Aroma wangi bawang yang digoreng menguar dari dapur rumah Nala. Hari masih pagi, namun gadis itu sudah berperang dengan berbagai bahan dapur, membuat sarapan dan bekal makan siang untuknya dan Ashton. Gadis itu menjepit rambutnya ke atas, tangannya dengan lihai memainkan sudip di dalam penggorengan, sementara di sampingnya sudah tersedia beberapa bahan makanan yang setengah jadi, ada pula yang sudah jadi.
Pagi itu sama dinginnya dengan kemarin atau hari-hari sebelumnya. Nala sudah pasti memilih untuk bergelung di bawah selimut, kalau saja dia tidak ingat bahwa dirinya dan Ashton hanya tinggal berdua. Semua pekerjaan sehari-hari harus mereka lakukan bersama—bahkan bisa dibilang Nala-lah yang mengurus semua sendirian. Ashton hanya sekali menunjukkan keahliannya sebagai lelaki, yaitu memperbaiki pompa air yang macet beberapa hari setelah mereka tiba di rumah ini.
Nala mengangkat bawang yang telah digoreng dan menuangkannya ke cobek beserta cabai, tomat serta sejumput terasi. Menu hari ini adalah ayam goreng bumbu kuning. Nala menambahkan sambal serta tahu dan tempe sebagai pelengkap. Untuk sayurnya, Nala sudah menyiapkan lalapan daun kemangi, kubis, kacang panjang dan mentimun.
"Hm, baunya harum." Seseorang berucap dari belakang Nala. Gadis itu tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa Ashton-lah yang baru saja bersuara. Dengan kurang ajar, pemuda itu mencomot sepotong tempe dan mencolekkannya ke dalam sambal Nala yang baru saja jadi.
"Eh ... eh, kok dimakan! Itu buat sarapan!" protes Nala sambil memukul lengan Ashton. Ashton yang sejatinya baru bangun tidur langsung tersedak dan terbatuk-batuk karena kerongkongannya belum siap menerima rasa pedas dari sambal. Nala mendorong badan Ashton menjauh, menuju gentong kecil tempat mereka menyimpan air minum.
"La. Kamu sudah pengen nikah?" tanya Ashton setelah menghabiskan air satu gelas penuh. "Pantas saja garam di rumah cepat habis."
"Maksudmu?" Nala yang sebelumnya kembali fokus membereskan meja dapur langsung membalikkan badan. Ashton meringis kecil melihat Nala yang siap berubah menjadi singa betina dengan sudip terangkat di tangannya.
"Enggak kok La. Maksudku, sambalmu enak, cuma agak keasinan. Tapi bisa dimakan ... ampun, La!"
Nala mungkin takut pada Ashton bila pemuda itu sedang marah atau saat dia melatih Nala untuk menjadi seorang Bareksa sejati. Namun, dapur adalah wilayah Nala. Mutlak. Tidak boleh seorangpun yang memiliki kedudukan diatas Nala, bahkan Ashton sekalipun. Dapur Nala, suka-suka Nala, termasuk bebas menggebuki kepala Ashton dengan sudip di tangannya.
"Kalau keasinan nggak usah dikomentari! Nggak usah dimakan kan beres, beli saja makanan di warung! Nggak menghargai banget sih!"
Ashton berlari ke luar dapur sambil mengaduh-aduh, beberapa pukulan Nala tepat di sasaran walaupun dia sudah melindungi kepala dengan kedua lengannya. Nala menghentakkan kakinya dengan sebal, Ashton membuat paginya berubah menjadi menjengkelkan.
Kemarahan Nala berlangsung hingga saat sarapan. Dia makan dalam diam, tidak menghiraukan Ashton yang mengambil nasi dan lauk dengan segan.
"Gimana teman kamu yang diserang kemarin?" tanya Ashton berusaha mencairkan suasana.
Nala hanya mengangkat bahu dan meneruskan makannya.
"Apa ada tanda-tanda penyerangan itu dilakukan oleh Kala?" tanya Ashton lagi.
"Belum banyak bukti." Nala membanting sendoknya ke piring, membuat Ashton berjingkat. "Nanti akan kuberitahu bila sudah ada informasi terbaru yang kudapatkan."
"Nala. Dengerin aku."
Nala membeku. Dia ingin menghembuskan napas kesal, namun ini bukan saatnya untuk merajuk karena sambalnya diejek keasinan. Ashton kembali berubah ke mode seriusnya.
"Kamu boleh menyelidiki kasus ini, tetapi hati-hati. Jangan terlalu ikut campur. Bila memang kasus ini disebabkan oleh Kala, kamu tidak perlu menghadapi mereka sendirian. Laporlah pada Pamong. Tetapi kalau ini disebabkan oleh manusia, maka biarkan pihak berwajib yang mengambil alih. Paham?"
Pamong adalah sebutan untuk dewan tertinggi ras Bareksa. Beranggotakan lima orang yang sakti mandraguna, Pamong bertugas untuk mengatur seluruh kegiatan Bareksa di daerah-daerah. Termasuk bila ada aktivitas Kala dalam jumlah besar, ataupun serangan dari Kala yang memiliki tingkat ilmu tinggi, maka Pamong akan turun tangan untuk membantu. Nala sendiri hanya satu kali bertemu dengan salah seorang Pamong, yang merupakan teman ayahnya.
"Aku mengerti," jawab Nala dengan suara yang dibuat sehalus mungkin.
Ashton hanya mengangguk singkat.
Sebelum berangkat sekolah, Nala memastikan meja makan dalam keadaan bersih. Seperti biasa, Ashton meninggalkan piring kotor begitu saja dan langsung berangkat kuliah. Nala mengelus dada, berusaha untuk memperbesar kapasitas rasa sabarnya atas kelakuan sepupunya tersebut.
Nala sudah mulai berpikir bahwa keadaan tidak bisa lebih buruk lagi. Namun ternyata dia salah. Ketika dia sudah duduk manis di kursi penumpang bus dan jarum arlojinya sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, bus tua itu belum juga berjalan. Kalau begini ceritanya, bukan tidak mungkin dia harus menghadap Bu Hermawan lagi hari ini.
Saat Nala menatap sekelilingnya dengan resah, pandangannya terantuk pada seorang pemuda dengan motor retro hitam, berhenti di bawah jendela bus. Pemuda itu melepaskan helmnya, matanya mencari-cari sejenak sebelum bertemu pandang dengan Nala.
"Kak Bagus?" Nala mengerutkan kening
Bagus tersenyum dan melambaikan tangan, memberi isyarat agar Nala turun. Tanpa pikir panjang, Nala menyambar tasnya dan turun dari bus untuk menghampiri Bagus. Pemuda itu tersenyum kepada Nala, membuat Nala merasa matahari seperti ada dua.
"Kak Bagus?"
"Ikut aku saja, La." Suara Bagus sangat jernih bagai gemericik air di telinga Nala. "Sudah jam segini, kalau kamu naik bus nanti terlambat lagi."
Nala seperti tersihir, menerima begitu saja helm yang disodorkan oleh Bagus. Detik berikutnya, Nala sudah berada di atas motor, meluncur melalui jalanan yang dikenalnya, dengan perasaan yang berbunga-bunga
***
"Nala, Nala, Nala." Padma yang baru saja masuk sekolah langsung menatap Nala seolah dirinya adalah anak kecil yang sangat bandel. Jari telunjuknya bergoyang-goyang di depan hidung Nala. "Mulai berani main api ya kamu."
"Caramu bicara kayak ibu tiri saja," jawab Nala, tidak terlalu ambil pusing dengan Padma yang dari pagi mengoceh tentang berbagai hal. Sementara itu, Dewi di sampingnya malah asyik menonton drama Korea dari ponselnya.
"Sembarangan, cantik gini dikatain ibu tiri. Aku ini ibu peri tahu." Padma mengibaskan rambut panjangnya. Dirapikannya bando kain yang bertengger di atas kepalanya. "Sekarang jelasin ke kita-kita. Dua hari yang lalu kamu satu bus dengan kak Bagus. Hari ini kamu berangkat dibonceng kak Bagus. Cepet amat sih, La? Aduh ... jadi cewek itu yang ada jaimnya sedikit kenapa sih? Aku tahu kamu suka kak Bagus, tapi tarik ulur dikit dong biar dia penasaran!"
Nala memutar bola matanya dengan malas. Sudah dia duga, datang ke sekolah dengan dibonceng Bagus akan menjadi gosip besar di SMA Rajasanagara. Entah mengapa seluruh siswa sangat antusias mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan anggota OSIS. Coba kalau Bagus bukan anggota OSIS, Nala pikir tidak akan ada satupun yang peduli.
"Bukan begitu, Pad. Aku itu sudah di dalam bus. Waktu aku lihat ke bawah, ada kak Bagus menghentikan motornya, lalu ngasi isyarat agar aku turun. Dia bilang kalau aku nunggu bus berangkat, bisa-bisa aku telat lagi."
Padma membekap mulutnya. "Astaga, dia perhatian juga ya, nggak mau kamu telat! Romantis banget deh!" Gadis itu menggerakkan seluruh tubuhnya dan berakhir dengan menyandarkan kepala ke lengan Nala. "Lalu pas di jalan kalian ngobrol apa saja?"
"Kepo."
"Ayolah, La! Ceritakan ke hamba-hambamu yang lagi jomlo ini!" Padma merajuk sambil mengguncang-guncangkan lengan Nala.
Nala tersenyum kecut. Pada kenyataannya dia tidak berbicara dengan Bagus selama perjalanan tadi. Mungkin dia yang terlalu bahagia sampai tidak bisa berkata-kata, atau dia malu untuk membuka pembicaraan. Takut topik yang diangkat olehnya tidak menarik dan malah terlihat bodoh di mata Bagus.
"Kami nggak mengobrol tadi." Nala akhirnya mengakui. Padma yang sebelumnya bergelayut manja di lengan Nala sontak menegakkan badan.
"Apa? Kalian nggak ngobrol?" serunya kaget, membuat beberapa orang di kelas mereka menoleh. Nala membekap mulut Padma dan melambai ke anak-anak lain, meminta maaf. Teman-teman lain hanya bisa nyengir maklum dan kembali ke aktivitas masing-masing.
"Ya sudah sih, nggak perlu teriak-teriak begitu. Oke aku bodoh karena menyiakan kesempatan emas ini. Itu kan yang mau kamu bilang?" kata Nala, cemberut.
"Ya ampun sayang, itu bukan salahmu!" bisik Padma serius. "Harusnya si Bagus yang ngajak kamu ngobrol. Gimana sih! Kan dia yang minta kamu nebeng sama dia. Giliran kamu mau malah dianggurin. Huh! Cowok macam apaan tuh!"
Nala memijit kepalanya, pusing memikirkan cara untuk menghentikan ocehan Padma yang tidak berfaedah. "Ya kan dia cuma nawarin nebeng, Pad. Aku juga bebas nolak kok kalau misal nggak mau bareng dia. Jadi nggak ada kewajiban buat kak Bagus ngawalin pembicaraan sama aku."
Padma bersedekap, pura-pura marah. "Aku tahu kamu bucin sama kak Bagus, La, tapi ya jangan kebangetan juga! Gimanapun, kak Bagus yang salah. Titik. Nggak bisa diganggu gugat."
"Oke, kak Bagus yang salah. Puas sekarang? Coba diem bentar deh, kayak si Dewi. Anteng, cantik, walaupun halunya sama cowok-cowok Korea."
Keduanya menoleh ke bangku tempat Dewi duduk. Ternyata gadis itu sudah tidak lagi memerhatikan drama di ponselnya. Kepalanya tergeletak diatas meja. Dengkur halus lolos dari bibirnya yang terbuka.
"Elah, malah tidur dianya. Pantes nggak ada suaranya dari tadi."
Hai! Semoga suka dengan bab barunya ya! Kalau suka, bisa dong vote, komen dan menambahkan buku ini ke daftar bacaan teman-teman :) Kecap manis, Albastomii
Sampai makan siang pun, Padma masing mengomel panjang-pendek mengenai Bagus yang tidak mengajak Nala mengobrol.Kantin sudah cukup penuh walaupun bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi. Dewi bergerak secepat kilat, berlari bak orang kesetanan keluar kelas untuk berebut meja yang paling strategis di kantin. Nala dan Padma menyusul di belakangnya. Sebenarnya Nala membawa bekal ayam goreng bumbu kuning yang dimasaknya tadi pagi, namun Padma memaksanya agar ikut makan di kantin.Dewi memesan bakso, sementara Padma makan gado-gado. Namun akibat Padma yang terlampau berisik mempermasalahkan kisah tragis Nala, kedua temannya jadi tidak terlalu berminat dengan makanan mereka. Nala hanya menyuwir ayam gorengnya tanpa tujuan, sementara Dewi bermain-main dengan kuah baksonya."Nggak habis pikir. Cowok macam apaan, cewek secantik Nala dianggurin. Nala lho ini. Kalau modelan Dewi sih, aku nggak banyak protes."Dewi menatap Padma dengan galak. "Jadi maksudmu, aku nggak can
Gadis itu muncul dari gelapnya malam. Langkahnya terseok, pergelangan kaki kirinya menekuk dengan tidak wajar. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan raut wajah ketakutan.Dia mengugu, berusaha untuk tidak tersungkur di aspal yang keras. Sorot matanya menatap dengan penuh harap ketika dia melihat sebuah cahaya di kejauhan. Sebuah mobil mendekat, membangkitkan asa pada diri gadis tersebut."Tolong," rintihnya lirih sembari melambaikan kedua tangannya.Mobil tersebut mau berhenti. Seorang pemuda dengan mengenakan seragam sekolah bergegas keluar dari balik kursi kemudi dan mendekati gadis itu."Mbak ... ngapain di luar malam-malam begini?" tanya pemuda itu heran. Lalu pandangan matanya terantuk pada gaun pesta putih yang dikenakan oleh gadis itu.Penuh dengan noda darah."Mbaknya ... terluka?"Si gadis hanya tergugu kecil dan menganggukkan kepala."Ah, baiklah kalau begitu. Tidak perlu khawatir, mbak. Akan saya antarkan ke rumah
Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit, tetapi bus itu belum juga berangkat. AC yang rusak memaksa para penumpang untuk membuka jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menerobos masuk walaupun bercampur dengan aroma tak sedap yang menguar dari sungai di pinggir jalan dan tumpukan sampah pasar. Suara deruman kendaraan, bayi menangis dan percakapan bernada tinggi mewarnai hiruk-pikuk aktivitas pagi itu.Diantara bangku penumpang, seorang gadis mengenakan seragam SMA tampak mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia tampak menatap cemas ke arah kernet yang tak henti-hentinya meneriakkan tujuan bus yang ditumpanginya. Belum ada tanda-tanda bus tersebut akan berangkat, sementara dia harus sampai di sekolah pukul tujuh, tidak lebih. Bila terlambat, maka dia harus berurusan dengan guru BK*).Seumur-umur, gadis itu tidak pernah berurusan dengan guru BK.Perhatian gadis itu teralihkan ketika
Nala mengusap keringat di keningnya. Matahari sudah beranjak ke ufuk barat, memberikan warna lembayung pada langit senja. Ayam-ayam peliharaannya kini sudah terkurung semua di kandang, dan halaman rumah sudah bebas dari daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum sejenak, menatap bangga hasil kerja kerasnya membersihkan rumah.Nala menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang tampak uzur, namun masih kokoh, tidak seperti yang terlihat. Ada beberapa hal yang disyukurinya di dunia ini, termasuk duduk santai di depan rumah, menikmati semilir angin yang menggerakkan dedaunan dengan perlahan. Ia sangat menikmati hidup di desa, jauh dari hingar bingar perkotaan. Walaupun fasilitas yang ada tidak selengkap rumahnya di kota, tapi bagi Nala itu tidak masalah.Terkadang Nala merindukan kedua orang tuanya. Tidak mudah baginya berpisah dengan mereka, apalagi selama ini Nala tidak pernah hidup jauh dari orang tua. Lagipula Nala seorang cewek, yang notabene har
"OMG Girls!"Teriakan itu membahana di kamar Padma yang luas. Begitu melihat Nala dan Dewi, gadis itu langsung bangun dari tidurannya dan menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagi kedua temannya itu duduk di ranjang."Lihat, aku luka-luka gini! Keren kan? Kalau nggak dijemput Nala, mungkin aku sudah mati!"Dewi tampak menahan diri untuk menoyor kepala Padma. "Sembarangan saja kalau ngomong. Lagian ya, setahuku yang biasanya heboh itu yang menjenguk, bukan yang lagi dijenguk.""Oh iya ya." Padma menerbitkan cengiran lebar. "Kalau gitu, ayo diulang adegannya."Dewi memutar bola matanya, sementara Nala tersenyum kecil. Padma yang lucu dan cerewet adalah Padma yang dikenalnya. Ia bersyukur sahabatnya itu bisa lepas dari traumanya dengan begitu cepat.Hari ini Padma tidak masuk sekolah. Salah satu asisten rumah tangganya yang mengantarkan surat. Nala tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh orangtua Padma di dalam surat itu, namun segera saja