SITADEWI tak mau membiarkan orang berlama-lama menunggu. Terlebih ia hapal betul suara itu. Pastilah Ki Palakrama yang membawa para prajurit tersebut naik ke atas.
Betul dugaan perempuan itu. Ketika pintu kamar dibuka, wajah Ki Palakrama tersembul masuk. Tatapan mata lelaki paruh baya tersebut penuh selidik. Memandangi seisi kamar dengan seksama.
“Ada apa, Ki? Kenapa banyak sekali prajurit kemari?” tanya Sitadewi.
Tentu saja perempuan itu hanya berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi. Wajahnya menampakkan air muka keheranan. Dengan kedua alis bertaut dan kening berkerut dalam.
Ki Palakrama tak menjawab. Lelaki paruh baya itu memberi isyarat kepala pada para prajurit yang berdiri di depan kamar.
Melihat isyarat tersebut, rombongan prajurit yang berjumlah tak kurang dari selusin orang bergegas masuk. Mereka menggeledah seisi kamar. Memeriksa setiap sudut.
Sitadewi berlagak kage
ANJUK Ladang terletak di sebelah barat laut Daha, ibukota Kerajaan Panjalu. Jauh di utara lereng Gunung Pawinihan.Dari Penginapan Sekarwangi di dekat perbatasan Jenggala-Panjalu, terbentang jarak tak kurang dari tujuh belas ribu depa (sekitar 31 km) menuju ke sana. Memutar melintasi jalur lintas batas kerajaan nan berbatu-batu.Seta dan Sitadewi memacu kuda mereka kencang-kencang. Tak sedikit pun berhenti. Menerjang gelapnya malam yang berbalut dingin mencucuk tulang.Ketika melihat satu stamba (tugu) tinggi besar dari kejauhan, Sitadewi pelankan laju kudanya. Seta sempat terheran-heran. Namun akhirnya tarik tali kekang kudanya agar hewan tersebut melambat.“Apakah kita sudah sampai?” tanya sang prajurit sembari memandang berkeliling.“Sebentar lagi, Kakang,” jawab Sitadewi. Lalu tangannya menunjuk pada tugu yang berdiri megah di kejauhan. “Kau lihat
RASA lelah yang amat sangat membawa Seta tidur nyenyak malam itu. Demikian pula Sitadewi yang menyusul terlelap tak lama setelah prajurit tersebut masuk ke alam mimpi.Keduanya tampak begitu pulas. Melewatkan malam yang hening. Hanya terdengar suara hewan-hewan malam saling bersahut-sahutan. Diseling deru angin yang sesekali berhembus.Namun sebelum itu mereka berdua sempat sedikit cekcok. Seta berkeras hendak tidur di ruang depan. Namun dicegah oleh Sitadewi yang mengajaknya tidur berdua dalam satu pembaringan.“Di ruang depan tidak ada apa-apa, Kakang. Memangnya Kakang mau tidur di atas lantai tanah?” ujar Sitadewi, berusaha mencegah dengan halus.“Tidak apa. Yang penting aku bisa meluruskan badan,” sahut Seta, tak ambil peduli.Sitadewi mengempaskan napas dengan gemas. Sepasang matanya mendelik.“Kakang, kau butuh istirahat cukup setelah seharian ini tenagamu
SITADEWI hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata si perempuan pandangi Seta dengan tatapan sedemikian menggoda.Dalam sorot mata perempuan itu terpancar satu hasrat menggebu-gebu. Hasrat yang mendesak minta dilampiaskan. Membuat Seta bergidik ngeri.Tanpa memedulikan sikap penolakan yang ditunjukkan Seta, Sitadewi kembali bergerak. Kepalanya diturunkan ke bawah, siap mencumbu leher sang prajurit.“Sita, hentikan!” desis Seta melihat itu.Dengan cepat sang prajurit tahan gerakan Sitadewi dengan kedua tangan. Dipeganginya kedua bahu telanjang perempuan itu kuat-kuat, sehingga tak dapat bergerak lebih jauh.Ketika Sitadewi coba memaksa terus menekan, Seta keluarkan geraman marah. Tanpa sadar kedua tangan sang prajurit dorong tubuh si perempuan kuat-kuat ke belakang.“Aduh, Kakang!” pekik Sitadewi, terkejut.Perempuan itu terjengkang ke belakang
SEMBARI terus menerawang ke langit, Sitadewi memulai cerita mengenai sang paman. Kisah seorang prajurit Panjalu yang harus meninggalkan dunia yang ia cintai akibat fitnah keji.Semua bermula dari pertempuran antara Panjalu dan Jenggala. Sang paman turut andil dalam perang tersebut. Bertindak sebagai seorang senapati yang membawahkan sekian puluh prajurit.Dalam satu bentrokan di Kepanjian, dekat perbatasan kedua kerajaan, pasukan yang dipimpin sang paman meraih kemenangan gilang gemilang. Pasukan Jenggala dibuat bertekuk lutut.“Karena lawan sudah kalah, Paman memutuskan untuk menghentikan pertempuran. Para prajurit Jenggala yang menyerah dibiarkan kembali ke tempat asal mereka. Tanpa seorang pun dilukai walau hanya segores,” ujar Sitadewi melanjutkan ceritanya.“Lagi pula pada waktu itu datang utusan dari Dahanapura ke medan pertempuran. Mengabarkan jika Sri Prabu Jayabhaya bersabda bahwa perang
SEJAK hari itu Sitadewi tak pernah lagi menggoda Seta. Perempuan itu berusaha menghormati perasaan sang prajurit yang belum lama kehilangan isteri tercinta.Sitadewi menyadari, tentunya bukan perkara mudah bagi Seta untuk menghapus kenangan buruk tersebut. Isterinya meninggal dalam keadaan yang tak pernah diinginkan wanita mana pun di dunia ini.Sitadewi juga semakin memahami alasan di balik sikap prajurit tersebut. Sikap yang begitu menghargainya sebagai seorang perempuan. Sekali pun ia bekerja sebagai jalir.Bahkan kemudian sang prajurit mendorongnya untuk keluar dari kubangan lembah kenistaan. Memintanya hidup sebagai perempuan baik-baik.“Martabat seorang perempuan terletak pada kemaluannya, Sita, Jangan sampai kau mati dalam keadaan menggadaikan kehormatan.”Demikian yang berulang kali Seta ucapkan pada Sitadewi. Ucapan yang langsung lengket dalam ingatan gadis itu sejak pertama kali ia
LOLONGAN setinggi langit keluar dari mulut salah seorang lelaki bercaping. Pedang di tangan Seta mengoyak perutnya. Menimbulkan luka besar menganga.Darah seketika mengucur deras membasahi tubuh lelaki itu. Sekali lagi ia menjerit, tubuhnya tampak bergetar hebat, sewaktu sepasang matanya melihat usus di perutnya terburai keluar.Sambil pegangi perut yang terluka parah dengan kedua tangan, lelaki tersebut mundur beberapa langkah ke belakang.“Ka-kau ..?” desisnya gagap, dengan tatapan mata terus tertuju pada Seta.Malang baginya. Sebelah kaki si lelaki terantuk sebuah batu besar. Membuat tubuhnya tanpa ampun jatuh terjengkang ke belakang.Tubuh yang sudah tak berdaya itu berguling-guling beberapa saat di atas tanah lembab. Lalu tercebur masuk ke dalam sungai yang dingin.Byur!Melihat itu lelaki bercaping satunya lagi menggeram marah. Golok di tangannya dihunuskan ke dep
UNTUK beberapa saat ketegangan menyelimuti Seta dan Sitadewi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sama-sama menduga-duga siapa sebenarnya dua orang tadi.Sitadewi masih tak memercayai jika dua orang yang dilihat Seta adalah mata-mata. Sebab seingatnya mereka tak pernah bertemu siapa-siapa selama berada di Anjuk Ladang.Bahkan lebih dari itu, baik Seta maupun Sitadewi sama-sama tidak pernah keluar dari rumah Bibi Dayinta. Kecuali untuk pergi ke tepi sungai di belakang sana.“Kalau memang benar mereka mata-mata, dari mana ada yang tahu kalau kau berada di sini, Kakang?” tanya Sitadewi kemudian.Seta kedikkan bahu.“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Selama di sini aku tak sekali pun keluar ke tempat lain kecuali sungai itu,” jawab sang prajurit.Sitadewi tanpa sadar anggukkan kepala. Itu pula yang
SESOSOK lelaki tegap tiba-tiba saja sudah berdiri mencegat Seta. Dari penampilannya mudah dikenali jika orang itu adalah seorang kesatria Jenggala.Seta picingkan kedua matanya. Mengamati lebih teliti wajah lelaki yang berdiri berkacak pinggang itu. Sekejap kemudian sang prajurit keluarkan desahan panjang setelah mengenali orang tersebut.Lelaki tegap yang mengadang itu tak lain adalah Lembu Segara. Perwira rendah Kerajaan Jenggala yang meringkus Seta di gua sarang Ranajaya.Di belakang Lembu Segara ada beberapa orang lagi. Salah satu di antaranya adalah perwira rendah yang berniat membunuh Seta di dalam tahanan keraton.“Ah, benar rupanya buruan kita melarikan diri jauh hingga masuk ke daerah kekuasaan Panjalu, Balanatha,” ujar Lembu Segara sembari melirik perwira rendah di belakangnya.Yang dipanggil Balanatha tunjukkan satu seringai tipis. Tatapan matanya begitu mencorong. Seolah hendak m