Share

Bab 7.. Kedatangan Shafira

Author: Fajria Alting
last update Last Updated: 2024-07-28 14:52:32

Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara.

Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya.

Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti tak mengerti bangunan sama sekali. Hanya tunjuk sana-sini dan mengeluarkan uang untuk membayar bahan bangunan serta tukangnya.

Azkara punya keyakinan jila lelaki itu yang mengeluarkan uang untuk merenovasi rumah mertuanya itu. Apalagi biaya renovasi dan membayar tukang sekarang tak mungkin sedikit. Dilihat dari data transaksi di buku tabungannya, Shafira mengambil uang itu sekitar tiga bulan lalu sekaligus. Jadi pasti uang untul membeli barang-baramg branded yang dipakainya belakangan ini dari sana sumbernya.

Kamu keterlaluan Shafira!

Demi bersenang-senang dan berfoya-foya dengan lelaki lain sampai mengambil semua tabungannya. Azkara hanya berdoa semoga niatnya untuk berangkat umroh telah tercatat sebagai amal baiknya.

Dug. dug. dug!!

Suara ketukan di pintu mengagetkannya dari lamunan. Azkara menatap pintu kusam yang tertutup itu dengan dahi mengerut. Siapa yang mengetuk pintu magrib-magrib begini? Pikirannya menebak-nebak.

Apa itu Shafira?

Jika itu Shafira, maka Azkara sudah punya rencana sendiri sebelum menjatuhkan talak. Ia tak sudi memaafkannya jika wanita itu sudah disentuh pria lain padahal mereka masih berstatus suami istri.

Dug. Dug. Dug!!!

Suara ketukan itu semakin keras. Azkara menguatkan hati. Harinya bergetar hebat. Dengan agak terhuyung pemuda tampan itu bangkit dan berjalan menuju pintu. Bayangan beberapa orang berdiri tegak dan angkuh di hadapannya. Azkara mengernyit, menatap penuh selidik tiga orang pria dan satu wanita di hadapannya. Ketiga lelaki itu ia sama sekali tak mengenalnya. Tapi wanita itu tampak familiar di benaknya.

Wanita muda dan cantik yang berdiri di depannya itu rupanya yang mengetuk pintunya tak sabaran tadi. Pria muda yang berdiri disamping wanita itu juga rasanya ia pernah melihatnya, tapi entah dimana. Sepasang mata teduh Azkara berkilat-kilat memikirkan sesuatu. Mencoba menggali sesuatu dalam ingatannya.

Pandangan Azkara kembali memindai sosok wanita dihadapannya curiga. Rambut berwarna kecoklatan dalan ingatannya itu dulunya hitam legam dan tertutup jilbab. Wajah ayu berkulit lembut itu kini tertutup bedak tebal. Bibir merah muda alami itu kini dipoles gincu merah menyala. Pakaian sederhana yang dulu membungkus tubuh mungilnya kini berganti gaun ketat pendek serba terbuka.

Azkara tak menyangka Wanita yang dulu dipujanya iti bisa berubah sedrastis ini. Wanita alim yang dipinangnya tiga tahun lalu karena kealimannya itu sekarang nampak liar dan murahan. Meski tak dapat dipungkiri jika berdandan seperti itu Shafira terlihat sangat cantik. Hanya saja...

Shafira seperti enggan melangkahkan kaki ke dalam bangunan yang dulu permah dihabiskan bersama pria di hadapannya itu. Sepasang kaki jenjang berbalut high heels yang tak pernah mampu dibelikan sang suami itu seperti terpaku di tempatnya. Sementara sepasang mata indahnya yang dihiasi eye shadow sibuk memindai sinis bangunan di hadapannya sekaligus penghuninya. Sesekali membuang muka menutupi rasa bersalah sekaligus puas di hatinya.

"Langsung aja, ya, aku kesini mau minta ditalak sekarang," pinta Shafira angkuh

Azkara tertegun. Meski ia sudah menduga akan hal seperti ini. Tapi batinnya tetap saja terkejut dengan keberanian wanita itu. Kembali matanya memindai penampilan Shafira yang gamor. Pandangannya berhenti pada sebuah tangan yang melingkar dipinggang ramping wanita yang masih berstatus istrinya itu. Sesaat tadi ia masih berpikir untuk memberi wanita itu kesempatan membela diri. Tapi sepertinya itu tidak perlu lagi.

Detik berikutnya pria muda sebaya dengan dirinya itu menoleh kepada dua orang pria tua di belakangnya. Seolah mengerti isyarat pemuda itu, salah satu pria tua itu membuka tas berkas ditangannya dan mengeluarkan sebuah berkas, lalu menyodorkannya kepada pria muda itu. Lelaki muda itu langsung menyerahkannya ke tangan Shafira.

"Tanda tangan cepet, aku capee!!" Shafira melempar berkas itu ke wajah Azkara setelah meneriakinya.

Azkara menerima berkas bertuliskan Gugatan cerai dengan senyuman sinis terukir di bibir tipisnya yang kemerahan. Meski begitu ia tetap menyempatkan diri membuka dan membaca isinya. Hanya sekedar ingin tahu apa isinya saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

    Last Updated : 2024-07-28
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

    Last Updated : 2024-02-23
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

    Last Updated : 2024-05-13
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

    Last Updated : 2024-06-27
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

    Last Updated : 2024-07-10
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

    Last Updated : 2024-07-20
  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

    Last Updated : 2024-07-21

Latest chapter

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 5. Kemalangan Yang Lain

    Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 4. Keanehan Satria Dan Andika

    Satria menunduk gelisah di lantai semen teras rumah Azkara yang bersih. Berkali-kali memalingkan pandangannya menghindari tatapan tajam sahabatnya itu. Perasaan bersalah terus menderanya sejak sang teman main pulang kampung. Kejadian beberapa bulan yang lalu, hanya berselang satu minggu dari keberangkatan Azkara ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli di lokasi sebuah proyek pembangunan jalan tol. Kejadian yang membuatnya tak bisa tidur selama berhari-hari. Azkara tetap tak bersuara. Satria tak berani mengusiknya. Ia hanya bisa menunggu dengan hati gelisah temannya itu memarahinya atau komplen habis-habisan tentang sikap diamnya terhadap kasus hilangnya Shafira. Namun setelah lebih dari setengah jam menunggu. Azkara tetap bungkam dan menatap lurus layar televisi gabungnya yg sudah usang tapi masih bisa ditonton. "Kar... " Akhirnya suara Satria keluar juga setelah berkutat dengan egonya sendiri, juga rasa malunya. Azkara berpaling, menatap datar pria dewasa dihadapannya tanpa beruc

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 3. Gelagat Satria

    Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafir

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 2. Desas-desus Tetangga

    Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin. Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak. Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali. Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetang

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab I Kejutan Tak Terduga

    Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan ‘Dijual, hubungi nomor ….’ menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini. Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya. Apa ia salah rumah? Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini dit

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status