagia dengan wanita lain. Ia ikhlas walaupun tak mudah. Parni kembali merebahkan dirinya di atas ranjang. Ditatapny

  • Batal Akad   40. Hadirnya Iqbal

    Semua orang sudah duduk di ruang tamu keluarga Anton. Ada Bu Parti, Bu Farida, Suraya, Iqbal, Parni, dan juga Anton. Sedangkan Parmi sedang mengurus anak kembarnya di dalam kamar. Belum ada pembicaraan di sana, semua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Parni yang begitu salah tingkah saat ini, karena dipandang intens oleh Iqbal, Bu Farida, dan juga Suraya."Mm...jadi, apakah Parni memang mengenal Iqbal?" Bu Farida membuka suara."Parni mantan calon istri saya," jawab Iqbal dengan raut wajah kecewa. Bu Farida dan Suraya tentu kaget mendengar jawaban Iqbal. Namun, mereka tetap tenang, karena memang Suraya dan Bu Farida tipe wanita yang tidak mudah tersulut api amarah. Sedangkan Parni sudah menunduk malu sambil menggendong Saka."Betul itu, Parni?" "Iya, Bu.""Parni dan Iqbal urusannya sudah selesai, sejak Parni memutuskan pergi ke Surabaya. Saya rasa tidak ada yang masalah dengan masa lalu mereka. Bukankan anak Parni bukan anak Iqbal," suara Bu Parti menjabarkan kondi

DMCA.com Protection Status