Share

Bab 6. Ulah Shafira

Author: Fajria Alting
last update Last Updated: 2024-07-21 00:22:36

Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi.

Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab.

Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka.

"Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tangan? Ini penipuan lho, Pak... " Loan Officer Bernama Bambang Priayoga itu menatap tajam Azkara.

Pria paruh baya itu tak mengerti mengapa Azkara tiba-tiba menolak melaporkan Shafira yang sudah memalsukan tanda tangannya.

"Yakin, Pak, gimanapun juga dia istri saya saya, jd biar saya bayar aja hutangnya, 30 juta kan? "

Bambang dan kedua collector saling pandang. Lalu Bambang mengangguk. setuju. Baginya yang penting uangnya kembali.

"Yakin!" Azkara mantap.

Setelah menyelesaikan prosedur pelunasan hutan di meja costumer servis, Azkara pulang ke rumah sambil menenteng map berisi sertifikat rumah. Ia menghela nafas lega, berhasil mengamankan sertifikat rumah peninggalan orang tuanya. Sepertinya ia harus mengganti kunci rumah dan menyimpan map itu di tempat aman, agar Shafira tak bisa masuk rumah dan menemukan sertifikat miliknya itu.

Kata-kata Satria kemarin terus terngiang-ngiang dibenak Azkara, hingga sulit memejamkan mata. Pria mana yang membawa kabur istrinya? Pertanyaan itu juga terus berputar di kepala. Tak percaya sama sekali dengan hal itu. Tapi Satria juga tak mungkin membohonginya. Terlebih tempat ini hanya kampung kecil yang setiap warganya saling mengenal dan saling peduli satu sama lain.

Azkara juga tak bisa mengabaikan perbincangan warga tentang tingkah laku istrinya. Tak mau terus menerus berada dalam kegamangan. Sepertinya ia harus menuntaskan masalah ini secepatnya. Jika tidak, akan terus membuatnya frustasi setengah mati. Apalagi omongan orang mulai tak enak di dengar. Sebagai suami, ia dianggap tak becus mendidik sang istri.

Disinilah ia sekarang. Azkara menatap bangunan di hadapannya dengan takjub. Batinnya bertanya-tanya, apa ia salah rumah? Azkara memindai sekelilingnya dengan bingung. Lalu menatap kembali bangunan di hadapannya itu.

Ini memang rumahnya. Tapi... kenapa berbeda dari ingatannya. Baru beberapa bulan tidak pulang, rumah mertuanya berubah menjadi lebih indah. Meski tak dapat dibilang mewah, tapi lumayan megah untuk ukuran rumah di perkampungan seperti ini.

Ia tak dapat menghubungi mertuanya itu sejak kembali dan mencari istrinya. Jadi Azkara memutuskan untuk langsung datang ke kampung ini mencari ibu mertuanya itu. Sang ayah mertua sudah lama tiada. Wanita paruh baya itu hidup sebatang kara di rumahnya.

Azkara memberanikan diri memencet bel yang ditempel si pagar tinggi berwarna hitam. Pagar itu menutup seluruh halaman dari pihak luar. Tak mudah menemui pemilik rumah. Meski ada bel, tapi dari luar kondisi rumah tampak sepi. Berkali-kali Azkara mencet bel tapi tak ada sedikitpun pergerakan dari dalam. Ia sendiri tak yakin jika rumah ini masih milik mertuanya, mengingat wanita bertampang judes itu hanya seorang petani. Tepatnya buruh tani.

"Eh, Azkara, cari Bu Wirya, ya?" Suara seseorang di belakangnya membuat Azkara memutar tubuh untuk melihatnya.

"Iya, Bu Meria, apa kabar? Ibu tahu mertua saya pergi kemana, ya, soalnya dari tadi dibel gak ada yang buka pintu?" sahut Azkara sopan, mengenali wanita berusia awal empat puluhan yang berdiri si hadapannya itu.

"Lha emang nggak bilang ke Nak Azkara kalo Bu Wirya mau liburan ke Hongkong?"

Wanita berkerudung itu menatap tak percaya pemuda di hadapannya. Azkara tampak linglung menggelengkan kepala polos.

"Nggak, Bu."

Bu Meria ternganga tak percaya. Azkara mengangguk malu.

"Ya, Allah, beneran, Nak? Masa istrimu nggak bilang?" Meria keheranan menatap lekat wajah tampan di hadapannya.

"Wah, masa, sih, Nak? " Meria menatapnya tak percaya.

"Saya denger, Nak, Azkara kerja di luar kota. Apa Shafira belum kasih kabar kalo mereka pergi jalan-jalan ke Hongkong?"

Azkara termenung sejenak lalu menggeleng tak berdaya. Merasa konyol dengan semua ini. Disaat ia berjuang mati-matian bekerja di luar kota. menabung untuk umroh mereka berdua. Di saat yang sama harus menyisihkan untuk memberi nafkah istrinya, juga mertuanya. Sementara wanita itu malah berjalan-jalan ke luar negri?

Benar-benar konyol!

Apa mereka punya otak? Perasaan?

Memeras keringatnya sampai habis dan berdarah-darah agar bisa bersenang-senang!

Apa mereka yang mengambil tabungannya unutk jalan-jalan.

"Oh ya, Nak, cowok yang jemput mereka katanya temennya Nak Azkara, katanya disuruh sama Nak Azkara jemput istri dan mertuamu."

Apa?!

Sepasang mata teduh itu melebar, menatap wanita paruh baya dihadapannya tak percaya.

Cowok?

Siapa cowok itu??

"Maaf, Bu, cowok yang mana, ya? seperti apa tampangnya?"

Gantian. Giliran si ibu yang terpana.

"Maksudnyaa.. Nak Azkara nggak tahu?" Alis Meria saling bertaut erat.

Azakara tertegun, lalu menggeleng. Baru menyadari jika ia tak sengaja membuka aibnya sendiri. Ia hanya bisa menarik nafas pasrah. Mau bagaimana lagi. Ia harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan istrinya. Dan membuktikan kebenaran dibalik kepergian istrinya itu.

"Sayaaa.... nggak tahu, Bu," sahutnya lirih.

Jawabannya itu sontak membuat Meria ternganga.

"Ibu nggak tahu siapa cowok itu. Tapi Bu Wirya bilang temennya Nak Azkara. Cumaa... "

"Cuma apa, Bu?" Serobot Azkara tak sabar.

"Sikapnya nggak kaya ke temen suami. Manja-manja genit gitu... " lanjut Meria setengah termenung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

    Last Updated : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

    Last Updated : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

    Last Updated : 2024-02-23
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

    Last Updated : 2024-05-13
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

    Last Updated : 2024-06-27
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

    Last Updated : 2024-07-10
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

    Last Updated : 2024-07-20

Latest chapter

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status