Share

Bab 79

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-01 08:10:10

TAK dapat dihindari lagi, jaring halus serupa sarang laba-laba yang dilepas Pendekar Gonggo Cemeng memerangkap tubuh Seta. Melilit dengan kencang, dari ujung kepala hingga ke kaki.

Seta merutuk di dalam hati. Sekujur tubuhnya benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekedar memutar pedang yang ada di tangannya pun tidak bisa.

Berulang kali sang prajurit mencoba menggoyang-goyang tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat menempel di tubuhnya.

“Sial! Habislah aku sekarang,” batin sang prajurit dengan kesal.

Di tempatnya, Lembu Segara dan Wirama sama tertawa gelak-gelak melihat kejadian tersebut. Sambil terus tertawa, kedua perwira rendah Kerajaan Jenggala itu melangkah perlahan mendekati Seta.

“Seta, Seta ... lihatlah keadaanmu kini. Terperangkap dalam jaring sakti milik Pendekar Gonggo Cemeng. Tak ubahnya serangga digulung sarang laba-laba,” ujar Lembu Se

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 80

    SRIIINGGGG!Ketegangan seketika menyelimuti tempat tersebut. Semakin dekat pedang di tangan Lembu Segara ke batang leher Seta, bertambah pula ketegangan di benak orang-orang yang menyaksikan.Seta sendiri hanya dapat menelan ludah. Sepasang matanya lantas dipejamkan rapat-rapat. Terdengar ia menghela napas panjang-panjang dengan wajah pasrah.Di dalam hati sebenarnya sang prajurit tak mau menerima kenyataan. Dendamnya pada Ranajaya belum lagi terbalaskan. Dendam kesumat yang bisa membuatnya mati penasaran. Namun ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi saat itu.“Baiklah, begini rupanya semua ini harus berakhir,” desah Seta di dalam hati.Bayangan Harini isterinya seketika menyelinap. Perempuan itu tampak mengembangkan kedua tangan lebar-lebar. Seakan-akan bersiap menyambut kedatangan Seta di alam lain. Sedangkan putera mereka berdiri di sebelah, memeluk erat kaki ibunya.Tak disangka-sangka, wajah Rara ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 81

    BEGITU tubuhnya menyerbu ke depan, tangan Pendekar Gonggo Cemeng menghentak ke depan. Telapaknya mengembang terbuka dibarengi dengan satu seruan dahsyat.Segumpal serat-serat halus berwarna putih bening melesat keluar. Bersumber dari bagian bawah telapak tangan pendekar yang pakaiannya berwarna serba keperakan tersebut.Begitu mendekati tubuh Ki Sajiwa, gumpalan serat halus tersebut membentang. Berubah wujud menjadi sebentuk sarang laba-laba berukuran raksasa.Srat! Srat!Tak mau kalah, Pendekar Lebah Maut juga lepaskan pukulan jarak jauh andalannya. Selarik sinar kekuningan berkiblat, menebar hawa panas memanggang.Bersamaan dengan itu muncul suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk. Para prajurit Jenggala yang tengah bersiaga sempat kaget dan panik mendengarnya. Namun segera tenang begitu tahu dari mana asal suara tersebut.Tak lain tak bukan, itulah Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 82

    SEKALI tangan Ki Sajiwa bergerak meremas, terdengar suara benda keras diremuk. Pendekar Gonggo Cemeng meraung setinggi langit. Tubuh tokoh silat istana itu tampak bergetar hebat.Rasa sakit yang teramat sangat membuat mata Pendekar Gonggo Cemeng berair. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung juga membasahi sekujur wajahnya yang berubah merah padam.“Orang tua keparat! Kau meremuk tulangku!” jerit tokoh silat istana tersebut.Sekuat tenaga Pendekar Gonggo Cemeng berusaha menarik lepas lengannya yang dicengkeram orang. Tapi Ki Sajiwa menahan lebih kencang lagi. Tarikan Pendekar Gonggo Cemeng jadi terasa sia-sia belaka.Melihat kawannya diperlakukan begitu rupa, Pendekar Lebah Maut bersama Lembu Segara dan Wirama jadi meradang.“Tua bangka bangsat! Kau harus mati di tangan kami!” maki Lembu Segara menggeram marah.Lalu tanpa aba-aba perwira rendah Kerajaan Jenggala itu menyerbu Ki Sajiwa, bersamaan dengan serangan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 83

    DISERANG begitu rupa Ki Sajiwa masih tenang-tenang saja. Bahkan dengan sikap tak acuh tubuhnya malah berbalik. Menghadap ke arah Seta, dan sekaligus jadi membelakangi datangnya serangan.Terang saja Pendekar Lebah Maut tambah meradang. Tokoh silat istana itu merasa benar-benar disepelekan. Terlebih ia tak kenal siapa adanya lelaki tua tersebut, sehingga sempat memandang enteng.“Bangsat! Tua bangka satu ini benar-benar banyak lagak. Tidak ada ampun lagi baginya,” desis Pendekar Lebah Maut dalam hati.Selagi tubuhnya melayang ke arah Ki Sajiwa, telapak tangan si pendekar yang sedari terkembang melepas pukulan andalannya.Srat! Srat!Segumpal serat halus melesat keluar dari ujung pergelangan tangan Pendekar Lebah Maut. Bergerak cepat dan dalam sekejap sudah mengembang lebar menjadi sebuah jaring besar.Sementara itu Ki Sajiwa yang diserang sudah berada di sebelah Seta. Ditepuk-tepuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 84

    PENDEKAR Lebah Maut mengeluh tertahan. Merasakan sesak yang tiba-tiba saja membungkus jalur pernapasannya. Tubuhnya yang masih oleng kembali terjajar mundur. Lalu jatuh duduk di tanah.Seta yang tengah kesetanan tak peduli pada keadaan lawan. Sang prajurit sudah menyerbu lagi. Siap mengirim serangan pamungkas nan mematikan.Namun belum lagi serangan sang prajurit mengenai sasaran, terdengar seruan Ki Sajiwa.“Cukup, Seta! Lawanmu sudah tak berdaya,” ujar petapa dari Teluk Lawa tersebut.Seta sontak hentikan gerakannya.Sambil menunjukkan air muka keheranan, Seta balikkan badan. Menatap dengan sorot mata menuntut penjelasan pada Ki Sajiwa di belakangnya.Sebelah tangan yang sudah terangkat, siap menghajar lawan dengan sabetan pedang, perlahan-lahan diturunkan. Senjata tersebut lantas disarungkan ke dalam warangka di pinggang.Sementara sang petapa dari Teluk Lawa melangkah ke depan. Mendekati Pendekar Lebah Maut yang masih

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 85

    BARU berlari sejarak tiga ribu kaki (sekitar satu kilometer), Ki Sajiwa tiba-tiba saja hentikan larinya. Seta mau tak mau ikut berhenti pula.“Ada apa, Guru? Kenapa berhenti di sini?” tanya sang prajurit, sembari memandang keheranan pada petapa tua tersebut.Ki Sajiwa tak menjawab. Kepalanya ditelengkan sedikit. Seperti sedang berusaha menangkap suara tertentu. Air muka orang tua itu tampak bersungguh-sungguh.“Kau dengar sesuatu?” Ia balik bertanya setengah berbisik.Seta tajamkan pendengaran. Namun sepasang telinganya tak menangkap suara apa pun. Kecuali lirih desir angin menerpa pucuk-pucuk ilalang yang meliuk-liuk.“Aku tidak mendengar apa-apa, Guru,” sahut sang prajurit kemudian.Ki Sajiwa tampak lega.“Oh, baguslah kalau begitu,” ujarnya. Kemudian langsung berlari lagi.Kening Seta berkerut dalam dibuatnya. Namun sang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 86

    KI BASWARA terlihat ragu-ragu mendengar perkataan Ki Sajiwa barusan. Matanya menatap penuh selidik pada Seta yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.Menyaksikan itu Ki Sajiwa cepat tanggap. Ki Baswara tentulah menaruk syak pada sang prajurit yang belum dikenalnya itu.“Oh, ini muridku. Namanya Seta, sang wira tamtama Jenggala,” ujar petapa tua tersebut, sembari menepuk-nepuk bahu muridnya.Ki Baswara melengak kaget. Sepasang matanya membulat besar. Menatap wajah Seta tanpa berkedip sedikit pun.“K-kau ... kau Seta?” serunya seraya menekap mulut. “Benarkah ini kau, Seta?”Seta tersenyum. Badannya membungkuk memberi hormat pada Ki Baswara.“Benar, Ki. Aku Seta,” sahut sang prajurit menegaskan.Ki Baswara masih terlihat tidak percaya. Sebagai orang yang tinggal di dalam kawasan jeron beteng, lelaki tua itu telah mendengar segala cerita

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 87

    BERSAMAAN dengan terdengarnya suara bentakan, muncul beberapa sosok mengadang langkah Ki Baswara. Lelaki tua tersebut sontak tersurut mundur beberapa langkah karena kaget.Demikian halnya Ki Sajiwa dan Seta. Dalam kekagetan mereka, kedua guru-murid tersebut sama palingkan pandangan ke arah suara bentakan.Di depan sana, berjarak sekitar dua depa dari tempat mereka bertiga berada, tampak tiga orang lelaki. Yang dua berdiri berkacak pinggang. Sedangkan yang seorang lagi sedekapkan kedua tangan di depan dada.Begitu mengenali siapa dua orang yang berkacak pinggang, Ki Sajiwa langsung tertawa keras.“Ah, ah, kalian berdua lagi rupanya. Bukankah sudah aku peringatkan ....”“Tutup mulutmu, Sajiwa! Kami tidak ada keperluan denganmu. Kami kemari untuk menemui Ki Rama Jataka,” tukas salah satu dari dua lelaki yang berkacak pinggang.Dua orang tersebut jelas manusia, karena dapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status