Parni sudah berdandan rapi, memakai baju kaus couple yang dibelikan oleh Iqbal. Lengkap dengan rok plisket yang panjangnya hingga betis, serta rambut yang diikat tinggi menyerupai ekor kuda. Tak lupa tas selempang rajut hasil buatannya. Tautan antara jari telunjuk dan juga jempol, memutar-mutar cincin lamaran yang semalam ia dapat dari calon mertuanya. Sedikit longgar tak apa, nanti jika sudah menikah, pasti jemarinya ikut melebar, seperti Parmi, adiknya saat ini.
Parni memilih duduk di teras sambil menunggu Iqbal yang akan menjemputnya siang ini. Mereka akan pergi menemui Event Orginazer yang akan membantu terlaksananya acara pernikahan mereka. Sebenarnya Parni tidak terlalu paham, ia lebih suka jika acara berlangsung sederhana. Namun apalah daya, jika Iqbal dan keluarganya yang ingin memberikan pesta meriah untuk Parni.
Senyumnya tak kunjung surut dari semalam, terharu dan juga bahagia bercampur jadi satu. Makannya lebih berselera, senang bersenandung, tetapi juga banyak melamun.
Tin...tin...
Suara klakson mobil Iqbal terdengar di balik pintu pagar. Parni berdiri dengan kaki sedikit dijinjitkan untuk memastikan yang datang adalah Iqbal.
"Bu, Parni berangkat ya," pamitnya pada ibunya.
"Iya, hati-hati. Kalau pulang kemaleman, Parmi dikabari ya," seru Bu Parti dari arah dapur.
"Iya Bu. Assalamua'laykum," ujar Parni sebelum kakinya melangkah untuk membuka pagar rumah.
"Selamat siang calon istri. Cantik sekali siang ini," puji Iqbal saat Parni sudah duduk di samping kemudi.
"Terimakasih sayang," balas Parni sambil tersipu malu.
"Wah, senangnya mendengar kata sayang, siang-siang begini. Jadi haus," seloroh Iqbal yang diikuti tawa Parni.
Mereka membelah jalan ibu kota, sambil bercerita banyak hal. Tangan kanan Iqbal memagang stir mobil, sedangkan yang kiri menggenggam jemari Parni. Wanita itu hanya bisa pasrah, saat sesekali jemarinya dicium oleh Iqbal.
"Sudah cuci tangankan, Ni?" tanya Iqbal sambil kembali meletakkan jemari Parni di bibirnya.
"Ya sudah atuh. Kenapa emang, Mas? Bau ya?"
"Iya, bau calon pengantin," ledek Iqbal sambil mengerlingkan sebelah matanya pada Parni.
"Ha ha ha." Parni terbahak, lalu mencubit gemas pinggang Iqbal.
Satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah ruko di bilangan Pejaten - Jakarta Selatan. Iqbal membukakan pintu mobil untuk Parni, kemudian mereka bergandengan tangan masuk ke dalam ruko tersebut. Kedatangan mereka disambut hangat oleh beberapa orang di sana. Keduanya di arahkan ke bagian marketing EO.
Iqbal banyak berdiskusi dengan salah satu kepala marketing di sana, sedangkan Parni hanya mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menganggukkan dan sesekali menggeleng, saat Iqbal menanyakan persetujuannya. Konsep acara sederhana tapi meriah telah dipilih oleh Iqbal. Warna putih mendominasi gedung yang akan mereka pakai untuk acara pernikahan. Pakaian pernikahan dan catering pun tidak luput dari pembahasan.
Pukul empat sore, mereka baru selesai berdiskusi mencapai kesepakatan. Ternyata Iqbal orangnya sangat detail dan perfect membuat hati Parni semakin gembira, karena memang Parni menyukai tipe pria serius dan detail seperti Iqbal.
"Mau nonton ga, Ni?"
"Film apa, Mas?"
"Sundel bolong."
"Ha ha ha ha," Parni terbahak begitu pun Iqbal.
"Kalau film horor tidak mau, ah!" tolak Parni sambil cemberut.
"Ya sudah kalau begitu, kita nonton film porno saja, bagaimana?"
Puk...puk...
"Auu... sakit, Ni!" pekik Iqbal karena Parni memukul pundaknya berkali-kali.
"Pulang aja deh, kalau Mas mesum." Parni mengerucutkan bibirnya, membuat Iqbal semakin gemas.
"Iya deh, Sayang. Maaf ya, Mas'kan bercanda," ujar Iqbal dengan nada memelas.
Hampir enam bulan dekat dengan Parni, belum pernah Iqbal diizinkan mencium bibir pacarnya itu. Paling jauh cium pipi. Parni seakan takut, jika Iqbal nanti kelewat batas. Dalam keadaan halal semua akan lebih indah, itu yang sering Parni katakan.
Iqbal memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah mall. Kemudian mereka turun dan berjalan saling bergandengan tangan masuk ke dalam mall. Langkah kaki mereka langsung menuju bioskop. Parni akhirnya yang memilih akan menonton film apa.
Pilihannya jatuh pada film action IP-Man 4 yang dibintangi oleh aktor kawakan Donnie Yen. Iqbal ikut saja, asal Parni tersenyum dan memberinya jatah mencium pipi wanita itu.
Parni begitu antusias saat menonton adegan demi adegan yang ditampilkan. Jelas sekali raut terpesona akan film tersebut. Sedangkan Iqbal, sedari tadi sudah menguap menahan kantuknya.
"Mas bisa silat atau taekwondo ga?" tanya Parni pada Iqbal.
"Bisa, tapi silat di kasur. He he he."
"Susah atuh, Mas. Goyang-goyang."
"Iyalah sayang, pasti bergoyang karena digoyang. Ha ha ha..." Iqbal kembali terbahak. Sepertinya Parni tidak paham arah pembicaraan Iqbal.
"Mana bisa, aneh deh." Parni memutar bola mata malasnya.
"Ya bisa, kan sambil tiduran." ujar Iqbal dengan seringai menggodanya.
"Emang ada silat sambil rebahan?" tanya Parni semakin tidak paham.
"Ha ha ha." Iqbal terbahak kembali sambil menutup mulutnya.
Pukul tujuh malam mereka keluar dari bioskop. Parni yang sudah lapar, mengajak Iqbal untuk makan di dalam mall saja. Tetapi Iqbal bersikeras mengajak Parni makan di sebuah restoran mewah yang terletak di sebuah apartemen.
Iqbal juga ingin menunjukkan pada Parni, jika ia sedang mencicil apartemen untuk tempat tinggal mereka nanti. Sebelumnya, Parni sudah melakukan video call pada Parmi, menunjukkan pada adiknya itu, bahwa ia dan Iqbal sedang berada di sebuah mall. Dan Parni juga mengatakan bahwa akan pulang terlambat, paling lambat jam sembilan malam.
Di dalam mobil menuju restoran yang dimaksud, Parni ngemil dim sum yang dibeli oleh Iqbal untuk mengganjal perutnya yang mulai lapar. Parni juga menyuapi Iqbal sambil sesekali menggodanya. Hanya perlu waktu lima belas menit saja, mereka telah memasuki area parkir restoran, yang area basemant terhubung dengan apartemen yang dimaksud Iqbal.
Iqbal memesan aneka makanan mahal dan enak untuk Parni. Bahkan wanita itu tidak paham makanan apa yang dipesan oleh calon suaminya ini. Hanya minuman yang ia request, teh manis hangat. Iqbal sudah tidak heran lagi dengan calon istrinya ini, jika makan dimana saja, minumnya tetap, teh manis hangat.
Parni mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang ia kunjungi saat ini. Orang-orang yang sedang makan di dalamnya tampak cantik, tampan, dan berkelas. Sungguh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana.
"Kenapa, hhmm?" tanya Iqbal saat membaca raut wajah Parni yang tiba-tiba sendu. Jemari Iqbal mengusap lembut rambut Parni yang saat ini duduk di sebelahnya.
"Ah, tidak apa-apa, Mas," sahut Parni sambil memberikan senyum termanisnya. Bukannya karena apa, Parni khawatir kutu rambut yang ditularkan oleh Parmi, melambai pada Iqbal. Tidak! Calon suaminya ini tidak boleh tahu, kalau kepalanya ada kutu walaupun sedikit.
Parni sudah berencana, sepulang dari acara malam ini, ia akan memakai obat kutu, kalau perlu dua botol sekaligus. Agar kutu laknat milik Parmi benar-benar punah dari kepalanya.
Kini makanan yang dipesan sudah tersedia di depan mata kedua mata mereka. Tampilannya begitu menggoda, membuat perut Parni kembali bernyanyi. Khususnya pada masakan ikan yang digoreng kering, tetapi diberi saus bewarna orange, potongan buah nanas, buah tomat, paprika, wortel, dan juga timun. Keduanya makan dengan lahap, fokus pada piring masing-masing yang terisi penuh oleh aneka masakan menggugah selera.
"Enak tidak?" tanya Iqbal pada Parni.
"Enak banget, Mas. Sumpah!" Parni memberikan dua jempol tangannya pada Iqbal.
"Ya sudah, pelan-pelan saja makannya," ujar Iqbal sambil mengusap noda saus di pinggir bibir Parni.
Iqbal pamit ke kamar kecil, perutnya mendadak sakit karena terlalu banyak makan malam ini. Tersisa Parni yang baru saja mencuci tangan, kemudian menyesap teh hangat yang menyegarkan tenggorokannya.
Parni kembali mengedarkan pandangannya keluar, sungguh indah pemandangan malam ini. Parni menarik nafas lalu menghembuskannya pelan, ia sangat bersyukur atas nikmat Tuhan saat ini.
"Itu bukannya Den Ali?" gumam Parni yang tiba-tiba saja berdiri. Lalu dengan setengah berlari menghampiri lelaki yang ia kenal sebagai Ali. Lelaki itu berjalan sempoyongan sambil memegang tembok, jelas sekali Ali dalam keadaan mabuk.
Basemant apartemen yang terhubung dengan restoran, membuat setiap orang yang sedang berada di dalam restoran tersebut, melihat dengan jelas area itu.
"Den Ali kenapa?" tanya Parni sambil membantu Ali berdiri tegak agar bisa menatapnya.
"Siapa kamu?" tanya Ali dengan suara berat. Tubuhnya masih bergoyang ke sana-kemari.
"Saya Teh Parni, kakaknya Parmi. Kamu ingat'kan?"
Ali menggeleng. Lalu dengan kasar mendorong tubuh Parni. Wanita itu sempat terseret mundur. Namun dengan cepat kembali lagi.
"Den Ali mabuk, sekarang mau ke mana?"
"Tolong antar, hheek... " Ali bersendawa.
"Ke kamar," lanjutnya lagi sambil menarik tangan Parni. Parni sempat menoleh ke restoran, Iqbal belum kembali. Jadi ia memutuskan untuk mengantar Ali ke kamarnya. Seorang petugas keamanan yang baru saja muncul dari dalam, membukakan pintu lobi basemant untuk Ali dan juga Parni.
"Sepuluh," tunjuk Ali pada tombol lift. Parni dengan cepat menekan tombol yang disebutkan Ali. Sedikit kepayahan Parni menopang tubuh Ali yang berat. Enam bulan sudah tidak pernah bertemu, Ali semakin terlihat tampan walaupun dalam keadaan mabuk seperti ini.
Begitu lift berhenti di angka sepuluh. Parni membantu Ali berjalan keluar, menuju kamarnya. Lengan Ali memeluk pundak Parni. Lalu tangan sebelahnya lagi, mencoba memencet kode apartemen.
Klek
Pintu pun terbuka. Dengan hembusan nafas lega Parni membawa Ali masuk, lalu mendudukkannya di sofa.
"Sudah ya, Den. Saya pulang dulu," ujar Parni sambil meninggalkan Ali yang masih setengah sadar di atas sofa.
"Teh," panggilnya.
Parni menoleh, "Ada apa, Den?"
"Sini sebentar," panggil Ali dengan menggunakan tangannya. Parni mendekat.
"Ya."
Cupmmmmmpphhh
Ali mengisap bibir Parni dengan kuat, membuat Parni melotot kaget. Bahkan terlalu kaget, membuat Parni tidak bisa bernafas. Yah, ia kehabisan napas saat Ali mencium bibirnya dengan ganas.
Air mata sudah mengalir di pipi Parni. Ia mencoba mendorong kuat tubuh Ali, namun tidak berdaya. Tangan besar Ali sudah meremas dadanya dengan sangat kencang, membuat kakinya lemas, napas pun tidak bisa. Parni berharap ini semua mimpi, sebelum ia benar-benar pingsan.
****
21+Brondong kesepian, duda galau, duda pending, perawan ting-ting, setengah perawan, hampir tidak perawan. Dilarang keras baca part ini! Karena dapat menyebabkan minta dikawinin.š¤£š¤£š¤£****Seorang lelaki dewasa tengah duduk gelisah di kursinya, sudah dua puluh menit sejak dia kembali dari kamar mandi, pacarnya tidak ada. Iqbal mencoba untuk tidak berpikiran jelek. Dengan sabar ia menunggu sang kekasih yang tidak kunjung keluar dari lorong toilet. Tas selempang rajut milik pacarnya pun tergelatak manis di atas meja. Tentu saja itu yang membuat Iqbal berpikiran kalau Parni sedang berada di toilet.Iqbal menarik nafas gusar, matanya sejurus ke arah lorong toilet, namun tak ada tanda-tanda juga. Akhirnya Iqbal memutuskan untuk menyusul Parni di toilet wanita. Ada petugas wanita muda di sana yang sedang membersihkan kaca."Mba, Permisi," sapa dengan
Awan gelap memayungi bumi, kelam dan dingin merasuk pori-pori kulit. Hujan besar sepertinya sebentar lagi akan turun, melihat awan yang tadinya putih, kini berganti warna. Tangan lelaki dewasa itu gemetar, bahkan dadanya tidak berhenti berdetak dengan sangat cepat saat mendengar kabar calon istrinya pulang ke rumah dalam keadaan tidak baik.Hatinya resah, ia merasa begitu bersalah pada Parni. Ia akan bertanggung jawab apapun itu, Iqbal akan berusaha berlapang dada. Jika ini adalah bagian dari ujian cintanya pada Parni.Iqbal membuka pintu pagar rumah Anton, sepupunya. Kemudian masuk dan memarkirkan motornya di samping mobil Anton. Dengan tergesa ia turun dari motor. "Assalamua'alaykum," ucapnya di depan pintu rumah Anton."Wa'alaykumussalam," jawab Bik Jum, pembantu rumah keluarga Anton. Lalu membukakan pintu untuk Iqbal."Masuk, Den, sudah ditunggu!" Bik Jum mempersilakan Anton untuk langsung menuku
Parni hanya bisa memandang sendu punggung Iqbal yang berjalan keluar dari kamarnya. "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya sangat pelan, sehingga hanya helaan nafas dan air mata yang dapat mendengar gumamnya. Setelah pintu itu tertutup, Parni turun dari ranjang sambil tertatih, kembali mengunci pintu kamar sebelum adik dan ibunya masuk ke kamar lalu mengintrogasinya. Wajahnya tampak meringis saat merasai perih dan kebas pada kewanitaannya saat ia berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di dalam kamarnya.Bu Parti yang sedang melatih Andrea berjalan di teras, menoleh pada Iqbal yang wajahnya murung, matanya memerah seperti baru saja menangis, "nak Iqbal, ada apa?" tanya Bu Parti mendekat pada Iqbal."Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana?""Bagaimana apanya, Bal?""Saya pulang dulu, Bu. Besok saya kembali lagi." Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, membuat B
Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.Tuk!Tuk!"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni."Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkanhandle
Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh."Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran."Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya."Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal."Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.
Selamat membaca"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar."Yang mana?" tanya Anton."Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."Hukk..hukkk...Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya."Kok mahal betul lipstiknya, Bu?""Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni.""Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya.""Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anto
"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya."Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala."Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi."Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini."Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?""Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'. Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak."Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telingany
Gemericik suara air mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Tidur yang paling berkualitas sepanjang hidupnya, karena ini pertama kalinya ia tidur sambil dipeluk oleh seseorang yang membuatnya kembali jatuh cinta. Parni membuka matanya pelan, dirabanya sisi kasur yang telah kosong. Ke mana suaminya? Parni turun dari kasur tanpa memperhatikan rasa nyeri."Auu ...." Parni kembali duduk. Kenapa sakit? Karena memang baru ini lagi ia berhubungan intim, tentu saja rasanya bagai baru saja diperawanin. Perih, kebas, dan serasa tebal. Sangat tidak nyaman. Parni meraih selimut tebal untuk menutupi tubuhnya hingga dada. Diliriknya jam di dinding yang sudah pukul setengah delapan pagi.Shubuh tadi, setelah selesai mandi hadas besar dan sholat berjamaah, mereka kembali melanjutkan aktifitas panas, merajut tali cinta. Mengharapkan segera hadir adik bagi Saka dan Lingga. Wajar saja jika saat ini mereka bangun kesiangan. Sepertinya sang suami tidak ada di dalam kamar mandi. Ke mana suara anak-anak? Apa me
"Saka dan Lingga biar tidur di rumah Mama saja, ya?" ujar Bu Miranti yang sudah memangku Saka, sedangkan Lingga di pangku oleh Opanya."Eh, jangan, Ma. Saya iseng, kalau tidak ada orang di rumah," tolak Parni terus terang."Trus itu yang lagi nunduk siapa? Demit?" celetuk Parmi, sang adik yang sangat kebetulan pintar malam ini. Di samping Parni sudah duduk Ali yang kini sedang menunduk."Gak papa, Teh. Pengantin baru itu harus beratapdasi satu sama lain. Benarkan, Yang?" tanya Parmi pada Anton yang kini menyeringai lebar. Baru sepersekian detik dipuji, udah error lagi Nyonya Parmi."Ber-a-dap-ta-si." Anton membetulkan ucapan Parmi."Iya, tadikan Ibu bilang beratapdasi," balas Parmi tak mau kalah. "Ha ha ha ...." semua yang ada di sana tertawa mendengarkan percakapan Parmi dan juga Anton."Besok tinggal jemput ke rumah Omanya. Jangan takut, Teh. Paling digigit sayang doang sama Ali. He he he ...." yang lain pun ikut tertawa. "Ya sudah, kita pulang dulu ya, Ni. Ali, Ibu balik ya?""Eh
[Hallo, selamat sore. Saya dengan Emir. Dua tahun lalu saya mengantar seorang pasien yang melahirkan di rumahnya. Namanya Ami dan bayinya Amira. Apakah Suster tahu keberadaan mereka di mana?][Sore, Mas. Mohon, Maaf. Kami tidak bisa memberitahukan kabar apapun berkaitan dengan pesian kami. Karena itu privacy.][Oh, baiklah. Terimakasih]Emir mematikan teleponnya, lalu memilih duduk di sofa. Jendela rumah yang terbuka lebar, membuat ia dapat menghirup dalam aroma tanah yang basah oleh air hujan yang baru saja reda."Mir, Parni hari ini nikah lho. Kamu sudah ucapkan selamat?" tanya Bu Farida saat menghampiri anaknya di ruang depan."Sudah, Ma. Emir juga sudah transfer uang sebagai hadiah buat Teh Parni," jawabnya sambil tersenyum tipis."Kamu sudah tidak apa-apa?""He he he ... Gak papa Mama, sekarang udah ada Farah yang jadi pacar Emir.""Kapan dia kamu ajak ketemu Mama?""Minggu ini kalau dia ga ada pemotretan, Ma.""Mmm... Okelah, Mama masuk dulu." Bu Farida meninggalkan Emir yang ma
"Bagaimana kalau Teteh menikah dengan saya?" tanya Ali tanpa ragu."Kalau kamu masih bicara seperti itu lagi, lebih baik kamu turun. Jalan kaki saja sana, pulang!""He he he ... Gak mau ya. Ya sudah ga papa, yang penting Teteh ga nikah sama siapa-siapa, saya jadi lega," ujar Ali sambil mengusap kedua pipi Lingga."Oh, jadi kamu doain aku jomblo seumur hidup? Sorry ya, aku udah ikut biro jodoh, paling sebentar lagi juga dapat," balas Parni tak mau kalah."He he he ...Bukan begitu maksud saya, Teteh."Pedebatan pun masih saja terjadi sampai mereka tiba di sebuah rumah minimalis kawasan Jakarta Timur. Bu Miranti hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ocehan dua orang yang duduk di belakangnya, sedangkan Pak Asep, sopir keluarga Bu Miranti hanya senyam-senyum saja."Semoga berjodoh yang duduk di belakang ini ya, Bu," bisik Pak Asep pada Bu Miranti."Aamiin. Saya malah pengennya besok saya nikahin aja, Pak. Biar ga berantem terus," sahut Bu Miranti juga sambil berbisik.Pak Asep turun d
2 Tahun Kemudian.Di luar hujan turun begitu deras, disertai petir yang menggelegar. Sore hari yang tadinya cerah, berubah gelap menjelang adzan magrib. Ali baru saja selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah di masjid di dalam LAPAS, bersama Bang Komeng, Bang Malih, dan Aden, teman satu selnya.Senyumnya tak surut saat membayangkan besok adalah hari ia dibebaskan setelah dua tahun menjalani masa hukuman. Ia tak sabar untuk bertemu dengan Saka dan Lingga, serta ibu si kembar. Ya, meskipun dari kabar yang ia dengar, Parni sudah menikah dengan Emir, tetapi entah kenapa ia merindukan wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu."Duh, yang mau bebas besok. Senyam-senyum terus," goda Aden kini duduk di samping Ali."Udah ga sabar mau ketemu anak, Den," sahut Ali sambil tersenyum."Oh, cuma ga sabar ketemu sama si kembar, kirain sama ibunya juga. Ha ha ha ..." timpal Bang Komeng, hingga yang lainnya ikut tertawa."Istri orang masa dikangenin, Bang. Dosalah," timpal Ali."Yang jelas, d
"Toloong! Ada yang melahirkan. Tolooong!" teriak lelaki histeris bahkan dengan wajah pucat seputih kapas. Karena lokasi yang jauh dari pemukiman, ia berlari keluar villa, lalu menyebrang jalan untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang baru saja turun dari mobil di villa depan. Para ibu dan bapak yang keheranan dengan kedatangan Emir menjadi penasaran."Ada apa, Mas?""Tolong, Pak. Ada wanita melahirkan di dalam rumah besar itu, sepertinya tidak ada orang di dalam kecuali dia. Ayo, Pak. Kita tolong!" tiga orang lelaki dewasa dan dua wanita paruh baya ikut kaget, lalu dengan cepat mengangguk mengikuti langkah Emir. Petugas parkir belum sempat menghentikan kepergian para tamunya, karena sibuk mengatur posisi parkir tamu yang lain. Lelaki yang bertugas sebagai juru parkir itu bergidik ngeri, saat berbondong-bondong sebagian tamunya menyebrang villa di seberang.Bugh!Bugh!Suara hentakan itu semakin keras terdengar, hingga enam orang yang kini berdiri di depan tangga menjadi sangat
"Maksud Mama apa?""Sepertinya, Parni dan Emir akan segera menikah.""Tidak mungkin, Ma. Mama jangan bercanda.""Mama lihat sendiri Emir berlutut di kaki Parni sambil memberikan sebuah cincin.""Ali tidak mau anak-anak Ali memanggil lelaki lain dengan sebutan Papa. Hiks...""Mama juga sedih, tetapi jika ini semua menjadi keputusan Parni, kita tidak boleh protes. Yang penting nanti setelah keluar dari sini, kamu bisa ketemu anak-anak. Selamanya Saka dan Lingga adalah anak-anak kamu, cucu Mama dan Papa." Bu Miranti menangis saat melihat puteranya ikut menangis. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika Allah sudah berkehendak. Ali termenung di dalam sel dinginnya, menatap langit-langit yang penuh dengan bekas kotoran cicak dan noda air hujan. Kepalanya kembali mengingat Parni adalah wanita yang pertama kali ia cium. Parni juga yang selalu saja ketus padanya bila sedang bertamu ke rumah Parni, bahkan ia disuruh mencuci piring oleh Parni setelah ikut sarapan bersama. Hanya Parnilah wanita yang
[Maaf, Mas. Maaf sekali lagi. Saya tidak ingin menikah dengan siapapun. Fokus saya kali ini adalah anak-anak saya.][Tapi kamu masih cinta sama saya kan, Ni?][Cinta tidak harus selalu berakhir di pelaminan'kan?]Mas Iqbal, tolong lupakan saya. Lanjutkan perjalanan kisah Mas Iqbal dengan orang lain. InsyaAllah luka kita akan sembuh dengan hadirnya orang lain yang mengisi ke kosongan][Oh, jadi kamu bisa seperti ini karena ada orang lain yang sudah membuat kamu melupakan saya?][Bukan seperti itu, Mas][Apa Emir orangnya? Atau jangan-jangan lelaki yang sudah memberikanmu anak?][Maaf, Mas Iqbal. Anak saya bangun, saya tutup ya. Assalamualaikum]Tut!Tut!Parni menarik nafas panjang dengan bibir bergetar. Ia tidak menyangka Iqbal berpikiran buruk padanya. Tetapi ya sudahlah, yang penting pesan inti dari pembicaraan ini sudah disampaikan olehnya. Dirinya ingin Iqbal bisa bahagia dengan wanita lain. Ia ikhlas walaupun tak mudah. Parni kembali merebahkan dirinya di atas ranjang. Ditatapny
Semua orang sudah duduk di ruang tamu keluarga Anton. Ada Bu Parti, Bu Farida, Suraya, Iqbal, Parni, dan juga Anton. Sedangkan Parmi sedang mengurus anak kembarnya di dalam kamar. Belum ada pembicaraan di sana, semua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Parni yang begitu salah tingkah saat ini, karena dipandang intens oleh Iqbal, Bu Farida, dan juga Suraya."Mm...jadi, apakah Parni memang mengenal Iqbal?" Bu Farida membuka suara."Parni mantan calon istri saya," jawab Iqbal dengan raut wajah kecewa. Bu Farida dan Suraya tentu kaget mendengar jawaban Iqbal. Namun, mereka tetap tenang, karena memang Suraya dan Bu Farida tipe wanita yang tidak mudah tersulut api amarah. Sedangkan Parni sudah menunduk malu sambil menggendong Saka."Betul itu, Parni?" "Iya, Bu.""Parni dan Iqbal urusannya sudah selesai, sejak Parni memutuskan pergi ke Surabaya. Saya rasa tidak ada yang masalah dengan masa lalu mereka. Bukankan anak Parni bukan anak Iqbal," suara Bu Parti menjabarkan kondi