Home / Urban / Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati / Bab 2. Desas-desus Tetangga

Share

Bab 2. Desas-desus Tetangga

Author: Fajria Alting
last update Last Updated: 2024-05-13 14:59:57

Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin.

Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak.

Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali.

Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetangga yang belum tentu benar.

Ia mungkin akan berbelanja ke minimarket dan membeli makanan matang saja di warung Bu Indah di ujung jalan Desa. Ia tak siap dengan komentar para tetangga tentang istrinya. Sementara gas dan air galon lebih baik memesannya lewat WA saja. Tapi rencana tinggal rencana. Maksud hati menghindar dari kelompok ibu-ibu gosiper, ternyata malah bertemu di minimarket yang letaknya di ujung jalan Desa Respati.

“Eh, Kar, udah pulang?”

Wanita berusia tiga puluhan bernama Kalina langsung menghampiri Azkara saat melihatnya berada di depan meja kasir dan menyalaminya

Kalina yang sedang membawa anak perempuannya yang berusia 3 tahun jajan di minimarket malah menunda niatnya hingga membuat anaknya rewel. Azkara tersenyum dan membungkuk menggoda bocah berambut keriting itu. Bocah bernama Kayla itu tertawa terbahak-bahak karena digelitiki Azkara.

“Om, Ateu Shapila Kabul cama Om pake mobil badus,” celoteh Bocah bernama Lira itu polos.

Azkara terkesiap mendengar ucapan cadel itu. Kepalanya mendadak terasa kosong. Ia menatap mata bulat gadis kecil itu tak percaya. Meskipun diucapkan oleh anak kecil. Tapi kata-kata itu pasti didapatnya dari orang-orang di sekitarnya, kan? Kalina langsung pucat pasi, tampak serba salah dan kikuk.

Niatnya memang menghampiri Azkara untuk mencari info agar bisa bergosip dengan ibu-ibu lain dan bikin konten di toktok. Ternyata sang putri kecil telah membongkar kedoknya duluan.

Dasar anak bawel!

Kalina merutuki putrinya dalam hati.

“Heehe, jangan dianggep, ya, anak ini mah suka asal ngomongnya, namanya juga anak-anak hehe…” Kalina buru-buru klarifikasi karena takut pemuda tampan di hadapannya itu marah, menyembunyikan putrinya di belakang badannya.

“Apa maksudnya ini, Bu?” suara Azkara terdengar lirih, seperti menahan emosi.

Kalina langsung panik.

“Nggak, kok, nggak…”

Bocah kecil itu tampak tak senang dengan sikap sang ibu, menarik-narik ujung roknya yang sebatas lutut. Kepala kecilnya muncul di balik kaki sang ibu.

“Mama gak boleh bo’ong, kata bu gulu doca!” tegurnya keras pada sang ibu kesal karena disalahkan.

Kalina meringis.

Ni, anak, gak ngerti situasi aja. Pingin tak masukin perut lagi, deh!

Kalina kelimpungan antara menjelaskan kepada Azkara dan kepada putrinya yang masih balita. Apalagi tatapan mata pemuda yang selalu lembut itu terlihat tajam, seolah ingin menguliti isi hatinya. Tiba-tiba Kalina merasa bersalah. Jika saja ia tak bergosip di hadapan putrinya, tak mungkin gadis kecil itu akan membongkar rahasia omongannya sendiri.

Padahal ia hanya bergosip kepada sang suami dan para ibu-ibu tetangga tentu saja. Sang putri kecil hanya melongo mendengarnya berapi-api mengobrol dengan mereka.

“Ata Mama… Ateu shapila Kabul syama om-om kaya pake bobil, coalnya om Akal miskin…”

Sang bocil keukeuh menjelaskan hasil gosipan ibunya tanpa menyadari wajah Kalina pucat seperti mayat. Bibirnya yang bergincu tebal sudah tertarik ke samping, sementara pikirannya sibuk traveling mencari alasan pembenaran. Ia bahkan tak berani mengangkat muka atau menatap kaki panjang Azkara secara langsung, melainkan melalui bayangannya di pavin block.

Nafas Azkara terdengar kasar dan berat. Ia sudah menduga ada yang tidak beres dengan menghilangnya Shafira sejak ia kembali ke rumah. Pekerjaannya yang berat sebagai pekerja di lokasi proyek yang jauh dari rumah memaksanya harus tinggal di bedeng khusus yang disediakan perusahaan konstruksi untuk para pekerja agar lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Sehingga ia bisa mengirimkan uang untuk kebutuhan istrinya itu dan sedikit menabung untuk rencana umroh mereka berdua dan modal usaha.

“Ibu sebaiknya jujur sama saya, apa ibu tahu kemana istri saya pergi?” Suara Azkara bergetar dalam kepahitan karena mendengar ucapan si bocil.

Kalina ragu sejenak, terlihat berpikir sebelum akhirnya menghela nafas panjang.

“Iya, Kar, waktu itu kita ngeliat istrimu sering pulang pergi diantar cowok pake modil SUV, belanja banyak, jalan-jalan, terakhir ngeliat sebulan lalu, cowok itu jemput Fira, Fira bawa koper gede, abis itu ga pernah liat dia lagi, denger-denger dari desa tetangga, ibunya si Fira bilang mereka mau jalan-jalan ke Hongkong…”

Kalina tak sanggup melanjutkan ceritanya melihat wajah keruh Azkara. Ia tak tega. Meskipun suka bergosip, tapi hatinya tak tega melihat penderitaan orang lain. Ia menundukkan kepala sambil menarik tangan putrinya, hendak berpamitan. Tapi suara Azkara berikutnya membuatnya mengurungkan niatnya.

“ibu tahu siapa cowok itu? Terus kenapa dia mau jual rumah saya…?”

Kalina terdiam sejenak.

“Kata si fira, sih kalian berdua mau pindah, gak tahu, sih cowok itu siapa, mereka ketemuannya juga nggak di rumah, tapi dipertigaan Simpang, kaya janjian gitu, mungkin takut ditegur tetangga…”

Azkara terdiam cukup lama di depan minimarket. Bahkan sampai tak mendengar suara Kalina dan putrinya yang berpamitan. Wajah wanita itu tampak lesu, seperti merasa bersalah dan juga iba pada tetangganya. Walau bagaimanapun rahasia terlanjur dibocorkan putrinya.

Nggak sengaja, kan, namanya juga. Sampai kalina dan putrinya tak terlihat lagi. Pria itu masih berdiri mematung di tempat parkir. Tiba-tiba Azkara merasa tubuhnya kehilangan tenaga, limbung, lalu terduduk lemas di teras minimarket. Memantik kerutan keheranan dari orang-orang yang lewat.

Tiba di depan rumah, sekali lagi Azkara menatap bangunan yang seperti nyaris runtuh itu dengan seksama. Pantas saja wanita itu ingin menjualnya dan kabur dengan laki-laki kaya. Karena ia tak punya banyak uang untuk menyenangkannya.

Tapi apa harus seperti ini?

Kemana perginya Shafiranya yang alim, sabar dan penurut?

Apa selama ini Shafira tak ikhlas dengan kehidupan mereka yang serba kekurangan? Kenapa ia tak mengatakannya langsung? Dengan begitu ia akan tahu keinginan sebenarnya sang istri. Dirinya sudah bekerja keras, berusaha menyenangkan sang istri. Bahkan merelakan sebagian besar upahnya untuk dikirim kepada Shafira agar wanita itu senang.

Bahkan tabungan umroh…

Tunggu!

Tabungan umrohnya!!

Azakara nyaris melompat sambil berlari kencang menuju lemari using di kamar sempitnya. Sebuah buku kecil yang diterbitkan bank menarik perhatiannya saat membuka laci dalam lemari itu. Dengan jantung berdebar dibukanya lembaran-lembaran berisi laporan bank atas simpanannya selama ini. Tiba di halaman berisi saldo akhir….

Deg.

Apa?!

Sepuluh ribu lagi?!!

Azkara terjajar ke belakang, mundur hingga kakinya menabrak tepi kasur. Alhasil, tubuh jangkungnya terjengkang ke belakang dan terduduk di alas tidur yang mulai keras itu. Kedua tangannya tampak gemetar. Mengepal tandpa sadar saat mentap nyalang deretan angka di lembaran itu.

Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ditatapnya bolak-balik bagian depan yang terulis nama pemilik rekening dan lembar berisi info tentang saldo tadi. Ia berharap salah melihat. Mungkin bukan buku rekeningnya, atau bukan sepuluh ribu.

Tidak!

Seharusnya ada delapan puluh juta di rekeningnya. Tidak mungkin ia salah menghitung. Ia tahu persis karena selalu mencatatnya dibuku harian dengan cermat. Buku itu saksi perjuangannya sejak kecil. Sejak duduk di bangku kelas 5 SD, ia bertekad ingin memberangkatkan ibunya umroh. Setelah melihat perjuangan sang ibu membesarkannya, Azkara bertekad ingin memberikan hadiah istimewa kepada wanita yang paling dicintainya itu, yaitu mewujudkan impian wanita yang telah melahirkannya ke tanah suci.

Azkara berniat untuk pergi umroh bersama ibunya. Namun takdir berkata lain. Sang ibu meninggalkannya selamanya setelah lelah berjuang melawan gagal ginjal yang dideritanya selama setahun sebelum dirinya menikahi Shafira. Azkara merasa seluruh tulang dilepas perlahan dari tubuhnya.

Tiba-tiba gawai di saku celananya berbunyi. Azkara telonjak. Menatap layar benda pintar itu dahinya berkerut dalam.

Jovin?

Sepasang mata teduhnya berkilat.

“Hai, Bro!” Suara Jovin riang seperti biasanya, beberapa oktav di atas suara orang normal pada umumnya.

“Waalaikumsalam,” balas Azkara menyindir.

“Assalamu alaikum hehe,” Jovin Mahendra, sahabatnya sejak SMP.

“Pakabar, Bro, lemes banget suaranya?”

“Baik. Alhamdulillah,” sahut Azkara malas.

Azkara merasa telah menjadi orang munafik karena berbohong, karena dirinya sudah pasti tak baik-baik saja. Tapi ia sungguh sedang tak ingin berbasa-basi.

“Bro! Sori banget gua belom bisa ngembaliin sertifikat lo dalam bentuk aslinya, ya, uangnya masih diputer-puter buat modal. Tapi gua ganti dengan saham PT. MAZ, perusahaan gua mulai lancar, nih. Jadi sahamnya kita bagi ya, lo dapet 5 % saham. Deviden bulan ini ada 15 milyar. Belom banyak, sih, itu dulu yang bisa gua kasih, ya, Bro,” ucapan Jovin membuat Azkara tertegun sejenak.

“Apa maksudmu, Jov? Saham 5 %? Deviden?”

Azkara kebingungan sendiri, sepertinya otaknya memang sedang berkelana saat Jovin menjelaskannya barusan. Dan berusaha kembali ke kepalanya beberapa detik yang lalu.

“Heu’euh, bener! Gua belom bisa ngambil sertifikat lo di bank, jadi gua ngembaliinnya dalam bentuk saham aja, ok? Kita bagi sahamnya. Lo dapet 5 % saham di PT. MAZ grup. Lo tau, kan PT. MAZ? Perusahaan baru, sih. Baru beberapa taun beroperasi di bidang properti dan konstruksi. Alamatnya di Jakarta, ntar gua kasih, lo kesini minggu depan buat tanda tangan serah terima saham, ya, ntar gua kasih alamatnya.”

Azkara melongo mendengar penjelasan Jovin panjang-lebar itu. Otaknya berputar. Sibuk mencerna berita mengejutkan itu. Sepertinya prosesor di otaknya harus segera diganti.

Pentium tiga ketinggalan jaman!

Ia kesulitan mencerna berita gembira ini dengan cepat.

“Maksudmu aku punya saham 5 % di PT. MAZ? Perusahaanmu?”

“Ho’oh.”

“Gua transfer ke rekening lo pembagian deviden bulan ini, 15 milyar.”

Azkara terkejut bukan main. Apa Jovin serius?

“Udah dulu, oke, gua masih ada meeting sama klien, lo nanti ke Jakarta, gua tunggu di kantor minggu depan buat tanda tangan transfer saham. See you gays, prend!”

Ting!

Sebuah notifikasi melayang di gawainya muncul. Azkara buru-buru membuka kunci selulernya dan aplikasi mbanking miliknya. Detik berikutnya jantungnya berdetak lebih kencang. Azkara memelototi sambil buru-buru menghitung angka nol di saldo rekeningnya yang baru saja bertambah.

Rekening lain miliknya bertambah 15 milyar!

Dalam hitungan detik saja saldonya bertambah 15 milyar!!

Untungnya rekening ini bukan untuk tabungan umroh. Azkara memang membuka rekening khusus untuk tabungan lain-lainnya yang justru sering habis tak bersisa.

Notifikasi lain masuk berupa SMS.

15.000.500.000…

15 milyar! Beneran!

Azkara merasa dirinya hampir pinsan kehabisan nafas.

Jovan benar-benar telah mentransfer devidennya bulan ini.

Apa itu berarti ia akan mendapatkan trasnferan 15 milyar tiap bulan?

Azkara bangkit buru-buru memacu motor bututnya ke ATM terdekat. Ia harus mengganti nomor PIN nya segera.Jika tidak, Mungkin sang istri akan segera mengosongkannya lagi.

Tidak!

Enak saja!

Ini uangnya!

Azkara memutuskan mengambil 1 juta untuk pegangannya dan mengganti nomor PIN ATM nya. Jika dalam keadaan biasa mungkin ia akan memberitahukan kabar gembira ini kepada Shafira dan membiarkan wanita kesayangannya itu belanja baju branded dan tas hermes kesukaannya. Ia akan memanjakannya secara wajar. Mungkin ia akan mentransfer sebagian uang itu kepada istrinya sebagai nafkah yang layak.

Tapi sekarang semua itu terlihat konyol baginya. Ia tak akan memberitahu wanita itu isi rekeningnya sekarang. Uang ini miliknya. Kecuali jika Shafira bertaubat. Tapi semua tak lagi sama. Wanita itu sudah berani kabur dengan lelaki lain. Tak layak lagi kembali padanya.

Gawainya berdering lagi. Kali ini telepon dari nomor Bank swasta terkenal.

“Halo, selamat siang, Pak Azkara,” sapa seorang wanita sopan dan formal.

“Selamat siang?” Azkara mengerutkan dahi kebingungan.

“Maaf, Pak Azkara, saya dari BCI, mohon ijin bertanya, ya, Pak, kapan Bapak akan mulai mencicil pinjamannya?”

Azkara bagai disambar petir. Hampir saja menjatuhkan gawainya.

“Pinjaman? Pinjaman apa, ya, Bu?”

“Begini, Pak, tiga bulan lalu Ibu Shafira meminjam uang dari bank kami dengan jaminan sertifikat rumah Bapak sebanyak 30 juta…”

“Apa??” Pekik Azkara memekakan telinga, sepertinya petugas bank itu buru-buru menjauhkan telinganya dari gagang telepon sambal meniup-niup alat pendengarannya dengan tangan.

“Saya nggak pernah ngajuin pinjeman, saya juga nggak pernah nyuruh istri saya minjem ke bank pake sertifikat rumah orang tua saya!” Azkara meradang.

“Mohon maaf, Pak, tapi Ibu Shafira melampirkan surat kuasa dari Bapak…”

Fix!

Shafira benar-benar keterlaluan!

Azkara mengepalkan tangannya yang bebas. Kepulangannya kali ini disuguhi kejutan tak terduga dari wanita itu.

Kejutan yang sangat ‘menyenangkan’!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

    Last Updated : 2024-06-27
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

    Last Updated : 2024-07-10
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

    Last Updated : 2024-07-20
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

    Last Updated : 2024-07-21
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

    Last Updated : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

    Last Updated : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

    Last Updated : 2024-02-23

Latest chapter

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status