Share

Kios Buah

"OMG Girls!"

Teriakan itu membahana di kamar Padma yang luas. Begitu melihat Nala dan Dewi, gadis itu langsung bangun dari tidurannya dan menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagi kedua temannya itu duduk di ranjang.

"Lihat, aku luka-luka gini! Keren kan? Kalau nggak dijemput Nala, mungkin aku sudah mati!"

Dewi tampak menahan diri untuk menoyor kepala Padma. "Sembarangan saja kalau ngomong. Lagian ya, setahuku yang biasanya heboh itu yang menjenguk, bukan yang lagi dijenguk."

"Oh iya ya." Padma menerbitkan cengiran lebar. "Kalau gitu, ayo diulang adegannya."

Dewi memutar bola matanya, sementara Nala tersenyum kecil. Padma yang lucu dan cerewet adalah Padma yang dikenalnya. Ia bersyukur sahabatnya itu bisa lepas dari traumanya dengan begitu cepat.

Hari ini Padma tidak masuk sekolah. Salah satu asisten rumah tangganya yang mengantarkan surat. Nala tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh orangtua Padma di dalam surat itu, namun segera saja gosip menyebar di SMA Rajasanagara. Beberapa gosip sangat menjengkelkan hingga Nala harus mengingatkan dirinya agar bersabar.

Ada beberapa anak yang bilang Padma mabuk-mabukan, lalu mobilnya berakhir di selokan.

"Sudah makan malam? Obatnya juga sudah diminum?"

Mata Padma beralih pada Nala. Ia tersenyum lebar dan mengulurkan tangan. Nala menyambut uluran tangan itu, menggenggam jemari Padma yang lentik. "Nah, ini dia malaikat penyelamatku," kata Padma dengan sorot mata memuja.

"Kalau kamu sudah lebay kayak gini, aku asumsikan kamu sudah sembuh. Ayo masuk sekolah besok!" Kata Nala sok galak. "Eits, nggak usah banyak alasan!" Lanjutnya ketika Padma hendak membuka mulut untuk membantah.

"Nggak kok, aku nggak alasan. Lagian agak kangen juga nggak ketemu my ayang beb Raden kang mas Ardian Nurcahyadi selama seharian."

Dewi membuat ekspresi muntah, sementara Nala menatapnya dengan horor. "Masih juga mikirin kak Ardian? Sembuhin dulu itu memar-memar di wajah! Yang ada kak Ardian kabur lihat wajahmu kayak gitu."

Padma memegang pipinya. Raut mukanya mendadak muram. "Apa iya? Mukaku memar-memar, jadi nggak cantik lagi! Huaaa!"

Dewi mencengkeram mulut Padma, menghentikan ocehan gadis itu. "La, keluarin bukumu. Kasih dia PR matematika biar mingkem nih anak."

Padma semakin cemberut. "Kenapa harus matematika sih? Biologi saja, ada beberapa topik menarik yang seru buat dipelajari, kan?"

"Reproduksi?" tebak Nala tepat sasaran. Padma hanya cengar-cengir tanpa dosa. "Ada sih topik yang berkaitan dengan bab reproduksi. Genetika. Persilangan kacang ercis biji bulat dengan biji kisut ..."

"Sudah, matematika saja La," keluh Padma, menyerah sebelum Nala menjelaskan lebih dalam mengenai reproduksi kacang-kacangan. "Kalau Bu Ira sudah bahas persilangan, nggak cuma biji ercis yang kusut. Otakku juga ikutan kusut."

Nala hanya tersenyum kecil. Padma memang menyukai mata pelajaran biologi. Menurutnya mata pelajaran itu lebih mudah dibandingkan hitung-hitungan. Tetapi khusus untuk topik genetika, gadis itu sama bingungnya seperti mempelajari rumus-rumus logaritma. Alhasil, dia selalu menggerecoki Nala, merengek meminta sontekan saat ujian.

"Ya sudah, matematika saja ya." Nala merogoh buku dari dalam tasnya.

"Idih, jangan buru-buru dong," Padma merajuk lagi. "Aku ada kejutan nih buat kalian!"

Dia meraih sebuah kotak seukuran bantal bayi yang terbungkus oleh plastik hitam. Dengan antusias dan tergesa-gesa, Padma merobek-robek bungkusnya. Isinya sungguh di luar perkiraan Nala: satu set lightstick dan miniatur personel grup penyanyi laki-laki dari negeri gingseng.

Padma dan Dewi terdiam sejenak, menatap lightstick tersebut dalam-dalam. Tepat pada waktunya, Nala menyumpal kedua telinganya dengan jari, karena kedua sahabatnya itu langsung menjerit-jerit hingga suara serak.

"Ya ampun Padma! Kamu jadi ikut jastip*) kak Elena?! Aku kira kamu bercanda!"

"Ya enggaklah! By the way ini limited edition, nggak dijual disini! Harganya agak mahal tapi ..."

Padma menghentikan kata-katanya sejenak. Dengan satu kali klik, gadis itu menyalakan lightstick yang langsung berpendar dalam warna hijau kebiruan. Sekali lagi, dia dan Dewi saling berpandangan, lalu berteriak-teriak heboh.

"Wi, coba matiin lampunya! Bagus banget pasti!"

Nala menghela napas ketika lampu kamar Padma dipadamkan. Dia yakin kedua temannya itu akan menghabiskan sisa malam mereka dengan rebahan sembari menyanyi lagu dalam bahasa Korea keras-keras.

***

Bus tua itu berhenti di ujung jalan. Nala turun dengan hati-hati, menghindari tanah berair bekas cucian mangkuk penjual mie ayam. Sejenak dia memeriksa kantung seragamnya, memastikan uang ongkos sudah diberikannya kepada kernet bus, sebelum mengalihkan perhatian pada toko buah-buahan di hadapannya.

"Silakan, mbak." Seorang pemuda muncul dari balik tumpukan apel dan jeruk, dengan ramah menawarkan dagangannya pada Nala. "Mau cari buah apa?"

"Mangga manalaginya ada?"

Pemuda itu tampak kecewa. "Yah, mangga manalaginya habis mbak. Tapi saya punya mangga podang dan mangga apel. Barangkali mbaknya mau nyobain, saya bisa kasih tester."

"Memang bisa gitu, mas, dicobain?" tanya Nala tertarik.

Pemuda penjaga kios itu mengangguk. "Boleh kok mbak. Khusus mangga doang tapi, soalnya saya jualan beberapa jenis jadi bisa dicobain dulu. Dijamin enak deh!" katanya bersemangat. "Sebentar ya mbak, saya ambilkan dulu pisaunya."

Pemuda itu kembali menghilang di balik tumpukan buah-buahan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nala. Gadis itu mulai mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, memeriksa detail tumpukan buah, lekukan kayu serta lantai semen rusak di pelataran depan kios.

Nala bukannya tanpa alasan memutuskan untuk mampir ke kios ini sepulang dari menjenguk Padma. Kios ini adalah tempat kejadian perkara, saat seorang penyusup masuk ke dalam mobil Padma dan melukainya. Walaupun penyusup tersebut belum tentu seorang Kala, namun Nala harus memastikannya. Kredibilitasnya sebagai seorang Bareksa akan tercemar bila dia tidak melakukan apa-apa, terutama di mata Ashton.

Sejak kapan Nala memedulikan pendapat Ashton?

"Ini mbak, silakan dicicipi." Pemuda penjaga kios muncul lagi, kali ini dengan piring kecil di tangannya. Potongan-potongan mangga yang ranum dan segar menerbitkan air liur Nala. Dia mengambil satu potong besar dengan menggunakan garpu dan memakannya.

"Wah..." puji Nala dengan mata berbinar-binar. "Beneran manis, mas. Ini yang apa? Mangga podang atau mangga apel?"

"Yang barusan mbaknya cicipin itu mangga podang, mbak. Memang manis banget kalau sudah matang, terus teksturnya juga berair dan agak berserat. Kalau mangga apel karakteristiknya nggak terlalu berair, nggak terlalu manis juga, cocok kalau mbaknya suka yang pas-pasan."

Nala mengangkat alisnya, tersenyum kecil dengan istilah yang dipakai oleh si penjual buah. Entah mengapa tiba-tiba pikirannya melayang kepada Bagus. Tempo hari Padma mengatakan kalau Bagus gantengnya biasa saja, tidak yang spektakuler. Dari segi akademik pun, Nala juga tahu nilai-nilai Bagus tidak terlalu buruk, namun kakak kelasnya itu juga bukan siswa yang langganan masuk sepuluh besar. Bukan berarti Nala memata-matai segala hal tentang Bagus, kebetulan saja dia melihat-lihat daftar nilai ujian akhir semester kemarin yang masih ditempel di majalah dinding sekolah.

Keingintahuan Nala masih dalam batas wajar.

Nala mencomot satu potong mangga dari sisi piring yang lain. Sejenak dia merasakan campuran antara manis dan asam. Pemuda penjual buah itu benar, mangga apel tidak terlalu manis, namun meninggalkan rasa yang khas di lidahnya.

"Kayaknya aku ambil mangga apel saja deh, mas." Nala menunjuk potongan mangga yang baru saja dirasakannya. "Saya nggak terlalu suka yang manis banget soalnya."

Pemuda penjual buah itu tampak agak bingung. Tentu saja, karena awalnya Nala memperlihatkan minat yang lumayan besar pada mangga podang. Tetapi, dia tidak terlalu banyak berkomentar. "Oke deh mbak. Mau ambil berapa kilo nih mbaknya?"

"Satu kilo saja mas."

"Siap mbak." Pemuda itu dengan sigap menimbang mangga-mangga apel. Tampaknya dia penjual yang jujur, karena memilihkan mangga yang terlihat bagus untuk Nala. Sementara itu, radar cewek Nala tiba-tiba bekerja. Tanpa diminta, matanya menatap dengan detail figur pemuda penjual buah yang menurutnya lumayan juga.

"Ehem," Nala berdeham kecil, berusaha mengalihkan perhatian dari lengan kokoh si pemuda yang sibuk memindahkan mangga ke kantung plastik. "Biasanya tutup jam berapa, mas?"

"Oh, saya buka dua puluh empat jam mbak. Gantian jaga sama kakak saya. Pengalaman saya, kalau malam ada saja orang-orang lewat yang beli buah, walaupun cuma pisang satu sisir atau anggur seperempat kilo."

"Tapi, masnya nggak takut kalau lagi jaga malam? Misal dipalak preman atau apa gitu?"

Pemuda itu tertawa. "Enggaklah mbak. Saya sudah tiga tahun ikut jualan, nggak ada kejadian aneh-aneh, tuh." Dia menyerahkan mangga yang sudah ditimbang kepada Nala. "Totalnya dua puluh tujuh ribu, mbak. Tapi saya diskon dua ribu deh buat mbaknya, biar pas."

"Wah, terima kasih banyak, mas." Nala membuka dompetnya dan memberikan satu lembar pecahan dua puluh ribu dan lima ribu. "Oh ya mas, kemarin ada cewek pakai mobil beli buah disini sekitar tengah malam. Apa masnya lagi jaga saat itu?"

Gerakan tangan si pemuda yang memasukkan uang Nala ke dalam dompet terhenti sejenak. "Tengah malam, mbak? Wah, kalau tengah malam bukan saya yang jaga. Saya cuma jaga dari jam lima sore sampai jam sepuluh malam." Dia meraih ponsel dan menyalakannya. "Ada apa memangnya, mbak?"

"Oh, enggak mas. Cuma mau tanya-tanya kalau saat masnya melihat sesuatu yang mencurigakan. Cewek itu teman saya, dan kebetulan mengalami sedikit musibah. Katanya habis beli buah disini, jadi saya mencari sedikit informasi buat bantu penyelidikan polisi."

Nala berbohong. Pada kenyataannya Padma tidak mau kasus penyerangannya dilaporkan ke polisi. Gadis itu bersikeras tidak mengalami kerugian apapun baik secara fisik, psikis maupun material. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa melaporkan masalah ini kepada polisi akan membuat hidupnya semakin rumit karena harus bolak-balik kantor polisi. Menghabiskan banyak waktu dan biaya.

"Tapi musibahnya bukan karena buah kami kan mbak?" tanya pemuda itu cemas. "Teman mbaknya keracunan atau gimana?"

"Oh enggak mas, bukan karena buah," jawab Nala cepat-cepat, menenangkan si pemuda. "Anu, teman saya jadi korban pembegalan."

Sang pemuda mengerutkan kening. "Begal? Di dekat sini mbak?"

"Iya mas."

Pemuda itu melongokkan kepala keluar kiosnya, memandang ke kanan dan kiri jalan yang sudah sepi. Hanya penjual mie ayam dan beberapa tukang becak mengetem di bawah rimbunnya pohon kersen. "Tapi kalau pembegalannya di dekat sini, kakak saya sama sekali nggak cerita tuh mbak. Lagipula kejadian seperti itu pasti jadi topik pembicaraan abang-abang tukang becak. Mereka juga nggak cerita padahal saya habis nongkrong disana, beli mie ayam."

Nala mengangguk-anggukkan kepala. "Oke deh mas. Terima kasih atas informasinya."

"Sama-sama mbak. Atau mbaknya mau nunggu giliran jaga kakak saya? Biar mbaknya bisa tanya-tanya lebih jelas."

"Nggak deh mas," tolak Nala. "Lagipula ini juga sudah malam, saya harus segera pulang."

Si pemuda tersenyum ramah. "Siap mbak, lain kali kalau lagi pengen buah beli disini ya!"

Nala mengacungkan jempolnya. Gadis itu menenteng tas plastik buahnya dan berjalan mendekati abang-abang tukang becak. Saat ini sudah pukul sembilan malam lebih sepuluh menit. Jalanan sudah sepi, tidak ada kendaraan umum yang lewat. Dia bisa saja meminta bantuan Ashton untuk menjemputnya, tetapi Nala tidak yakin Ashton masih terjaga. Lebih baik tidak mengganggu sepupunya itu tidur, atau Ashton akan balas dendam.

Lebih baik kehilangan uang beberapa puluh ribu rupiah daripada harus berhadapan dengan Ashton dalam mode badmoodnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status