TAK dapat dihindari lagi, jaring halus serupa sarang laba-laba yang dilepas Pendekar Gonggo Cemeng memerangkap tubuh Seta. Melilit dengan kencang, dari ujung kepala hingga ke kaki.
Seta merutuk di dalam hati. Sekujur tubuhnya benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekedar memutar pedang yang ada di tangannya pun tidak bisa.
Berulang kali sang prajurit mencoba menggoyang-goyang tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat menempel di tubuhnya.
“Sial! Habislah aku sekarang,” batin sang prajurit dengan kesal.
Di tempatnya, Lembu Segara dan Wirama sama tertawa gelak-gelak melihat kejadian tersebut. Sambil terus tertawa, kedua perwira rendah Kerajaan Jenggala itu melangkah perlahan mendekati Seta.
“Seta, Seta ... lihatlah keadaanmu kini. Terperangkap dalam jaring sakti milik Pendekar Gonggo Cemeng. Tak ubahnya serangga digulung sarang laba-laba,” ujar Lembu Se
SRIIINGGGG!Ketegangan seketika menyelimuti tempat tersebut. Semakin dekat pedang di tangan Lembu Segara ke batang leher Seta, bertambah pula ketegangan di benak orang-orang yang menyaksikan.Seta sendiri hanya dapat menelan ludah. Sepasang matanya lantas dipejamkan rapat-rapat. Terdengar ia menghela napas panjang-panjang dengan wajah pasrah.Di dalam hati sebenarnya sang prajurit tak mau menerima kenyataan. Dendamnya pada Ranajaya belum lagi terbalaskan. Dendam kesumat yang bisa membuatnya mati penasaran. Namun ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi saat itu.“Baiklah, begini rupanya semua ini harus berakhir,” desah Seta di dalam hati.Bayangan Harini isterinya seketika menyelinap. Perempuan itu tampak mengembangkan kedua tangan lebar-lebar. Seakan-akan bersiap menyambut kedatangan Seta di alam lain. Sedangkan putera mereka berdiri di sebelah, memeluk erat kaki ibunya.Tak disangka-sangka, wajah Rara ke
BEGITU tubuhnya menyerbu ke depan, tangan Pendekar Gonggo Cemeng menghentak ke depan. Telapaknya mengembang terbuka dibarengi dengan satu seruan dahsyat.Segumpal serat-serat halus berwarna putih bening melesat keluar. Bersumber dari bagian bawah telapak tangan pendekar yang pakaiannya berwarna serba keperakan tersebut.Begitu mendekati tubuh Ki Sajiwa, gumpalan serat halus tersebut membentang. Berubah wujud menjadi sebentuk sarang laba-laba berukuran raksasa.Srat! Srat!Tak mau kalah, Pendekar Lebah Maut juga lepaskan pukulan jarak jauh andalannya. Selarik sinar kekuningan berkiblat, menebar hawa panas memanggang.Bersamaan dengan itu muncul suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk. Para prajurit Jenggala yang tengah bersiaga sempat kaget dan panik mendengarnya. Namun segera tenang begitu tahu dari mana asal suara tersebut.Tak lain tak bukan, itulah Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gu
SEKALI tangan Ki Sajiwa bergerak meremas, terdengar suara benda keras diremuk. Pendekar Gonggo Cemeng meraung setinggi langit. Tubuh tokoh silat istana itu tampak bergetar hebat.Rasa sakit yang teramat sangat membuat mata Pendekar Gonggo Cemeng berair. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung juga membasahi sekujur wajahnya yang berubah merah padam.“Orang tua keparat! Kau meremuk tulangku!” jerit tokoh silat istana tersebut.Sekuat tenaga Pendekar Gonggo Cemeng berusaha menarik lepas lengannya yang dicengkeram orang. Tapi Ki Sajiwa menahan lebih kencang lagi. Tarikan Pendekar Gonggo Cemeng jadi terasa sia-sia belaka.Melihat kawannya diperlakukan begitu rupa, Pendekar Lebah Maut bersama Lembu Segara dan Wirama jadi meradang.“Tua bangka bangsat! Kau harus mati di tangan kami!” maki Lembu Segara menggeram marah.Lalu tanpa aba-aba perwira rendah Kerajaan Jenggala itu menyerbu Ki Sajiwa, bersamaan dengan serangan
DISERANG begitu rupa Ki Sajiwa masih tenang-tenang saja. Bahkan dengan sikap tak acuh tubuhnya malah berbalik. Menghadap ke arah Seta, dan sekaligus jadi membelakangi datangnya serangan.Terang saja Pendekar Lebah Maut tambah meradang. Tokoh silat istana itu merasa benar-benar disepelekan. Terlebih ia tak kenal siapa adanya lelaki tua tersebut, sehingga sempat memandang enteng.“Bangsat! Tua bangka satu ini benar-benar banyak lagak. Tidak ada ampun lagi baginya,” desis Pendekar Lebah Maut dalam hati.Selagi tubuhnya melayang ke arah Ki Sajiwa, telapak tangan si pendekar yang sedari terkembang melepas pukulan andalannya.Srat! Srat!Segumpal serat halus melesat keluar dari ujung pergelangan tangan Pendekar Lebah Maut. Bergerak cepat dan dalam sekejap sudah mengembang lebar menjadi sebuah jaring besar.Sementara itu Ki Sajiwa yang diserang sudah berada di sebelah Seta. Ditepuk-tepuk
PENDEKAR Lebah Maut mengeluh tertahan. Merasakan sesak yang tiba-tiba saja membungkus jalur pernapasannya. Tubuhnya yang masih oleng kembali terjajar mundur. Lalu jatuh duduk di tanah.Seta yang tengah kesetanan tak peduli pada keadaan lawan. Sang prajurit sudah menyerbu lagi. Siap mengirim serangan pamungkas nan mematikan.Namun belum lagi serangan sang prajurit mengenai sasaran, terdengar seruan Ki Sajiwa.“Cukup, Seta! Lawanmu sudah tak berdaya,” ujar petapa dari Teluk Lawa tersebut.Seta sontak hentikan gerakannya.Sambil menunjukkan air muka keheranan, Seta balikkan badan. Menatap dengan sorot mata menuntut penjelasan pada Ki Sajiwa di belakangnya.Sebelah tangan yang sudah terangkat, siap menghajar lawan dengan sabetan pedang, perlahan-lahan diturunkan. Senjata tersebut lantas disarungkan ke dalam warangka di pinggang.Sementara sang petapa dari Teluk Lawa melangkah ke depan. Mendekati Pendekar Lebah Maut yang masih
BARU berlari sejarak tiga ribu kaki (sekitar satu kilometer), Ki Sajiwa tiba-tiba saja hentikan larinya. Seta mau tak mau ikut berhenti pula.“Ada apa, Guru? Kenapa berhenti di sini?” tanya sang prajurit, sembari memandang keheranan pada petapa tua tersebut.Ki Sajiwa tak menjawab. Kepalanya ditelengkan sedikit. Seperti sedang berusaha menangkap suara tertentu. Air muka orang tua itu tampak bersungguh-sungguh.“Kau dengar sesuatu?” Ia balik bertanya setengah berbisik.Seta tajamkan pendengaran. Namun sepasang telinganya tak menangkap suara apa pun. Kecuali lirih desir angin menerpa pucuk-pucuk ilalang yang meliuk-liuk.“Aku tidak mendengar apa-apa, Guru,” sahut sang prajurit kemudian.Ki Sajiwa tampak lega.“Oh, baguslah kalau begitu,” ujarnya. Kemudian langsung berlari lagi.Kening Seta berkerut dalam dibuatnya. Namun sang
KI BASWARA terlihat ragu-ragu mendengar perkataan Ki Sajiwa barusan. Matanya menatap penuh selidik pada Seta yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.Menyaksikan itu Ki Sajiwa cepat tanggap. Ki Baswara tentulah menaruk syak pada sang prajurit yang belum dikenalnya itu.“Oh, ini muridku. Namanya Seta, sang wira tamtama Jenggala,” ujar petapa tua tersebut, sembari menepuk-nepuk bahu muridnya.Ki Baswara melengak kaget. Sepasang matanya membulat besar. Menatap wajah Seta tanpa berkedip sedikit pun.“K-kau ... kau Seta?” serunya seraya menekap mulut. “Benarkah ini kau, Seta?”Seta tersenyum. Badannya membungkuk memberi hormat pada Ki Baswara.“Benar, Ki. Aku Seta,” sahut sang prajurit menegaskan.Ki Baswara masih terlihat tidak percaya. Sebagai orang yang tinggal di dalam kawasan jeron beteng, lelaki tua itu telah mendengar segala cerita
BERSAMAAN dengan terdengarnya suara bentakan, muncul beberapa sosok mengadang langkah Ki Baswara. Lelaki tua tersebut sontak tersurut mundur beberapa langkah karena kaget.Demikian halnya Ki Sajiwa dan Seta. Dalam kekagetan mereka, kedua guru-murid tersebut sama palingkan pandangan ke arah suara bentakan.Di depan sana, berjarak sekitar dua depa dari tempat mereka bertiga berada, tampak tiga orang lelaki. Yang dua berdiri berkacak pinggang. Sedangkan yang seorang lagi sedekapkan kedua tangan di depan dada.Begitu mengenali siapa dua orang yang berkacak pinggang, Ki Sajiwa langsung tertawa keras.“Ah, ah, kalian berdua lagi rupanya. Bukankah sudah aku peringatkan ....”“Tutup mulutmu, Sajiwa! Kami tidak ada keperluan denganmu. Kami kemari untuk menemui Ki Rama Jataka,” tukas salah satu dari dua lelaki yang berkacak pinggang.Dua orang tersebut jelas manusia, karena dapa