Kegalauan berlanjut hingga aku pulang ke rumah. Entah kenapa, aku jadi kepikiran soal keberadaan Berry. Jangan-jangan dia beneran bunuh diri. Ah, nggak. Pikiran dia nggak sedangkal itu. Aku yakin pasti ada alasan yang lebih masuk akal, kenapa dia nggak masuk sekolah hari ini.
"Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam, sembari memasuki pintu utama yang memang sudah terbuka lebar entah sejak kapan.
"Wa'alaikumussalam!" Aku berpapasan dengan Papa dan tamunya, waktu aku berjalan melewati ruang tamu. "Alhamdulillah anak Papa sudah datang. Mitol bisa nggak, Dek? Bikinin minum buat tamu Papa."
"Oke, Pap. Tunggu sebentar, ya. Dedek naruh tas dulu ke kamar." Aku tersenyum sebelum meninggalkan Papa dengan tamunya. Entah siapa itu. Dari bentukannya, usia Papa sama tamunya itu sepantaran.
"Putrimu oke juga ya, Lan. Pantesan istrimu nggak pernah ngomel soal anak-anak. Wong penurut gitu." Samar-samar aku denger tamunya Papa itu berseru takjub akan sikapku. Sontak Papa hanya terkekeh sebagai respon spontan. Sisanya aku nggak denger lagi mereka ngomong apa, karena badanku udah tenggelam di telan pintu kamar.
Setelah menaruh tas dan mengganti alas kaki dengan sendal rumah, dan masih mengenakan baju seragam, aku beranjak menuju dapur. Menyiapkan segelas sirup dingin dan sepiring kue bolu pesenan Mama di kedai kuenya tante Zavina yang memang selalu stand by setiap hari.
Saat semua sudah siap, aku pun langsung membawa jamuan itu ke ruang tamu. Di sana aku lihat Papa dan tamunya tampak asyik ngakak riang. Di sana juga sudah ada Mama dan satu orang lagi wanita sepantaran dengannya. Wah, kayaknya ini acara temu kangen empat sahabat, nih.
"Loh, kok minumannya cuma satu gelas?" Itu suara Mama.
"Maaf, Dedek nggak tahu kalau tamunya nambah satu orang. Dedek bikinin lagi, deh."
"Nggak usah repot-repot, Nak. Tante emang lagi nggak minum minuman yang manis. Takut gula darahnya naik. Kemaren baru periksa, hasilnya lumayan tinggi." Aku mengangguk mengerti saat si Tante bilang begitu.
"Loh, gula darahmu naik lagi, Iz?" Tanya Mama tampak heran.
"Iya, Mbak. Kayaknya mulai sekarang aku musti diet rendah gula. Tadi pagi sarapannya cuma pakai nasi merah." Sahut Tante Iz. Entah Iz apa kepanjangannya. By the way, kayaknya beliau lebih muda dari Mama. Manggil Mama dengan sebutan 'Mbak'.
"Sini, duduk di sebelah Mama." Mama menarik tanganku, menuntunku agar bokongku duduk di sebelah pantat bohainya. Ini nampan masih nempel manis di tangan. Bahkan nemplok di atas paha. Ada apaan nih, Mama mengikutsertakanku untuk bergabung dengan tamunya?
"Kelas berapa sekarang, anak kalian Lan?" Tanya si Om entah siapa namanya.
Papa menoleh ke arahku dengan tatapan "Kamu yang jawab!"
"Kelas dua belas, Om." Jawabku, lalu nyengir semanis gula.
"Wah, sebentar lagi lulus dong. Tinggal enam bulan lagi kan, menuju ujian nasional. Rencananya mau ngelanjutin kuliah di mana?" Tanya Tante Iz.
"Belum tahu, Tante. Ini masih mikir. Tapi, kalau cari yang sesuai passion, saya mau traveling ke berbagai belahan di dunia."
"Pramugari?" Tanya si Om.
"Pilot!" Sontak ke empat manusia lansia itu menatapku dengan sorot yang, entahlah.
"Kamu serius? Alih-alih jadi pramugari, kamu justru mau jadi pilot?" Tanya si Tante.
"Iya, Tante. Itu pun kalau Papa dan Mama ngijinin." Aku melirik ke arah Papa dan Mama bergantian. Mereka kompak tersenyum tanpa ada beban.
"Apapun cita-citamu, kami akan mendukung. Selagi profesi itu sesuai dengan keinginan kamu." Mama mengelus kepalaku lembut, setelah mengucap kalimat penyemangat itu. Demi apa mereka dukung aku?
"Tapi, jangan sampai lupa kewajiban. Kalau suatu saat Papa dan Mama minta kamu pulang, apa pun alasannya, kamu harus pulang." Hadeh! Tetep aja ada udang di balik batu. Aku mengangguk tanpa repot menyanggah.
Obrolan pun terus berlanjut hingga tak terasa waktu sore telah tiba. Aku juga udah ganti baju, setelah percakapan serius beberapa waktu lalu. Hingga ketika seseorang yang pernah dua kali aku temui, muncul dari teras depan. Dia masuk sambil mengucapkan salam sembari tersenyum ke arah kami.
"Barra! Sini, Nak. Kamu baru pulang?" Tante Iz bertanya begitu antusias. Senyum manisnya merekah sejak melihat sosok itu yang dia sebut 'Nak'.
"Iya, Mi. Baru habis ngajar mahasiswa semester enam." Oh, jadi Om Barra itu anaknya Tante Iz dan Om entah siapa namanya itu.
Om Barra kemudian berjalan ke arah Papa dan Mama, menjabat tangan keduanya. Lalu yang terakhir aku. Aku langsung menyambut dan mencium punggung tangannya. Dia tampak kaget melihat aksiku. Sedangkan aku acuh aja. Menurutku nggak ada yang salah kok, dari tindakanku barusan. Aku hanya berusaha bersikap sopan pada yang lebih tua.
"Duh Gusti, lihat nih mukamu kusam begini. Kok ngajarnya bisa sampai sesore ini sih? Emangnya nggak ada dosen yang lain?" Tipe ibu-ibu posesif.
"Haha, ada kok Mi. Cuma kan, kami punya porsi waktu ngajarnya masing-masing. Ini juga sudah sesuai dengan standar." Jawab Om Barra tampak agak lesu. Lalu duduk di sebelah Tante Iz.
Bener juga kali ya, dia kecapekan gitu. Ah, kayaknya dia butuh mood booster, nih. Tanpa banyak cingcong aku langsung ngacir ke dapur. Menuang secawan kecil madu, dan segelas air lemon. Salah satu resep bugar dari Mama.
"Ini Om, diminum. Siapa tahu bisa bikin badan Om Barra lebih segar. Itu resep dari Mama, loh." Ujarku, sambil menyodorkan dua benda itu ke depan wajah Om Barra. Sontak hal itu membuat dia tercengang. Memandang ke arahku sejenak, lalu menerima uluranku. Dengan gestur agak kikuk, dia meminum dua jenis cairan itu secara bergantian. Sesuai dengan arahanku. "Minum air jeruknya dulu, baru madunya."
"Makasih!" Ucapnya, setelah dua jenis cairan itu sudah masuk ke lambungnya.
"Air putihnya mana?" Tanya Mama tiba-tiba.
"Eh, iya. Dedek lupa Ma. Tunggu sebentar ya, Om." Aku langsung berlari menuju dapur. Menuang air putih di atas meja makan ke dalam gelas kecil. Lalu membawanya ke ruang tamu.
Langkahku terhenti di sekat antara ruang tamu dan dapur saat mendengar sebuah pernyataan. "Kayaknya putrinya Mas sama Mbak udah cocok jadi istri." Aku tebak itu suara Tante Iz. Aku mematung seketika. Tiba-tiba mukaku jadi panas. Ya Allah, aku masih bocah, masih bau kencur. Masa Tante Iz bilang aku udah cocok jadi istri? Aku nggak berani taruhan kalau lulus SMA nanti Papa dan Mama malah ngawinin aku sama cowok dari negeri antah berantah mana.
Yang pasti, aku musti wujudin dulu cita-cita muliaku. Dan kalau nggak salah, jadi pilot itu kan punya jam terbang yang lumayan padat. Aku nggak yakin bakal bisa menikah di saat-saat seperti itu.
"Hmmm." Aku berdehem, sengaja supaya mereka nggak ngebahas soal pernikahan lagi. Jujur aja, aku geli sendiri.
"Eh, emmm... Qarmita sudah balik. Em, anu. Mas, Mbak, kayaknya kami harus pamit. Sudah sore banget."
Aku mengerutkan dahi setelah mendengar suara Tante Iz yang terkesan nervous gitu. Sebelum menyerahkan gelas air putih ke Om Barra. Ya elah, itu muka ekspresinya jadi ikut aneh gitu sih? Dia bahkan nggak berani menatapku.
"Oh, iya. Haha, lain kali mampir ke sini lagi ya. Jangan kapok loh. Rumah ini akan selalu terbuka lebar untuk kalian sekeluarga." Itu suara Papa. Gesturnya lebih normal. Nggak terkesan 'mau tapi malu'. Alah! Perumpamaanku ambigu.
"Iya, Lan. Pasti! Lain kali, mungkin kami akan berkunjung lagi. Terimakasih atas jamuannya. Kalau begitu, kami permisi dulu. Assalamu'alaikum!" Sahut suaminya Tante Iz. Aduh, siapa sih namanya? Aku bingung mau manggilnya siapa.
"Wa'alaikumussalam!" Balas kami serempak. Kemudian berjalan keluar pintu, sebagai bentuk tindak kesopanan, mengantar kepergian tamu sampai mobil mereka hilang di ujung komplek.\
"Pap, Om itu siapa sih namanya? Dari tadi Dedek bingung mau manggil siapa. Siapa tahu kan, kalau tiba-tiba papasan di jalan, Dedek nggak bingung lagi."
Papa terkekeh sembari menepuk pelan pucuk kepalaku, sebelum berucap, "Namanya Om Rahil Fahad. Biasanya dipanggil Rahil. Tapi kalau buat Dedek, terserah mau manggil apa."
"Om Rahil aja deh. Biar sama kayak yang lain." Aku membalas senyum Papa, sebelum merangkul lengannya agar kami bisa berjalan beriringan saat memasuki rumah. Sedangkan Mama, aku lihat beliau lebih dulu masuk dan membersihkan meja di ruang tamu dari sisa jamuan.
Bersambung....
Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa
Ayi: “Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.” Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge. Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.” Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pe
Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai denganmake up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk
Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar
Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In