Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya.
Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafira membuatnya melambatkan laju motor. Berharap sedikit saja terdengar suara mereka yang bergosip tentang istrinya. Azkara terlalu gengsi untuk seledar bertanya keberadaa wanita itu. Malas mendatangkan pertanyaan baru. Bagaimana mungkin seorang suami tak tahu menahu kemana istrinya pergi. Motor berhenti di depan kios air minum isi ulang milik Satria, sahabat sekaligus teman masa kecilnya. Entah seperti apa kabarnya sekarang. Sejak Azkara mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di sebuah proyek di Bandung, ia tak pulang selama 5 bulan karena sangat sibuk. Baru kali ini ia diijinkan kembali. Itupun hanya beberapa hari. Seorang pemuda berbaju kuning tampak sibuk membersihkan galon kosong dengan mesin penyikat khusus. Beberapa palanggan sudah menganti di depan kios. Azkara berdiri di halaman tak mau menyela pekerjaan pria bertubuh kurus itu. Pemuda tampan itu kemudian mencari batang pohon yang telah ditebang pendek untuk dijadikan tempat duduk. Tak lama kemudian para pelanggan telah pergi satu persatu. Satria berbalik menatap pelanggan terakhir nya. Wajah berkulit coklat itu terperangah. Raut gembira tak dapat disembunyikannya lagi saat melihat sang sahabat yang tengah melamun di halaman rumah sekaligus tempat usahanya. "Woi, ngelamun aja kamu!" Azkara terkejut dengan suara teguran itu. Wajahnya berpaling menatap polos tampang usil Satria yang terkekeh-kekeh. Tak ayal ia pun ikut tergelak. Sadar sudah seperti orang linglung sejak tadi. Azkara berdiri mengambil galon dari motornya lalu menyerahkannya kepada ayah satu anak itu. "Kapan datang?" Satria membiarkan mesin membersihkan galon milik Azkara sementara ia berdiri menatap temannya. "Kemarin," Azkara berjalan menghampirinya, lalu duduk di bangku panjang di teras kios dengan santai. “Kemarin?" Satria sedikit termenung. "Kenapa nggak ke rumah? Diem-diem bae di rumah." Azkara mendengus sebal mendengar protesnya itu. "Cape lah, istirahat dulu." "Alah, cape segala, biasanya juga langsung nongol aja di di rumah." Satria mematikan mesin menyikat galon, memindahkan botol besar itu ke bawah keran pengisi air hasil suling, lalu berjalan menghampiri Azkara dan duduk disampingnya. Sorot matanya tampak berkilat, melirik temannya itu ragu. Tapi setelah sekian detik berlalu, tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. Begitupun Azkara. Pemuda itu kembali menatap kosong jalanan desa yang ramai lalu lalang orang yang akan pergi bekerja atau sekolah dan aktivitas lainnya. "Shafira... menghilang, Sat... oarang-orang bilang... dia kabur... sama cowok kaya... " Tubuh Satria yang tadi membelakangi temannya itu menegang, tapi tak berbalik. Pemuda kurus berambut ikal itu menunduk menyembunyikan gejolak di matanya. "Kamu tahu kemana Shafira, Sat?" suara Azkara lirih. Pandangannya menerawang, menaatap hamparan sawah di kejauhan. Setengah melamun. Akhirnya suara Azkara terdengar setelah beberapa menit sama-sama mematung. Lesu. Terdengar pasrah sekaligus kecewa dari nada suaranya. Satria sebenarnya sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut temannya itu. Tapi tetap saja tergagap. Terlihat jelas jika ia tak siap dengan jawabannya. Meski tidak sepenuhnya benar. Hanya saja ia tak yakin apa jawaban yang harus diberikan kepada sang sahabat. "…mmm... nggak tahu aku," akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Azkara berpaling, menatapnya penuh selidik. Membuat Satria panik. Membuang pandangannya ke segala arah. Gelagat itu tertangkap dengan jelas oleh Azkara. Ia tahu ada yang berusaha ditutupi Satria. "Kenapa? Kamu tahu dia kemana?" desaknya. Satria buru-buru berdiri. Gerakannya membuat bangku panjang yang tak seimbang. Nyaris membuat Azkara terjungkal. Satria spontan mengulurkan tangan menahan benda dari kayu itu. Ingin tertawa tapi takut dosa. Belum lagi melihat wajah serius sahabatnya. Ia benar-benar tak tega. "Aku.... ambil minum dulu. " Satria buru-buru melengos pergi. Azkara merasa temannya itu sedang menghindarinya. Sepertinya firasatnya benar. Satria pasti menyembunyikan sesuatu. Di dalam rumah Satria justru mondar-mandir gelisah. Lupa perkataannya sendiri jika ia akan mengambil air minum. Setengah jam berlalu. Sepertinya Satria tak berniat menemui Azkara lagi. Jadi pemuda itu bangkit dengan kesal dan berlalu meninggalkan kios milik Satri sambil membawa motor butut dan galonnya. Tiba di depan pagar bambu rumahnya, seorang tetangga menghampirinya. Wanita paruh baya dengan daster rumahan lusuh itu menepuk pundaknya. "Kar, udah pulang?" wanita yang akrab dipanggil Wa Siti itu menyapanya. Azkara berpaling lalu mengangguk sopan. "Eh. iya, Wa," Azkara tak ingin berlama-lama dengan bigos alias biang gosip di kampungnya itu menjawab singkat sambil berlalu membuka pintu. pagar bumbunya.Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc
Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan
Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga
Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti
Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar
Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit
Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang
Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar
Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti
Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga
Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan
Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc
Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir
Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang
Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit