Home / Romansa / Batal Akad / 2. Kencan Berakhir Petaka

Share

2. Kencan Berakhir Petaka

Parni sudah berdandan rapi, memakai baju kaus couple yang dibelikan oleh Iqbal. Lengkap dengan rok plisket yang panjangnya hingga betis, serta rambut yang diikat tinggi menyerupai ekor kuda. Tak lupa tas selempang rajut hasil buatannya. Tautan antara jari telunjuk dan juga jempol, memutar-mutar cincin lamaran yang semalam ia dapat dari calon mertuanya. Sedikit longgar tak apa, nanti jika sudah menikah, pasti jemarinya ikut melebar, seperti Parmi, adiknya saat ini.

Parni memilih duduk di teras sambil menunggu Iqbal yang akan menjemputnya siang ini. Mereka akan pergi menemui Event Orginazer yang akan membantu terlaksananya acara pernikahan mereka. Sebenarnya Parni tidak terlalu paham, ia lebih suka jika acara berlangsung sederhana. Namun apalah daya, jika Iqbal dan keluarganya yang ingin memberikan pesta meriah untuk Parni.

Senyumnya tak kunjung surut dari semalam, terharu dan juga bahagia bercampur jadi satu. Makannya lebih berselera, senang bersenandung, tetapi juga banyak melamun.

Tin...tin...

Suara klakson mobil Iqbal terdengar di balik pintu pagar. Parni berdiri dengan kaki sedikit dijinjitkan untuk memastikan yang datang adalah Iqbal.

"Bu, Parni berangkat ya," pamitnya pada ibunya.

"Iya, hati-hati. Kalau pulang kemaleman, Parmi dikabari ya," seru Bu Parti dari arah dapur.

"Iya Bu. Assalamua'laykum," ujar Parni sebelum kakinya melangkah untuk membuka pagar rumah.

"Selamat siang calon istri. Cantik sekali siang ini," puji Iqbal saat Parni sudah duduk di samping kemudi.

"Terimakasih sayang," balas Parni sambil tersipu malu.

"Wah, senangnya mendengar kata sayang, siang-siang begini. Jadi haus," seloroh Iqbal yang diikuti tawa Parni.

Mereka membelah jalan ibu kota, sambil bercerita banyak hal. Tangan kanan Iqbal memagang stir mobil, sedangkan yang kiri menggenggam jemari Parni. Wanita itu hanya bisa pasrah, saat sesekali jemarinya dicium oleh Iqbal.

"Sudah cuci tangankan, Ni?" tanya Iqbal sambil kembali meletakkan jemari Parni di bibirnya.

"Ya sudah atuh. Kenapa emang, Mas? Bau ya?"

"Iya, bau calon pengantin," ledek Iqbal sambil mengerlingkan sebelah matanya pada Parni.

"Ha ha ha." Parni terbahak, lalu mencubit gemas pinggang Iqbal.

Satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah ruko di bilangan Pejaten - Jakarta Selatan. Iqbal membukakan pintu mobil untuk Parni, kemudian mereka bergandengan tangan masuk ke dalam ruko tersebut. Kedatangan mereka disambut hangat oleh beberapa orang di sana. Keduanya di arahkan ke bagian marketing EO.

Iqbal banyak berdiskusi dengan salah satu kepala marketing di sana, sedangkan Parni hanya mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menganggukkan dan sesekali menggeleng, saat Iqbal menanyakan persetujuannya. Konsep acara sederhana tapi meriah telah dipilih oleh Iqbal. Warna putih mendominasi gedung yang akan mereka pakai untuk acara pernikahan. Pakaian pernikahan dan catering pun tidak luput dari pembahasan.

Pukul empat sore, mereka baru selesai berdiskusi mencapai kesepakatan. Ternyata Iqbal orangnya sangat detail dan perfect membuat hati Parni semakin gembira, karena memang Parni menyukai tipe pria serius dan detail seperti Iqbal.

"Mau nonton ga, Ni?"

"Film apa, Mas?"

"Sundel bolong."

"Ha ha ha ha," Parni terbahak begitu pun Iqbal.

"Kalau film horor tidak mau, ah!" tolak Parni sambil cemberut.

"Ya sudah kalau begitu, kita nonton film porno saja, bagaimana?"

Puk...puk...

"Auu... sakit, Ni!" pekik Iqbal karena Parni memukul pundaknya berkali-kali.

"Pulang aja deh, kalau Mas mesum." Parni mengerucutkan bibirnya, membuat Iqbal semakin gemas.

"Iya deh, Sayang. Maaf ya, Mas'kan bercanda," ujar Iqbal dengan nada memelas.

Hampir enam bulan dekat dengan Parni, belum pernah Iqbal diizinkan mencium bibir pacarnya itu. Paling jauh cium pipi. Parni seakan takut, jika Iqbal nanti kelewat batas. Dalam keadaan halal semua akan lebih indah, itu yang sering Parni katakan.

Iqbal memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah mall. Kemudian mereka turun dan berjalan saling bergandengan tangan masuk ke dalam mall. Langkah kaki mereka langsung menuju bioskop. Parni akhirnya yang memilih akan menonton film apa.

Pilihannya jatuh pada film action IP-Man 4 yang dibintangi oleh aktor kawakan Donnie Yen. Iqbal ikut saja, asal Parni tersenyum dan memberinya jatah mencium pipi wanita itu.

Parni begitu antusias saat menonton adegan demi adegan yang ditampilkan. Jelas sekali raut terpesona akan film tersebut. Sedangkan Iqbal, sedari tadi sudah menguap menahan kantuknya.

"Mas bisa silat atau taekwondo ga?" tanya Parni pada Iqbal.

"Bisa, tapi silat di kasur. He he he."

"Susah atuh, Mas. Goyang-goyang."

"Iyalah sayang, pasti bergoyang karena digoyang. Ha ha ha..." Iqbal kembali terbahak. Sepertinya Parni tidak paham arah pembicaraan Iqbal.

"Mana bisa, aneh deh." Parni memutar bola mata malasnya.

"Ya bisa, kan sambil tiduran." ujar Iqbal dengan seringai menggodanya.

"Emang ada silat sambil rebahan?" tanya Parni semakin tidak paham.

"Ha ha ha." Iqbal terbahak kembali sambil menutup mulutnya.

Pukul tujuh malam mereka keluar dari bioskop. Parni yang sudah lapar, mengajak Iqbal untuk makan di dalam mall saja. Tetapi Iqbal bersikeras mengajak Parni makan di sebuah restoran mewah yang terletak di sebuah apartemen.

Iqbal juga ingin menunjukkan pada Parni, jika ia sedang mencicil apartemen untuk tempat tinggal mereka nanti. Sebelumnya, Parni sudah melakukan video call pada Parmi, menunjukkan pada adiknya itu, bahwa ia dan Iqbal sedang berada di sebuah mall. Dan Parni juga mengatakan bahwa akan pulang terlambat, paling lambat jam sembilan malam.

Di dalam mobil menuju restoran yang dimaksud, Parni ngemil dim sum yang dibeli oleh Iqbal untuk mengganjal perutnya yang mulai lapar. Parni juga menyuapi Iqbal sambil sesekali menggodanya. Hanya perlu waktu lima belas menit saja, mereka telah memasuki area parkir restoran, yang area basemant terhubung dengan apartemen yang dimaksud Iqbal.

Iqbal memesan aneka makanan mahal dan enak untuk Parni. Bahkan wanita itu tidak paham makanan apa yang dipesan oleh calon suaminya ini. Hanya minuman yang ia request, teh manis hangat. Iqbal sudah tidak heran lagi dengan calon istrinya ini, jika makan dimana saja, minumnya tetap, teh manis hangat.

Parni mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang ia kunjungi saat ini. Orang-orang yang sedang makan di dalamnya tampak cantik, tampan, dan berkelas. Sungguh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana.

"Kenapa, hhmm?" tanya Iqbal saat membaca raut wajah Parni yang tiba-tiba sendu. Jemari Iqbal mengusap lembut rambut Parni yang saat ini duduk di sebelahnya.

"Ah, tidak apa-apa, Mas," sahut Parni sambil memberikan senyum termanisnya. Bukannya karena apa, Parni khawatir kutu rambut yang ditularkan oleh Parmi, melambai pada Iqbal. Tidak! Calon suaminya ini tidak boleh tahu, kalau kepalanya ada kutu walaupun sedikit.

Parni sudah berencana, sepulang dari acara malam ini, ia akan memakai obat kutu, kalau perlu dua botol sekaligus. Agar kutu laknat milik Parmi benar-benar punah dari kepalanya.

Kini makanan yang dipesan sudah tersedia di depan mata kedua mata mereka. Tampilannya begitu menggoda, membuat perut Parni kembali bernyanyi. Khususnya pada masakan ikan yang digoreng kering, tetapi diberi saus bewarna orange, potongan buah nanas, buah tomat, paprika, wortel, dan juga timun. Keduanya makan dengan lahap, fokus pada piring masing-masing yang terisi penuh oleh aneka masakan menggugah selera.

"Enak tidak?" tanya Iqbal pada Parni.

"Enak banget, Mas. Sumpah!" Parni memberikan dua jempol tangannya pada Iqbal.

"Ya sudah, pelan-pelan saja makannya," ujar Iqbal sambil mengusap noda saus di pinggir bibir Parni.

Iqbal pamit ke kamar kecil, perutnya mendadak sakit karena terlalu banyak makan malam ini. Tersisa Parni yang baru saja mencuci tangan, kemudian menyesap teh hangat yang menyegarkan tenggorokannya.

Parni kembali mengedarkan pandangannya keluar, sungguh indah pemandangan malam ini. Parni menarik nafas lalu menghembuskannya pelan, ia sangat bersyukur atas nikmat Tuhan saat ini.

"Itu bukannya Den Ali?" gumam Parni yang tiba-tiba saja berdiri. Lalu dengan setengah berlari menghampiri lelaki yang ia kenal sebagai Ali. Lelaki itu berjalan sempoyongan sambil memegang tembok, jelas sekali Ali dalam keadaan mabuk.

Basemant apartemen yang terhubung dengan restoran, membuat setiap orang yang sedang berada di dalam restoran tersebut, melihat dengan jelas area itu.

"Den Ali kenapa?" tanya Parni sambil membantu Ali berdiri tegak agar bisa menatapnya.

"Siapa kamu?" tanya Ali dengan suara berat. Tubuhnya masih bergoyang ke sana-kemari.

"Saya Teh Parni, kakaknya Parmi. Kamu ingat'kan?"

Ali menggeleng. Lalu dengan kasar mendorong tubuh Parni. Wanita itu sempat terseret mundur. Namun dengan cepat kembali lagi.

"Den Ali mabuk, sekarang mau ke mana?"

"Tolong antar, hheek... " Ali bersendawa.

"Ke kamar," lanjutnya lagi sambil menarik tangan Parni. Parni sempat menoleh ke restoran, Iqbal belum kembali. Jadi ia memutuskan untuk mengantar Ali ke kamarnya. Seorang petugas keamanan yang baru saja muncul dari dalam, membukakan pintu lobi basemant untuk Ali dan juga Parni.

"Sepuluh," tunjuk Ali pada tombol lift. Parni dengan cepat menekan tombol yang disebutkan Ali. Sedikit kepayahan Parni menopang tubuh Ali yang berat. Enam bulan sudah tidak pernah bertemu, Ali semakin terlihat tampan walaupun dalam keadaan mabuk seperti ini.

Begitu lift berhenti di angka sepuluh. Parni membantu Ali berjalan keluar, menuju kamarnya. Lengan Ali memeluk pundak Parni. Lalu tangan sebelahnya lagi, mencoba memencet kode apartemen.

Klek

Pintu pun terbuka. Dengan hembusan nafas lega Parni membawa Ali masuk, lalu mendudukkannya di sofa.

"Sudah ya, Den. Saya pulang dulu," ujar Parni sambil meninggalkan Ali yang masih setengah sadar di atas sofa.

"Teh," panggilnya.

Parni menoleh, "Ada apa, Den?"

"Sini sebentar," panggil Ali dengan menggunakan tangannya. Parni mendekat.

"Ya."

Cupmmmmmpphhh

Ali mengisap bibir Parni dengan kuat, membuat Parni melotot kaget. Bahkan terlalu kaget, membuat Parni tidak bisa bernafas. Yah, ia kehabisan napas saat Ali mencium bibirnya dengan ganas.

Air mata sudah mengalir di pipi Parni. Ia mencoba mendorong kuat tubuh Ali, namun tidak berdaya. Tangan besar Ali sudah meremas dadanya dengan sangat kencang, membuat kakinya lemas, napas pun tidak bisa. Parni berharap ini semua mimpi, sebelum ia benar-benar pingsan.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status