Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari.

Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton.

"Kar... "

Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa berucap satu katapun. Seolah menunggu sebuah pengakuan dari seseorang yang bisa disebut teman itu. Rasa frustasi dan kekecewaan menderanya semenjak tiba di rumah ini. Ia bahkan tak punya energi untuk sekedar protes dengan aksi diamnya sang sahabat.

"Maaf sekali, saya tahu kamu marah sama aku. Aku bukannya nggak mau jujur sama kamu. Cumaa..."

Satria tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.

Tak tahu harus mulai dari mana menceritakan sebuah rahasia yang selama ini terpendam di hatinya. Azkara jadi gemas tak karuan. Ingin rasanya membuka paksa mulut kehitaman sang sahabat karena terlalu banyak merokok itu. Atau mengorek hati dan jantungnya keluar dari tubuhnya. Agar ia dapat melihat isi hatinya, apa masih menganggapnya sebagai teman atau selama ini Satria hanya pura-pura berteman.

"Kar... lupakan Shafira... masih banyak gadis lain yang lebih cantik... " Azkara melotot kesal.

"Dia istriku!"

"Apa maksudmu sebenarnya bicara seperti itu?! "

Satria tersentak. Selama ini Azkara tak pernah bersikap dan bicara kasar terhadapnya. Mau tak mau jantungnya berpacu seketika. Terlalu terkejut melihat perubahan sikap temannya, Satria tergagap-gagap dibuatnya. Meski kata-kata itu diucapkan dengan nada biasa, tapi terasa cukup tajam menusuk hatinya. Satria merasa berdarah-darah.

"Maksudkuu... untuk apa mengharapkan wanita yang tidak bisa menjaga dirinya untuk suaminyaa... "

Lagi-lagi Satria menggantung ucapannya.

Azkara mendengus sebal. Tak mengira Satria masih terus bermain teka-teki seperti ini. Sungguh keterlaluan. Kekecewaan yang menderanya membuatnya semakin malas berhadapan dengan pemuda di hadapannya ini.

"Kar, ga usah mencari Shafira lagi... " Suara Satria agak lirih, menekan perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya.

Azkara menatapnya tajam. Mencoba menebak isi pikiran temannya itu. Benar-benar membuatnya frustasi. Apa salahnya bicara jujur dan terus terang saja agar ia mengerti masalah yang dihadapinya.

"Dia masih istriku! Apapun alasannya aku harus tahu. Jika dia berbuat salah, aku harus menyadarkannya, mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Jika dia tidak bersalah aku harus mendukungnya!!"

"Dia sudah pergi, Kar, nggak bakalan balik lagi."

"IYA, TAPI KENAPA?!!

Azkara semakin meradang, memelotinya dengan penuh emosi.

"Dari tadi kamu muter-muter terus, kaya sengaja mengalihkan perhatian. Sudah kamu aja, saya mau melihat ayah! " Usir Azkara kasar, menunjuk pintu yang terbuka.

Satria tersenyum getir. Apa persahabatan mereka harus berakhir karena wanita itu? Sungguh ironis.

"Shafiaa... nggak sebaik keliatannya... "

Azkara tertegun. Menatap manik coklat temannya itu geram sekaligus penasaran. Tak kunjung bersuara untuk beberapa saat. Ia bahkan tak beraksi saat Satria menepuk bahunya berpamitan.

"Apa maksud kamu?

"Bicara yang jelas!"

Ultimatum Azkara sontak membuat Satria menghentikan langkahnya yang baru saja mencapai pintu pagar. Satria mematung sejenak di tempatnya berdiri, seperti mencari kata-kata yang tepat agar temannya itu tidak salah paham. Ia lalu berjalan kembali dan berdiri tepat di hadapan Azkara.

"Diaaa... pergi sebulan lalu, dijemput cowok pake mobil... "

Suara Satria pelan, seolah bicara sendiri. Tapi cukup membuat Azkara bagai tersambar petir di siang bolong.

"Apa maksudmu? Cowok siapa?!" hardiknya tak sabar.

Satria terdiam. Lalu menghela nafas panjang.

"Tadinya kupikir supir taksi online, tapi nggak mungkin kan penumpang cipika-cipiki, cium kening sama drivernya?"

"APA??!"

Azkara ternganga tak percaya.

"Abis itu kita nggak pernah lagi ngeliat atawa ketemu sama Shafira. Dia bener-bener nggak pernah pulang lagi karena udah bawa koper segala."

Ketegangan mereka agak mencair saat terdengar sapaan seseorang. Keduanya mendongak. Tatapan mereka bertemu dengan sepasang mata belo’ milik pemuda yang mereka kenali. Andika menatap keduanya bergantian dengan geli. Namun yang ditatap tak bergeming, hanya membalas tatapannya dengan tegang.

“ Napa, kalian?” selorohnya tak peka kondisi, “tegang kali, Mak!”

Azkara mengerutkan kening menatapnya jengkel. Sementara Satria justru tampak gugup. Kecemasan tampak di wajahnya yang tirus. Tingkah slengean Andika tetap berjalan tanpa peduli mimik kedua teman sepermainannya itu tak enak dipandang. Andika mengambil tempat duduk di sebelah Satria yang tak merubah air mukanya. Keruh. Beberapa saat kemudian tubuhnya bergerak ke bawah dan berbaring di lantai.

Santai kaya di pantai.

Azkara yang duduk di atas sisa batang pohon jambu air yang tumbang, menatap mereka satu persatu. Kesal dan marah, tapi tak berdaya. Kedua sahabat masa kecilnya itu memilih bungkam tentang kepergian Shafira. Ia yakin mereka pasti tahu sesuatu.

Tapi bagaimana cara memancingnya untuk cerita?

Benar-benar tak setia kawan!

Hanya menyuruhnya melupakan Shafira tanpa memberikan penjelasan apa-apa.

Keterlaluan!

Ia terlanjur kecewa dengan teman-temannya ini memilih masuk ke dalam rumah dan duduk di karpet di dalam. Tak bisa mengusir tapi juga tak ingin berhadapan dengan mereka. Jadi dibiarkan saja mereka pulang sendiri.

Dan benar saja. Suasana yang sudah tidak kondusif itu membuat mereka memutuskan untuk berpamitan, meski tak ada sahutan dari Azkara yang sudah terlalu malas bicara. Setelah mendengar pintu pagar bambunya ditutup, Azkara bangkit untuk mengintip ke luar melalui jendela. Dari kejauhan tampak kedua sahabatnya itu berjalan berangkulan dan tampak mengobrol ceria. Ada rasa perih menghimpit dadanya.

Mereka sahabatnya tapi kenapa seperti ini?