Share

Barraberee
Barraberee
Penulis: Syair Sendu

Prolog

Yaampun, ini kereta besi jalannya seperti siput. Papa bilang sudah diperbaiki, tahunya masih lambat gini jalannya. Aku sudah bilang nggak usah dipakai lagi. Jual saja ke tukang besi. Tapi masih saja beliau ngeyel. Jadinya gini, kan.

Dugudugudug......boooooom, cusssss!

Astaga! Ini apa lagi masalahnya?

"Papaaa!" Sumpah, aku beneran kesel tingkat Miss Universe.

"Subhanallah! Bacot lo, ya. Sakit kuping gue." Pekik Bang Orion.

Bacot aku emang udah kayak mercon acara sunatan si Entong kalau lagi kesel gini. Ini Abang, bikin tambah kesel.

"Gue kesel, Baaang." Teriakku lagi.

"Ya ampun, dah. Punya adek pengen gue lempar ke Samudra Hindia aja. Stabil nih hidup gue, pasti." Astaga! Makin tambah kesel, aku tuh.

"Sudah, sudah. Sebaiknya kalian turun. Sementara Papa meriksa kerusakannnya, kalian nyari mobil yang lewat supaya bisa ditumpangi.

"Ya Allah, Pap. Hari gini mana ada orang yang mau ditumpangi? Kita bertiga, pula."

"Cerewet!"

Hell! Papa mah, kalau sudah muncul galaknya, gajah saja langsung kempes jadi tikus. Apa sih? Ga-Je.

"Bang! Cari sana. Gue males, nih." Aku menghindar dari tugas nggak berkesudahan itu. Beberapa pengendara hanya lewat, nggak ada yang bermurah hati untuk ngasih kita tumpangan. Mending aku ngadem dulu deh, di bawah pohon duren yang nggak terlalu jauh dari pinggir jalan.

"Eeeh, jangan berdiri di situ." Papa memperingatkan.

"Hah, kenapa emangnya Pap?" Tanyaku polos. Asli, aku lo-la.

"Sadar nggak itu pohon apa?"

Hah! Iya, aku sadar kok sepenuhnya. Pohon durian, kan? Emangnya kenapa? Belum sempat aku membalas ucapan Papa, tiba-tiba seperti ada benda jatuh di sebelah kiriku. Pas aku lihat, sekitar dua meter dari aku berdiri, tergeletaklah buah berkulit duri itu.

Allahuakbar! Dureeen, untung lu kagak mendarat di kepala gue.

"Papaaa." Aku langsung berlari memeluk punggung Papa yang tegap. Ya Allah, hampir aja aku metong.

"Makanya lain kali hati-hati dong. Kamu gimana, sih? Kamu mau bikin Papa jantungan, hah." Di sela lirih senduku, Papa memberi ultimatum berharganya. Maaf, Pap.

"Pa..." Aku melepas pelukan dari Papa, lalu berbalik badan saat mendengar suara Bang Orion memanggil Papa.

"Eh, Barra." Seru Papa.

Nggak tahu itu manusia datang dari mana. Sosok cowok tinggi tegap, berbadan altetis dengan jambang yang subur. Mengenakan setelan kemeja putih polos lengan panjang yang dipadu dengan celana bahan berwarna hitam semata kaki. Dia berdiri menjulang tepat di depanku. Lebih tepatnya di sebelah Bang Orion.

"Iya, Prof. Kata Orion kalian sedang butuh tumpangan, ya?" Tanya cowok itu, yang aku tebak usianya agak lebih matang dari Abangku. Kalau Bang Orion saat ini sedang berusia 25 tahun, kira-kira itu cowok di sebelahnya berusia hampir kepala tiga. Atau mungkin lebih? Ah, kepo banget deh, aku.

"Wah, bisa kemujuran ketemu di sini. Kamu mau ke Observatorium juga?" Papa bertanya dengan senyum yang tak lepas dari wajah rentanya.

"Iya, Prof. Jadi, bagaimana, apakah kita berangkat sekarang?" Si cowok mateng membalas dengan ucapan yang terdengar lebih ramah disertai senyum yang manis menawan.

MasyaAllah, the beautiful created. Aku belum pernah nemu Om-Om seganteng koyo ngene.

Ngomong-ngomong dia sadar nggak ya, akan kehadiranku di sini? Perasaan dari tadi dia nggak ada lirik ke arahku. Fokusnya cuma ke Papa doang. Sesekali beralih tatap ke arah Bang Orion. Asem!

Om, lirik gue, dong.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status