Gadis itu muncul dari gelapnya malam. Langkahnya terseok, pergelangan kaki kirinya menekuk dengan tidak wajar. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan raut wajah ketakutan.
Dia mengugu, berusaha untuk tidak tersungkur di aspal yang keras. Sorot matanya menatap dengan penuh harap ketika dia melihat sebuah cahaya di kejauhan. Sebuah mobil mendekat, membangkitkan asa pada diri gadis tersebut.
"Tolong," rintihnya lirih sembari melambaikan kedua tangannya.
Mobil tersebut mau berhenti. Seorang pemuda dengan mengenakan seragam sekolah bergegas keluar dari balik kursi kemudi dan mendekati gadis itu.
"Mbak ... ngapain di luar malam-malam begini?" tanya pemuda itu heran. Lalu pandangan matanya terantuk pada gaun pesta putih yang dikenakan oleh gadis itu.
Penuh dengan noda darah.
"Mbaknya ... terluka?"
Si gadis hanya tergugu kecil dan menganggukkan kepala.
"Ah, baiklah kalau begitu. Tidak perlu khawatir, mbak. Akan saya antarkan ke rumah sakit terdekat." sekali lagi pemuda itu menyelisik figur si gadis. "Mbak bawa tanda pengenal kan?"
Lagi-lagi, gadis itu menganggukkan kepala.
"Syukurlah. Ayo, saya bantu naik ke mobil saya."
Pemuda itu membantu si gadis naik ke dalam mobil sebelum kembali ke kursi kemudi. Setelahnya, pemuda itu menjalankan kembali mobilnya. Sesekali diliriknya si gadis yang terdiam sembari memeluk dirinya sendiri, gemetar seakan sedang kedinginan.
"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi mbak?" tanya pemuda itu.
"Makan ... " gumam si gadis pelan. "Saya datang ke pesta. Saya mengambil makanan. Tetapi ... seseorang mencegah saya makan."
Pemuda itu mengernyitkan keningnya. "Orang itu ... mencegah mbaknya buat makan?"
Gadis itu menganggukkan kepala.
"Aneh," gumam si pemuda. "Apa mbaknya ambil makanan yang nggak seharusnya dimakan? Atau ... mungkin mbaknya korban bully ya?"
Gadis itu tidak menjawab.
"Mbaknya harus berkata terus terang kalau nanti ditanya sama polisi. Harus cerita dari awal sampai akhir, jangan ada yang ditutupin. Pelaku bully kalau nggak diproses secara hukum memang nggak kapok."
Tetap tidak ada jawaban.
Pemuda itu melirik si gadis di sebelahnya. Dia cukup cantik walaupun riasannya sudah agak berantakan. Pandangan matanya lurus ke depan, mulutnya berkomat-kamit seakan sedang membaca doa.
Tiba-tiba sesuatu menabrak kaca depan mobil si pemuda.
Si pemuda terkejut. Dia menginjak pedal rem dengan spontan. Setelah mobil mendecit dan berhenti, pemuda itu melihat segumpal bulu teronggok di kap mobilnya, bergerak-gerak dengan lemah. Dia segera turun dan memeriksa gumpalan bulu tersebut, yang ternyata adalah seekor burung gagak.
"Apa-apaan?" sang pemuda memegang burung itu dengan kedua tangannya. Dia celingukan, berusaha mencerna kenapa burung tersebut bisa menabrak mobilnya.
"Itu sebuah tanda." Tiba-tiba pemuda itu mendengar sebuah suara. Si gadis keluar dari dalam mobil dan mendekati pemuda itu tanpa disadarinya.
"Tanda apa, mbak?"
"Sebenarnya bukan saya yang ingin makan. Tetapi Dia yang Terbuas yang ingin makan."
"Apa? Dia yang ... apa tadi?"
"Dia yang Terbuas," ucap si gadis dengan intonasi perlahan namun tegas. "Dia yang ada di puncak rantai makanan. Dia ... adalah alasan saya hidup hingga saat ini."
Satu sosok hitam muncul dari belakang gadis itu, datang entah darimana. Langkahnya perlahan namun mengancam, membuat si pemuda mundur dengan gugup. Dia salah. Dia menyadari, seharusnya tidak memberi tumpangan pada orang asing di tengah malam.
"Selamat makan."
Sosok itu menerkam si pemuda. Dia tidak sempat berlari ataupun melindungi diri. Hanya teriakan kesakitannya yang terdengar membelah keheningan malam.
Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit, tetapi bus itu belum juga berangkat. AC yang rusak memaksa para penumpang untuk membuka jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menerobos masuk walaupun bercampur dengan aroma tak sedap yang menguar dari sungai di pinggir jalan dan tumpukan sampah pasar. Suara deruman kendaraan, bayi menangis dan percakapan bernada tinggi mewarnai hiruk-pikuk aktivitas pagi itu.Diantara bangku penumpang, seorang gadis mengenakan seragam SMA tampak mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia tampak menatap cemas ke arah kernet yang tak henti-hentinya meneriakkan tujuan bus yang ditumpanginya. Belum ada tanda-tanda bus tersebut akan berangkat, sementara dia harus sampai di sekolah pukul tujuh, tidak lebih. Bila terlambat, maka dia harus berurusan dengan guru BK*).Seumur-umur, gadis itu tidak pernah berurusan dengan guru BK.Perhatian gadis itu teralihkan ketika
Nala mengusap keringat di keningnya. Matahari sudah beranjak ke ufuk barat, memberikan warna lembayung pada langit senja. Ayam-ayam peliharaannya kini sudah terkurung semua di kandang, dan halaman rumah sudah bebas dari daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum sejenak, menatap bangga hasil kerja kerasnya membersihkan rumah.Nala menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang tampak uzur, namun masih kokoh, tidak seperti yang terlihat. Ada beberapa hal yang disyukurinya di dunia ini, termasuk duduk santai di depan rumah, menikmati semilir angin yang menggerakkan dedaunan dengan perlahan. Ia sangat menikmati hidup di desa, jauh dari hingar bingar perkotaan. Walaupun fasilitas yang ada tidak selengkap rumahnya di kota, tapi bagi Nala itu tidak masalah.Terkadang Nala merindukan kedua orang tuanya. Tidak mudah baginya berpisah dengan mereka, apalagi selama ini Nala tidak pernah hidup jauh dari orang tua. Lagipula Nala seorang cewek, yang notabene har
"OMG Girls!"Teriakan itu membahana di kamar Padma yang luas. Begitu melihat Nala dan Dewi, gadis itu langsung bangun dari tidurannya dan menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagi kedua temannya itu duduk di ranjang."Lihat, aku luka-luka gini! Keren kan? Kalau nggak dijemput Nala, mungkin aku sudah mati!"Dewi tampak menahan diri untuk menoyor kepala Padma. "Sembarangan saja kalau ngomong. Lagian ya, setahuku yang biasanya heboh itu yang menjenguk, bukan yang lagi dijenguk.""Oh iya ya." Padma menerbitkan cengiran lebar. "Kalau gitu, ayo diulang adegannya."Dewi memutar bola matanya, sementara Nala tersenyum kecil. Padma yang lucu dan cerewet adalah Padma yang dikenalnya. Ia bersyukur sahabatnya itu bisa lepas dari traumanya dengan begitu cepat.Hari ini Padma tidak masuk sekolah. Salah satu asisten rumah tangganya yang mengantarkan surat. Nala tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh orangtua Padma di dalam surat itu, namun segera saja
Aroma wangi bawang yang digoreng menguar dari dapur rumah Nala. Hari masih pagi, namun gadis itu sudah berperang dengan berbagai bahan dapur, membuat sarapan dan bekal makan siang untuknya dan Ashton. Gadis itu menjepit rambutnya ke atas, tangannya dengan lihai memainkan sudip di dalam penggorengan, sementara di sampingnya sudah tersedia beberapa bahan makanan yang setengah jadi, ada pula yang sudah jadi. Pagi itu sama dinginnya dengan kemarin atau hari-hari sebelumnya. Nala sudah pasti memilih untuk bergelung di bawah selimut, kalau saja dia tidak ingat bahwa dirinya dan Ashton hanya tinggal berdua. Semua pekerjaan sehari-hari harus mereka lakukan bersama—bahkan bisa dibilang Nala-lah yang mengurus semua sendirian. Ashton hanya sekali menunjukkan keahliannya sebagai lelaki, yaitu memperbaiki pompa air yang macet beberapa hari setelah mereka tiba di rumah ini. Nala mengangkat bawang yang telah digoreng dan menuangkannya ke cobek beserta cabai, tomat serta sejumput te
Sampai makan siang pun, Padma masing mengomel panjang-pendek mengenai Bagus yang tidak mengajak Nala mengobrol.Kantin sudah cukup penuh walaupun bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi. Dewi bergerak secepat kilat, berlari bak orang kesetanan keluar kelas untuk berebut meja yang paling strategis di kantin. Nala dan Padma menyusul di belakangnya. Sebenarnya Nala membawa bekal ayam goreng bumbu kuning yang dimasaknya tadi pagi, namun Padma memaksanya agar ikut makan di kantin.Dewi memesan bakso, sementara Padma makan gado-gado. Namun akibat Padma yang terlampau berisik mempermasalahkan kisah tragis Nala, kedua temannya jadi tidak terlalu berminat dengan makanan mereka. Nala hanya menyuwir ayam gorengnya tanpa tujuan, sementara Dewi bermain-main dengan kuah baksonya."Nggak habis pikir. Cowok macam apaan, cewek secantik Nala dianggurin. Nala lho ini. Kalau modelan Dewi sih, aku nggak banyak protes."Dewi menatap Padma dengan galak. "Jadi maksudmu, aku nggak can