MATAHARI belum lagi tenggelam sempurna di ufuk barat. Namun hawa dingin mencucuk tulang sudah menyungkupi seantero kaki Gunung Kampud.
Di beberapa tempat bahkan tampak kabut mengambang di udara senja. Hewan-hewan malam pun mulai unjuk suara. Walau masih terdengar perlahan, seolah malu-malu.
Sesore itu Sitadewi sudah unjuk diri di kajaliran yang ada di Penginapan Sekarwangi. Tak biasanya ia datang ke sana sebelum gelap datang.
Denyut kajaliran baru mulai terasa saat malam telah benar-benar kelam. Sebelum itu, para jalir lebih suka menghabiskan waktu mereka di dalam kamar masing-masing.
“Tumben, Sita?” tegur salah seorang wanita pekerja penginapan begitu melihat kemunculan gadis itu.
Yang ditegur hanya tersenyum manis. Tak menanggapi sepatah kata pun. Langkahnya diteruskan menuju ke satu ruangan kecil di sudut penginapan. Tempat di mana Ki Palakrama biasa berada.
Perempuan itu ingin
SITADEWI tak mau membiarkan orang berlama-lama menunggu. Terlebih ia hapal betul suara itu. Pastilah Ki Palakrama yang membawa para prajurit tersebut naik ke atas.Betul dugaan perempuan itu. Ketika pintu kamar dibuka, wajah Ki Palakrama tersembul masuk. Tatapan mata lelaki paruh baya tersebut penuh selidik. Memandangi seisi kamar dengan seksama.“Ada apa, Ki? Kenapa banyak sekali prajurit kemari?” tanya Sitadewi.Tentu saja perempuan itu hanya berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi. Wajahnya menampakkan air muka keheranan. Dengan kedua alis bertaut dan kening berkerut dalam.Ki Palakrama tak menjawab. Lelaki paruh baya itu memberi isyarat kepala pada para prajurit yang berdiri di depan kamar.Melihat isyarat tersebut, rombongan prajurit yang berjumlah tak kurang dari selusin orang bergegas masuk. Mereka menggeledah seisi kamar. Memeriksa setiap sudut.Sitadewi berlagak kage
ANJUK Ladang terletak di sebelah barat laut Daha, ibukota Kerajaan Panjalu. Jauh di utara lereng Gunung Pawinihan.Dari Penginapan Sekarwangi di dekat perbatasan Jenggala-Panjalu, terbentang jarak tak kurang dari tujuh belas ribu depa (sekitar 31 km) menuju ke sana. Memutar melintasi jalur lintas batas kerajaan nan berbatu-batu.Seta dan Sitadewi memacu kuda mereka kencang-kencang. Tak sedikit pun berhenti. Menerjang gelapnya malam yang berbalut dingin mencucuk tulang.Ketika melihat satu stamba (tugu) tinggi besar dari kejauhan, Sitadewi pelankan laju kudanya. Seta sempat terheran-heran. Namun akhirnya tarik tali kekang kudanya agar hewan tersebut melambat.“Apakah kita sudah sampai?” tanya sang prajurit sembari memandang berkeliling.“Sebentar lagi, Kakang,” jawab Sitadewi. Lalu tangannya menunjuk pada tugu yang berdiri megah di kejauhan. “Kau lihat
RASA lelah yang amat sangat membawa Seta tidur nyenyak malam itu. Demikian pula Sitadewi yang menyusul terlelap tak lama setelah prajurit tersebut masuk ke alam mimpi.Keduanya tampak begitu pulas. Melewatkan malam yang hening. Hanya terdengar suara hewan-hewan malam saling bersahut-sahutan. Diseling deru angin yang sesekali berhembus.Namun sebelum itu mereka berdua sempat sedikit cekcok. Seta berkeras hendak tidur di ruang depan. Namun dicegah oleh Sitadewi yang mengajaknya tidur berdua dalam satu pembaringan.“Di ruang depan tidak ada apa-apa, Kakang. Memangnya Kakang mau tidur di atas lantai tanah?” ujar Sitadewi, berusaha mencegah dengan halus.“Tidak apa. Yang penting aku bisa meluruskan badan,” sahut Seta, tak ambil peduli.Sitadewi mengempaskan napas dengan gemas. Sepasang matanya mendelik.“Kakang, kau butuh istirahat cukup setelah seharian ini tenagamu
SITADEWI hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata si perempuan pandangi Seta dengan tatapan sedemikian menggoda.Dalam sorot mata perempuan itu terpancar satu hasrat menggebu-gebu. Hasrat yang mendesak minta dilampiaskan. Membuat Seta bergidik ngeri.Tanpa memedulikan sikap penolakan yang ditunjukkan Seta, Sitadewi kembali bergerak. Kepalanya diturunkan ke bawah, siap mencumbu leher sang prajurit.“Sita, hentikan!” desis Seta melihat itu.Dengan cepat sang prajurit tahan gerakan Sitadewi dengan kedua tangan. Dipeganginya kedua bahu telanjang perempuan itu kuat-kuat, sehingga tak dapat bergerak lebih jauh.Ketika Sitadewi coba memaksa terus menekan, Seta keluarkan geraman marah. Tanpa sadar kedua tangan sang prajurit dorong tubuh si perempuan kuat-kuat ke belakang.“Aduh, Kakang!” pekik Sitadewi, terkejut.Perempuan itu terjengkang ke belakang
SEMBARI terus menerawang ke langit, Sitadewi memulai cerita mengenai sang paman. Kisah seorang prajurit Panjalu yang harus meninggalkan dunia yang ia cintai akibat fitnah keji.Semua bermula dari pertempuran antara Panjalu dan Jenggala. Sang paman turut andil dalam perang tersebut. Bertindak sebagai seorang senapati yang membawahkan sekian puluh prajurit.Dalam satu bentrokan di Kepanjian, dekat perbatasan kedua kerajaan, pasukan yang dipimpin sang paman meraih kemenangan gilang gemilang. Pasukan Jenggala dibuat bertekuk lutut.“Karena lawan sudah kalah, Paman memutuskan untuk menghentikan pertempuran. Para prajurit Jenggala yang menyerah dibiarkan kembali ke tempat asal mereka. Tanpa seorang pun dilukai walau hanya segores,” ujar Sitadewi melanjutkan ceritanya.“Lagi pula pada waktu itu datang utusan dari Dahanapura ke medan pertempuran. Mengabarkan jika Sri Prabu Jayabhaya bersabda bahwa perang
SEJAK hari itu Sitadewi tak pernah lagi menggoda Seta. Perempuan itu berusaha menghormati perasaan sang prajurit yang belum lama kehilangan isteri tercinta.Sitadewi menyadari, tentunya bukan perkara mudah bagi Seta untuk menghapus kenangan buruk tersebut. Isterinya meninggal dalam keadaan yang tak pernah diinginkan wanita mana pun di dunia ini.Sitadewi juga semakin memahami alasan di balik sikap prajurit tersebut. Sikap yang begitu menghargainya sebagai seorang perempuan. Sekali pun ia bekerja sebagai jalir.Bahkan kemudian sang prajurit mendorongnya untuk keluar dari kubangan lembah kenistaan. Memintanya hidup sebagai perempuan baik-baik.“Martabat seorang perempuan terletak pada kemaluannya, Sita, Jangan sampai kau mati dalam keadaan menggadaikan kehormatan.”Demikian yang berulang kali Seta ucapkan pada Sitadewi. Ucapan yang langsung lengket dalam ingatan gadis itu sejak pertama kali ia
LOLONGAN setinggi langit keluar dari mulut salah seorang lelaki bercaping. Pedang di tangan Seta mengoyak perutnya. Menimbulkan luka besar menganga.Darah seketika mengucur deras membasahi tubuh lelaki itu. Sekali lagi ia menjerit, tubuhnya tampak bergetar hebat, sewaktu sepasang matanya melihat usus di perutnya terburai keluar.Sambil pegangi perut yang terluka parah dengan kedua tangan, lelaki tersebut mundur beberapa langkah ke belakang.“Ka-kau ..?” desisnya gagap, dengan tatapan mata terus tertuju pada Seta.Malang baginya. Sebelah kaki si lelaki terantuk sebuah batu besar. Membuat tubuhnya tanpa ampun jatuh terjengkang ke belakang.Tubuh yang sudah tak berdaya itu berguling-guling beberapa saat di atas tanah lembab. Lalu tercebur masuk ke dalam sungai yang dingin.Byur!Melihat itu lelaki bercaping satunya lagi menggeram marah. Golok di tangannya dihunuskan ke dep
UNTUK beberapa saat ketegangan menyelimuti Seta dan Sitadewi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sama-sama menduga-duga siapa sebenarnya dua orang tadi.Sitadewi masih tak memercayai jika dua orang yang dilihat Seta adalah mata-mata. Sebab seingatnya mereka tak pernah bertemu siapa-siapa selama berada di Anjuk Ladang.Bahkan lebih dari itu, baik Seta maupun Sitadewi sama-sama tidak pernah keluar dari rumah Bibi Dayinta. Kecuali untuk pergi ke tepi sungai di belakang sana.“Kalau memang benar mereka mata-mata, dari mana ada yang tahu kalau kau berada di sini, Kakang?” tanya Sitadewi kemudian.Seta kedikkan bahu.“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Selama di sini aku tak sekali pun keluar ke tempat lain kecuali sungai itu,” jawab sang prajurit.Sitadewi tanpa sadar anggukkan kepala. Itu pula yang
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan