Share

Bab 72

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-28 08:07:51

SITADEWI hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata si perempuan pandangi Seta dengan tatapan sedemikian menggoda.

Dalam sorot mata perempuan itu terpancar satu hasrat menggebu-gebu. Hasrat yang mendesak minta dilampiaskan. Membuat Seta bergidik ngeri.

Tanpa memedulikan sikap penolakan yang ditunjukkan Seta, Sitadewi kembali bergerak. Kepalanya diturunkan ke bawah, siap mencumbu leher sang prajurit.

“Sita, hentikan!” desis Seta melihat itu.

Dengan cepat sang prajurit tahan gerakan Sitadewi dengan kedua tangan. Dipeganginya kedua bahu telanjang perempuan itu kuat-kuat, sehingga tak dapat bergerak lebih jauh.

Ketika Sitadewi coba memaksa terus menekan, Seta keluarkan geraman marah. Tanpa sadar kedua tangan sang prajurit dorong tubuh si perempuan kuat-kuat ke belakang.

“Aduh, Kakang!” pekik Sitadewi, terkejut.

Perempuan itu terjengkang ke belakang

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 73

    SEMBARI terus menerawang ke langit, Sitadewi memulai cerita mengenai sang paman. Kisah seorang prajurit Panjalu yang harus meninggalkan dunia yang ia cintai akibat fitnah keji.Semua bermula dari pertempuran antara Panjalu dan Jenggala. Sang paman turut andil dalam perang tersebut. Bertindak sebagai seorang senapati yang membawahkan sekian puluh prajurit.Dalam satu bentrokan di Kepanjian, dekat perbatasan kedua kerajaan, pasukan yang dipimpin sang paman meraih kemenangan gilang gemilang. Pasukan Jenggala dibuat bertekuk lutut.“Karena lawan sudah kalah, Paman memutuskan untuk menghentikan pertempuran. Para prajurit Jenggala yang menyerah dibiarkan kembali ke tempat asal mereka. Tanpa seorang pun dilukai walau hanya segores,” ujar Sitadewi melanjutkan ceritanya.“Lagi pula pada waktu itu datang utusan dari Dahanapura ke medan pertempuran. Mengabarkan jika Sri Prabu Jayabhaya bersabda bahwa perang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 74

    SEJAK hari itu Sitadewi tak pernah lagi menggoda Seta. Perempuan itu berusaha menghormati perasaan sang prajurit yang belum lama kehilangan isteri tercinta.Sitadewi menyadari, tentunya bukan perkara mudah bagi Seta untuk menghapus kenangan buruk tersebut. Isterinya meninggal dalam keadaan yang tak pernah diinginkan wanita mana pun di dunia ini.Sitadewi juga semakin memahami alasan di balik sikap prajurit tersebut. Sikap yang begitu menghargainya sebagai seorang perempuan. Sekali pun ia bekerja sebagai jalir.Bahkan kemudian sang prajurit mendorongnya untuk keluar dari kubangan lembah kenistaan. Memintanya hidup sebagai perempuan baik-baik.“Martabat seorang perempuan terletak pada kemaluannya, Sita, Jangan sampai kau mati dalam keadaan menggadaikan kehormatan.”Demikian yang berulang kali Seta ucapkan pada Sitadewi. Ucapan yang langsung lengket dalam ingatan gadis itu sejak pertama kali ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 75

    LOLONGAN setinggi langit keluar dari mulut salah seorang lelaki bercaping. Pedang di tangan Seta mengoyak perutnya. Menimbulkan luka besar menganga.Darah seketika mengucur deras membasahi tubuh lelaki itu. Sekali lagi ia menjerit, tubuhnya tampak bergetar hebat, sewaktu sepasang matanya melihat usus di perutnya terburai keluar.Sambil pegangi perut yang terluka parah dengan kedua tangan, lelaki tersebut mundur beberapa langkah ke belakang.“Ka-kau ..?” desisnya gagap, dengan tatapan mata terus tertuju pada Seta.Malang baginya. Sebelah kaki si lelaki terantuk sebuah batu besar. Membuat tubuhnya tanpa ampun jatuh terjengkang ke belakang.Tubuh yang sudah tak berdaya itu berguling-guling beberapa saat di atas tanah lembab. Lalu tercebur masuk ke dalam sungai yang dingin.Byur!Melihat itu lelaki bercaping satunya lagi menggeram marah. Golok di tangannya dihunuskan ke dep

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 76

    UNTUK beberapa saat ketegangan menyelimuti Seta dan Sitadewi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sama-sama menduga-duga siapa sebenarnya dua orang tadi.Sitadewi masih tak memercayai jika dua orang yang dilihat Seta adalah mata-mata. Sebab seingatnya mereka tak pernah bertemu siapa-siapa selama berada di Anjuk Ladang.Bahkan lebih dari itu, baik Seta maupun Sitadewi sama-sama tidak pernah keluar dari rumah Bibi Dayinta. Kecuali untuk pergi ke tepi sungai di belakang sana.“Kalau memang benar mereka mata-mata, dari mana ada yang tahu kalau kau berada di sini, Kakang?” tanya Sitadewi kemudian.Seta kedikkan bahu.“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Selama di sini aku tak sekali pun keluar ke tempat lain kecuali sungai itu,” jawab sang prajurit.Sitadewi tanpa sadar anggukkan kepala. Itu pula yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 77

    SESOSOK lelaki tegap tiba-tiba saja sudah berdiri mencegat Seta. Dari penampilannya mudah dikenali jika orang itu adalah seorang kesatria Jenggala.Seta picingkan kedua matanya. Mengamati lebih teliti wajah lelaki yang berdiri berkacak pinggang itu. Sekejap kemudian sang prajurit keluarkan desahan panjang setelah mengenali orang tersebut.Lelaki tegap yang mengadang itu tak lain adalah Lembu Segara. Perwira rendah Kerajaan Jenggala yang meringkus Seta di gua sarang Ranajaya.Di belakang Lembu Segara ada beberapa orang lagi. Salah satu di antaranya adalah perwira rendah yang berniat membunuh Seta di dalam tahanan keraton.“Ah, benar rupanya buruan kita melarikan diri jauh hingga masuk ke daerah kekuasaan Panjalu, Balanatha,” ujar Lembu Segara sembari melirik perwira rendah di belakangnya.Yang dipanggil Balanatha tunjukkan satu seringai tipis. Tatapan matanya begitu mencorong. Seolah hendak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 78

    SELARIK sinar kekuningan melesat keluar dari tangan tokoh silat istana berpakaian kuning. Sebuah pukulan jarak jauh mematikan terarah lurus pada Seta.Suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk mengiringi lesatan pukulan tersebut. Menggetarkan nyali siapa pun yang mendengar.Nguuung ...Yang diserang lagi-lagi jadi tercekat begitu mengenali pukulan sakti tersebut. Pastilah orang di hadapannya saat ini adalah Pendekar Lebah Maut dari Gunung Penanggungan. Tokoh silat istana Jenggala yang dikenal mempunyai pukulan sakti bernama Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gunung.“Gawat! Kedua orang ini sungguh tidak main-main,” desis Seta dengan wajah pucat.Mau tak mau sang prajurit dibuat kecut juga nyalinya. Ia tidak yakin dapat mengimbangi dua tokoh silat di hadapannya itu. Namun tak mungkin juga ia lari dari gelanggang pertempuran.Apa boleh buat. Seta harus segera mencari akal jika ing

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 79

    TAK dapat dihindari lagi, jaring halus serupa sarang laba-laba yang dilepas Pendekar Gonggo Cemeng memerangkap tubuh Seta. Melilit dengan kencang, dari ujung kepala hingga ke kaki.Seta merutuk di dalam hati. Sekujur tubuhnya benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekedar memutar pedang yang ada di tangannya pun tidak bisa.Berulang kali sang prajurit mencoba menggoyang-goyang tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat menempel di tubuhnya.“Sial! Habislah aku sekarang,” batin sang prajurit dengan kesal.Di tempatnya, Lembu Segara dan Wirama sama tertawa gelak-gelak melihat kejadian tersebut. Sambil terus tertawa, kedua perwira rendah Kerajaan Jenggala itu melangkah perlahan mendekati Seta.“Seta, Seta ... lihatlah keadaanmu kini. Terperangkap dalam jaring sakti milik Pendekar Gonggo Cemeng. Tak ubahnya serangga digulung sarang laba-laba,” ujar Lembu Se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 80

    SRIIINGGGG!Ketegangan seketika menyelimuti tempat tersebut. Semakin dekat pedang di tangan Lembu Segara ke batang leher Seta, bertambah pula ketegangan di benak orang-orang yang menyaksikan.Seta sendiri hanya dapat menelan ludah. Sepasang matanya lantas dipejamkan rapat-rapat. Terdengar ia menghela napas panjang-panjang dengan wajah pasrah.Di dalam hati sebenarnya sang prajurit tak mau menerima kenyataan. Dendamnya pada Ranajaya belum lagi terbalaskan. Dendam kesumat yang bisa membuatnya mati penasaran. Namun ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi saat itu.“Baiklah, begini rupanya semua ini harus berakhir,” desah Seta di dalam hati.Bayangan Harini isterinya seketika menyelinap. Perempuan itu tampak mengembangkan kedua tangan lebar-lebar. Seakan-akan bersiap menyambut kedatangan Seta di alam lain. Sedangkan putera mereka berdiri di sebelah, memeluk erat kaki ibunya.Tak disangka-sangka, wajah Rara ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 203

    Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 202

    Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 201

    Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 200

    Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 199

    Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 198

    Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 197

    Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 196

    Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status