Ayi:
“Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.”
Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge.
Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.”
Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pernyataan semacam itu? Kenapa nggak langsung jawab aja? “Saya anak dari sahabat kedua orang tua Qarmita.”
Apa susahnya sih? Untungnya aku nggak kehabisan akal. Aku jawab aja gini, “Orang tua kami sahabatan.” Dan lo pada tahu? Ekspresi Om Barra langsung masam. Sontak hal itu bikin aku dan Ayi bertanya-tanya. Meski kayaknya kami sama-sama penasaran, nggak etis dong, nanya yang aneh-aneh. Kadang otakku sama Ayi suka kompakan. Kadang kami punya pemikiran yang out of the box. Apa lagi kalau dilihat dari gelagatnya Om Barra. Kayaknya dia mau ada hal yang spesial di antara kami berdua. Ah, mungkin aku terlalu percaya diri kali, ya. Entahlah.
“Menurut lo?”
“Menurut gue, si Barrabere itu ada ‘something’ ke lo. Kayaknya dia berharap ada hubungan lebih dari sekedar anak dari sahabat Om dan Tante. Lo setuju nggak, sama gue?”
“Nggak tau. Gue nggak berani berspekulasi yang macam-macam. Lagian, maksud lo ‘something’ itu apa?”
“Kalau gue bilang dia suka sama lo, lo setuju nggak?”
“Ih, ngaco lo. Mana mungkin dia suka sama gue. Emang dari segi mananya dari gue yang bisa menarik perhatian dia?”
“Sifat dewasa lo, menurut gue yang paling berpotensi. Jangan salah, cinta nggak memandang usia, Mi. Menurut gue Om Barra kalau sama lo masih cocok, kok. Lagian mukanya nggak tua-tua amat. Ganteng, pula. Saran gue, kalau suatu saat dia lamar lo, langsung sikat aja. Nggak usah pake mikir segala. Percaya sama gue.”
Astaga! Nih anak bener-bener konyol. Masa iya, gue sama Om Barra? Iya sih, dia ganteng. Nggak tua-tua amat. Tapi, kalau nikah. Entahlah.
“Ya nggak mungkin gitu juga, Yi. Gue sama dia baru kenalan dua minggu yang lalu. Masa lo udah ngomongin soal pernikahan?”
“Ya nggak di minggu-minggu ini juga, kali. Maksud gue, mungkin kapan dia udah ngerasa mantap sama lo, di situlah dia akan mulai beraksi. Seenggaknya dia musti PDKT-in lo dulu, gitu.”
Iya juga sih apa kata Ayi. Tapi, ngomong-ngomong, tumben nih bocah serius pembahasannya. Mana obrolin soal nikah nikah, lagi. Aku jadi merinding.
“By the way, omongan lo tumben jadi ngebahas soal nikah sih?”
“Gue dimodusin sama Om Ridwan. Beberapa menit setelah dia pulang, dia ngechat gue. Trus berlanjut saat gue sampai rumah. Lo mau tau gimana isi chatnya?”
Hah! Seriusan, Ayi dimodusin sama Om Ridwan? Bah, alamat ada something juga nih di antara mereka.
Ayi send a picture
Intinya, isi chat Ayi dan Om Ridwan ngebahas soal jodoh dan pernikahan gitu. Meski pun obrolannya nggak secara langsung ngajak Ayi nikah. Aku yakin, Om Ridwan emang lagi modusin Ayi. Dan yang paling bikin aku syok, Om Ridwan ngajak Ayi ketemuan lagi akhir pekan ini. Supaya nggak hanya mereka berdua. Dia juga ngajakku dan Om Barra. Jadi, double date nih, ceritanya. Mampos. Kalau Ayi mau nerima ajakannya, itu artinya aku juga harus siap sedia pasang muka tebal di depan Om Barra, nanti.
“Gue bingung mau jawab apa. Ini udah lewat sepuluh menit sejak chat terakhir dia masuk. Menurut lo, gue iya-in aja, atau berlagak sok jual mahal?”
“Lo sendiri maunya gimana? Coba lo pikir, pas kalian ngobrol kayak tadi siang. Kira-kira seru nggak? Obrolan kalian nyambung nggak?
“Seratus persen cocok. Gue nggak memungkiri, kalau gue ada rasa ketertarikan sama dia. Tapi, untuk menerima ajakan dia saat ini, gue rasa gue terkesan murahan, nggak sih?”
“Menurut gue sih, nggak. Lagian, dia kan nggak ngajak lo doang. Ada gue dan Om Barra juga. Menurut gue nih ya, lo coba aja terima ajakan dia. Siapa tahu emang jodoh.”
“Gitu ya? Ya udah deh. Gue bilang setuju, ya. Tapi janji lo mau ya nemenin gue. Lo sama Om Barra.”
“Iya, gue janji. Apa sih yang nggak buat lo?”
“Thanks banget, Mi. Lo emang sohib dunia akhirat gue. Ya udah, nanti gue kabarin lagi kalau pas mau hari H.”
Aku terkekeh melihat keantusiasan Ayi. Ini anak kayaknya emang udah kepincut sama Om Ridwan. Eh, ngomong-ngomong, aku sama Om Barra apa kabar?
Aku terlonjak saat ada pesan WA masuk dari nomor nggak dikenal.
0821XXXXXXXX:
“Qarmita, saya Barra. Save ya, nomor saya.”
E...buset! dari mana Om Barra dapet nomorku?
“Om Barra dapat nomor saya dari mana?"
Biar dah dia mikir apa tentang aku. Pokoknya aku kepo. Awas aja kalau aku tahu siapa pelaku yang ngasih nomor kontakku.
“Dari Orion.”
Elah! Si Abang ternyata pelakunya. Tunggu! Dari Bang Orion? Mampus. Ya Allah, mudah-mudahan dia nggak mikir macam-macam.
“Oh. Okay, saya save.”
Akhirnya aku nge-save nomor kontak Om Barra. Namanya aku plesetin jadi ‘Barraberee’. Tiba-tiba ingat sama julukan Ayi ke Om Barra. Lucu aja, gitu. Dari pada aku simpan dengan nama ‘Om Barra’. Beda lagi nanti ceritanya.
Barraberee:
“Emmm. Kamu ada waktu nggak, akhir pekan ini? Ridwan ngajak jalan-jalan, bareng Ayi juga. Kamu bisa?”
“Kita berempat, maksudnya?"
Aku pura-pura nggak tahu aja, lah. Biar nggak ketahuan kalau aku sebenarnya udah pasti mau.
“Iya. Kita berempat. Kita berangkat pakai mobil Ridwan. Kebetulan dia ada acara di puncak. Di villa milik keluarganya.”
Waduh, super sekali Om Ridwan. Langsung mau dikenalin sama keluarganya. Buset. Baru aja beberapa menit aku habis chatting sama Ayi, informasinya udah sampai ke Om Barra.
Di sela chat aku sama Om Barra, chat dari Ayi menginterupsi.
Ayi:
“Mimiiiiiiii....gue diajak ke puncak sama Om Ridwan. Lo berani bertaruh berapa kalau Om Ridwan beneran mau ngajak gue kenalan sama keluarganya?”
Sudah aku duga.
“Kalau bener, gue nggak akan minta yang muluk-muluk, kok. Cukup traktir gue makan cup cake yang paling spesial di kedainya Tante Zavina. Gue udah lama juga nggak ke sana.”
“Okay!”
Udah? Gitu doang? Ajaib emang, tuh anak.
Menutup laman chat dengan Ayi, aku kembali ke Om Barra. Ternyata ada pesan baru.
Barraberee:
“Kamu mau kan?”
“Okay, kalau kamu nggak mau. Atau kamu sibuk, akhir pekan nanti?”
“Ya sudah. Saya nggak maksa kok.”
Ya ampun. Sampai segitunya. Kayak anak kecil aja.
“Iya, saya mau kok. Dan saya nggak sibuk akhir pekan nanti.”
Lama sekitar hampir lima menit aku nunggu dia lagi ngetik. Dia mau bilang apa sih, sebagai balasan?
“Okay! Nanti saya kasih tahu, jam berapa kita berangkat. Supaya kamu bisa siap-siap dulu sebelum kami jemput.”
“Iya, saya tunggu infonya.”
“Ta!”
“Kenapa Om?”
“Saya di ruang tamu. Kamu nggak keluar?”
Hah! Di ruang tamu? Ruang tamu rumahku, maksudnya? Ya Salam. Ngapain Om Barra ke rumah?
“Eh, maksudnya?”
“Saya ada di rumah kamu sekarang. Lagi ngobrol sama Papi saya, Prof. Maulana dan Orion. Dari tadi saya nggak liat kamu. Kamu lagi di kamar, kan?”
Oh My God! Aku keluar nggak ya? Kalau keluar, aku ngapain di sana?
Tok tok tok
Aku terkesiap, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu kamarku. Trus menampakkan kepala Mama yang menyembul dari luar pintu.
“Dek, kenapa di kamar aja? Di bawah ada tamu, tuh. Kamu nggak keluar? Nggak sopan loh.”
“Ini juga mau keluar Mam. Tadi baru habis chatting sama Ayi. Emangnya siapa tamunya, Mam?”
“Om Rahil sama anaknya, Barra. Ya udah, Mama duluan ya. Kamu nyusul.”
Aku mengangguk sambil tersenyum ke arah Mama, sebelum beliau hilang dari balik pintu.
Tanpa membalas pesan terakhir Om Barra, aku memilih langsung turun aja ke bawah setelah menyempatkan diri untuk BAK dulu. Berjalan santai menuju ruang tamu. Ternyata benar, Om Barra dan Papinya lagi ngobrol sama Papa dan Bang Orion. Ada Mama juga.
Pemandangan baru aku lihat dari ekspresi wajah Bang Orion. Dia tampak tersenyum menyeringai ke arahku. Aku speachless. Maksudnya apa, coba?
Berusaha mengabaikan tatapannya itu, aku berjalan ke arah Om Barra dan Papinya. Mencium punggung tangan keduanya sebagai perilaku sopan dan santun. Lalu setelah itu, mengambil posisi duduk di tengah antara Mama dan Papa.
“Barra ngajak kamu jalan-jalan ke puncak akhir pekan ini, kamu nggak sibuk kan?” Mama bertanya dengan senyum yang manis. Tangannya mengusap kepalaku dengan sangat lembut.
Oooh, ternyata Om Barra udah minta ijin sama Papa dan Mama.
Aku mengulum senyum, sebelum berucap, “Bisa kok, Mam. Dedek emang lagi free akhir pekan ini. Soalnya belum daftar les juga.”
“Ya sudah kalau begitu.” Mereka pun kembali mengobrol membahas tentang pekerjaan. Aku berasa jadi patung batu hiasan di sini. Dikacangin. Trus ngapain Mama nyuruh aku ikut duduk di sini? Hanya untuk nanya soal ajakan Om Barra? Hmmm. Nice!
Bersambung....
Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai denganmake up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk
Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In