21+
Brondong kesepian, duda galau, duda pending, perawan ting-ting, setengah perawan, hampir tidak perawan. Dilarang keras baca part ini! Karena dapat menyebabkan minta dikawinin.🤣🤣🤣
****
Seorang lelaki dewasa tengah duduk gelisah di kursinya, sudah dua puluh menit sejak dia kembali dari kamar mandi, pacarnya tidak ada. Iqbal mencoba untuk tidak berpikiran jelek. Dengan sabar ia menunggu sang kekasih yang tidak kunjung keluar dari lorong toilet. Tas selempang rajut milik pacarnya pun tergelatak manis di atas meja. Tentu saja itu yang membuat Iqbal berpikiran kalau Parni sedang berada di toilet.
Iqbal menarik nafas gusar, matanya sejurus ke arah lorong toilet, namun tak ada tanda-tanda juga. Akhirnya Iqbal memutuskan untuk menyusul Parni di toilet wanita. Ada petugas wanita muda di sana yang sedang membersihkan kaca.
"Mba, Permisi," sapa dengan wajah sedikit pias.
"Ya, Mas. Ada apa?" tanya si petugas cleaning service tersebut.
"Saya sedang menunggu pacar saya, pakai baju kaus sama seperti saya ini. Sudah hampir setengah jam tidak keluar juga dari toilet," terang Iqbal hampir putus asa.
Kening wanita itu berkerut. "Tak ada perempuan yang masuk ke toilet sejak setengah jam yang lalu, Mas. Coba saja Mas cek." Petugas itu memberi jalan bagi Iqbal untuk mengecek keadaan dalam bilik toilet. Dari enam pintu yang ia buka semuanya kosong. Lalu ke mana Parni? Dengan menenteng tas selempang milik Parni, Iqbal mencarinya ke sana-kemari. Bertanya pada pelayan restoran apakah melihat wanita dengan ciri-ciri Parni, tetapi semua orang yang ditanya malah menggeleng. Dada Iqbal bergemuruh, ia benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padaParni.
Iqbal mengambil ponselnya, lalu cepat menekan lama angka satu untuk segera terhubung pada ponsel Parni. Dering ponsel ditangkap oleh telinganya. Ya Allah, Parni tidak membawa ponselnya. Suara itu berdering dari dalam tas selempang milik Parni.
Apa yang harus aku lakukan? Ke mana calon istriku? Ya Allah, tolong selamatkan ia.
Rapal Iqbal dalam hati. Tangannya masih gemetar, saat memberikan satu buah kartu tipis pada kasir untuk membayar tagihannya.
"Mbak, jika melihat calon istri saya yang seperti ini, tolong kabari ya," ucapnya lemah sambil menyodorkan foto selfie dirinya dengan Parni sesaat sebelum makanan mereka dihidangkan. Iqbal juga meninggalkan sebuah kartu nama.
Entah apa yang harus ia katakan pada keluarga Parni. Iqbal berjalan gontai menuju parkiran, sempat duduk lama di dalam mobilnya. Masih memperhatikan lalu lalang orang di depannya. Namun nihil, hingga setengah jam berlalu tak ada Parni di sana. Iqbal menyalakan mesin mobilnya, ia memutuskan untuk langsung ke rumah Parni.
Rasa bersalah bersarang di dadanya, jika ia menuruti maunya Parni makan di restoran dalam mall saja, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Ia harus siap jika sepupunya Anton memukulnya, atau pun calon ibu mertuanya yang memakinya. Ia harus siap.
"J-jangan, Den. I-ingat, ini sa-ya Teh Parni, b-bukan Karina," lirih Parni dengan suara putus-putus. Sesaat setelah sadar dari pingsannya, kedua tangannya kini sudah dicekal Ali di atas kepala. Baju kausnya entah sudah ada di mana, begitu pun juga roknya.
Kini hanya tersisa bra dan celana dalamnya saja. Parni meronta sekuat tenaga. Menangis, berteriak, bahkan memelas memohon pada Ali agar menghentikan perbuatan bejatnya. Lelaki itu tak acuh, terus saja mencecap kulit tubuh Parni dengan bibirnya, bahkan sesekali mengisapnya kuat, dari atas hingga ke bawah. Hingga menimbulkan bercak merah keunguan di sekujur tubuhnya. Semakin ia meronta, maka semakin buas Ali mencumbunya.
"Tubuhmu bagus sekali, aku suka," oceh Ali sesaat, "oh, sayang," racaunya saat kembali memainkan dada Parni.
Parni lelah, ia sudah kehabisan tenaga. Ia rasa kesadarannya pun akan kembali menghilang. Parni menyerah, ia berharap Tuhan ambil saja nyawanya saat ini. Tepat saat Ali menarik paksa celana dalamnya. Bayangan wajah calon suaminya, Iqbal lewat di kepalanya. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga mahkotaku. Aku mencintaimu, Mas.
"Aaarrghh!" teriaknya tertahan saat Ali benar-benar merobek selaput kewanitaannya.
****
Iqbal memarkirkan mobilnya di depan rumah Anton. Sepupunya itu sudah menunggunya di depan rumah, tentu saja lengkap dengan calon ibu mertuanya. Iqbal membuka pintu mobilnya lalu turun dari sana dengan wajah pucat pasi."Parni mana, Bal?" tanya Bu Parti dengan wajah keheranan.
"Bu, maaf. I-ini... semua sa-salah saya."
"Ada apa, Bal? Apa yang terjadi?" sela Anton pada tak sabar pada sepupunya.
Lalu mengalirlah cerita yang sebenar- benarnya terjadi pada dia dan Parni hari ini. Mulai dari mengurus acara pernikahan, pergi nonton, sampai makan di restoran yang menyebabkan hilangnya Parni.
Anton terbelalak tak percaya. Ia bahkan tidak mampu mengatakan apapun. Kesalahan fatal telah dilakukan sepupunya pada kakak iparnya, sedangkan Bu Parti sudah menangis tersedu, "ke mana Parni Ya Allah? semoga anakku baik-baik saja. Tolong jangan timpakan ia dengan kemalangan," lirih Bu Parti sambil memukul dadanya yang mendadak nyeri mendengar penuturan Iqbal.
"Maafin saya, Bu. Saya bersalah, seandainya saya menuruti maunya Parni. Sa-saya," parau suara Iqbal, air mata juga mengalir membasahi pipinya. Ia takut, sedih, dan kecewa dengan dirinya sendiri.
"Semua sudah terjadi. Sekarang tolong cari Parni sampai ketemu, jika besok Parni belum ada kabar, kalian lapor polisi." Bu Parti masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Sedangkan Iqbal dan Anton segera pergi dari rumah, untuk mencari Parni.
Semua jalan di sekitaran apartemen sudah mereka susuri, tidak ada Parni. Bahkan tidak ada yang melihat Parni, saat Iqbal menanyakan pada orang yang berada di pinggir jalan. Semua hanya melongo kemudian menggeleng. Hingga tanpa terasa pukul dua dini hari mereka masih saja berputar-putar di kawasan Kebayoran Lama hingga Kebayoran Baru.
"Besok kita lapor polisi aja, Bal. Mudah-mudahan Teh Parni ditemukan dan dalam keadaan baik. Lu yang sabar ya!" Ucap Anton sambil menepuk pundak sepupunya. Ia pernah ada di posisi ini, ke mana-mana mencari istrinya. Anton tahu betapa terpukulnya Iqbal dan betapa takutnya ia sesuatu hal buruk akan menimpa calon istrinya.
Setelah mengantarkan Anton kembali ke rumahnya, Iqbal pun pulang ke rumahnya, ia akan mengadukan hal ini pada kedua orang tuanya, ia tak sanggup jika harus sendirian menahan sakit. Ya Allah, semoga cintaku baik-baik saja. Iqbal bermonolog, sambil terus mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
Parni tersadar dari pingsannya, perlahan ia membuka mata, namun masih tak begitu jelas karena keadaan kamar masih gelap. Tenggorokannya sangat kering, tubuhnya juga sudah sakit semua. Ia ingin minum, ia ingin berteriak minta tolong. Tapi itu semua tidak ia lakukan. Kepalanya menunduk melihat tubuhnya yang terbalut selimut, sekian detik kemudian, ia melotot takut saat tangan kekar memeluk pinggangnya.
Dengan tangan gemetar, air mata yang kembali merembes, perlahan ia menyingkirkan tangan lelaki yang telah merenggut kewanitaannya, lelaki yang telah membunuh masa depannya sebagai wanita.
Parni berhasil berdiri dari ranjang walau sambil sempoyongan. Ia menahan agar tidak ada suara apapun yang bisa terdengar oleh Ali. Dengan menggunakan sisa tenanganya, Parni memungut satu persatu pakaiannya, lalu memakainya kembali. Walau dengan rasa perih dan bengkak yang luar biasa. Ia menutup mulutnya rapat dengan tangan, menahan rasa sakit yang jujur tidak bisa ia tahan.
Di mana celana dalamnya? Parni mengedarkan pandangan mencari celana dalamnya. Susah payah ia menelan saliva, saat melihat celana dalamnya ada di bawah tubuh Ali. Parni menggelengkan kepalanya keras. Tidak! Lebih baik ia tidak mengambil celana itu. Dengan perlahan ia berjalan jinjit agar tidak membangunkan Ali. Untung saja ia mengingat password apartemen Ali, sehingga ia akan lebih mudah untuk kabur saat ini juga .
Pelan sekali Parni menekan nomor password tersebut. Tapi ternyata bunyi tombol terdengar cukup nyaring. Parni gemetaran, ia takut Ali terbangun.
"Hei, siapa kamu?"
Parni memucat, pembuluh darah tampak menegang di lehernya. Tidak! Jangan sampai Ali kembali memperkosanya.
Kleek!
Pintu apartemen terbuka. Parni tidak berani menoleh, ia berjalan cepat sambil menahan sakit di area kwanitaaannya.
Blaaam!
"Shit! Siapa wanita itu?" gumam Ali yang masih belum sadar sepenuhnya. Ali menatap tubuhnya yang polos tertutup selimut, seketika jantungnya berdetak cepat. Matanya melotot. Apakah ia baru saja melepas perjakanya? Tapi pada siapa? Cepat Ali turun dari ranjang, berjalan ke arah pintu apartemen. Ia membukannya, namun wanita itu sudah tidak terlihat lagi.
Ali masuk kembali ke dalam apartemen, kemudian membuka jendela dan berjalan lunglai menuju ranjangnya. Napasnya kembali berhenti sesaat, saat matanya menangkap noda merah di atas seprei putih. Bukan hanya sedikit, tapi ada beberapa bercak yang mengotori sepreinya. Dan celana dalam wanita sederhana teronggok manis di dekat bantal tidurnya.
Ya Tuhan, apa yang semalam aku lakukan. Ali seketika itu juga tersadar. Dengan tergesa ia memakai asal celana panjang dan juga baju kausnya. Tak dihiraukannya kepalanya yang masih sangat sakit, sisa mabuk semalam.
Ali berlari keluar dari apartemennya. Dengan wajah panik tak karuan, ia mencari wanita yang keluar dari apartemennya dengan memakai kaus biru. Ali mengeluarkan motor gedenya dari area parkir.
Matanya menelisik setiap sudut jalan yang ia lewati, namun tidak ditemukannya wanita berambut panjang dan berbaju biru. Ia sempat berhenti sebentar, bertanya pada petugas keamanan apartemen, apakah melihat wanita dengan ciri-ciri yang ia sebutkan. Sayang sekali, petugas keamanan itu menggeleng.
Ya Allah, siapa wanita itu? Aku sudah merusaknya. Ali bagai orang kesetanan mencari sosok itu. Sayang sekali, ia tidak ingat sama sekali wanita yang sudah ia nodai semalam dan celakanya ia tidak tahu bahwa wanita itu adalah Parni.
****
Bugh! Bugh!"Teteh, buka pintu! Teteh kenapa?" tanya Parmi khawatir. Tetehnya baru saja pulang dalam keadaan tidak baik, dan langsung masuk kamar lalu menguncinya dari dalam.
"Ni, buka pintunya!" lirih Bu Parti dari balik pintu kamar Parni. Air matanya sudah membasahi pipi, begitu juga Parmi yang sama takutnya dengan ibunya.
"Teh, bilang sama saya, teteh kenapa?" kali ini suara Anton yang terdengar. Parni menutup telinganya. Ia menangis, terisak sedih meratapi nasib buruknya.
Sesaat kemudian. "Ha ha ha... akhirnya aku gagal menikah lagi. Ha ha ha!" Tawa miris Parni dari dalam kamarnya.
****
Awan gelap memayungi bumi, kelam dan dingin merasuk pori-pori kulit. Hujan besar sepertinya sebentar lagi akan turun, melihat awan yang tadinya putih, kini berganti warna. Tangan lelaki dewasa itu gemetar, bahkan dadanya tidak berhenti berdetak dengan sangat cepat saat mendengar kabar calon istrinya pulang ke rumah dalam keadaan tidak baik.Hatinya resah, ia merasa begitu bersalah pada Parni. Ia akan bertanggung jawab apapun itu, Iqbal akan berusaha berlapang dada. Jika ini adalah bagian dari ujian cintanya pada Parni.Iqbal membuka pintu pagar rumah Anton, sepupunya. Kemudian masuk dan memarkirkan motornya di samping mobil Anton. Dengan tergesa ia turun dari motor. "Assalamua'alaykum," ucapnya di depan pintu rumah Anton."Wa'alaykumussalam," jawab Bik Jum, pembantu rumah keluarga Anton. Lalu membukakan pintu untuk Iqbal."Masuk, Den, sudah ditunggu!" Bik Jum mempersilakan Anton untuk langsung menuku
Parni hanya bisa memandang sendu punggung Iqbal yang berjalan keluar dari kamarnya. "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya sangat pelan, sehingga hanya helaan nafas dan air mata yang dapat mendengar gumamnya. Setelah pintu itu tertutup, Parni turun dari ranjang sambil tertatih, kembali mengunci pintu kamar sebelum adik dan ibunya masuk ke kamar lalu mengintrogasinya. Wajahnya tampak meringis saat merasai perih dan kebas pada kewanitaannya saat ia berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di dalam kamarnya.Bu Parti yang sedang melatih Andrea berjalan di teras, menoleh pada Iqbal yang wajahnya murung, matanya memerah seperti baru saja menangis, "nak Iqbal, ada apa?" tanya Bu Parti mendekat pada Iqbal."Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana?""Bagaimana apanya, Bal?""Saya pulang dulu, Bu. Besok saya kembali lagi." Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, membuat B
Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.Tuk!Tuk!"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni."Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkanhandle
Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh."Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran."Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya."Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal."Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany
Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi."Ada apa, sayang?" tanya Anton"Pa, ini tadi Teh Parni telepon.""Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget."Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif."Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya."Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias."Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar