Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.
Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.
Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.
Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.
Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."
Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur dan bekerja di malam hari. Bukan pekerjaan sebagai sekretaris dari CEO tampan seperti yang diimpikan kebanyakan gadis, tapi sebagai barista di kelab malam terkenal di kotanya.
Kata 'sayang' dalam ucapan Dami pun membuatnya merasa janggal. Terpaksa Lauretta membuka mata perlahan untuk menetralkan cahaya yang menusuk retinanya.
Lauretta bangkit. Dengan pandangan yang masih buram ia mampu melihat Ibunya tersenyum membawa paperbag. Senyuman itu terlihat pelik.
"Ibu sudah siapkan gaun bagus untukmu."
"Untuk apa?" tanya Lauretta.
"Seorang pangeran akan datang melamarmu malam ini. Jadi kamu harus terlihat cantik."
"Melamar?" Dami pun mengangguk mengiyakan pertanyaan Lauretta. "Tapi aku belum siap menikah, Bu."
Oh, ayolah. Usia Lauretta baru menginjak 19 tahun. Dan usia menikah yang ideal menurutnya adalah 21. Masih dua tahun lagi.
Dami tertawa keras. Lauretta menjadi semakin bingung dengannya. Wanita berusia 40-an itu berhenti tertawa, wajahnya berganti menjadi bengis seperti karakter antagonis.
"Siapa bilang kau akan menikah?"
- - - -
"Kau sudah siapkan yang kumau?" Pertanyaan itu keluar dari bibir wanita yang memakai lipstik merah.
Dami menyeringai senang. "Tentu saja. Sudah aku dandani dengan sangat cantik."
"Bagus." Perempuan itu memberikan koper yang dibawanya kepada Dami. "100.000 dollar cash."
Dami membuka koper itu dengan mata berbinar. Hidungnya mengendus bau uang yang menguar. "Dia di kamar, kalian bisa langsung membawanya pergi."
Perempuan yang memberi uang mengedikkan dagu pada kedua anak buahnya menyuruh mereka segera membawa barangnya.
Kedua laki-laki bertubuh besar itu mengangguk sekali lalu mulai menerobos masuk.
.
Lauretta tersentak karena pintu kamarnya di dobrak dari luar. Padahal ia sedang berganti pakaian.
"Siapa kalian?!" pekiknya saat dua laki-laki berbadan besar itu mendekatinya. Langkahnya beringsut mundur sambil berusaha menutupi area dadanya yang terbuka karena pakaian tak senonoh yang diberikan Dami.
Tak ada yang menyahut. Satu orang menyekap mulutnya. Satu orang lagi mengangkat tubuhnya. Lauretta terus meronta meski tak didengarkan.
Mereka membopongnya turun. Lauretta melihat Dami melambaikan tangan padanya. Kalau saja mulutnya tak disekap, ia sudah menuntut penjelasan.
"Selamat tinggal, Sayang. Akhirnya kau tau caranya berbakti pada orang tua."
.Lauretta dipaksa masuk ke dalam mobil Jeep itu, sekuat apapun ia meronta tetap tak ada yang menghiraukan. Kedua laki-laki berbadan besar itu mengikat tangannya dengan tambang.Tak lama kemudian wanita yang menemui Dami tadi datang dan duduk di kursi kemudi. “Jangan terlalu kasar. Tuan tak mengijinkan dia terluka sedikitpun.”
Kedua laki-laki bertubuh besar itu pun melonggarkan tali yang mengikat tangan Lauretta. “Kenapa kalian membawaku?!” pekik Lauretta.Wanita tadi menyalakan mobil, melirik Lauretta dari kaca tengah. “Kau dijual. Dan Tuan kami membelimu.”Lauretta meluruhkan bahu serendah-rendahnya. Kecurigaan atas Ibunya ternyata benar. Pantas saja wanita itu tadi bersikap lembut padanya. Mirisnya ia dijual, seperti budak.Kenapa menyedihkan sekali nasibnya? Perlahan Lauretta mulai pasrah saat mobil itu membawanya menjauh dari rumah. Tiba-tiba ia membayangkan bagaimana kira sifat Tuannya nanti. Apa akan bertindak seenaknya padanya seperti Ibu tirinya?Laure rindu Ibu kandungnya. Jika saja hidupnya semenyedihkan ini, Lauretta lebih ingin mati menyusul Ibunya.“Kemana kalian akan membawaku?” tanya Lauretta lirih.
“Pastinya tempat yang sangat jauh,” jawab wanita yang menyetir.Membuat Lauretta berfikir, sejauh mana ia akan dibawa pergi?****
Mobil mereka akhirnya berhenti di sebuah lapangan yang mirip landasan. Disana ada sebuah jet pribadi dengan tulisan Calderon yang berlapis emas.
Lauretta berdecak kagum melihatnya. Sekaya apa orang yang Tuannya nanti? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Lauretta.Kedua pria tadi melepaskan ikatan di tangan Lauretta, mereka bahkan membantunya turun dari mobil. Laure masih belum berhenti mengagumi jet itu. Wanita yang tadi menyetir ikut turun dan berdiri di samping Lauretta. “Kau bisa memanggilku Lucy. Assisten pribadi Tuan. Dan dua orang ini adalah pilot dan co-pilot.”Lauretta melihat mereka satu persatu setelah Lucy memperkenalkan diri. First impression yang Lauretta dapat, mereka mungkin tak seburuk yang dikira.“Siapa namamu?” tanya Lucy padanya.
“Lauretta.”“Nama belakang?”“Blythe. Lauretta Blythe,” jawab Lauretta sedikit ragu.Seringaian licik terukir di wajah cantik Lucy. Bisa diperkirakan kali ini ia akan mendapat banyak bonus. “Nama yang bagus.”Lucy mengedikkan dagu mengisyaratkan kedua pilot itu. “Bawa Lauretta masuk.”“Masuk?” Lauretta bertanya saat kedua orang tadi kembali memegang tangannya. “Kalian akan membawaku kemana lagi?”Lucy menerawang sambil bergumam lama. “L.A.”“L.A?” Mata Lauretta membulat sempurna. Jauh sekali mereka membawanya pergi.“Yaaa. Cepat masuk! Aku tidak mau kena marah Tuan kalau kita terlambat sedikit saja.”Dua laki-laki tadi mendorong tubuh Lauretta sedikit keras hingga tubuh ringkih gadis itu terhuyung-huyung. Lauretta menaiki satu persatu tangga jet itu dengan kaki bergetar. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah ia bertemu Tuannya. Lagi-lagi Lauretta dibuat berdecak kagum dengan interior yang nyaris semuanya dilapisi emas. Sangat mewah. Lucy datang menyusul membawa paperbag berisi pakaian ganti untuknya. “Ganti pakaianmu dengan ini. Pasti tidak nyaman ‘kan?”“Ah iya, sangat tidak nyaman,” jawab Lauretta canggung. Setelahnya, Lucy kembali turun. “Kau tidak ikut?” Lauretta bertanya sedetik sebelum Lucy benar-benar lenyap dari pandangannya. Wanita itu berbalik menatap Lauretta dengan senyumnya yang mempesona.“Masih ada yang perlu dibereskan disini.”
“Sampai bertemu lagi.”Sontak Lucy terkekeh pelan. “Jangan pernah katakan itu pada kami. Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita.”Kening Lauretta berkerut dalam. Siapa mereka sebenarnya?“Ah iya, jangan lupa minum yang telah kami siapkan,” tunjuk Lucy pada gelas berisi sirup merah dan beberapa camilan disana.Lauretta mengikuti arah pandang Lucy tanpa merasa curiga sedikitpun. Kemudian mengangguk iya.Akhirnya Lucy benar-benar pergi dari hadapannya. Pintu jet tertutup secara otomatis. Membuat Lauretta segera berganti pakaian. Hanya kaos putih polos dan hotpants yang memperlihatkan kaki jenjang Lauretta.Meski masih lumayan terbuka, Lauretta merasa lebih nyaman dengan pakaian itu. Gadis itu berjalan menghampiri minuman yang tadi disiapkan.
Tenggorokannya terasa kering, lantas ia menegaknya hingga habis. Lauretta juga sempat memakan camilan untuk mengisi perutnya.
Setelah kenyang, gegas ia mengambil posisi di tempat yang mirip ranjang itu. Merebahkan diri dan memutuskan untuk tidur sepanjang perjalanan.Sebelum itu Lauretta sempat berkhayal kalau kisahnya seperti Cinderella yang akan dipinang seorang pangeran tampan. Hingga perlahan akhirnya Lauretta larut terbawa ke alam mimpi.****
Merasakan suhu ruangan yang berbeda, Lauretta melenguh pelan merasakan pusing yang hebat di kepalanya. Perlahan matanya mengerjap pelan untuk menetralkan pandangan yang memburam.
Lauretta melebarkan mata lebar saat menyadari ia sudah berada di sebuah kamar dengan nuansa klasik Eropa. Ia pikir itu sebuah arsitektur Ressainance, sangat mewah. Ia tidak tahu kapan dan siapa yang membawanya kesini.Gadis itu mencoba bangun, detik itu juga ia menyadari ada tangan besar yang melingkar di perutnya. Lauretta menoleh menatap ke belakang. Ia melihat seorang pria tampan yang tengah terlelap.Lauretta berteriak keras sambil menyingkirkan tangan itu dari perutnya. Segera ia bangkit dan menjauh dari pria itu. Membuat sepasang mata dengan bulu mata lentik itu mengerjap pelan. Perlahan pria itu membuka mata, menunjukkan sepasang manik kehijauan yang membuat Lauretta sempat tenggelam.“Kau siapa?!” Lauretta memekik sambil melindungi tubuhnya dengan bantal.Pria itu mendesis pelan. “Kau mengusik tidurku.”
“Siapa kau ... dan kenapa kau bisa bersamaku?” tanya gadis itu hati-hati.Kening Lauretta semakin berkerut saat laki-laki itu terkekeh pelan. Mata gadis itu bergerak gelisah saat dua kancing teratas kemeja yang dipakai pria itu terbuka, menampilkan dada bidang yang terlatih.
“Elderick Calderon Matthew.” Lauretta mengerutkan kening merasa pernah mendengar nama tengah laki-laki itu. Pinggangnya ditarik paksa membuat sepasang manik mata mereka bertabrakan.Jantung Lauretta berdegup kencang saat mata laki-laki itu menelusuri wajahnya. Mata Elder terpaku pada bibir ranum yang sepertinya belum pernah dicicipi. Seringai lebar pun terbit di wajah tampannya.“Orang yang membelimu.”Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.Lucy menaikkan topengnya k
Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil se
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil se
Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.Lucy menaikkan topengnya k
Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur