SEMBARI terus menerawang ke langit, Sitadewi memulai cerita mengenai sang paman. Kisah seorang prajurit Panjalu yang harus meninggalkan dunia yang ia cintai akibat fitnah keji.
Semua bermula dari pertempuran antara Panjalu dan Jenggala. Sang paman turut andil dalam perang tersebut. Bertindak sebagai seorang senapati yang membawahkan sekian puluh prajurit.
Dalam satu bentrokan di Kepanjian, dekat perbatasan kedua kerajaan, pasukan yang dipimpin sang paman meraih kemenangan gilang gemilang. Pasukan Jenggala dibuat bertekuk lutut.
“Karena lawan sudah kalah, Paman memutuskan untuk menghentikan pertempuran. Para prajurit Jenggala yang menyerah dibiarkan kembali ke tempat asal mereka. Tanpa seorang pun dilukai walau hanya segores,” ujar Sitadewi melanjutkan ceritanya.
“Lagi pula pada waktu itu datang utusan dari Dahanapura ke medan pertempuran. Mengabarkan jika Sri Prabu Jayabhaya bersabda bahwa perang
SEJAK hari itu Sitadewi tak pernah lagi menggoda Seta. Perempuan itu berusaha menghormati perasaan sang prajurit yang belum lama kehilangan isteri tercinta.Sitadewi menyadari, tentunya bukan perkara mudah bagi Seta untuk menghapus kenangan buruk tersebut. Isterinya meninggal dalam keadaan yang tak pernah diinginkan wanita mana pun di dunia ini.Sitadewi juga semakin memahami alasan di balik sikap prajurit tersebut. Sikap yang begitu menghargainya sebagai seorang perempuan. Sekali pun ia bekerja sebagai jalir.Bahkan kemudian sang prajurit mendorongnya untuk keluar dari kubangan lembah kenistaan. Memintanya hidup sebagai perempuan baik-baik.“Martabat seorang perempuan terletak pada kemaluannya, Sita, Jangan sampai kau mati dalam keadaan menggadaikan kehormatan.”Demikian yang berulang kali Seta ucapkan pada Sitadewi. Ucapan yang langsung lengket dalam ingatan gadis itu sejak pertama kali ia
LOLONGAN setinggi langit keluar dari mulut salah seorang lelaki bercaping. Pedang di tangan Seta mengoyak perutnya. Menimbulkan luka besar menganga.Darah seketika mengucur deras membasahi tubuh lelaki itu. Sekali lagi ia menjerit, tubuhnya tampak bergetar hebat, sewaktu sepasang matanya melihat usus di perutnya terburai keluar.Sambil pegangi perut yang terluka parah dengan kedua tangan, lelaki tersebut mundur beberapa langkah ke belakang.“Ka-kau ..?” desisnya gagap, dengan tatapan mata terus tertuju pada Seta.Malang baginya. Sebelah kaki si lelaki terantuk sebuah batu besar. Membuat tubuhnya tanpa ampun jatuh terjengkang ke belakang.Tubuh yang sudah tak berdaya itu berguling-guling beberapa saat di atas tanah lembab. Lalu tercebur masuk ke dalam sungai yang dingin.Byur!Melihat itu lelaki bercaping satunya lagi menggeram marah. Golok di tangannya dihunuskan ke dep
UNTUK beberapa saat ketegangan menyelimuti Seta dan Sitadewi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sama-sama menduga-duga siapa sebenarnya dua orang tadi.Sitadewi masih tak memercayai jika dua orang yang dilihat Seta adalah mata-mata. Sebab seingatnya mereka tak pernah bertemu siapa-siapa selama berada di Anjuk Ladang.Bahkan lebih dari itu, baik Seta maupun Sitadewi sama-sama tidak pernah keluar dari rumah Bibi Dayinta. Kecuali untuk pergi ke tepi sungai di belakang sana.“Kalau memang benar mereka mata-mata, dari mana ada yang tahu kalau kau berada di sini, Kakang?” tanya Sitadewi kemudian.Seta kedikkan bahu.“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Selama di sini aku tak sekali pun keluar ke tempat lain kecuali sungai itu,” jawab sang prajurit.Sitadewi tanpa sadar anggukkan kepala. Itu pula yang
SESOSOK lelaki tegap tiba-tiba saja sudah berdiri mencegat Seta. Dari penampilannya mudah dikenali jika orang itu adalah seorang kesatria Jenggala.Seta picingkan kedua matanya. Mengamati lebih teliti wajah lelaki yang berdiri berkacak pinggang itu. Sekejap kemudian sang prajurit keluarkan desahan panjang setelah mengenali orang tersebut.Lelaki tegap yang mengadang itu tak lain adalah Lembu Segara. Perwira rendah Kerajaan Jenggala yang meringkus Seta di gua sarang Ranajaya.Di belakang Lembu Segara ada beberapa orang lagi. Salah satu di antaranya adalah perwira rendah yang berniat membunuh Seta di dalam tahanan keraton.“Ah, benar rupanya buruan kita melarikan diri jauh hingga masuk ke daerah kekuasaan Panjalu, Balanatha,” ujar Lembu Segara sembari melirik perwira rendah di belakangnya.Yang dipanggil Balanatha tunjukkan satu seringai tipis. Tatapan matanya begitu mencorong. Seolah hendak m
SELARIK sinar kekuningan melesat keluar dari tangan tokoh silat istana berpakaian kuning. Sebuah pukulan jarak jauh mematikan terarah lurus pada Seta.Suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk mengiringi lesatan pukulan tersebut. Menggetarkan nyali siapa pun yang mendengar.Nguuung ...Yang diserang lagi-lagi jadi tercekat begitu mengenali pukulan sakti tersebut. Pastilah orang di hadapannya saat ini adalah Pendekar Lebah Maut dari Gunung Penanggungan. Tokoh silat istana Jenggala yang dikenal mempunyai pukulan sakti bernama Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gunung.“Gawat! Kedua orang ini sungguh tidak main-main,” desis Seta dengan wajah pucat.Mau tak mau sang prajurit dibuat kecut juga nyalinya. Ia tidak yakin dapat mengimbangi dua tokoh silat di hadapannya itu. Namun tak mungkin juga ia lari dari gelanggang pertempuran.Apa boleh buat. Seta harus segera mencari akal jika ing
TAK dapat dihindari lagi, jaring halus serupa sarang laba-laba yang dilepas Pendekar Gonggo Cemeng memerangkap tubuh Seta. Melilit dengan kencang, dari ujung kepala hingga ke kaki.Seta merutuk di dalam hati. Sekujur tubuhnya benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekedar memutar pedang yang ada di tangannya pun tidak bisa.Berulang kali sang prajurit mencoba menggoyang-goyang tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat menempel di tubuhnya.“Sial! Habislah aku sekarang,” batin sang prajurit dengan kesal.Di tempatnya, Lembu Segara dan Wirama sama tertawa gelak-gelak melihat kejadian tersebut. Sambil terus tertawa, kedua perwira rendah Kerajaan Jenggala itu melangkah perlahan mendekati Seta.“Seta, Seta ... lihatlah keadaanmu kini. Terperangkap dalam jaring sakti milik Pendekar Gonggo Cemeng. Tak ubahnya serangga digulung sarang laba-laba,” ujar Lembu Se
SRIIINGGGG!Ketegangan seketika menyelimuti tempat tersebut. Semakin dekat pedang di tangan Lembu Segara ke batang leher Seta, bertambah pula ketegangan di benak orang-orang yang menyaksikan.Seta sendiri hanya dapat menelan ludah. Sepasang matanya lantas dipejamkan rapat-rapat. Terdengar ia menghela napas panjang-panjang dengan wajah pasrah.Di dalam hati sebenarnya sang prajurit tak mau menerima kenyataan. Dendamnya pada Ranajaya belum lagi terbalaskan. Dendam kesumat yang bisa membuatnya mati penasaran. Namun ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi saat itu.“Baiklah, begini rupanya semua ini harus berakhir,” desah Seta di dalam hati.Bayangan Harini isterinya seketika menyelinap. Perempuan itu tampak mengembangkan kedua tangan lebar-lebar. Seakan-akan bersiap menyambut kedatangan Seta di alam lain. Sedangkan putera mereka berdiri di sebelah, memeluk erat kaki ibunya.Tak disangka-sangka, wajah Rara ke
BEGITU tubuhnya menyerbu ke depan, tangan Pendekar Gonggo Cemeng menghentak ke depan. Telapaknya mengembang terbuka dibarengi dengan satu seruan dahsyat.Segumpal serat-serat halus berwarna putih bening melesat keluar. Bersumber dari bagian bawah telapak tangan pendekar yang pakaiannya berwarna serba keperakan tersebut.Begitu mendekati tubuh Ki Sajiwa, gumpalan serat halus tersebut membentang. Berubah wujud menjadi sebentuk sarang laba-laba berukuran raksasa.Srat! Srat!Tak mau kalah, Pendekar Lebah Maut juga lepaskan pukulan jarak jauh andalannya. Selarik sinar kekuningan berkiblat, menebar hawa panas memanggang.Bersamaan dengan itu muncul suara dengungan seperti ribuan tawon mengamuk. Para prajurit Jenggala yang tengah bersiaga sempat kaget dan panik mendengarnya. Namun segera tenang begitu tahu dari mana asal suara tersebut.Tak lain tak bukan, itulah Pukulan Selaksa Lebah Menyungkup Gu