Sampai makan siang pun, Padma masing mengomel panjang-pendek mengenai Bagus yang tidak mengajak Nala mengobrol.
Kantin sudah cukup penuh walaupun bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi. Dewi bergerak secepat kilat, berlari bak orang kesetanan keluar kelas untuk berebut meja yang paling strategis di kantin. Nala dan Padma menyusul di belakangnya. Sebenarnya Nala membawa bekal ayam goreng bumbu kuning yang dimasaknya tadi pagi, namun Padma memaksanya agar ikut makan di kantin.Dewi memesan bakso, sementara Padma makan gado-gado. Namun akibat Padma yang terlampau berisik mempermasalahkan kisah tragis Nala, kedua temannya jadi tidak terlalu berminat dengan makanan mereka. Nala hanya menyuwir ayam gorengnya tanpa tujuan, sementara Dewi bermain-main dengan kuah baksonya."Nggak habis pikir. Cowok macam apaan, cewek secantik Nala dianggurin. Nala lho ini. Kalau modelan Dewi sih, aku nggak banyak protes."Dewi menatap Padma dengan galak. "Jadi maksudmu, aku nggak cantik, gitu?""Bukan begitu, beb." Padma cepat-cepat meralat kata-katanya. "Maksudku kamu lebih pengalaman dalam hal cowok, jadi kalau dikacangin sekalipun kamu bisa bales. Lha Nala? Duh, dia itu terlalu anggun, beb, buat jitak kepala cowok."Kini ganti Nala yang menatap Padma tajam. "Jadi maksudmu, aku lemah di hadapan cowok, gitu?"Tanpa diduga, baik Padma dan Dewi serempak menjawab. "Emang!"Nala meringis kecil. "Kalian belum pernah lihat aku meninju cowok ya.""Memang belum pernah lihat!" Padma menjulurkan lidah.Nala menoleh kepada Dewi. "Wi! Nggak ada cita-cita buat bela aku gitu?""Enggak," jawab Dewi santai. Gadis itu mulai menunjukkan minat lebih pada bakso dihadapannya. "Kamu sendiri biasanya juga ikutan membully aku.""Perasaan dari kita bertiga, kamu yang paling jarang kena bully deh!" sambar Padma, menyipitkan mata.Nala membiarkan kedua temannya itu berdebat mengenai siapa yang paling sering terkena bully. Gadis itu lebih tertarik pada lengan Padma yang tertutup oleh pelindung terbuat dari kain hitam. Terakhir kali mereka bertemu di sekolah, Padma tidak memakai pelindung lengan. Pun saat Nala dan Dewi menjenguk Padma di rumahnya kemarin, gadis itu juga tidak terluka di bagian lengannya."Lenganmu kenapa, Pad?" Nala tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk bertanya.Padma yang sedang berdebat dengan Dewi tertegun sejenak. Dia melirik pada Dewi sekilas, yang langsung fokus kepada baksonya. "Nggak kenapa-kenapa, La. Memangnya kenapa?""Oh enggak." Nala berdeham. "Kupikir ada luka di lenganmu, makanya kamu tutupin sama pelindung lengan.""Aduh ... kamu khawatir sama aku ya? Ya ampun, thanks banget lho, La! Andai saja my baby Ardian seperhatian ini ke aku, rela deh diserang berkali-kali!""Heh, mulutnya dijaga!" Sergah Nala, bersamaan dengan Dewi yang menoyor kepala Padma. Padma hanya mengaduh dan meratapi kekejaman kedua temannya itu."Tapi beneran, La. Aku sungguh nggak terima sama kak Bagus." Padma mengulang kembali pernyataannya bahkan ketika mereka sudah selesai makan dan sekarang sedang antri untuk membayar. "Kita ini cewek! Cewek itu perlu dilindungi, diayomi, disenengin, diajak ngobrol, ditraktir!""Pad.""Lha kak Bagus? Cuma barengin doang, kamunya nggak diajak ngobrol sama sekali. Masih mending kalau kamu diajak sarapan dulu. Enggak! Ini cuma dibarengin doang! Cowok lain mah juga bisa!""Pad!""Apa sih, Wi! Nih denger ya, La. Kalau aku jadi kamu, aku bakal jalan sama cowok lain. Kalau memang kak Bagus suka sama kamu, pasti dia perjuangin kamu. Gitu biar tahu rasa! Cowok kok gak ada inisiatif ...""Pad!" Dewi membekap mulut Padma. Padma hanya dapat menggumam jengkel. Namun ketika melihat ekspresi Nala dengan wajah memerah dan menatap malu seseorang di balik badan Padma, gadis itu pun perlahan menoleh.Bagus berdiri di belakang mereka bertiga."Eh, kak Bagus," sapa Padma sambil nyengir salah tingkah. Bagus menganggukkan kepala dan tersenyum kepada Padma."Aku baru saja mau bayar makanan," kata Bagus berusaha meluruskan, agar ketiga adik kelasnya tersebut tidak terlalu malu karena ketahuan membicarakannya."Oh, silakan kak! Wi, La, ayo pindah ke antrian belakang," ajak Padma sambil menggandeng pergelangan tangan kedua temannya."Eh, nggak usah! Kalian duluan saja, kan kalian yang duluan antri," cegah Bagus."Kakak kelas biasanya duluan, kak. Hehehe ... ayo Wi, La." Kali ini Padma semakin kuat menyeret kedua temannya."Nala, tunggu!" seru Bagus. Nala yang sudah hendak mengikuti seretan Padma menghentikan langkah. Dia mengangguk kecil pada Padma yang jelas tampak sangat malu, memberinya isyarat agar dia duluan dan menyerahkan masalah ini kepadanya. Padma mengangguk mengerti dan buru-buru kabur diikuti oleh Dewi."Ya, kak?" Nala mengalihkan perhatian pada Bagus begitu Padma dan Dewi pergi."Sebenarnya nggak enak ngobrol sambil antri bayar makanan gini." Bagus menggaruk puncak kepalanya yang tidak gatal. "Tapi karena aku nggak punya nomor W* kamu, jadinya agak susah ngobrolnya. Omong-omong kamu sudah ke pak Novan?""Pak Novan?" Hati Nala mencelos. Mengapa dia sampai lupa dengan hukuman karena terlambat tempo hari? Harusnya dia menghadap pak Novan dan membantu beliau mempersiapkan perhelatan dies natalis sekolah mereka."Belum, ya?" Tebak Bagus dengan jitu. "Kebetulan aku sudah ke pak Novan. Intinya, beliau nggak keberatan kalau tugasnya dikerjakan bersama-sama. Lagipula persiapan dies natalis sudah hampir delapan puluh lima persen selesai. Cuma anak OSIS belum nyiapin piala buat class meeting*). Pak Novan minta aku buat beli pialanya. Kamu mau ikut?""Kapan, kak?""Nanti sore, sepulang sekolah," jawab Bagus. Keduanya tiba di depan meja kasir dan pembicaraan mereka sedikit tertunda karena harus membayar makanan. Setelah itu, keduanya keluar dari kantin, dan dari ekor matanya, Nala dapat melihat banyak mata yang tertuju kepadanya.Nala yakin seratus persen, hari ini akan ada gosip hangat yang menyebar di kalangan para siswa, tentu saja mengenai Bagus yang terang-terangan mengajaknya mengobrol."Aku juga butuh bantuan untuk angkut piala-pialanya sih, banyak soalnya." Gumam Bagus, dan Nala menyadari bahwa itu adalah kode agar Nala mau ikut dengannya. "Enam cabang olahraga, masing-masing ada juara satu dan dua. Total dua belas piala.""Ya kak, aku bantuin bawa pialanya. Tapi apa bisa piala sebanyak itu dibawa naik motor?""Aku pinjam mobilnya pak Novan kok," kata Bagus. "Tapi setelah beli piala, kita balik ke sekolah buat naruh piala-pialanya di ruang OSIS. Habis itu, nanti kami pulangnya bareng aku saja, sudah sore soalnya, takutnya busnya sudah berangkat."Nala hanya menganggukkan kepala. Sisa kata-kata Bagus tidak didengarnya. Bahkan kenyataan bahwa Bagus hanya mengajaknya karena butuh bantuan untuk membawa piala tidak dipermasalahkan oleh Nala. Gadis itu hanya fokus terhadap satu hal.Hari ini Bagus menawarinya untuk pulang bersama.*) Class meeting : umumnya pertandingan olahraga dan seni antar kelas saat dies natalis (hari jadi) sekolah dalam rangka perayaan dan memupuk persahabatan.
Gadis itu muncul dari gelapnya malam. Langkahnya terseok, pergelangan kaki kirinya menekuk dengan tidak wajar. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan raut wajah ketakutan.Dia mengugu, berusaha untuk tidak tersungkur di aspal yang keras. Sorot matanya menatap dengan penuh harap ketika dia melihat sebuah cahaya di kejauhan. Sebuah mobil mendekat, membangkitkan asa pada diri gadis tersebut."Tolong," rintihnya lirih sembari melambaikan kedua tangannya.Mobil tersebut mau berhenti. Seorang pemuda dengan mengenakan seragam sekolah bergegas keluar dari balik kursi kemudi dan mendekati gadis itu."Mbak ... ngapain di luar malam-malam begini?" tanya pemuda itu heran. Lalu pandangan matanya terantuk pada gaun pesta putih yang dikenakan oleh gadis itu.Penuh dengan noda darah."Mbaknya ... terluka?"Si gadis hanya tergugu kecil dan menganggukkan kepala."Ah, baiklah kalau begitu. Tidak perlu khawatir, mbak. Akan saya antarkan ke rumah
Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit, tetapi bus itu belum juga berangkat. AC yang rusak memaksa para penumpang untuk membuka jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menerobos masuk walaupun bercampur dengan aroma tak sedap yang menguar dari sungai di pinggir jalan dan tumpukan sampah pasar. Suara deruman kendaraan, bayi menangis dan percakapan bernada tinggi mewarnai hiruk-pikuk aktivitas pagi itu.Diantara bangku penumpang, seorang gadis mengenakan seragam SMA tampak mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia tampak menatap cemas ke arah kernet yang tak henti-hentinya meneriakkan tujuan bus yang ditumpanginya. Belum ada tanda-tanda bus tersebut akan berangkat, sementara dia harus sampai di sekolah pukul tujuh, tidak lebih. Bila terlambat, maka dia harus berurusan dengan guru BK*).Seumur-umur, gadis itu tidak pernah berurusan dengan guru BK.Perhatian gadis itu teralihkan ketika
Nala mengusap keringat di keningnya. Matahari sudah beranjak ke ufuk barat, memberikan warna lembayung pada langit senja. Ayam-ayam peliharaannya kini sudah terkurung semua di kandang, dan halaman rumah sudah bebas dari daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum sejenak, menatap bangga hasil kerja kerasnya membersihkan rumah.Nala menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang tampak uzur, namun masih kokoh, tidak seperti yang terlihat. Ada beberapa hal yang disyukurinya di dunia ini, termasuk duduk santai di depan rumah, menikmati semilir angin yang menggerakkan dedaunan dengan perlahan. Ia sangat menikmati hidup di desa, jauh dari hingar bingar perkotaan. Walaupun fasilitas yang ada tidak selengkap rumahnya di kota, tapi bagi Nala itu tidak masalah.Terkadang Nala merindukan kedua orang tuanya. Tidak mudah baginya berpisah dengan mereka, apalagi selama ini Nala tidak pernah hidup jauh dari orang tua. Lagipula Nala seorang cewek, yang notabene har
"OMG Girls!"Teriakan itu membahana di kamar Padma yang luas. Begitu melihat Nala dan Dewi, gadis itu langsung bangun dari tidurannya dan menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagi kedua temannya itu duduk di ranjang."Lihat, aku luka-luka gini! Keren kan? Kalau nggak dijemput Nala, mungkin aku sudah mati!"Dewi tampak menahan diri untuk menoyor kepala Padma. "Sembarangan saja kalau ngomong. Lagian ya, setahuku yang biasanya heboh itu yang menjenguk, bukan yang lagi dijenguk.""Oh iya ya." Padma menerbitkan cengiran lebar. "Kalau gitu, ayo diulang adegannya."Dewi memutar bola matanya, sementara Nala tersenyum kecil. Padma yang lucu dan cerewet adalah Padma yang dikenalnya. Ia bersyukur sahabatnya itu bisa lepas dari traumanya dengan begitu cepat.Hari ini Padma tidak masuk sekolah. Salah satu asisten rumah tangganya yang mengantarkan surat. Nala tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh orangtua Padma di dalam surat itu, namun segera saja
Aroma wangi bawang yang digoreng menguar dari dapur rumah Nala. Hari masih pagi, namun gadis itu sudah berperang dengan berbagai bahan dapur, membuat sarapan dan bekal makan siang untuknya dan Ashton. Gadis itu menjepit rambutnya ke atas, tangannya dengan lihai memainkan sudip di dalam penggorengan, sementara di sampingnya sudah tersedia beberapa bahan makanan yang setengah jadi, ada pula yang sudah jadi. Pagi itu sama dinginnya dengan kemarin atau hari-hari sebelumnya. Nala sudah pasti memilih untuk bergelung di bawah selimut, kalau saja dia tidak ingat bahwa dirinya dan Ashton hanya tinggal berdua. Semua pekerjaan sehari-hari harus mereka lakukan bersama—bahkan bisa dibilang Nala-lah yang mengurus semua sendirian. Ashton hanya sekali menunjukkan keahliannya sebagai lelaki, yaitu memperbaiki pompa air yang macet beberapa hari setelah mereka tiba di rumah ini. Nala mengangkat bawang yang telah digoreng dan menuangkannya ke cobek beserta cabai, tomat serta sejumput te