UNTUK beberapa saat ketegangan menyelimuti Seta dan Sitadewi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sama-sama menduga-duga siapa sebenarnya dua orang tadi.
Sitadewi masih tak memercayai jika dua orang yang dilihat Seta adalah mata-mata. Sebab seingatnya mereka tak pernah bertemu siapa-siapa selama berada di Anjuk Ladang.
Bahkan lebih dari itu, baik Seta maupun Sitadewi sama-sama tidak pernah keluar dari rumah Bibi Dayinta. Kecuali untuk pergi ke tepi sungai di belakang sana.
“Kalau memang benar mereka mata-mata, dari mana ada yang tahu kalau kau berada di sini, Kakang?” tanya Sitadewi kemudian.
Seta kedikkan bahu.
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Selama di sini aku tak sekali pun keluar ke tempat lain kecuali sungai itu,” jawab sang prajurit.
Sitadewi tanpa sadar anggukkan kepala. Itu pula yang
SESOSOK lelaki tegap tiba-tiba saja sudah berdiri mencegat Seta. Dari penampilannya mudah dikenali jika orang itu adalah seorang kesatria Jenggala.Seta picingkan kedua matanya. Mengamati lebih teliti wajah lelaki yang berdiri berkacak pinggang itu. Sekejap kemudian sang prajurit keluarkan desahan panjang setelah mengenali orang tersebut.Lelaki tegap yang mengadang itu tak lain adalah Lembu Segara. Perwira rendah Kerajaan Jenggala yang meringkus Seta di gua sarang Ranajaya.Di belakang Lembu Segara ada beberapa orang lagi. Salah satu di antaranya adalah perwira rendah yang berniat membunuh Seta di dalam tahanan keraton.“Ah, benar rupanya buruan kita melarikan diri jauh hingga masuk ke daerah kekuasaan Panjalu, Balanatha,” ujar Lembu Segara sembari melirik perwira rendah di belakangnya.Yang dipanggil Balanatha tunjukkan satu seringai tipis. Tatapan matanya begitu mencorong. Seolah hendak m
SELARIK sinar kekuningan melesat keluar dari tangan tokoh silat istana berpakaian kuning. Sebuah pukulan jarak jauh mematikan terarah lurus pada Seta.Suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk mengiringi lesatan pukulan tersebut. Menggetarkan nyali siapa pun yang mendengar.Nguuung ...Yang diserang lagi-lagi jadi tercekat begitu mengenali pukulan sakti tersebut. Pastilah orang di hadapannya saat ini adalah Pendekar Lebah Maut dari Gunung Penanggungan. Tokoh silat istana Jenggala yang dikenal mempunyai pukulan sakti bernama Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gunung.“Gawat! Kedua orang ini sungguh tidak main-main,” desis Seta dengan wajah pucat.Mau tak mau sang prajurit dibuat kecut juga nyalinya. Ia tidak yakin dapat mengimbangi dua tokoh silat di hadapannya itu. Namun tak mungkin juga ia lari dari gelanggang pertempuran.Apa boleh buat. Seta harus segera mencari akal jika ing
TAK dapat dihindari lagi, jaring halus serupa sarang laba-laba yang dilepas Pendekar Gonggo Cemeng memerangkap tubuh Seta. Melilit dengan kencang, dari ujung kepala hingga ke kaki.Seta merutuk di dalam hati. Sekujur tubuhnya benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekedar memutar pedang yang ada di tangannya pun tidak bisa.Berulang kali sang prajurit mencoba menggoyang-goyang tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat menempel di tubuhnya.“Sial! Habislah aku sekarang,” batin sang prajurit dengan kesal.Di tempatnya, Lembu Segara dan Wirama sama tertawa gelak-gelak melihat kejadian tersebut. Sambil terus tertawa, kedua perwira rendah Kerajaan Jenggala itu melangkah perlahan mendekati Seta.“Seta, Seta ... lihatlah keadaanmu kini. Terperangkap dalam jaring sakti milik Pendekar Gonggo Cemeng. Tak ubahnya serangga digulung sarang laba-laba,” ujar Lembu Se
SRIIINGGGG!Ketegangan seketika menyelimuti tempat tersebut. Semakin dekat pedang di tangan Lembu Segara ke batang leher Seta, bertambah pula ketegangan di benak orang-orang yang menyaksikan.Seta sendiri hanya dapat menelan ludah. Sepasang matanya lantas dipejamkan rapat-rapat. Terdengar ia menghela napas panjang-panjang dengan wajah pasrah.Di dalam hati sebenarnya sang prajurit tak mau menerima kenyataan. Dendamnya pada Ranajaya belum lagi terbalaskan. Dendam kesumat yang bisa membuatnya mati penasaran. Namun ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi saat itu.“Baiklah, begini rupanya semua ini harus berakhir,” desah Seta di dalam hati.Bayangan Harini isterinya seketika menyelinap. Perempuan itu tampak mengembangkan kedua tangan lebar-lebar. Seakan-akan bersiap menyambut kedatangan Seta di alam lain. Sedangkan putera mereka berdiri di sebelah, memeluk erat kaki ibunya.Tak disangka-sangka, wajah Rara ke
BEGITU tubuhnya menyerbu ke depan, tangan Pendekar Gonggo Cemeng menghentak ke depan. Telapaknya mengembang terbuka dibarengi dengan satu seruan dahsyat.Segumpal serat-serat halus berwarna putih bening melesat keluar. Bersumber dari bagian bawah telapak tangan pendekar yang pakaiannya berwarna serba keperakan tersebut.Begitu mendekati tubuh Ki Sajiwa, gumpalan serat halus tersebut membentang. Berubah wujud menjadi sebentuk sarang laba-laba berukuran raksasa.Srat! Srat!Tak mau kalah, Pendekar Lebah Maut juga lepaskan pukulan jarak jauh andalannya. Selarik sinar kekuningan berkiblat, menebar hawa panas memanggang.Bersamaan dengan itu muncul suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk. Para prajurit Jenggala yang tengah bersiaga sempat kaget dan panik mendengarnya. Namun segera tenang begitu tahu dari mana asal suara tersebut.Tak lain tak bukan, itulah Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gu
SEKALI tangan Ki Sajiwa bergerak meremas, terdengar suara benda keras diremuk. Pendekar Gonggo Cemeng meraung setinggi langit. Tubuh tokoh silat istana itu tampak bergetar hebat.Rasa sakit yang teramat sangat membuat mata Pendekar Gonggo Cemeng berair. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung juga membasahi sekujur wajahnya yang berubah merah padam.“Orang tua keparat! Kau meremuk tulangku!” jerit tokoh silat istana tersebut.Sekuat tenaga Pendekar Gonggo Cemeng berusaha menarik lepas lengannya yang dicengkeram orang. Tapi Ki Sajiwa menahan lebih kencang lagi. Tarikan Pendekar Gonggo Cemeng jadi terasa sia-sia belaka.Melihat kawannya diperlakukan begitu rupa, Pendekar Lebah Maut bersama Lembu Segara dan Wirama jadi meradang.“Tua bangka bangsat! Kau harus mati di tangan kami!” maki Lembu Segara menggeram marah.Lalu tanpa aba-aba perwira rendah Kerajaan Jenggala itu menyerbu Ki Sajiwa, bersamaan dengan serangan
DISERANG begitu rupa Ki Sajiwa masih tenang-tenang saja. Bahkan dengan sikap tak acuh tubuhnya malah berbalik. Menghadap ke arah Seta, dan sekaligus jadi membelakangi datangnya serangan.Terang saja Pendekar Lebah Maut tambah meradang. Tokoh silat istana itu merasa benar-benar disepelekan. Terlebih ia tak kenal siapa adanya lelaki tua tersebut, sehingga sempat memandang enteng.“Bangsat! Tua bangka satu ini benar-benar banyak lagak. Tidak ada ampun lagi baginya,” desis Pendekar Lebah Maut dalam hati.Selagi tubuhnya melayang ke arah Ki Sajiwa, telapak tangan si pendekar yang sedari terkembang melepas pukulan andalannya.Srat! Srat!Segumpal serat halus melesat keluar dari ujung pergelangan tangan Pendekar Lebah Maut. Bergerak cepat dan dalam sekejap sudah mengembang lebar menjadi sebuah jaring besar.Sementara itu Ki Sajiwa yang diserang sudah berada di sebelah Seta. Ditepuk-tepuk
PENDEKAR Lebah Maut mengeluh tertahan. Merasakan sesak yang tiba-tiba saja membungkus jalur pernapasannya. Tubuhnya yang masih oleng kembali terjajar mundur. Lalu jatuh duduk di tanah.Seta yang tengah kesetanan tak peduli pada keadaan lawan. Sang prajurit sudah menyerbu lagi. Siap mengirim serangan pamungkas nan mematikan.Namun belum lagi serangan sang prajurit mengenai sasaran, terdengar seruan Ki Sajiwa.“Cukup, Seta! Lawanmu sudah tak berdaya,” ujar petapa dari Teluk Lawa tersebut.Seta sontak hentikan gerakannya.Sambil menunjukkan air muka keheranan, Seta balikkan badan. Menatap dengan sorot mata menuntut penjelasan pada Ki Sajiwa di belakangnya.Sebelah tangan yang sudah terangkat, siap menghajar lawan dengan sabetan pedang, perlahan-lahan diturunkan. Senjata tersebut lantas disarungkan ke dalam warangka di pinggang.Sementara sang petapa dari Teluk Lawa melangkah ke depan. Mendekati Pendekar Lebah Maut yang masih
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan