Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.
Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.
Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.
Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.
Lucy menaikkan topengnya ke kepala. Membuka jendela lebih lebar dan meloncat masuk. Ia menyimpan kembali pistolnya di pinggang, berjalan menghampiri koper berisi uang yang dibawanya tadi.
“Oops! Kau belum sempat menikmatinya tapi sudah keburu mati.” Lucy memunguti uang yang berceceran dan memasukkannya kembali ke kalam koper tanpa memedulikan darah Dami yang mengotori lantai. “Ini cara kerja kami.”
Ia mengambil kembali uangnya setelah berhasil membawa Lauretta pada Tuannya. Bisa dipastikan sebagian dari uang ini akan menjadi miliknya setelah ini. Jika kalian ada yang bertanya siapa Lucy. Dia adalah tangan kanan dari ketua komplotan mafia terbesar di Amerika.
****
“Orang yang membeliku?” Elder mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lauretta. “Tapi, untuk apa kau membeliku?”Seringai licik terbit di wajah pria tampat tersebut. “Akan kuberi tahu setelah kita dekat.”“Ayolah, katakan. Aku penasaran kenapa kau membeliku.”
Elder bergumam lama sambil memandangi tubuh indah Lauretta yang hanya berbalut kaos putih yang sedikit tembus pandang itu. Hot pants yang dipakai memperlihatkan kaki jenjangnya. Namun yang paling menarik bagi Elder adalah wajah cantik dengan rambut yang digelung asal memperlihatkan leher putih yang sepertinya nyaman jika membenamkan beberapa kecupan disana.
“Apa yang kau pikirkan?” Lauretta merasa tidak nyaman saat Elder tampak mengagumi tubuhnya.
“Tubuhmu.”
Sontak Lauretta mengerjapkan mata cepat. “Apa?”
“Dasar bodoh!” Kemudian tanpa aba-aba Elder mengangkat tubuh Lauretta seperti karung beras. Sementara gadis itu menggerak-gerakkan kakinya sambil memukul punggung tegap Elder. Membuat Elder membalas dengan menepuk bokong Lauretta. “Jangan kasar, aku yang membelimu!”
Tapi sepertinya Lauretta tidak memperdulikan itu. Ia melihat Elder membawanya menuju pintu kayu bercat abu-abu. “Kau mau membawaku kemana?!”
“Sopanlah sedikit, Laure.” Elder membuka pintu itu dengan satu tangannya yang bebas. Begitu melihat isinya, Lauretta langsung membelalakkan mata. Ruangan itu adalah kamar mandi.
“Kenapa kau membawaku kesini?! Turunkan aku!” Gadis itu terus meronta meski sama sekali tak didengar.
“Sepertinya kita harus mandi bersama untuk permulaan.” Kalimat itu dengan entengnya keluar dari bibir Elder.
“Tidak! Turunkan aku!” Elder masih mengabaikannya. Pria itu membawa Lauretta masuk ke shower room yang hanya berukuran 1 x 2 meter. Kemudian mengunci pintu kaca buram itu untuk memastikan Lauretta tak bisa kabur darinya.
Nafas Lauretta semakin memburu, di kepalanya ia menuduh Elder akan melakukan hal yang iya-iya padanya. Laki-laki itu menurunkan Lauretta tepat di bawah shower. “Sudah ku turunkan.”
Elder menyalakan shower hinggaa air itu membasahi tubuh Lauretta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membuat kaos putih yang dipakainya terlihat tembus pandang menampakkan bra merah di dalamnya.
Gadis itu meraup wajahnya yang terkena air. Kaos bagian depannya diremat untuk menutupi bra yang terlihat. Nafasnya memburu menahan amarah karena diperlakukan seenaknya. “Kau gila hah?!”
“Menurut saja!” Saat Elder menekankan kata bernada tinggi itu seketika seluruh tubuh Lauretta gemetar ketakutan. Laki-laki itu melepaskan satu persatu kancing kemejanya. Membuang kemejanya ke sembarang arah, menunjukkan tubuh kekar itu.
Kaki Lauretta perlahan melangkah mundur hingga punggungnya menabrak dinding kaca buram itu. Darahnya berdesir cepat saat Elder melangkah mendekatinya. Laki-laki itu mengukung tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang berada di kedua sisi tubuh Lauretta. Air yang masih mengucur deras pun membasahi tubuh mereka berdua.
Salah satu tangannya meraih sebelah pipi Lauretta, mengangkatnya sedikit untuk berhadapan dengannya. Sepasang mata kehijauan itu menyorot penuh kebencian. “Menurutmu, kenapa aku membelimu?”
Mata Lauretta bergerak kesana kemari, kemana saja asal tak bertemu dengan milik Elder. Air itu membasahi rambut Elder, mengaliri hidung mancungnya hingga akhirnya jatuh ke wajah Lauretta. “K-kau terobsesi dengan tubuhku.”
Seketika mata Lauretta terpejam, merutuk malu pada jawabannya sendiri. Kelopaknya sedikit dibuka melirik Elder yang menyeringai seolah siap menerkam. Kaki jenjang Lauretta terus memaksa mundur meski tak ada lagi celah.
“Jawaban yang bagus.” Hanya itu respon Elder. Iris kehijauan itu menelisik wajah paripurna Lauretta. Bahkan sama sekali tak berkedip meski matanya pedih terkena air.
Setelahnya, Elder menegakkan tubuhnya menjauh dari Lauretta. “Keluarlah. Aku mau mandi.”
Hell? Lauretta mengerjap bingung saat dirinya dilepaskan begitu saja. Membuat bulu mata lentik itu terkatup-katup menggemaskan. Kendati melakukan hal macam-macam padanya, pria itu berbalik untuk membukakan pintu.
“Kau tidak mau keluar? Atau mau lihat aku mandi?” Satu gelengan cepat Lauretta lakukan untuk kembali tersadar dari lamunannya. Kakinya mendadak terasa kaku saat melangkah keluar bilik sempit itu.
Baru saat kakinya mencapai pintu, Lauretta kembali teringat satu hal. Pakaiannya basah. “Apa ada baju ganti untukku?”
“Tidak.” Elder menggeleng mengatakan itu tanpa beban. Mulut Lauretta terbuka lebar. Laki-laki itu sama sekali tidak bertanggung jawab setelah membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.
“Lalu kau membiarkanku basah seperti ini?!” pekik gadis itu.
Elder menoleh ke belakang melirik Lauretta malas. “Pakai saja milikku.” Kemudian kembali menggosok tubuh kekarnya dengan tangan yang sudah diberi sabun.
Lauretta hanya mengiyakan saja meski ragu. Pintu kaca itu ia tutup agar Tuannya itu bisa mandi dengan tenang.
Di hadapan Laure memang ada pintu dengan model sama yang juga berwarna abu-abu. Tanpa ragu ia memutar kenop pintu dan masuk kedalamnya karena mengira itu ruang ganti. Ternyata benar. Setelahnya ia dibuat ternganga dengan ruangan walk-in-closet yang begitu luas. Bahkan luasnya melebihi luas kamarnya dulu.
Pakaian dengan merek terkenal itu digantung rapi menurut warna dan jenis. Ada juga sebuah etalase dengan berbagai accessories. Jam tangan mewah, dasi bermerek, pin, sabuk, dan berbagai macamnya tertata rapi disana. Yang lebih mencolok, juga ada puluhan –bukan, bahkan ratusan pistol dan senjata tajam berbagai jenis.
Lauretta masih ingin melihat sekeliling mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil. Atensinya terfokus pada sebuah trophy dengan tinggi kira-kira 75 cm yang di pajang di tengah ruangan. Terdapat logo arah mata angin di bagian teratasnya.
Keningnya berkerut dalam. Sepertinya ia merasa tidak asing dengan lo arah mata angin. Otaknya memutar kembali memori yang sudah lama terpendam. Ya, Lauretta mengingat dulu Ayahnya adalah seorang pengusaha terkenal sebelum memutuskan untuk melarikan diri. Dan logo itu adalah logo yang sama seperti milik perusahaan Ayahnya.
Lauretta melangkah mendekat untuk melihatnya lebih jelas. Bahkan setiap detailnya pun sama persis. Jiplakan –ah tidak, bukan jiplakan tapi memang benar itu trophy kebesaran milik Alexander Blythe, Ayahnya.
“Ada yang salah dengan trophy itu?” Elder yang hanya berbalut handuk putih untuk menutupi bagian bawahnya itu bertanya saat Lauretta memperhatikan barang keramat miliknya dengan lekat.
Sontak Lauretta berbalik melayangkan wajah tegang juga sorot yang tajam. “Siapa kau sebenarnya?” tukasnya.
Decihan samar terdengar. Elder menyeringai, lagi. Rupanya Lauretta mulai menyadari sesuatu. “Pengagum rahasiamu.” Lelaki itu mengedikkan bahu. “Maybe?”
“Siapa kau sebenarnya?!” Nada bicara Lauretta meninggi.
Kekehan pelan yang keluar dari bibir Elder terdengar seperti kekehan seorang psikopat. “Orang-orang menyebutku Prince of Darkness.”
Lauretta masih menjaga jarak dengan laki-laki itu. Memang sejak tadi aura gelap selalu melingkupi Elder. Aura itu tak bisa hilang, sudah menyatu dengan sosok kelamnya.
“Sekarang biar aku yang bertanya.” Elder menyilangkan tangannya di depan dada. Menatap Lauretta rendah dengan dagu terangkat. Seringai yang sedari tadi menghiasi pun belum juga meluntur. “Bagaimana kau tahu denah kamar ini? Padahal aku tidak pernah memberitahumu.”
Sekarang Lauretta tahu kenapa Lucy membawanya ke Los Angeles, karena L.A adalah tanah kelahirannya. Tanah kelahiran hingga beranjak remaja, sebelum akhirnya semua miliknya lenyap diambil alih oleh segerombolan mafia bertopeng.
“Ini kamarku,” jawab Lauretta yakin.
Yang disetujui dengan anggukan mantap oleh Elder. “Kau benar. Tapi sekarang sudah menjadi milikku.”
Tangan Lauretta mengepal kuat. Dugaannya semakin kuat kalau Elder merupakan salah satu dari komplotan mafia bertopeng itu. Rumah ini miliknya, dulu. Bahkan arsitekturnya masih sama seperti 10 tahun yang lalu.
“Ah, kau menyadarinya lebih cepat dari yang kuduga.” Elder tersenyum tanpa merasa berdosa.
Air mata lolos begitu saja bersamaan dengan tubuh Lauretta yang meluruh ke lantai. Ia bersimpuh. “Kembalikan orangtuaku.”
Elder merasa menang saat Lauretta bersimpuh memohon kepadanya dengan isakan yang menyedihkan. Senyumnya semakin lebar kala mendengar kepedihan di balik kalimat itu. “Ibumu sudah mati ditanganku.”
Lauretta menyorot tajam di balik matanya yang basah karena air mata.
“Ayahmu melarikan diri setelah menitipkanmu pada Dami. Aku sudah menemukanmu, hanya menunggu Ayahmu.”
Disekanya air mata yang membasahi wajahnya dengan kasar. Ia sadar kalau Elder bukanlah sosok yang mudah tersentuh karena air mata. Kakinya kembali berpijak, berdiri menatap Elder dengan berani. “Apa tujuanmu sebenarnya?”
Elder kembali terkekeh seperti psikopat gila. Ia senang melihat Lauretta yang terlihat menderita karenanya. “Menghabisi keturunan Blythe? Kau tahu, hanya kau dan Ayahmu yang masih hidup.”
Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil se
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil se
Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.Lucy menaikkan topengnya k
Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur