Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih?
Setelah selesai dengan make up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk seperti telinga kelinci. Style cewek remaja Korea begitu. Ya elah, imut banget deh, aku.
Saking asyiknya dandan sana sini, aku baru sadar sepuluh menit lagi Ayi dan yang lainnya sampai untuk menjempuku. Aku pun bergegas mengenakan sepatu kets dan sling bag berwarna hitam dari walk in closet. Lalu turun ke lantai bawah.
Pas banget, Om Barra udah duduk manis di kursi taman depan rumah orang tuaku. Ada Papa juga, di sana.
“Berangkat sekarang?” Aku menginterupsi percakapan mereka. Papa tersenyum ke arahku dan Om Barra bergantian.
“Hati-hati, ya. Kalau sudah sampai, kabari saya.” Titah Papa.
Om Barra mengangguk sembari tersenyum pada Papa, lalu menjabat tangan beliau, kemudian disusul olehku mencium punggung tangan Papa.
“Kami berangkat, Pap.”
Papa mengangguk, lalu melambaikan tangan kanannya saat aku sudah memasuki mobil Om Ridwan dan duduk di kursi belakang, bersebelahan dengan Ayi. Tepat di belakang Om Barra. Sedangkan Ayi duduk di belakangnya Om Ridwan.
“Cieee....yang mau dikenalin sama keluarganya Om Ridwan.” Bisikku di telinga Ayi. Ya ampun, mukanya langsung bersemu merah.
“Rese lo, ah. Nggak usah banyak bacot, ngapa? Malu gue.” Balasnya, ikut berbisik di telingaku. Aku cekikikan mendengar keluhannya. Hal itu sukses mengundang perhatian dari kedua pria dewasa di depan kami.
“Ngomongin apa sih, kok asyik banget kayaknya?” Tanya Om Ridwan.
“Eh, anu. Bukan hal yang serius kok, Om. Kita tadi ngebahas soal drama Korea. Ceritanya bergenre komedi romantis gitu. Pokoknya seru.”
“Oh, saya kira lagi gosipin saya.” Sahutnya jenaka.
“PD banget, Om.” Celetukku. Sedangkan Om Barra terkekeh aja di sebelahnya.
“Jangan panggil Om dong. Saya nggak setua itu loh.”
Aku makin cekikikan mendengar protesan Om Ridwan.
“Trus kita harus manggil apa dong?” Tanyaku.
“Cukup panggil nama aja nggak masalah. Atau kalau nggak keberatan, pakai embel-embel Mas, Abang, Akang, juga boleh.
“Okay! Biar lebih kedengaran akrab, saya panggil Abang aja, ya.” Ujarku. Dia mengangguk, lalu kembali fokus menyetir.
“Kalau saya, kamu mau panggil apa?” Timpal Om Barra. Entah kenapa, aku malah berubah kikuk. Mau nyahut tapi bingung mau bilang apa.
“Ya tetap panggil Om aja lah.” Serobot Om Ridwan, lalu cekikikan. Aku dan Ayi pun saling pandang sambil nyengir.
Selama perjalanan, Om Ridwan lebih banyak mengobrol dengan Om Barra. Sedangkan aku dan Ayi, juga sibuk dengan obrolan kami sendiri.
“Mi, Berry masih nyuekin lo, ya?” Tanya Ayi tiba-tiba.
Aku tersenyum kecut, sebelum menjawab pertanyaannya.
“Ya gitu. Tapi ya, mau gimana lagi? Realitanya dia sama gue kan nggak terlalu dekat juga. Jadi, gue rasa nggak ada alasan buat gue untuk meyakinkan dia agar nggak mengabaikan gue. Lagian, gue ngerasa nggak ada salah ke dia. Dia emang berhak mau suka bahkan cinta ke gue. Gue nggak bisa larang. Tapi, sayangnya gue nggak. Gimana dong?”
“Emangnya lo nggak ada niat untuk ngasih dia kesempatan?”
“Ngasih dia kesempatan buat apa?”
“Untuk PDKT-in lo.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena gue nggak mau ngasih dia harapan yang belum tentu bikin gue bisa suka balik ke dia. Lagian, kalau niat utamanya mau pacaran, gue nggak bisa. Gue mau fokus sama sekolah dulu. Sebentar lagi kita ujian. Gue nggak mau diganggu sama hubungan nggak jelas begitu.”
Ayi mengangguk, tanda mengerti. Lalu lebih memilih kembali mengalihkan atensinya ke layar ponsel. Membuka aplikasi I*******m. Sedangkan aku lebih memilih memejamkan mata. Duh mata, masih pagi udah berat aja.
~~~
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya mobil Om Ridwan berhenti di halaman depan sebuah bangunan yang katanya villa milik keluarganya.
“Yuk, turun.” Ajak Om Ridwan.
Aku dan Ayi pun turun. Lalu menyusul di belakang Om Ridwan dan Om Barra, berjalan bersisian menaiki satu per satu anak tangga hingga kaki kami menginjak teras depan bangunan villa. Di depan pintu, kami sudah melihat keramaian di dalam sana. Mampus, kamu Yi. Keluarganya Om Ridwan banyak juga ternyata.
Sepertinya, Ayi nggak akan bisa menyangkal apa pun yang akan dikatakan Om Ridwan.
“Eeeeeh, kalian sudah datang. Wah, ada Barra juga toh. Eh, dua orang perempuan ini siapa?”
Aku dan Ayi beradu pandang. Lalu sama-sama nyengir ke arah ibu-ibu berhijab lebar di depan kami. Tanpa banyak cing cong, aku dan Ayi langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
“Selamat pagi. Perkenalkan, saya Qarmita. Dan ini teman saya, namanya Ayi.” Ucapku ramah.
Beliau menyambut salamku dengan senyum semringah. “Pagi juga. Saya Resty, Umminya Zay.”
“Zay?” Ucapku dan Ayi heran.
“Eh, maksudnya Ridwan. Maaf, bikin kalian bingung. Maklum saja, soalnya kami sekeluarga lebih akrab manggil dia ‘Zay’.”
Aku dan Ayi mengangguk paham.
“Oh, ya. Ikut gabung sama yang lain yuk.” Ajak Tante Resty. Aku melirik Om Barra, dia mengangguk sambil tersenyum.
Kami pun mengikuti langkah Tante Resty menuju keluarganya yang tampak asyik bercengkrama yang sesekali diselingi dengan tawa renyah. Aku dan Ayi diminta berkenalan satu per satu dengan keluarganya Om Ridwan. Ada yang kalem, ada yang ceplas-seplos, ada yang cuek, dan entah apa lagi.
“Hmmm. Jadi, yang mana calon binimu, Zay?” Salah satu sepupu Om Ridwan bertanya dengan gaya kocaknya. Yang kalau nggak salah namanya Mbak Ratu.
“Coba tebak, menurut kalian yang mana?” Ya ampun. Malah disuruh nebak, lagi. Please, jangan nunjuk aku.
“Kalau dilihat secara kasat mata, kayaknya yang ini.” Aku langsung terlonjak saat Mbak Ratu nunjuk aku. Alhasil, aku langsung menggeleng kuat-kuat. Enak aja, aku bukan calon bininya Om Ridwan. Aku ini calon bininya Om Barra. Eh?
“Bukan! Menurutku sih, yang di sebelahnya.” Kali ini Mas Raja—kembarannya Mbak Ratu yang bersuara.
“Masa? Tapi, kalau dilihat aku tetap milih yang di sebelahnya. Menurut yang lain gimana?” Mbak Ratu menatap satu-satu ke arah anggota keluarga yang lain.
“Menurut Ummi, dari kaca mata seorang ibu, calonnya Zay adalah yang ini.” Aku rasanya mau sujud syukur, karena Tante Resty langsung merangkul Ayi dari samping. Aku mendesah lega, karena pilihan beliau memang nggak salah.
“Gugup banget, kayaknya.” Aku terkesiap saat Om Barra berbisik di telingaku. Ternyata dia udah berdiri di sampingku, karena yang lain sudah bubar jalan menuju halaman belakang villa ini. Katanya ada acara barbeque. “Nggak usah tegang, santai saja. Mereka cuma bercanda kok, tadi. Sejak awal, mereka sudah tahu, siapa calon yang dimaksud.”
Hmmm....boleh juga nih Om Barra ngomongnya. Aku kerjain aja gimana?
“Kalau seandainya mereka beneran nganggap saya lah calonnya Bang Ridwan, gimana?” Tanyaku sambil tersenyum jahil.
“Nggak mungkin. Soalnya Ridwan sudah mengirim foto Ayi, sebelum kita sampai di sini.” Jawabnya terlihat tenang.
“Kalau seandainya belum tahu sama sekali?”
“Saya langsung pasang badan, dan bilang kalau kamu ....” Kalimatnya menggantung saat ingin mengucapkan kata terakhir. Gesturnya tampak kikuk. Jelas dia lagi gugup. “Pokoknya saya akan bilang kalau kamu bukan siapa-siapanya Ridwan.” Dia ngacir meninggalkanku sendiri di dalam ruangan ini.
“Apaan sih?” Aku menggerutu sambil berjalan ke arah Ayi yang saat ini sudah hampir kewalahan diberondong oleh sepupu-sepupunya Om Ridwan dengan pertanyaan yang nggak terduga.
“Kenalnya udah berapa lama?”
“Jadiannya sejak kapan?”
“Mau nikah di tahun kapan?
“Mau langsung punya anak atau nunda dulu?”
“Kalian rencananya mau punya berapa anak?”
Bla bla bla, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bikin pusing kepala. Aku yakin, sekarang Ayi mau kabur aja dari moment kampret ini.
Sumpah, aku mau ngakak. Tapi nggak tega, pas liat wajah pias Ayi. Kasian banget, Ya Allah.
“Wah, parah emang. Kalian ya, kenapa mau aja dideketin sama dua cowok itu? Aku curiga, mereka berdua adalah manusia pedofil.” Astaga! Bacot Mbak Ratu benar-benar bikin aku ngeri. Lemes banget mulutnya.
“Enak aja, nuduh kami pedofil. Kami nggak setua itu, tau.” Balas Om Ridwan.
“Nggak, kamu bilang? Sekarang aku tanya, umur kamu berapa?” Balas Mbak Ratu lagi.
“28.” Jawab Om Ridwan.
“Kamu?” Tanya Mbak Ratu pada Om Barra.
“29.”
“Kalian?” Tanya Mbak Ratu padaku dan Ayi.”
Kami serempak menjawab, “18.”
“Fix, kalian pedofil.” Tunjuk Mbak Ratu ke arah Om Ridwan dan Om Barra bergantian. Cewek nyentrik itu ngakak sampai air matanya merembes hingga ke pipi. Puas banget kayaknya ngejek dua pria dewasa itu.
Sedangkan yang dieejek kompak mendesah dengan suara berat. Ekspresinya berubah kecut.
“Nggak usah dipikirin. Mbak Ratu cuma bercanda, kok.” Ucapku, saat bokongku berpindah duduk di sebelah Om Barra.
Dan itu berhasil membuat senyum cerah terbit di bibir tebalnya. Kampret! Jantungku mau copot.
Bersambung....
Untuk jadwal terbit per chapter di cerita ini, akan aku usahakan untuk update setiap hari Senin, Kamis dan Jum'at. Terbit setiap antara pukul 10.30 sampai 11.00, Waktu Indonesia Tengah. Jadi, selalu pasang alarm kalian untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In