AKIBAT terlalu sibuk mencari-cari pedangnya yang entah di mana, Seta menjadi lengah. Sambaran pedang dua prajurit di hadapannya semakin dekat. Terlihat sulit dihindari.
Untung saja kesadaran Seta pulih di saat yang tepat. Sejengkal lagi mata tajam dua pedang menggores kulitnya, sang wira tamtama Jenggala cepat lengkungkan punggung ke belakang. Diturunkan serendah mungkin.
Wuutt! Wuutt!
Sambaran dua pedang hanya menemui udara kosong. Lewat satu jengkal di atas perut Seta.
Sang prajurit lantas ulurkan kedua tangannya, mencapai lantai ruangan. Dalam sekali sentak, tubuhnya kemudian berjungkir balik menjauhi lawan.
Sembari berjungkir balik begitu, kedua kaki Seta dihantamkan ke depan. Menendang pergelangan tangan dua prajurit yang masih terbengong-bengong karena serangan mereka meleset.
Des! Des!
“Aaaa!”
Yang ditendang berseru kaget. Tubuh mereka sontak terjajar
MELIHAT empat prajurit yang dibawanya dirobohkan Seta, si perwira rendah jadi menggeram marah. Kedua tangannya dilipat ke pinggang. Tatapan matanya nyalang memerah menatap sang wira tamtama.Meski demikian diam-diam perwira rendah tersebut memuji di dalam hati. Mau tak mau ia harus mengakui jika kemampuan Seta sudah meningkat pesat.“Hmm, rupanya dia menghilang selama ini untuk memperdalam kemampuan olah kanuragan. Pantas saja empat prajurit pilihan yang aku bawa tadi dapat dikalahkannya,” batin perwira rendah tersebut.“Benar perkiraanku. Adalah keputusan bodoh tidak langsung menghabisinya saat berada di Gua Selogiri waktu itu. Prajurit satu ini bisa jadi duri dalam daging bagi rencanaku!” tambah sang perwira rendah.Sementara itu Seta melangkah mendekat. Lalu berhenti sejarak satu depa (sekitar 1,86 meter) dari hadapan perwira rendah di hadapannya.“Aku tidak menyangka ka
SETA lantas melangkah keluar dari dalam ruang tahanan. Namun baru saja tangannya membuka pintu ruangan tersebut, terdengar suara berdesing dari arah belakang.Sing!Sontak Seta miringkan tubuhnya ke samping. Sebilah pedang lewat persis satu jengkal dari bahunya.Pucatlah wajah sang prajurit mengetahui hal itu. Sempat terlambat menghindar, pasti batang lehernya sudah kena babat putus oleh sambaran pedang tajam tersebut.“Pembokong keparat!” geram Seta.Sembari berkata begitu sang prajurit balikkan badannnya. Sebelah kakinya terangkat, melepas satu tendangan memutar ke arah pembokong di belakang.Des!“Aaaa!”Serangan balasan yang tak disangka-sangka itu mendarat telak di rahang lawan. Terdengar jeritan mengaduh. Lalu berisik suara tembok ruang tahanan terhantam benda besar lagi berat. Ditutup nyaring bunyi berkelontangan.Rupanya yang baru saja melakukan bokongan adalah salah
SEBAGAI prajurit, Seta tentu paham seluk beluk keraton. Bahkan juga kawasan jeron beteng Kkotaraja. Karenanya ia tahu saat itu dirinya sedang berada di mana.Hal itu membuat sang prajurit dapat dengan mudah menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain. Dari satu sudut tersembunyi, ke sudut yang lain.Sementara dari kejauhan, terdengar suara ramai teriakan banyak orang. Seta tajamkan pendengaran. Tak lama kemudian gerahamnya bergemeletuk keras.“Sial! Para prajurit di ruang tahanan bawah tanah itu pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” batin Seta gusar.Sang prajurit lantas arahkan pandangan matanya ke sekeliling. Mengamat-amati keadaan. Terlihat olehnya beberapa orang magalah (prajurit bersenjata tombak) berdiri siaga di gerbang-gerbang yang memisahkan bangsal-bangsal besar di dalam keraton tersebut.Setelah menimbang-nimbang sesaat, Seta berkesimpulan akan lebih mudah baginya untu
MATAHARI belum lagi tenggelam sempurna di ufuk barat. Namun hawa dingin mencucuk tulang sudah menyungkupi seantero kaki Gunung Kampud.Di beberapa tempat bahkan tampak kabut mengambang di udara senja. Hewan-hewan malam pun mulai unjuk suara. Walau masih terdengar perlahan, seolah malu-malu.Sesore itu Sitadewi sudah unjuk diri di kajaliran yang ada di Penginapan Sekarwangi. Tak biasanya ia datang ke sana sebelum gelap datang.Denyut kajaliran baru mulai terasa saat malam telah benar-benar kelam. Sebelum itu, para jalir lebih suka menghabiskan waktu mereka di dalam kamar masing-masing.“Tumben, Sita?” tegur salah seorang wanita pekerja penginapan begitu melihat kemunculan gadis itu.Yang ditegur hanya tersenyum manis. Tak menanggapi sepatah kata pun. Langkahnya diteruskan menuju ke satu ruangan kecil di sudut penginapan. Tempat di mana Ki Palakrama biasa berada.Perempuan itu ingin
SITADEWI tak mau membiarkan orang berlama-lama menunggu. Terlebih ia hapal betul suara itu. Pastilah Ki Palakrama yang membawa para prajurit tersebut naik ke atas.Betul dugaan perempuan itu. Ketika pintu kamar dibuka, wajah Ki Palakrama tersembul masuk. Tatapan mata lelaki paruh baya tersebut penuh selidik. Memandangi seisi kamar dengan seksama.“Ada apa, Ki? Kenapa banyak sekali prajurit kemari?” tanya Sitadewi.Tentu saja perempuan itu hanya berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi. Wajahnya menampakkan air muka keheranan. Dengan kedua alis bertaut dan kening berkerut dalam.Ki Palakrama tak menjawab. Lelaki paruh baya itu memberi isyarat kepala pada para prajurit yang berdiri di depan kamar.Melihat isyarat tersebut, rombongan prajurit yang berjumlah tak kurang dari selusin orang bergegas masuk. Mereka menggeledah seisi kamar. Memeriksa setiap sudut.Sitadewi berlagak kage
ANJUK Ladang terletak di sebelah barat laut Daha, ibukota Kerajaan Panjalu. Jauh di utara lereng Gunung Pawinihan.Dari Penginapan Sekarwangi di dekat perbatasan Jenggala-Panjalu, terbentang jarak tak kurang dari tujuh belas ribu depa (sekitar 31 km) menuju ke sana. Memutar melintasi jalur lintas batas kerajaan nan berbatu-batu.Seta dan Sitadewi memacu kuda mereka kencang-kencang. Tak sedikit pun berhenti. Menerjang gelapnya malam yang berbalut dingin mencucuk tulang.Ketika melihat satu stamba (tugu) tinggi besar dari kejauhan, Sitadewi pelankan laju kudanya. Seta sempat terheran-heran. Namun akhirnya tarik tali kekang kudanya agar hewan tersebut melambat.“Apakah kita sudah sampai?” tanya sang prajurit sembari memandang berkeliling.“Sebentar lagi, Kakang,” jawab Sitadewi. Lalu tangannya menunjuk pada tugu yang berdiri megah di kejauhan. “Kau lihat
RASA lelah yang amat sangat membawa Seta tidur nyenyak malam itu. Demikian pula Sitadewi yang menyusul terlelap tak lama setelah prajurit tersebut masuk ke alam mimpi.Keduanya tampak begitu pulas. Melewatkan malam yang hening. Hanya terdengar suara hewan-hewan malam saling bersahut-sahutan. Diseling deru angin yang sesekali berhembus.Namun sebelum itu mereka berdua sempat sedikit cekcok. Seta berkeras hendak tidur di ruang depan. Namun dicegah oleh Sitadewi yang mengajaknya tidur berdua dalam satu pembaringan.“Di ruang depan tidak ada apa-apa, Kakang. Memangnya Kakang mau tidur di atas lantai tanah?” ujar Sitadewi, berusaha mencegah dengan halus.“Tidak apa. Yang penting aku bisa meluruskan badan,” sahut Seta, tak ambil peduli.Sitadewi mengempaskan napas dengan gemas. Sepasang matanya mendelik.“Kakang, kau butuh istirahat cukup setelah seharian ini tenagamu
SITADEWI hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata si perempuan pandangi Seta dengan tatapan sedemikian menggoda.Dalam sorot mata perempuan itu terpancar satu hasrat menggebu-gebu. Hasrat yang mendesak minta dilampiaskan. Membuat Seta bergidik ngeri.Tanpa memedulikan sikap penolakan yang ditunjukkan Seta, Sitadewi kembali bergerak. Kepalanya diturunkan ke bawah, siap mencumbu leher sang prajurit.“Sita, hentikan!” desis Seta melihat itu.Dengan cepat sang prajurit tahan gerakan Sitadewi dengan kedua tangan. Dipeganginya kedua bahu telanjang perempuan itu kuat-kuat, sehingga tak dapat bergerak lebih jauh.Ketika Sitadewi coba memaksa terus menekan, Seta keluarkan geraman marah. Tanpa sadar kedua tangan sang prajurit dorong tubuh si perempuan kuat-kuat ke belakang.“Aduh, Kakang!” pekik Sitadewi, terkejut.Perempuan itu terjengkang ke belakang