Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\
“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.
“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.
“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.
Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa salahku? Mereka aja yang terlalu sensitif pas udah liat muka masam Berry yang nggak berubah sedari tadi pagi. Aku bersyukur, dia emang beneran nggak senekat apa yang dibilang Adul tempo hari. Dia nggak masuk sekolah waktu itu emang lagi ada urusan. Tapi, nggak ada hubungannya denganku.
“Bu, pesan mi ayam dua porsi. Minumnya es jeruk ya.” Ayi memesan untuk kami berdua.
Sambil menunggu pesananku dan Ayi datang, kami berdua memilih duduk di meja yang agak jauh dari Berry dan kawan-kawan.
“Mi, lo beneran nggak apa-apa?”
Seruan Ayi berhasil membuyarkan lamunanku.
“Hah! Eh, aku nggak apa-apa. Kenapa emang?” Aku balik bertanya.
“Kayaknya lo kepikiran soal omongan mereka, deh.”
“Nggak kok. Sok tau lo. Udahlah, nggak usah dibahas. Lo udah nemu tempat les yang cocok nggak?”
“Oh iya, gue hampir lupa. Kemaren gue sama Nyokap ketemu sama temen kantornya. Katanya ada tempat les recommended banget. Di daerah puncak. Ntar kapan-kapan kita ke sana buat ngecek. Kalau lo suka, kita bisa langsung daftar di sana aja. Untuk syarat, rincian biaya dan fasilitasnya nanti kita cari tahu sama-sama.” Aku mengangguk antusias. Kayaknya fokus sama ujian nasional aja lah, dari pada mikirin kisah romansa remaja SMA. Nggak penting.
~~~
Setelah jam belajar sudah habis, aku dan Ayi milih nongkrong dulu di kafe. Kami berdua emang udah merencakan ini sejak kemarin. Seperti biasa, aku sama Ayi memilih duduk di pojok dekat dinding kaca yang menghadap langsung ke arah jalanan. Aku dan Ayi sekarang sedang menikmati satu cup jumbo es krim terbaik di kafe ini. Selain es krim, kami juga memesan red velvet dan bronis coklat. Emang dah, rasanya nggak ada duanya.
“Qarmita!” Aku menoleh ke sumber suara bariton di belakang aku, yang memanggil namaku.
“Eh, Om Barra.”
DEG!
Nih jantung kok malah berasa mau copot pas liat sosok tinggi tegap itu. MasyaAllah, itu jambangnya dikemanain? Mukanya jadi bersih. Kelihatan lebih manis dibanding sebelumnya.
“Boleh saya bergabung?” Gue terbengong beberapa detik sebelum akhirnya suara Ayi menginterupsi.
“Boleh, boleh banget kok Om. Perkenalkan, aku Ayi, sohibnya Mimi Peri.”
“Ayiiiii....mulut lo ya. Jangan plesetin nama gue sama manusia jadi-jadian itu.” Pekikku. Demi kancut-nya Bang Orion, aku paling benci nama indahku diplesetin sama nama laki-laki setengah matang itu.
Liat deh, tuh bocah malah ngakak sampai mengundang lirikan aneh dari pengunjung lain. Aku janji, setelah ini aku kasih pelajaran si Mulut Toak ini.
“Om Barra sendirian aja?” Tanyaku mengabaikan Ayi yang masih berusaha menguasai emosi.
“Ke sininya ya, sendirian. Tapi, saya lagi nunggu temen. Nggak apa-apa kan, dia gabung sama kita?”
“Eh, iya. Nggak apa-apa. Wong kafe ini kan bukan punya nenek moyang saya.” Aku nyengir kuda aja, biar kelar.
“Ngomong-ngomong, kok kalian masih pakai seragam sekolah? Bukan lagi ngebolos kan?” Tatapan Om Barra penuh selidik.
“Ya nggak lah, Om. Jam pulang udah lewat tiga puluh menit yang lalu. Kami berdua emang udah niat ke sini sejak kemarin.”
“Iya deh, jawabnya yang santai aja kan bisa. Nggak usah ngegas gitu.” Badanku menegang saat tangan besarnya menepuk pelan puncak kepalaku. Kayak ada rasa geli gitu di dada. Ya Allah, please jangan baper sama Om Barra. Dia pasti cuma nganggapku bocah rapuh yang butuh perhatian dari orang dewasa. Halah!
Berselang lima menit, datang orang yang katanya temen Om Barra. Penampilannya nggak kalah keren dari Om Barra. Cuma bedanya temennya ini blasteran Indonesia-Arab. Hidungnya mancung, bulu matanya aja mampu ngalahin kelentikan bulu mataku. Alisnya tebal berwarna hitam pekat.
“Hi! Udah lama nunggunya?” Dia nyengir perdamaian saat bersitatap dengan Om Barra. Sadar kalau sepertinya dia telat dari waktu yang telah dijanjikan.
“Menurut ngana?” Balas Om Barra, lalu membuang wajah dari temannya berbalik ke arahku. Aku terkesiap, ketika dia malah tersenyum manis. Apaan nih? Woy! Aku masih bocah, Om. Jangan flirting-in aku.
“Mana nih, yang namanya Qarmita?”
“Hallo, Om. Aku Ayi. Qarmita yang itu Om.” Lagi-lagi Ayi menyerobot.
“Wah! Sesuai ekspektasi.” Hah! Maksudnya? “Kenalin, saya Ridwan Zayin.” Dia mengulur tangan ke arahku. Belum sempat aku terima, Ayi lebih dulu menyerobot. Lagi.
“Ayi Amaliah, Om.” Ujar Ayi nyengir. Dasar nggak sopan. Aku memalingkan wajah. Sumpah, malu banget. Punya temen macam Ayi ini kudu kuat batin.
“Eh, iya. Salam kenal juga, Ayi.” Entahlah, aku nggak berani melihat ekspresi Om Ridwan.
“Saya pesan minuman dulu.” Om Barra beranjak dari kursinya meninggalkan kami bertiga. Lebih tepatnya Ayi dan Om Ridwan yang tampak asyik ngobrol. Aku mah, bodo amat. Paling sesekali menimpali kalau dipaksa.
“Mimi mah jagonya, Om. Aku aja masih kalah jauh dari dia. Ini juga kalau seandainya aku nggak temenan sama dia, nilai aku benar-benar anjlok. Aku jadi ingat waktu masih SMP dulu. Dia yang paling semangat ngasih aku motivasi. Awalnya aku sempat pesimis, tapi berkat ketangguhan dia, akhirnya aku sadar kalau sebenarnya aku punya potensi untuk berkembang menjadi lebih baik lagi.” Hmmm...makasih loh ya, dia ngomongin aku pas akunya ada di antara mereka. Untungnya sih, yang keluar itu kalimat pujian.
“Oh ya? Wah, sahabat idaman dong. Jarang loh, ada temen yang perdulinya kebangetan begitu. Apa lagi di jaman sekarang ini. Saya salut sama kamu, Mi.” Ya elah. Si Om ngikut manggil aku Mi. "Lo kate gue makanan, Om."
“Ngebahas apa nih, seru banget kayaknya.” Suara Om Barra menginterupsi percakapan mereka. Matanya menilik ke arah kami bergantian. Ayi menunjuk ke arahku yang diikuti lirikan dari Om Barra. Aku nyengir, sedangkan Ayi sudah mulai kembali bercerita.
“Mimi itu Om, ya. Paling anti sama yang namanya Kudis, Kurap, Kutil. Kalau kata guru-guru di sekolah sih, dia ini Miss Perfect. Saking perfect-nya, hampir lupa kalau dia hidup di dunia yang para penduduk buminya adalah makhluk sosial. Dulu lebih parah. Cuek banget. Sekarang lebih mendingan. Haduh! Kalau aku ingat waktu itu, rasanya pengen nabok muka tembok Mimi pakai linggis.” Allah, harus banget gitu sedetail itu? Semerdeka lo lah, Yi. ‘Larva’ mah bebas. Loncat sana, loncat sini.
Dua cowok dewasa itu ngakak nggak ketulungan. Bukan hanya karena mendengar cerita tentangku, kayaknya mereka juga terbawa suasana sama karakter Ayi yang kocak abis.
“Hmmm...jadi kamu dulu begitu?” Om Barra menatapku dengan intens. Aku mengangguk sambil mengusap batang leher. Kikuk, cuy. “Untung ya, waktu ketemu sama saya kamu sudah lebih ramah.” Sambungnya lagi, lalu tersenyum semanis madu.
Cerita pun harus terhenti ketika Om Ridwan memutuskan untuk pulang lebih dulu. Katanya malam ini ada acara keluarga, mamanya udah ngirim pesan lewat WA. Dia musti siap-siap.
“Saya duluan, ya. Makasih banget loh, Yi. Kamu sudah mau berbagi cerita. Rasanya saya nggak sabar pengen ngobrol sama kamu lagi lain kali.”
What? Alamat bakalan ketemu lagi, nih. Super sekali. Emang ya, Ayi ini sosok cewek yang susah untuk diabaikan apa lagi dilupakan. Bawaannya kangen mulu. Iya, aku kadang suka kangen Mulut Toaknya kalau kami kebetulan lagi liburan sekolah.
“Asyiiik! Beneran ya Om. Calling aja nomorku kalau mau ketemuan. Aku mah always stand by to your side.” Haduh! Gombalan cewek SMA. Om Ridwan tampak terkekeh geli melihat tingkah konyol Ayi. Tapi, jujur aja aku nggak akan menolak kok pesona sohibku ini.
“Kalian pulangnya gimana?” Tanya Om Barra.
“Saya sama Ayi pulang pakai ojek online, Om. Kebetulan juga rumah kami beda arah.” Gue membeo sebelum Ayi menyerobot entah ke berapa kali.
“Loh, kenapa naik ojek? Saya anterin ya. Ini udah sore, nggak takut ada bahaya?” Aku saling berpandangan dengan Ayi. Dia menoel-noel pipiku. Seakan mengisyaratkan kalau aku nggak perlu sok jual mahal. Terlihat dari ekspresinya. Dasar nggak mau rugi.
“Nggak kok. Kami udah biasa pulang sore pakai ojol.”
“Jadi, kamu nolak tawaran saya? Kayaknya temen kamu nggak akan keberatan kalau saya anterin.”
“Tapi kan kami beda arah, Om.”
“Nggak apa-apa. Kita anter dia dulu. Baru setelah itu kamu.”
“Nggak deh. Nanti ngerepotin Om Barra.” Dia menghela nafas berat. Kayaknya frustasi ngadepin otak realistis anak SMA.
“Saya nggak butuh penolakan, Qarmita. Kedua orang tua kita kenal dekat. Saya nggak mau terjadi sesuatu sama kamu karena harus membiarkan kamu pulang sendirian. Sedangkan saya masih mampu nganterin kamu.” Skakmat! Boleh juga nih alibinya. Aku kehabisan akal untuk menolak.
“Okay!” Aku langsung menunduk, lalu berjalan gontai keluar dari kafe. Sedangkan Ayi malah cekikikan di sampingku sambil bergelayut manja di lenganku. Hari ini lo menang Yi. Awas lo besok.
“Lo hutang penjelasan sama gue.” Ayi berbisik di telingaku. Dan aku paham apa maksudnya.
Bersambung....
Ayi: “Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.” Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge. Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.” Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pe
Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai denganmake up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk
Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In