Share

Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati
Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati
Penulis: Fajria Alting

Bab I Kejutan Tak Terduga

Penulis: Fajria Alting
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-23 08:00:30

Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan

‘Dijual, hubungi nomor ….’

menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini.

Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya.

Apa ia salah rumah?

Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini ditanami sayuran yang mulai layu itu tampak tak terurus. Penuh dengan sampah dedaunan kering dan ranting pohon jambu air. Tanah kering seperti tak pernah tersiram air. Rumah ini benar-benar seperti tanpa penghuni.

Tidak!

Ini jelas rumahnya!

Tak mungkin salah!

Bahkan rumah tetangga di sebelah kanan dan kirinya masih sama. Untuk memastikan pandangannya benar, sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri. Di sebelah kiri rumah Mbah Kung alias Pak Sarwo yang bercat biru dengan halaman kecil penuh tanaman singkong yang sangat dikenalnya, karena kebaikan hati pria tua itu serta anak dan cucunya. Di sebelah kanan rumahnya adalah milik Ibu Nurmala, wanita berusia 30an yang doyan bergosip, tapi baik hati dan suka menolong tanpa pamrih.

Benar!

Ini rumahnya!

Lalu kenapa ada benner itu tergantung di depan rumah bobroknya?

Apa Shafira, istrinya yang menempelnya?

Tapi kenapa?

Seingatnya ia tak pernah mengatakan pada wanita muda itu jika rumah mereka akan dijual.

Azkara tetap berdiri di depan pagar kayu yang masih terbuka. Dadanya kembang kempis menahan kesal. Ia ingat betul tak pernah meminta sang istri untuk menjual rumah ini. Ia berusaha mengingat-ingat kembali obrolan terakhir dengan wanita itu.

Tak muncul dalam memorinya bayangan obrolan mereka tentang hal itu. Bahkan ia pernah mengatakan akan merenovasi rumah jika tabungannya sudah melebihi biaya umroh mereka berdua.

Azkara langsung menutup pagar kayu rumahnya dan melangkah tergesa-gesa ke dalam rumah. Rasa rindu yang sejak beberapa bulan terpendam didadanya seketika menguap begitu saja. Berganti rasa cemas dan kecurigaan yang harus segera dituntaskan. Dengan agak buru-buru ia membuka pintu kayu yang warnanya sudah pudar, bahkan tripleknya sudah mulai mengelupas.

Bau pengap dan debu menyerbu penciumannya begitu pintu terbuka. Sepi. Kosong. Tak ada siapapun di dalam rumah. Tadi saat ia membuka handel pintunya tak mau terbuka. Untung saja ia membawa kunci cadangan bersamanya. Azkara melangkahkan kaki panjangnya memasuki ruangan tamu yang kecil.

Tangannya yang kokoh membuka jendela kaca yang dilapis kayu di bagian luarnya untuk menghalau bau tak sedap di ruangan berukuran 3 kali 3 meter itu. Udara segar khas pegunungan di kaki gunung tangkuban Perahu menerpa wajah tampannya.

Azkara menatap karpet plastik alas duduk yang biasa dirinya dan Shafira gunakan menutupi lantai semen berwarna abu-abu itu sudah sangat kotor tertutup debu. Batinnya bergejolak penasaran.

Kemana Shafira?

Berapa lama wanita itu pergi dari rumah?

Kenapa rumah ini begitu kotor dan berdebu?

Azkara segera memeriksa dapur kecil di belakang rumah.

Kosong.

Tak ada wanita cantik itu di sana. Peralatan dapur dan piring kotor menumpuk di lantai tempat pencucian piring yang juga berfungsi sebagai tempat mencuci baju dan berwudhu. Tempat itu dibatasi tembok setinggi 10 senti untuk mencegah cipratan air membasahi lantai dapur. Baju-baju kotor masih menumpuk di dalam ember besar.

Baju-baju itu sepertinya belum dicuci sejak terakhir ia pulang. Debu dan udara terperangkap di ruang kecil ini hingga bau tak sedap menguar menerpa hidung mancungnya. Azakara berjalan ke arah jendela dapur dan membukanya. Tubuh tinggi tegap itu mematung menatap halaman belakang yang ditumbuhi rumput liar setinggi setengah meter. Pria berkulit kecoklatan itu menggeleng-geleng tak percaya.

Kamar tempat peraduannya dengan sang istri menjadi sasaran berikutnya. Kembali ia mendapati hal serupa. Kosong dan pengap berdebu. Buru-buru pria berusia awal dua puluhan itu membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sinar matahari siang memancar masuk kedalam kamar hingga membuatnya silau.

Azkara membenahi gorden transparan yang tampak kotor berdebu untuk menghalangi sinar matahari.

Azkara duduk termenung di tepian kasur lantai yang sudah lepek. Cepat dikeluarkannya seluler sederhana yang sudah ketinggalan mode, memeriksa pesan di aplikasi hijau ataupun daftar riwayat teleponnya. Tak satupun kabar dari istrinya muncul di sana. Bahkan ratusan pesan yang telah dikirimnya tak berbalas sama sekali. Berkali-kali pemuda itu mencoba menelpon istrinya.

Tidak aktif.

Azkara juga sudah berkali-kali memeriksa kuota maupun pulsanya. Tak ada masalah dengan itu semua. Kelelahan karena perjalanan panjang dari lokasi pembangunan rel kereta cepat yang menghubungkan Bandung dan Jakarta, membuat tubuh kekarnya tak bertenaga lagi untuk beraktivitas. Ia menyerah dan berbaring miring di kasurnya.

Namun bau apek dan debu yang menguar dari sprai maupun kasur lepek itu mengganggunya dan membuatnya terbangun kembali. Azkara memutuskan mengeluarkan kasur yang sudah menipis busanya itu ke luar untuk dijemur. Panas matahari semoga bisa membuatnya hangat dan membunuh bakteri di atasnya. Sementara sprainya harus diganti dengan yang baru.

“Shafira udah pulang, ya? Tadi aku liat jendelanya pada kebuka..”.

Suara seorang wanita agak serak, khas wanita paruh baya, tertangkap indera pendengarannya. Azkara tertegun, menoleh ke arah asal suara. Nampaknya ada yang sedang mengobrol di depan rumah Nirmala. Azkara menajamkan pendengarannya penasaran saat nama sang istri disebut-sebut dalam obrolan.

“Kayanya, sih, udah, da soalna tadi teh kedenger ada yang buka pintu juga,” suara lain menyahut dengan logat khas Sundanya, Azkara yakin itu Bu Minah, tetangganya yang lain.

“Emang udah puas, ya, jalan-jalannya,” suara nyiyir yang diketahui Azkara milik Bu Zakira terdengar julid di telinganya medok khas wong Jowo.

“Kok, bisa, ya, suami pergi nyari nafkah, istri malah jalan-jalan sama…”

“Huss!” Potong suara yang diyakini Azkara milik Mbak Lela, tetangganya yang lain, “jangan gosip, ah!”

Krek!

Tanpa sadar Azkara meremas penggebuk kasur di tangannya dengan keras hingga benda berbentuk mirip raket badminton itu patah gagangnya. Ia tak ingin percaya begitu saja dengan omongan mereka. Tapi tak urung rasa curiga menyergap batinnya hingga sesak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-13
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-27
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-10
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-20
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-21
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-28

Bab terbaru

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status