Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”
Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”
“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”
Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”
Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil sebuah kemeja yang biasa ia pakai ke kantor. Sama sekali tidak ada pakaian perempuan disini, jadi ia berbaik hati dan meminjamkan miliknya.
“Ganti bajumu.” Kemeja dan celana pendek itu dilempar tepat mengenai wajah Lauretta. Membuat gadis itu berdecak sebal, bibir bawahnya dimanyunkan lucu.
****
Kini Lauretta sudah berganti baju dengan kemeja dan celana hitam pendek sebatas pangkal pahanya. Tidak masalah ia memakai, daripada tidak sama sekali, begitu pikirnya. Lauretta berdiri di balkon kamar, menatap langit gelap tanpa bintang dengan helaan nafas yang terdengar berat.
Perutnya mulai terasa perih, mengingat ia tak sempat memakan apapun sejak siang. Lauretta memutar tubuh kembali masuk kala dinginnya udara tak sanggup lagi ditahan. Pintu yang terhubung dengan balkon itu ditutup kembali.
“Aku lapar. Jahat sekali kau bahkan tak memberiku makanan,” dengusnya pada Elder yang duduk bersandar di kepala ranjang. Lelaki itu menyelonjorkan kaki sambil membaca buku tebal yang Luretta tak ketahui buku apa itu.
“Pergilah ke dapur. Kau tahu dimana tempatnya ‘kan?” Elder sama sekali tak melirik Lauretta. Pandangannya masih fokus menghadap deretan kata yang memusingkan.
Lauretta mendengus pelan, bahunya meluruh mengingat seberapa jauh jarak kamar ke dapur. Meski begitu kakinya tetap dipaksa melangkah keluar. Itu karena perutnya sudah tidak bisa diajak berkompromi. Sudah tidak tahan menahan lapar.
Menyusuri lorong kamar dengan penerangan remang itu Lauretta kembali bernostalgia. Andai saja keadaan kembali seperti saat keluarganya masih utuh tanpa keberadaan Elder sialan yang membawa kehancuran itu, mungkin sampai nanti rumah ini akan selalu jadi miliknya.
Lukisan ala Yunani masih berada di sepanjang lorong, sama sekali belum ada yang berubah. Kemudian di ujung lorong terdapat tangga melingkar dengan karpet sutra berwarna merah. Lauretta meniti menuruni tangga satu persatu secara perlahan sambil mengingat dulu ia sering bermain-main bersama mendiang Ibunya.
Bayangan itu seolah tergambar kembali. Setelah kakinya berada di lantai dasar, Lauretta mengerutkan kening sedikit melihat begitu banyak pengawal juga penjaga berpakaian serba hitam. Tak ada satupun yang ia kenali.
Lauretta mengedik acuh, ia berjalan ke arah dimana dapur berada. Begitu banyak pelayan juga pramusaji disana. Lantas, kenapa Elder tak menyuruh salah satu diantara mereka untuk membawakannya makan?
Dasar mafia gila!
“Aku belum pernah melihat Tuan membawa perempuan. Siapa dia?” Seorang pelayan wanita berbisik pada pelayan lain di dekatnya.
“Seingatku dia perempuan pertama yang dibawa kesini. Mungkin saja kekasihnya,” jawab pelayan satunya. Mereka beradu pandang. Teringat betapa kejamnya Elder, kemungkinan kecil dia mendapatkan kekasih.
Lauretta lamat mendengar gunjingan tentangnya itu, namun ia tak peduli. Retinanya tertuju pada seorang pelayan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan rambut putihnya. Bahkan ia ingat senyuman wanita itu masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.
Gadis itu mempercepat langkah menghampirinya. Senyumnya merekah sampai matanya ikut melengkung. “Bibi Kelly?”
Yang dipanggil mengalihkan fokus, balik menatap Lauretta. Keningnya berkerut bingung mengapa gadis ini bisa mengenalinya. Kelly bingung saat gadis yang dikira kekasih Tuannya itu mengenali dirinya. “Kau mengenalku?”
Lauretta sangat senang mendengar kembali suara orang yang mengasuhnya sampai usia 9 tahun, hanya berbeda pada suara yang sedikit serak karena faktor usia. Ia terharu karena Kelly ternyata masih setia di rumahnya. “Ini aku Ei—“
“Dia lapar. Cepat buatkan makanan untuknya.”
Tanpa bisa menolak, Kelly langsung mengiyakan perintah Tuannya. Membungkukkan tubuh lalu memimpin pelayan lain agar memulai memasakkan sesuatu untuk Lauretta.
Lauretta menoleh ke belakang menatap Elder yang berdiri tegap di belakangnya. Lelaki itu memiliki aura yang tak terbantahkan. Kalau saja Lauretta goyah sedikit, mungkin dengan mudahnya ia akan bertekuk lutut.
Tiba-tiba saja Elder menaruh dagunya di bahu Lauretta. Hidung mancung perempuan itu bergesekan dengan pipi Elder. Aroma maskulin langsung menyeruak. “Jangan menyebut identitas lamamu disini. Apalagi kepadanya,” bisik Elder dengan nada rendahnya.
Bulu di sekitar leher Lauretta meremang. “Apa aku tidak boleh dikenal pengasuhku sendiri?”
“Tidak.” Elder memutar kepalanya menghadap Lauretta, membuat jarak wajah mereka kurang dari lima centi. Sebentar saja, Lauretta terbuai saat nafas beraroma mint segar itu menerpa wajahnya. “Hanya aku yang boleh.”
“Kenapa?”
“Kau di bawah kendaliku. Jangan sesekali membantah kalau ingin hidup lebih lama.” Telak. Sepertinya kalimat itu cukup membuat Lauretta seketika bungkam.
Tak lama setelahnya terdengar deheman seorang wanita, yang langsung membuat Elder menjauhkan wajahnya dari Lauretta.
“Kau menyukainya?” tuduh Lucy yang baru saja pulang setelah menyelesaikan tugasnya. Wanita itu masih mengenakan jubah hitam, topengnya digenggam bersama plastik hitam di tangan kirinya.
“Yang benar saja.” Elder berdecih. Pandangannya turun pada kantong plastik yang dibawa Lucy. “Bagaimana dengan tugasmu?”
Lucy mengangkat kantong plastik yang dibawanya dengan senyum lebar. “Tentu saja berhasil.”
“Anda tidak pernah mengecewakan, Nona Lucy. Mana pesanan saya?”
“Ambil saja sendiri. Aku malas mencuci tangan.” Lucy menyodorkan kantong plastik itu ke Elder. Yang langsung diterima baik.
Laki-laki itu memasukkan tangannya merogoh isi kantong plastik tersebut, tak peduli dengan darah dan bau anyir yang akan mengotori tangannya. Ia mengambil cincin perak dengan berlian kecil di tengahnya. Menunjukkannya ke Lauretta dengan seringai licik. “Kau ingat siapa pemiliknya?”
Lauretta menutup hidung dan mulutnya menahan mual saat bau anyir memenuhi hidungnya. Otaknya berusaha mengingat. Kejadian tadi saat Dami memberinya pakaian minim kembali terulang, dan ia melihat cincin yang Dami pakai sama dengan yang ditunjukkan Elder. Sontak kedua matanya membulat sempurna karena yakin cincin itu milik Dami.
“Apa yang kau lakukan padanya?!” Nada bicara Lauretta meninggi.
Laki-laki itu melengos, meraih tisu di meja makan untuk membersihkan cincin dan tangannya dari bekas darah yang menempel. “Hanya mengirimnya menemui Ibumu,” jawabnya enteng.
“Kalian membunuhnya?!” Lauretta memekik keras. Membuat pelayan yang bekerja memusatkan perhatian ke arahnya. Bersamaan dengan setitik air matanya yang jatuh. “Kau—“ Lauretta bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.
Meski Dami tak pernah bersikap adil padanya, tapi wanita itu lah yang telah membesarkannya hingga sedewasa ini. Dami yang menyelamatkan hidupnya meski akhirnya berakhir kembali pada monster yang sialnya sangat tampan ini.
Elder berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Kau repot mengeluarkan air mata untuk orang yang sudah menjualmu?”
“Dia sudah kuanggap sebagai Ibuku,” lirih Lauretta. Maniknya yang sayu menatap mata tajam Elder yang kosong.
“Dami tidak pernah menganggapmu sebagai Anaknya.” Saat Lauretta membuka mulut hendak menjawab, Elder menyela kembali. “Kalau memang seperti itu, dia tidak akan menjualmu.”
Tetap saja, Lauretta masih tak habis pikir dengan kekejaman Elder. Matanya yang basah menyiratkan kemarahan yang tak terluap. Rasa laparnya lenyap begitu saja. Lauretta menerobos tubuh tinggi Elder pergi kembali ke kamarnya.
“Nona! Makananmu!” Salah satu pelayan mengingatkan.
“Lupakan saja!” Langkah Lauretta menghentak-hentak menaiki tangga.
Gadis itu berlari kencang menuju kamarnya. Menutup pintu dengan keras lalu duduk meringkuk di dekat ranjang. Lauretta memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya untuk menyembunyikan air mata.
Rasa kehilangan itu membumbung tinggi. Meski sering tidak bersikap baik padanya, Lauretta ingat jelas bagaimana Dami tidak pernah memaksanya terjun ke dunia prostitusi. Hanya menyuruhnya membantu di bar, bukan sebagai alat pemuas nafsu.
“Dia tidak pantas kau tangisi seperti itu.” Lauretta meremat kemejanya, suara itu kembali membuatnya meradang. Elder berjalan ke arahnya. Ia berjongkok, menyentuh kepala Lauretta untuk berani menatapnya. Tangannya turun mencengkram kedua rahang gadis itu cukup keras. “Apa kau juga sedang menunggu giliranmu?”
Lauretta menepis tangan Elder. Mengusap air matanya dengan kasar lalu berdiri. Lebih baik ia tidur daripada harus menghadapi monster gila itu. “Aku mengantuk. Katakan dimana kamarku.”
Elder ikut bangkit. “Kau sendiri yang bilang kalau ini kamarmu.”
“Kalau begitu, keluarlah, aku mau tidur.” Ia melirik Elder malas.
“Aku Tuanmu. Kau tidak berhak mengusirku.” Elder tersenyum kemenangan. “Lagipula ini juga kamarku.”
“Terserah.” Langkah lesu Lauretta menuntunnya untuk mulai merebahkan diri di kasur king size itu. Sejak tadi ia merasa tubuhnya sangat lelah.
Elderick menegang saat melihat Lauretta meringkuk lemah di ranjangnya. Ia mengakui kalau gadis itu sangat seksi walau hanya berbalut kemeja yang kebesaran dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Tubuh ringkih yang bergelung seperti kepompong itu seolah melambai minta dipeluk.
Wajahnya berpaling ke arah lain agar segera sadar dari apa yang sempat dipikirkan. Namun tubuhnya menolak dan malah berjalan untuk mematikan lampu utama hingga secara otomatis lampu tidur itu menyala sebagai satu-satunya alat penerang.
Lauretta sepertinya juga tak terusik dengan itu. Dirinya sudah amat pasrah. Mau menolak pun rasanya tidak memungkinkan. Matanya yang panas akibat mengangis perlahan terasa penat.
Detik saat Lauretta mulai bisa tenang, sebuah tangan besar melingkar di perutnya. Mengelus perutnya pelan sampai ia dibuat merinding. Dibelakangnya ia merasa tubuh besar sedang merengkuhnya.
Elder menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Lauretta. Nafasnya menyapu bulu halus di sekitar leher gadis itu. “Kau tadi bilang lapar. Kenapa tidak makan dulu?”
“Rasanya sekarang aku ingin memakanmu!” Lauretta bersusah payah menyingkirkan tangan itu dari perutnya. Tapi sepertinya Elderick tak akan melepasnya begitu saja. Laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannnya. “Lepaskan!”
“Makan saja aku. Kau bisa mulai dari leher.” Mendengar itu, Lauretta menyikut perut sixpack Elder. Cukup keras, namun ia yakin Elder tak merasakan apapun. Laki-laki itu malah terkekeh pelan. “Jangan biarkan perutmu kosong.”
“Peduli apa kau padaku!”
Elder tertawa rendah sambil mengeratkan pelukannya, membuat buu kuduk Lauretta seketika meremang. “Aku ingin mengisinya dengan benihku!”
“Jangan gila kau, El!”
****
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur
Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.Lucy menaikkan topengnya k
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Lucy membuka kenop pintu secara perlahan. Kakinya melangkah masuk berusaha tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Amplop cokelat berisi dokumen tentang Blythe ia taruhh di meja kerja Elder.Masih dengan perasaan yang sesak, Lucy mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua. Geraham Lucy gemeretak menahan geram. Ia masih belum bisa menerima Elder yang memilih lebih dekat dengan gadis pendatang ini.Melihat wajah mereka yang sangat damai, Lucy memutuskan pergi dari ruangan itu dengan perasaan cemburunya.****Pagi datang secepat angin lalu. Lauretta mengerjapkan mata saat sinar matahari mencoba menembus retinanya. Parfum maskulin langsung menyeruak setelah kesadarannya telah penuh.Keningnya mengernyit menyadari adanya selimut yang mengangatkan tubuh mereka. Pipi Lauretta memanas. Pandangannya bergulir pada Elder yang masih terlelap. Tetap saja, laki-laki itu sempurna secara fisik.
Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu k
Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh."Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta."Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan."Aku pemilik rumah ini sebelumnya.""Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan."Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu men
"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau.""Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas."Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya."Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ""Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya.Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."&nb
Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri.""Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang. "Kalau begitu sege
Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.****Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Ramb
Lauretta tercekat mendengarnya. Sebenarnya tak cukup tahu mengenai cerita lama keluarga mereka. Dan mengenai siapa Elder, dia juga baru tahu kalau laki-laki itu termasuk dari anggota mafia bertopeng itu. “Jadi, apa kau akan membunuhku?”Sungguh, Lauretta sebenarnya takut dengan manik hijau yang menyorotnya tajam seperti itu. “Pasti. Setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Kau masih punya keinginan selain itu?” Elderick mengangguk singkat sebagai jawaba iya. “Apa itu?”“Menikmatimu sebelum membunuhmu.” Elder mengulum bibir bawahnya. Matanya turun ke bawah mengamati baju Lauretta yang masih basah, bahkan sekarang pakaian dalam Lauretta pun terlihat menggoda. “Pasti akan sangat menyenangkan.”Wajah Lauretta merengut galak. “Dasar psikopat!”Elder menghela, mengacuhkan Lauretta tanpa membalas satu kata pun. Kakinya melangkah menuju lemarinya, mengambil se
Lucy tidak bisa ikut dengan Lauretta ke Los Angeles karena masih ada yang harus ia selesaikan. Ia sendirian menuju kediaman Dami, membawa selongsong pistol yang sudah diisi peluru penuh. Topeng dengan wajah tersenyum itu ia gunakan untuk menutupi wajah aslinya. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya.Wanita itu berjalan mengendap ke sisi rumah Dami. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berjalan ke dekat jendela mengintip Dami yang sedang menikmati uang yang ia beri tadi.Lucy tersenyum miring dari balik topengnya. Kesenangan Dami tak akan berlangsung lama. Melalui celah jendela ia menyelipkan ujung pistolnya. Membidik tepat di kepala Dami. Hingga akhirnya membidiknya tepat melalui senapan yang sudah diberi peredam itu.Dalam hitungan detik kepala Dami memuncratkan darah segar. Kepalanya langsung tergelak lemas dengan kedua mata yang membelalak. Ibu kejam itu mati seketika.Lucy menaikkan topengnya k
Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur