Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit, tetapi bus itu belum juga berangkat. AC yang rusak memaksa para penumpang untuk membuka jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menerobos masuk walaupun bercampur dengan aroma tak sedap yang menguar dari sungai di pinggir jalan dan tumpukan sampah pasar. Suara deruman kendaraan, bayi menangis dan percakapan bernada tinggi mewarnai hiruk-pikuk aktivitas pagi itu.
Diantara bangku penumpang, seorang gadis mengenakan seragam SMA tampak mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia tampak menatap cemas ke arah kernet yang tak henti-hentinya meneriakkan tujuan bus yang ditumpanginya. Belum ada tanda-tanda bus tersebut akan berangkat, sementara dia harus sampai di sekolah pukul tujuh, tidak lebih. Bila terlambat, maka dia harus berurusan dengan guru BK*).
Seumur-umur, gadis itu tidak pernah berurusan dengan guru BK.
Perhatian gadis itu teralihkan ketika seorang pemuda terburu-buru masuk ke dalam bus. Menilik dari seragam yang dikenakannya, sudah pasti pemuda tersebut satu sekolah dengan si gadis. Pemuda itu melepas tas dari bahunya, seragam SMA di bagian punggungnya basah oleh keringat. Dia duduk di satu-satunya kursi kosong di belakang sopir, sehingga kini semua kursi sudah terisi. Sejurus kemudian, bus pun mulai berangkat menyusuri jalan aspal yang tidak rata.
Pada fase awal perjalanan, mata penumpang bus dimanjakan oleh bentangan sawah di sisi kanan dan kiri jalan. Deretan pegunungan nampak samar di kejauhan, gagah menantang birunya angkasa. Pengendara motor yang didominasi oleh orang-orang yang baru pulang dari pasar saling berlomba mendahului bus yang bergerak lambat. Samar-samar terdengar pula suara sapaan nan ramah dari beberapa orang kepada sang sopir bus.
Setelah menyusuri jalan pedesaan sepanjang beberapa kilometer, bus tersebut mulai memasuki jalan utama menuju kota. Pemandangan pun berubah menjadi rumah-rumah dan toko yang saling bersisian. Para pengguna jalan pun lebih variasi, mulai dari pengendara motor, mobil, bahkan beberapa truk barang. Sebuah pemandangan yang kontras bila dibandingkan dengan saat bus tersebut melintasi jalanan pedesaan.
Bagi sang gadis SMA, pemandangan itu sudah biasa. Sudah hampir empat bulan semenjak dia diterima menjadi siswi kelas sepuluh di SMA Rajasanagara, dia selalu melewati jalanan yang sama, baik pergi maupun pulang. Bahkan gadis itu juga selalu menaiki bus yang sama, karena bus itulah satu-satunya kendaraan umum yang memiliki trayek dari desa ke sekolahnya yang berjarak hampir dua puluh kilometer.
Yang tidak biasa, ada siswa lain yang juga naik bus tersebut, dan kebetulan si gadis mengenalnya. Bukan hanya mengenal, tetapi si gadis juga menyukainya.
Caraka Bagus Setyadi. Wakil Ketua I OSIS SMA Rajasanagara.
Sebuah pertemuan yang klise. Bagus menjadi ketua kegiatan orientasi peserta didik baru. Salah satu games yang diadakan pada kegiatan tersebut adalah adu banyak koleksi tandatangan para anggota OSIS. Awalnya para siswa baru menganggap bahwa tandatangan Bagus yang paling sulit didapat, namun nyatanya tidak. Dengan senyum ramah, pemuda itu menandatangani semua buku yang disodorkan oleh para murid baru ke hadapannya.
Hal kecil itu, saat Bagus menganggukkan kepala sembari menerbitkan senyum manis ketika si gadis meminta tandatangannya, membuat gadis itu jatuh hati kepadanya.
Setelah melewati sebuah jembatan, sang kernet berteriak mengingatkan para penumpang yang hendak turun di sebuah halte. Halte tersebut berjarak lima puluh meter dari SMA Rajasanagara, oleh karena itu dengan tergesa si gadis beranjak dari duduknya dan maju ke pintu depan bus. Bila dilihat dari kaca depan bus, tampak bahwa gerbang sekolah sudah tertutup. Gadis itu mengerang pelan, sudah pasti dia akan mampir dulu ke ruang guru BK.
Begitu bus berhenti, gadis itu segera melompat turun dan berlari ke gerbang sekolah. Seorang lelaki berseragam satpam duduk di dalam pos jaga, sedang mengisi sesuatu yang tampak seperti teka-teki silang ditemani secangkir kopi hitam.
"Pak Dito!" gadis itu berteriak memanggil nama si satpam.
Satpam tersebut menoleh. Ketika dilihatnya seorang siswi berdiri di luar gerbang sekolah, dia melirik sejenak pada jam dinding, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Diraihnya sebuah buku dan bolpoin, lalu dia beranjak menghampiri si gadis.
"Jam tujuh lebih sepuluh. Kamu terlambat sepuluh menit," ujar si satpam. "Nama?"
"Nala Prameswari Ardana," jawab si gadis dengan lesu.
"Kelas?"
Belum sempat Nala menjawab, Bagus menyusul dengan berlari-lari kecil. Saking paniknya ketika tahu dia terlambat, Nala sampai lupa bahwa ada Bagus di bus yang sama dengannya. Pemuda itu mengatur napasnya sejenak sebelum berucap. "Maaf pak Dito, saya juga terlambat."
"Wah, mas Bagus tumben terlambat? Biasanya paling rajin berangkat pagi?" heran si satpam.
Bagus menganggukkan kepala. "Motor saya mogok di tengah jalan Pak. Saya harus naik bus dan kebetulan juga sudah agak siang."
"Oh, begitu. Tetap saya catat dulu ya mas Bagus. Nanti saya kasih keterangan motor mogok," jawab si satpam.
"Ya Pak Dito," pemuda itu mengangguk, lalu menoleh kepada Nala. "Kelas sepuluh ya?" tanyanya.
"Iya kak," jawab Nala singkat, berusaha tidak menatap balik ke dalam mata Bagus.
"Kamu lupa bayar ongkos bus," lanjutnya, membuat Nala terbelalak. Nala segera memeriksa saku seragamnya dan menarik selembar uang lima ribuan yang seharusnya dia berikan pada kernet bus.
"Mampus," keluh Nala. Dia menatap malu pada Bagus yang tertawa kecil. "Tenang, udah aku bayar sekalian kok. Kamu tadi diteriakin kernetnya tapi nggak denger," kata Bagus menenangkan Nala.
"Mungkin mbaknya terlalu panik mau ketemu Bu Hermawan, mas," Pak Dito menimpali, ikut tertawa mendengar kekonyolan Nala.
Bukannya lega, Nala malah semakin tidak enak hati. Dia menyodorkan uangnya kepada Bagus. "Ya udah, ini aku gantiin uang kakak."
"Itu gampang," jawab Bagus ringan. "Nanti aja. Sekarang kita fokus nyiapin hati buat ngadep ke Bu Hermawan."
Nama guru BK mereka adalah Bu Hermawan. Nama beliau bukan diambil dari nama suaminya, melainkan nama aslinya. Postur yang tinggi besar dengan tatapan tajam dan suara yang galak sering membuat para siswa keder bila berhadapan dengannya. Apalagi bila ada murid yang melakukan kesalahan, Bu Hermawan tidak segan-segan memberikan hukuman yang bervariasi.
Nala dengar, pernah ada kakak kelas yang dihukum membantu pak Bon menyapu halaman sekolah selama sebulan karena ketahuan menyontek saat ulangan harian. Kedengarannya tidak terlalu berat, namun lain cerita bagi mereka yang tahu seberapa luas halaman SMA Rajasanagara. Lagipula, pak Bon mulai menyapu halaman sekitar pukul setengah enam pagi, sehingga mau tidak mau dia harus berangkat lebih awal agar bisa menjalankan tugasnya.
Mengerikan.
"Nala Prameswari Ardana. Kelas sepuluh-satu," suara Bu Hermawan bagaikan lonceng kematian di telinga Nala. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. "Caraka Bagus Setyadi. Kelas dua belas IPA dua. Sama-sama terlambat sepuluh menit."
Baik Nala maupun Bagus tidak menjawab perkataan Bu Hermawan. Guru itu duduk di sisi lain meja kerjanya. Kacamata baca yang bertengger di pangkal hidungnya melorot ketika ia membaca tiket pelanggaran disiplin yang diserahkan pak Dito kepadanya.
"Alasan terlambat, motor mogok. Benar begitu, Bagus?" tanya Bu Hermawan.
Bagus berdeham kecil. "Benar Bu. Motor saya mogok di daerah pasar desa. Saya titipkan motor saya ke bengkel dulu, lalu jalan kaki ke halte dekat pasar. Kebetulan ada bus yang belum berangkat."
"Kamu dan Nala barengan berangkatnya?"
"Tidak, Bu," Nala dan Bagus menjawab bersamaan. Keduanya saling pandang sejenak, sebelum Nala yang grogi mengalihkan pandangan dan membiarkan Bagus yang menjelaskan. "Kami tidak berangkat bareng dari rumah, tapi kami naik bus yang sama. Nala naik lebih dulu daripada saya."
"Lha iya, itu maksud saya," jawab Bu Hermawan, membuat Bagus menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kebingungan. Entah hanya perasaan saja atau Nala salah lihat, ia menangkap senyum sekilas di bibir Bu Hermawan. "Mengapa kalian tidak berangkat lebih pagi?"
"Saya berangkat sekitar jam enam kurang beberapa menit Bu. Biasanya saya sampai di sekolah sekitar setengah tujuh," lagi-lagi Nala membiarkan Bagus dulu yang menjawab. Bu Hermawan mengangguk-anggukkan kepala, tetapi tetap menatap tajam pada Bagus.
"Kamu mengebut?" cecarnya.
"Eh ... tidak Bu. Saya naik motornya normal kok," Bagus yang tidak menduga pertanyaan itu tampak agak gugup.
"Kalau kamu?" kini Bu Hermawan mengalihkan perhatian pada Nala.
"Jadi begini Bu. Bus tersebut biasanya jalan ketika semua kursi penumpang sudah terisi. Sama seperti kak Bagus, saya berusaha berangkat pagi, namun karena naik bus, jadi saya nggak bisa berbuat apa-apa kalau busnya belum berangkat," jawab Nala.
Bu Hermawan mengangguk-anggukan kepala. "Alasan kalian bisa saya terima. Tetapi untuk kedepannya, kalian harus punya backup plan apabila hal ini terjadi lagi," ujar Bu Hermawan sambil menuliskan sesuatu di kertas. Nala dan Bagus hanya bisa menunggu keputusan apa yang dijatuhkan Bu Hermawan atas pelanggaran yang mereka lakukan. Setelah beberapa menit, baru Bu Hermawan menyerahkan tiket itu ke keduanya.
"Walaupun alasan kalian bisa saya terima, tetapi bukan berarti kalian lepas dari hukuman. Hukumannya ringan saja, kalian akan menghadap Pak Novan dan membantu beliau mengurus persiapan Dies Natalis bulan depan."
Nala mengerutkan kening. Bukannya dia tidak memahami tugas yang diberikan, tetapi bukankah mengurus Dies Natalis adalah tugas anak-anak OSIS? Lalu untuk apalagi dia—seorang siswi kelas sepuluh—ikut campur dalam kegiatan sebesar itu? Bukannya nanti persiapan akan lebih berantakan bila ada orang yang tidak berpengalaman masuk ke dalam tim?
"Tidak buruk," kata Bagus ringan ketika keduanya meninggalkan ruang BK. "Kukira aku harus nyapu semua kelas selama sebulan."
Nala tidak menjawab. Setelah rasa takutnya akibat terlambat hilang, kini jantungnya berdebar karena hal lain. Dia sedang berjalan dengan Bagus, hanya beberapa langkah darinya. Bahkan Nala bisa mencium wangi segar parfum yang dipakai Bagus.
Saking gugupnya, Nala tidak menjawab ketika Bagus pamit ke arah lain, menuju ke kelasnya.
***
"Eh, La, seriusan tadi satu bus sama kak Bagus, terus telat bareng?"
Bel tanda istirahat pertama sudah berbunyi. Sebagian isi kelas sudah kabur ke kantin, memperebutkan tempat terdepan untuk memesan makanan favorit masing-masing. Beberapa anak lebih memilih tinggal di dalam kelas, termasuk Nala dan kedua temannya.
"Iya, Padma. Kan dia udah cerita tadi," Dewi, teman Nala yang lain menjawab pertanyaan Padma.
"Yee ... aku kan cuma mastiin lagi, siapa tau salah denger. Makanya aku lihat dari tadi Nala ngelamun sambil senyum-senyum sendiri."
"Siapa juga yang senyum-senyum? Ngarang ah!" Nala menampik pernyataan Padma.
Nala membuka kotak bekalnya. Aroma wangi rempah rendang ayam langsung memenuhi hidungnya. Nala terlihat bersemangat melihat menu makan siangnya, sementara Dewi dan Padma memandang kotak makan Nala dengan wajah memelas.
"Mau?" Nala menawarkan. Kedua gadis itu menganggukkan kepala cepat. Dewi membuka bekal makan siangnya yang ternyata berisi nasi dan sayur nangka muda, sementara Padma membiarkan kotak makan biru terangnya tergeletak diatas meja.
"Kok nggak dibuka punyamu Pad?"
Padma memberengut. "Oscar. Dia bawa kabur kotak makanku, dan digantiin sama ini." Dia menunjuk kotak biru itu dengan marah. "Mending kalau isinya nasi. Isinya beginian nih, kalau kalian pengen tahu!"
Dia membuka kotak biru tersebut yang ternyata isinya tiga butir biskuit bayi.
Nala dan Dewi mati-matian berusaha menyembunyikan tawa. Oscar, entah mengapa cowok usil itu selalu mengerjai Padma. Nala ingat, dulu Padma memperkenalkan diri dengan nama Kate yang diambil dari nama tengahnya, Katherine. Namun belakangan ini ia lebih suka dipanggil Padma, karena Oscar mengubah panggilannya dari Kate menjadi Keti. Menggunakan huruf E dan I.
"Oscar memang berengsek," kata Nala berusaha menenangkan Padma. Dibaginya rendang ayamnya ke kotak makan Dewi. Dia tidak membaginya ke kotak milik Padma, karena akan aneh rasanya makan biskuit bayi dengan lauk rendang. "Makan bareng aja deh! Wi, aku minta sayurnya ya. Padma terserah mau makan sama aku atau sama Dewi."
"Sama Nala aja," Padma mengedip-ngedipkan mata sok cantik. Nala bergidik ngeri. "Ya udah sini," ajaknya sebelum Padma melakukan hal-hal lain yang lebih ekstrim.
Mereka bertiga pun makan bersama. Padma yang masih tidak terima atas perlakuan Oscar masih menggerutu, membuat kedua temannya agak jengah.
"Lama-lama kamu sama Oscar bisa jodoh lho Pad," kata Dewi dengan mulut penuh nasi.
"Ih, amit-amit jabang bayi. Jangan sampai deh! Dia pendek gitu! Doain aku jadi sama kak Ardian dong, bukannya sama si cebol!"
"Kak Ardian anak basket itu?" tanya Nala.
Padma menganggukkan kepala, namun dia malah ditoyor oleh Dewi. "Kalau naksir orang itu jangan ketinggian dong! Kak Ardian, mikir apa kamu? Mau saingan sama anak-anak kelas sebelas?"
"Berharap kan gak ada salahnya Wi, lagian kan gosipnya kak Ardian belum punya pacar lagi setelah putus dari mantannya. Kata orang, sebelum janur kuning melengkung, siapapun boleh menikung."
"Bangga amat ya mau nikung orang," komentar Nala, nyengir.
"Soalnya kak Ardian ganteng, La," jawab Padma tengil. "Kak Bagus juga ganteng sih, tapi lebih gantengan kak Ardian."
"Kok bawa-bawa kak Bagus segala?" protes Nala.
"Lagian nih ya, gantengnya kak Ardian sama kak Bagus tuh beda, Pad," Dewi menyambung protes Nala. "Kak Ardian tipe cowok yang cool, bad boy gitu, nggak pernah senyum. Kalau kak Bagus kan tipe soft boy, dipandangnya adem. Tipe Nala banget, ya kan La?"
Nala tersedak. Kedua temannya cepat-cepat membantu Nala mengambil botol minumnya. Setelah Nala tenang, dia bersungut-sungut pada kedua temannya. "Kenapa aku lagi yang kena sih?"
Dewi dan Padma tertawa. "Tapi memang kenyataannya kan gitu, La!"
"Nah, satu lagi deh bedanya. Kak Ardian mukanya blasteran. Denger-denger nih, dia ada keturunan Belanda. Kalau kak Bagus itu gantengnya biasa aja. Produk lokalan soalnya."
"Heh!" untuk kedua kalinya, Dewi menoyor kepala Padma. "Kamu kira kak Bagus merek HP atau gimana, dibilang lokalan. Wah, La, kalau aku jadi kamu nggak terima ini inceranku dibilang lokalan!"
... dan kedua anak itu bertengkar, sementara Nala hanya tersenyum kecil. Sembari mengaduk bumbu rendang dengan nasi, Nala berkata perlahan. "Walaupun kak Bagus lokalan, dia juga nggak kalah ganteng kok."
Note
*) BK : Bimbingan Konseling. [Konseling] pemberian bimbingan oleh yang ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis dan sebagainya (KBBI).
Nala mengusap keringat di keningnya. Matahari sudah beranjak ke ufuk barat, memberikan warna lembayung pada langit senja. Ayam-ayam peliharaannya kini sudah terkurung semua di kandang, dan halaman rumah sudah bebas dari daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum sejenak, menatap bangga hasil kerja kerasnya membersihkan rumah.Nala menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang tampak uzur, namun masih kokoh, tidak seperti yang terlihat. Ada beberapa hal yang disyukurinya di dunia ini, termasuk duduk santai di depan rumah, menikmati semilir angin yang menggerakkan dedaunan dengan perlahan. Ia sangat menikmati hidup di desa, jauh dari hingar bingar perkotaan. Walaupun fasilitas yang ada tidak selengkap rumahnya di kota, tapi bagi Nala itu tidak masalah.Terkadang Nala merindukan kedua orang tuanya. Tidak mudah baginya berpisah dengan mereka, apalagi selama ini Nala tidak pernah hidup jauh dari orang tua. Lagipula Nala seorang cewek, yang notabene har
"OMG Girls!"Teriakan itu membahana di kamar Padma yang luas. Begitu melihat Nala dan Dewi, gadis itu langsung bangun dari tidurannya dan menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagi kedua temannya itu duduk di ranjang."Lihat, aku luka-luka gini! Keren kan? Kalau nggak dijemput Nala, mungkin aku sudah mati!"Dewi tampak menahan diri untuk menoyor kepala Padma. "Sembarangan saja kalau ngomong. Lagian ya, setahuku yang biasanya heboh itu yang menjenguk, bukan yang lagi dijenguk.""Oh iya ya." Padma menerbitkan cengiran lebar. "Kalau gitu, ayo diulang adegannya."Dewi memutar bola matanya, sementara Nala tersenyum kecil. Padma yang lucu dan cerewet adalah Padma yang dikenalnya. Ia bersyukur sahabatnya itu bisa lepas dari traumanya dengan begitu cepat.Hari ini Padma tidak masuk sekolah. Salah satu asisten rumah tangganya yang mengantarkan surat. Nala tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh orangtua Padma di dalam surat itu, namun segera saja
Aroma wangi bawang yang digoreng menguar dari dapur rumah Nala. Hari masih pagi, namun gadis itu sudah berperang dengan berbagai bahan dapur, membuat sarapan dan bekal makan siang untuknya dan Ashton. Gadis itu menjepit rambutnya ke atas, tangannya dengan lihai memainkan sudip di dalam penggorengan, sementara di sampingnya sudah tersedia beberapa bahan makanan yang setengah jadi, ada pula yang sudah jadi. Pagi itu sama dinginnya dengan kemarin atau hari-hari sebelumnya. Nala sudah pasti memilih untuk bergelung di bawah selimut, kalau saja dia tidak ingat bahwa dirinya dan Ashton hanya tinggal berdua. Semua pekerjaan sehari-hari harus mereka lakukan bersama—bahkan bisa dibilang Nala-lah yang mengurus semua sendirian. Ashton hanya sekali menunjukkan keahliannya sebagai lelaki, yaitu memperbaiki pompa air yang macet beberapa hari setelah mereka tiba di rumah ini. Nala mengangkat bawang yang telah digoreng dan menuangkannya ke cobek beserta cabai, tomat serta sejumput te
Sampai makan siang pun, Padma masing mengomel panjang-pendek mengenai Bagus yang tidak mengajak Nala mengobrol.Kantin sudah cukup penuh walaupun bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi. Dewi bergerak secepat kilat, berlari bak orang kesetanan keluar kelas untuk berebut meja yang paling strategis di kantin. Nala dan Padma menyusul di belakangnya. Sebenarnya Nala membawa bekal ayam goreng bumbu kuning yang dimasaknya tadi pagi, namun Padma memaksanya agar ikut makan di kantin.Dewi memesan bakso, sementara Padma makan gado-gado. Namun akibat Padma yang terlampau berisik mempermasalahkan kisah tragis Nala, kedua temannya jadi tidak terlalu berminat dengan makanan mereka. Nala hanya menyuwir ayam gorengnya tanpa tujuan, sementara Dewi bermain-main dengan kuah baksonya."Nggak habis pikir. Cowok macam apaan, cewek secantik Nala dianggurin. Nala lho ini. Kalau modelan Dewi sih, aku nggak banyak protes."Dewi menatap Padma dengan galak. "Jadi maksudmu, aku nggak can
Gadis itu muncul dari gelapnya malam. Langkahnya terseok, pergelangan kaki kirinya menekuk dengan tidak wajar. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan raut wajah ketakutan.Dia mengugu, berusaha untuk tidak tersungkur di aspal yang keras. Sorot matanya menatap dengan penuh harap ketika dia melihat sebuah cahaya di kejauhan. Sebuah mobil mendekat, membangkitkan asa pada diri gadis tersebut."Tolong," rintihnya lirih sembari melambaikan kedua tangannya.Mobil tersebut mau berhenti. Seorang pemuda dengan mengenakan seragam sekolah bergegas keluar dari balik kursi kemudi dan mendekati gadis itu."Mbak ... ngapain di luar malam-malam begini?" tanya pemuda itu heran. Lalu pandangan matanya terantuk pada gaun pesta putih yang dikenakan oleh gadis itu.Penuh dengan noda darah."Mbaknya ... terluka?"Si gadis hanya tergugu kecil dan menganggukkan kepala."Ah, baiklah kalau begitu. Tidak perlu khawatir, mbak. Akan saya antarkan ke rumah