Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh.
"Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran.
"Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya.
"Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal.
"Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
"Iya, izin sama saya mau lihat bapak di kelas. Jadi saya persilakan. Emang bapak tidak tahu?"
"Saya tidak tahu, Pak."
"Bawa ransel, seperti mau pergi ke mana," terang penjaga sekolah lagi.
"Hah? Beneran?!" tanyanya lagi dengan tubuh menegang.
"Terimakasih, Pak," ucap Iqbal, lalu dengan tergesa membuka surat dari Parni.
Assalamua'laykum Mas.
Bagaimana kabarnya? Semoga Mas Iqbal baik-baik saja. Maafkan saya yang tidak berani untuk bertemu, saya pamit. Ingin menyembuhkan luka hati dan tubuh saya. Semoga Mas Iqbal mengerti. Maafkan saya dengan terpaksa membatalkan semuanya, saya tidak punya pilihan lain. Satu hal yang harus Mas tahu, di mana pun saya nanti, saya akan baik-baik saja. Jaga diri ya, Mas. I love you.Air mata terjun bebas dari kedua matanya, bahkan kini tangannya meremas kuat kertas dari Parni. Cepat ia memakai jaket dan helem, tujuannya saat ini adalah rumah Anton, untuk mendapatkan informasi lebih jelas.
****
Parmi menunggu lama di teras rumah, ketiga anak-anaknya untung saja siang ini anteng dan tidur lebih cepat. Bolak-balik ia mengintip ke pintu pagar, berharap suaminya kembali bersama ibu dan tetehnya. Namun tidak ada siapapun di sana. "Teh Parni ke warung siapa sih? Lama betul," gumamnya, "ini lagi si sayang sama ibu, ga balik-balik. Ikut jajan cilok apa ya?" ocehnya lagi. Parmi memilih kembali ke dalam rumah, ia berjalan masuk ke dalam kamar Parni, membuka lemari pakaian. Benar saja baju tetehnya hanya tersisa sedikit di dalam lemari.
"Ya Allah, Teh Parni berarti pergi beneran," lirih Parmi dengan bahu melorot. Matanya beralih pada meja rias kecil, hampir semua benda di sana sudah tidak ada. Tersisa bedak tabur bayi, jepit rambut, dan lipstik Parni yang selalu dipakai oleh tetehnya. Kening Parmi tiba-tiba berkerut, "wah, benar-benar si teteh. Lipstik dua juta saya dia bawa juga," oceh Parmi sambil menggelengkan kepala.
Kreeeng...
Suara pintu pagar dibuka. Setengah berlari Parmi keluar dari kamar, lalu menghampiri siapa di depan sana. Benar saja, suami dan ibunya baru saja kembali, tanpa Parni bersama mereka. "Gimana, Bu? Mana Teh Parni?" tanya Parmi khawatir. Apalagi wajah ibunya kini basah kembali.
"Tidak ada sayang, kita tidak tahu Teh Parni ke mana," sahut Anton dengan suara lemah.
"Di warung Ucok kali," ujar Parmi.
"Sayangku, cintaku permaisuriku, ratu lemotku. Teh Parni itu kabur dari rumah, bukan ke warung. Tapi kabur beneran, sayaaang" terang Anton sambil mencubit gemas pipi Parmi.
"Lemot dipiara! Sudah tahu lagi susah, kamu masih aja ga nyampe ke sana otaknya Parmi. Ga tau lagi deh ibu sama kamu. Kalau ibu jadi Anton, kamu udah ibu museumkan," Bu Parti menggelengkan kepala, lalu masuk ke dalam rumah tanpa semangat.
"Teh Parni yang pergi, kenapa Parmi yang mau dimuseumkan? Emang salah ibu apa sayang?" tanya Parmi pada Anton dengan polosnya.
"Salah ibu itu, kenapa terlalu menggemaskan?" Anton sudah mengengkat tubuh sintal Parmi masuk ke dalam rumah.
"Emang mau tambah lagi?" tanya Parmi dengan wajah memerah malu, sambil tangannya bermain di dada suaminya.
"Duh, kalau ke situ cepet banget ngeh sayangnya aku, ha ha ha ...," Anton terbahak.
"Papa belum makan, ambilkan deh sayang. Bawa ke kamar ya!" titah Anton pada Parmi, menurunkan Parmi dari gendongannya tepat di area dapur.
Parmi mengangguk, lalu dengan cepat mengambilkan nasi untuk suaminya. Sedangkan Anton memilih masuk ke kamar untuk mandi.****
Ali sibuk mempersiapkan semua berkas yang ia butuhkan untuk kepergiannya ke Jerman. Mulai dari SKCK, surat keterangan bebas narkoba, dan berkas lainnya yang ia butuhkan nanti di sana. Ia bahkan sudah membeli tiket pesawat yang akan berangkat hari sabtu siang, setuju atau tidak setuju papanya, ia harus berangkat. Tidak mungkin ia mengabaikan kesempatan untuk kuliah di sana, apalagi melalui jalur beasiswa. Semua sudah ia urus dan membayarnya dari kantong sendiri, tanpa meminta pada papa dan mamanya."Tiketnya sudah?" tanya Bu Miranti saat menghampiri Ali yang sedang merapikan buku-bukunya di kamar.
"Semua sudah, Ma," jawabnya.
"Tinggal restu papa saja yang belum," ujarnya lagi sambil terduduk lemas di dekat mamanya.
"Mama akan bantu cari wanita itu, jika sudah ketemu dan yakin dia, kalian akan tetap mama nikahkan, kamu harus membawanya nanti ke sana," terang Bu Miranti tegas.
"Iya, Ma. Ali setuju," sahut Ali sambil tersenyum tipis.
"Walaupun Ali tidak cinta, Ali akan berusaha bertanggung jawab,"
Pllaaakk..
"Tidak cinta dari mana?" teriak Bu Miranti setelah memukul lengan Ali.
"Anak perawan orang kamu gagahi, mungkin tidak hanya satu kali, mengingat bau percintaan sangat menyengat seperti itu," tutur Bu Miranti sewot.
"Pusing Mama, Li...!"
"Maaf, Ma. Tapi Ali janji akan tanggung jawab."
"Oke, mama pegang ucapan kamu." Bu Miranti keluar dari kamar anaknya.
Ali kembali termenung, apalagi sudah tiga malam sejak kejadian itu, ia terus saja memimpikan wanita yang ia gagahi. Ali meremas rambutnya kasar, "siapa kamu?" bisiknya, "wajah yang tidak asing, tapi siapa?" Ali mencoba mengingat-ingat saudara atau mungkin teman kampusnya, tetapi sepertinya bukan.
****
Sore itu juga, Iqbal menyambangi rumah Anton, mata Iqbal berkaca-kaca, saat mengetahui Parni benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Dan yang paling menyedihkan, mereka tidak ada yang tahu Parni pergi ke mana."Sabar, Bal. Mungkin belum berjodoh," ujar Anton sambil merangkul pundak Iqbal.
"Gue berharap, Parni tidak melakukan hal nekat, Ton," sahutnya.
"Gue tahu siapa Teh Parni, ia masih ada iman. Tidak mungkin berbuat nekat. Berdoa saja kita segera dapat kabar darinya," ujar Anton lagi.
"Minum Mas Iqbal." Parmi mempersilakan Iqbal untuk meminum teh yang ia suguhkan.
"Terimakasih, Mi," ujar Iqbal sambil melirik sekilas Parmi.
"Tato di leher gede banget gitu," ledek Iqbal mencoba mencairkan suasana. Anton meraba lehernya, sambil menyeringai.
"Tuh, zombinya," tunjuk Anton pada Parmi yang berjalan ke arah dapur.
"He he he, sabar ya, Bal. Gue doain lu sesegera mungkin mendapatkan biangnya zombi," ujar Anton lagi sambil tersenyum lebar.
Setelah sholat magrib, Iqbal pamit pulang. Ia memilih untuk tidak langsung pulang, tetapi ia berinisiatif untuk bermalam di apartemen yang sedang ia cicil. Ya, di apartemen yang sama tempat Ali berada.
Setelah memarkirkan motor besarnya di area parkir apartemen, ia berjalan masuk melalui lobi belakang. Berjalan menuju lift.
Ting
Pintu lift terbuka, Iqbal masuk ke dalamnya, disusul seorang lelaki muda. Iqbal menoleh sekilas, "Ali ya?" Iqbal mengenali Ali.
"Eh, iya. Saya Ali. Mas siapa?"
"Saya Iqbal, saudaranya suami Parmi, kenal Parmi'kan?"
"Oh, Teh Parmi. Iya ingat, Mas. Ga bakalan bisa saya lupakan, he he he..., kita pernah bertemu di acara akikah anaknya Teh Parmi ya?"
"Iya, betul."
"Teh Parmi sehat, Mas?"
"Sehat, alhamdulillah."
"Teh Parni?"
"Ah...mmm...sehat,"
"Syukurlah, si kembar sudah bisa apa, Mas?"
"Sudah bisa berjalan dan mulai bicara,"
"Wah, sudah lama juga saya tidak silaturahim ke sana. Sudah setahun kayaknya," ujar Ali lagi.
"Salam ya, Mas. Kalau ketemu,"
"Oke, saya duluan ya," pamit Iqbal karena ia sudah sampai di lantai enam.
****
Dokter Alan akhirnya memberi restu pada Ali untuk melanjutkan studi S2 di Humboldt. Dengan catatan, jika wanita yang ia gagahi berhasil ditemukan, Ali akan pulang ke Indonesia untuk menikahi wanita tersebut, lalu membawanya serta ke Jerman. Berat hati sebenarnya bagi dokter Alan, karena bagaimana pun, belum ada dalam silsilah keluarga besarnya, ada anggota keluarga yang mencoreng nama keluarga dengan perbuatan bejat seperti ini, yang seharusnya tak dapat diampuni.
"Sudahlah, Pa. Ali sudah berjanji, pasti ia tepati, jangan kepikiran terus, nanti papa bisa sakit," tutur lembut Bu Miranti, sambil mengusap lengan suaminya.
"Yuk, kita antar anaknya ke bandara!" ajak Bu Miranti menarik tangan suaminya agar berdiri dari duduknya.
Ali sudah siap berangkat. Koper, ransel, berkas-berkas, tak lupa tiket dan data diri lainnya sudah ia siapkan. Ia sudah duduk di sofa depan televisi sambil menanti kedua orang tuanya keluar dari kamar.
"Bang, hati-hati ya!" ujar Ica sambil menepuk pundak Ali.
"Lho kamu ga ikut anter abang?"
"Nggak ah, mau kerkom di apartemen,"
"Bye, Bang. Cup." Ica mengecup pipi abangnya. Lalu berjalan naik ke lantai dua untuk berpamitan pada papa dan mamanya. Tidak lama berselang, Ica turun bersama kedua orang tuanya, melewati Ali sambil melambaikan tangan.
"Ayo, kita juga harus berangkat!" ujar Bu Miranti sambil menarik tangan kedua pria di sampingnya yang masih bermusuhan.
Hanya memakan waktu sejam Ali dan kedua orangtuanya sudah sampai di bandara. Masih ada satu jam lagi, sebelum check-in Bu Miranti memilih mengajak anak dan suaminya berbicara di kafe. Yang tidak jauh dari pintu keberangkatan.
****
Ica dan tiga orang temannya sudah sampai di apartemen Ali. Ica sangat senang akhirnya bisa menginap di sini, setelah lama menanti waktu yang tepat. Untung saja abangnya Ali mau berbaik hati."Abang lu ganteng banget, Ca," puji Anita, teman Ica.
"Gue aja cantik, ya abang gue harus ganteng dong," sahut Ica sambil memainkan rambutnya.
"Iya tuh, kayak model ya. Kenalin ke kita dong," rengek Manda kali ini. Tiga orang teman Ica masih asik memandangi foto besar Ali yang terpajang di dinding ruang televisi.
"Nonton yuk!" Anita mengambil remot TV.
"Oh iya, gue ke kamar sebentar ya, mau rebahan, kepala gue kok sakit. Tuh pizza makan aja. Bebas lu di sini mau ngapain aja, asal ntar malam kita siap tempur belajar,"
Ica masuk ke dalam kamar abangnya, merebahkan tubuh di atas ranjang besar milik abangnya. Matanya benar-benar mengantuk, ia meletakkan ponsel persis di sampingnya. Terlelap begitu nyaman, sampai...
Puukk!
"Aduh!" Ica terbangun, kaget dengan suara benda jatuh. Setelah dilihat ternyata ponselnya terlempar ke bawah sofa persis di samping ranjang. Sambil mengucek mata, ia meraba kolong sofa, tangannya menyentuh sesuatu selain ponselnya. Ia mengambil ponselnya terlebih dahulu, kemudian mengambil benda yang ia rasa aneh. Keningnya berkerut, sambil membolak-balik benda tersebut di tangannya. Apa ini? Parni? gumamnya dengan dada berdebar. Seperti nama siapa ya? Aduh, gue kok deg-degan. Ica bermonolog, cepat ia memencet ponsel mamanya, namun tidak diangkat. Ia mencoba ke ponsel Ali, tidak diangkat juga. Ica mencoba kembali menelepon mamanya.
[Hallo mama, Ica nemu cincin seperti cincin pertunangan, di kolong sofa apartemen Bang Ali, ada namanya Parni]
****
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany
Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi."Ada apa, sayang?" tanya Anton"Pa, ini tadi Teh Parni telepon.""Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget."Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif."Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya."Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias."Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar
Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir."Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya."Kamu punya stok tolak
Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda."Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi."Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.Kleek...Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi."Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna."Tolak miskin ada gak?" tanya Parni."Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh."Ya sudah, mau deh," kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana."Nih, minum Mbak!" titah Luna.Parni menerima
Selamat membaca.Parni berjalan beriringan dengan Luna. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Luna tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga Parni. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan dan asap ngebul ikut menemani langkah keduanya untuk pulang ke rumah. Jika Luna sibuk memikirkan keadaan Parni yang menyedihkan, maka berbeda dengan Parni yang saat ini memikirkan omong kosong dokter tadi siang yang mengatakan bahwa dirinya hamil."Mbak Parni jadi sekarang bagaimana?" tanya Luna."Pasti dokter itu berbohong," jawab Parni dengan pandangan lurus ke depan."Tapi bukannya garis dua itu tandanya positif, Mbak?" Luna kembali menatap Parni sengan serius."Tapi samar'kan? Test pack bisa saja salah," ucap Parni lagi."Mbak ga mau periksa ke dokter saja?"Parni menggeleng, "tidak perlu, aku baik-baik saja. Bukan hamil," sahut Parni lagi membuat Luna terdiam.Perkataan dokter tadi
Pagi yang sepi di rumah keluarga Ali, karena mamanya, Bu Miranti masih berada di Jerman untuk menemani Ali yang sedang di rawat. Sudah delapan hari Bu Miranti berada di sana, dan konon kabarnya Ali masih dirawat tanpa tahu apa penyakitnya.Annisa, atau biasanya dipanggil Ica melahap sarapannya dengan enggan, padahal bibik membuatkan kwetiau goreng berikut dengan ayam goreng kesukaan Ica."Mau sampai kapan makanannya diaduk-aduk terus, Ca" tegur Dokter Alan pada puterinya."Ica ga berselera, Pa. Mama lama banget di sana," rengeknya manja.Lelaki paruh baya yang sudah rapi dengan kemeja bergaris biru miliknya, memilih untuk meletakkan sendoknya sejenak, kemudian menatap lurus pada puterinya yang saat ini berwajah masam di depannya. "Mama juga di sana bukan liburan, sayang. Mama sedang mengurus abang kamu, yang entah apa sakitnya," ujar Dokter Alan sambil melepas nafas beratnya."Emang Bang Ali sakit apa, Pa?" tanya Ica.Dokter Alan hanya m