Share

2

Penulis: Syair Sendu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-22 21:19:01

Aku berlari tunggang langgang dari rumah hanya untuk ngejar angkot terakhir menuju sekolah. Kampret, aku telat di hari Senin pagi. Haduh! Bisa-bisa aku kena hukuman nih, sama Bu Yuli. Guru biologi terkiller sejagat SMA Cinta Kasih Bunda.

Sumpah, nggak biasanya nih aku telat begini. Selama ini aku juga dikenal dengan sebutan murid teladan sepanjang sejarah. Aku tebak, satu catatan pelanggaran ini bisa bikin nama baikku tercoreng. Katakanlah aku ini Miss Perfect. Aku terlalu terobsesi dengan yang namanya “Kesempurnaan”. Nggak boleh ada cela sedikit pun walau sebiji zarah. Halah, apaan dah.

Degedegedeg..........double shit. Mogok?

“Haduh, si akang. Kenapa angkotnya mogok atuh?” Itu suara emak-emak di sampingku. Kayaknya dia nggak kalah keselnya daripada aku. Ya elah, aku musti gimana nih? Jalanan udah mulai sepi, lagi. Nggak ada pangkalan ojek pula di sekitar sini.

“Mang, saya berhenti si dini aja. Nih uangnya.” Terpaksa deh aku musti lari sampai sekolah. Hah, alamat kena hukum ‘pasal satu ayat satu’: Guru selalu benar, murid selalu salah.

Tin tiiiiiin.

Aduh, itu suara klakson mobil siapa, lagi?

Hah! Itu kan, mobilnya Om Barra. Ngapain dia berhenti tepat di sampingku?

“Mau ke sekolah, ya?” Kepalanya menyembul dari balik jendela bagian sebelah kemudi. Lah, ini Om-Om udah tahu aku mau berangkat ke sekolah. Malah ditanya pula. Fix, basa basi doang itu.

“I...iya, Om. Maaf, saya lagi buru-buru. Lain kali aja ya kalau mau ngobrol.”

“Saya anterin, ya. Kayaknya kamu juga udah telat. Kalau jalan kaki butuh waktu lebih banyak lagi. Lagian saya nggak ada niat ngajak kamu ngobrol. Saya cuma....”

Okay!” Aku langsung menyetujui ajakannya. Hanya butuh beberapa detik sampai aku akhirnya berhasil mendaratkan bokong bulatku di kursi sebelah kemudi. “Yuk, jalan.”

Dia terkekeh sebelum melajukan mobilnya.

“Om, makasih ya. Dua kali loh, Om nganter saya.” Basa basi lagi. Selagi masih di perjalanan. Dari pada diam, malah berasa awkward. Aku paling nggak suka keheningan. Rasanya aneh gitu.

“Sama-sama. Oh, ya. Kamu kelas berapa?”

“Kelas dua belas, Om. Jurusan IPA.”

“Kamu jawabnya kelebihan, loh.” Dia nyengir sambil tetap fokus menyetir.

“Biar Om-nya nggak nanya dua kali. Saya rasa nggak ada salahnya saya kasih tahu. Toh bukan informasi rahasia juga. Kecuali kalau saya kerja di FBI, otomatis nggak semua informasi bisa saya beberkan.” Ga-Je nggak sih? Si Om terkekeh geli mendengar ocehanku. Lalu memilih fokus menyetir mobilnya.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku langsung ngacir setelah mengucap “terima kasih” sama Om Barra.

Dia mengangguk. Namun, saat jarakku sama dia udah cukup jauh, kayaknya dia neriakin sesuatu deh, ke aku. Sayangnya aku nggak mendengarnya dengan jelas.

“Qarmita Alpha Cygni. Sejak kapan kamu mulai nggak disiplin begini?” Bu Yuli mulai mengintrogasi. Aku mah diem aja, sambil nyelesain tugas sit up yang dititahkan oleh beliau lima menit yang lalu.

“Sejak negara api menyerang, Bu.” Aku mendelik ke arah Michele yang barusan nyeletuk di sela nafasnya yang ngos-ngosan karena lagi push up. Manusia satu ini paling bikin kesel para warga sekolah. Langganan banget sama “Kudis”: “Kurang Disiplin”. Anak geng motor, sekaligus premannya sekolah. Suka ngejahilin Widya Wati, si anak rohis.

“Ibu nggak nanya kamu, Michele. Ibu nanya Qarmita.”

Plak, plak. Bug, bug.

Yes! Trus Bu. Timpukin aja tuh bocah pakai penggaris kayu Ibu.

“Maaf Bu, saya telat. No more comment. Murni kesalahan saya.” Ucapku.

“Saya nggak bisa kasih kamu sanksi selain sit up. Tapi, saya peringatkan dalam bentuk lisan. Lain kali jangan diulang lagi. Ini yang pertama dan terakhir.”

Bu Yuli emang killer di kalangan anak-anak badung. Tapi dapat mentolerir beberapa murid dalam keadaan tertentu. Beliau mungkin segan denganku. Karena emang aku nggak langganan sama yang namanya ‘Kudis’.

Kadang sikapku yang kelewat dewasa, bikin orang-orang segan untuk mengkritik. Kecuali Bu Yuli dan Pak Kepala Sekolah. Padahal aku kan, masih SMA. Nggak semua hal, benar aku lakukan.

“Iya, Bu. Saya pastikan tidak akan terulang lagi.” Aku berdiri tegap di depan Ibu Yuli. Mengambil tas, lalu mencium punggung tangannya. Kemudian melangkah menuju kelas tercinta. Aku diminta langsung balik ke sana tanpa mengikuti upacara bendera. Aku rasa nggak ada gunanya masuk barisan. Toh, sebentar lagi selesai. Waktuku habis cuma buat diceramahi Bu Yuli. Sisanya ngerjain hukuman sit up tiga puluh kali. Lumayan lah, bikin badan sehat, pagi-pagi.

“Mimiiiii....!” Astaga dragon. Lama-lama aku musti periksa ke dokter THT nih, karena mengalami gangguan persepsi sensori: pendengaran gara-gara suara Toak-nya Ayi. Si cewek Larva. Kenapa aku bilang begitu? Karena dia mirip sama larva buah nangka. Suka gaduh sendiri. Gerak sana, gerak sini. Loncat sana, loncat sini. Teriak sana, teriak sini. Orangnya nggak bisa diem, kalem, melempem.

“Berisik!” Nah, langsung jinak. Aku paling suka liat mukanya yang ditekuk sehabis aku omelin. Setoak-toaknya Ayi, kalau suaraku udah lebih tinggi dari dia, aku jamin pita suaranya langsung tersegel.

Sorry!” Dia beringsut mendekat dan duduk di sampingku. Bergelayut manja macam kucing peliharaannya Bang Orion. Aku heran ya, kalau tiap kali liat kucing anggora milik Bang Orion. Setiap kali mereka berada di satu area, pasti itu kucing betina nggak mau jauh-jauh dari majikannya. Emang paling tahu kali dia, Abangku tuh cakepnya ngalahin aktor terkenal sekelas Reza Rahadian.

“Eh, apaan nih?”

“Sumpah, lo telat?” Nah, kembali ke mode ‘larva’.

“Nggak usah bawa-bawa sumpah. Aku ngeri dengernya.”

“Hehe...maksudku. Serius, lo telat? Murid anti Kudis kayak lo bisa telat? Gimana bisa?”

“Bisa aja, kalau Allah menghendaki.” Jawabku religius.

“Haduh! Maksud gue, kenapa lo bisa telat? Perasaan jarak dari rumah lo ke sekolah kan nggak lebih dari lima belas menit pakai mobil. Emangnya Bang Orion nggak nganter lo?”

“Boro-boro nganter aku. Dia sendiri juga telat bangun. Bahkan seisi rumah pada telat bangun.”

“Hah! Kok bisa?”

“Kita begadang nonton bola sampai jam dua subuh.”

“E...buset dah. Yang sekeluarga gila bola. Nggak heran deh gue. Padahal hari Senin loh, ini. Masa nggak bisa di-skip?”

“Nggak bisa. Soalnya itu tim andalan kita sekeluarga. Nggak ada skip-skip-an.” Aku mendelik nggak suka. Enak aja nyuruh aku nge-skip nonton pertandingan tim kesayanganku. Kalau disuruh milih nonton bola sama belajar, mending aku milih nonton bola. Biar kata besok ada ujian nasional. Hmmm...nggak bermaksud congkak, ya. Aku kan, juara umum se-SMA Cinta Kasih Bunda. Belum tahu sih, untuk tingkat nasionalnya gimana.

Menurut gue, belajar di malam sebelum hari H, itu justru bikin kepala mumet. Kata Papa, otak kita bisa konsentrasi total cuma selama tiga puluh menit pertama. Sisanya tinggal berdo’a dan tawaqal aja. Makanya kalau setiap ada ujian, gue paling anti belajar sistem kejar semalam. Minimal dua atau tiga hari sebelum ujian, gue udah belajar. Mengulang pelajaran yang penting. Itu pun hanya sebatas garis besarnya aja.

“Eh, by the way. Gue nggak liat muka Berry sejak tadi. Kalian tahu dia ke mana? Padahal dia udah janji traktir kita makan di kantin.” Sayup-sayup aku mendengar salah satu anggota gengnya Berry—Adul, sedang mengobrol di meja belakangku dan Ayi.

“Lo, nggak tau, ya? Kemaren dia ditolak sama Nona Q. Ada yang liat mereka ketemuan di Observatorium. Obrolannya cukup serius gitu. Gue nggak kaget lagi sih, kalau si cewek teladan nggak sudi nerima cintanya cowok badung.” Itu suara Septi, si Ratu Gosip.

Aku saling melirik dengan Ayi. Kayaknya gosip bakal menyebar cepat setara dengan kecepatan angin tornado.

“Hah! RIP Berry Bastun. Mudah-mudahan tuh anak nggak bunuh diri. Padahal dia beneran suka sama Nona Q. Filling gue sih, seandainya mereka jadian, gue yakin Berry bakal berubah. Secara, Nona Q tuh orangnya nggak mudah dipengaruhi. Yang ada malah dia yang mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.” Mereka pun saling bersahut-sahutan. Intinya, mereka menyayangkan kalau si Nona Q ini nggak mau ngasih kesempatan buat Berry.

Hah! Itu cuma pernyataan unfaedah mereka. Kalau mau berubah kan, berubah aja. Nggak usah lewat pacaran sama aku. Yang ada ntar niatnya nggak tulus. Aku cuma manusia biasa. Nggak menjamin bisa bikin dia berubah. Kalau tulus, berubah aja tanpa harus sama aku. Lagian, nggak perlu pakai harus pacaran segala kan. Kalau dia emang suka sama aku, kenapa dia nggak memilih untuk bermuhasabah diri dulu. Kalau udah yakin, langsung lamar aku ke orang tua. Kan lebih gentle. Ya kan? Bener nggak?

Ah, kepalaku kenapa jadi ikut puyeng gini mikirin cecunguk itu?

Bersambung....

Bab terkait

  • Barraberee   3

    Kegalauan berlanjut hingga aku pulang ke rumah. Entah kenapa, aku jadi kepikiran soal keberadaan Berry. Jangan-jangan dia beneran bunuh diri. Ah, nggak. Pikiran dia nggak sedangkal itu. Aku yakin pasti ada alasan yang lebih masuk akal, kenapa dia nggak masuk sekolah hari ini."Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam, sembari memasuki pintu utama yang memang sudah terbuka lebar entah sejak kapan."Wa'alaikumussalam!" Aku berpapasan dengan Papa dan tamunya, waktu aku berjalan melewati ruang tamu. "Alhamdulillah anak Papa sudah datang. Mitol bisa nggak, Dek? Bikinin minum buat tamu Papa.""Oke, Pap. Tunggu sebentar, ya. Dedek naruh tas dulu ke kamar." Aku tersenyum sebelum meninggalkan Papa dengan tamunya. Entah siapa itu. Dari bentukannya, usia Papa sama tamunya itu sepantaran."Putrimu oke juga ya, Lan. Pantesan istrimu nggak pernah ngomel soal anak-anak. Wong penurut gitu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Barraberee   4

    Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Barraberee   5

    Ayi: “Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.” Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge. Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.” Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Barraberee   6

    Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai denganmake up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Barraberee   7

    Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Barraberee   8

    Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Barraberee   9

    Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • Barraberee   10

    Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-14

Bab terbaru

  • Barraberee   16

    “Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng

  • Barraberee   15

    "Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."

  • Barraberee   14

    Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja

  • Barraberee   13

    Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.

  • Barraberee   12

    “Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d

  • Barraberee   11

    Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku

  • Barraberee   10

    Setelah selesai menghapus satu pesan terakhirku di ponsel Om Barra, aku langsung mengembalikan benda itu padanya.“Sudah. Ini! Terima kasih.” Ucapku.Dia menerima ponselnnya, melihat sejenak ke layar. Lalu berkata. “Kamu tidak penasaran dengan isi dari notifikasi lainnya? Ada beberapa di insta***m dan tele***m. Kalau kamu buka pun saya tidak akan marah.”“Tidak, terima kasih. Untuk apa saya mengecek isi dari barang pribadi Om? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja.”Enaks aja dia bilang begitu. Aku juga sadar diri, kalau aku masih punya batasan. Aku membuka apa yang perlu aku buka saja. Selebihnya kan, pivasi Om Barra. Kecuali dia sudah jadi suamiku Tidak ada alasan buatku untuk tidak merasa penasar

  • Barraberee   9

    Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”

  • Barraberee   8

    Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In

DMCA.com Protection Status