PLAK!
Tamparan keras sampai bulak-balik mengenai wajahnya Ethan Jonathan Make.
"Apa-apan ini, Ethan! Kamu sudah membuat perusahaan mengalami kerugian besar!" bentak Tuan Louis, sambil menunjukkan dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Tampak jelas kesalahan yang telah dilakukan oleh putra semata wayangnya dalam mengelola bisnis keluarga.
Ethan yang memang tidak ingin menjadi seorang pengusaha menatap papanya dengan sorot mata yang tajam.
BRAK!
Ethan memukul meja dengan sangat kasar, kedua tangannya mengepal bahkan nafasnya sudah memburu.
"Sudah aku katakan! Aku tidak mau menjadi pengusaha seperti Papa. Aku ingin menjadi musisi!" teriak Ethan dengan lantang.
Tuan Louis menghela nafas panjang, "Ethan, kita sudah membahas ini berkali-kali. Bisnis ini warisan keluarga, kamu harus melanjutkannya. Lagipula, kamu pikir dunia musik itu mudah? Hanya dengan menjadi musisi, kamu bisa mencukupi kebutuhan hidup?" bentak Tuan.
"Aku percaya pada bakatku, Papa! Dan aku tidak ingin menghabiskan hidupku menjadi pengusaha yang tidak bahagia!" jawab Ethan dengan cepat.
Tuan Louis berusaha menahan amarahnya, memang bukan sekali ini saja Ethan melakukan kesalahan. Namun, kesalahan yang dilakukan Ethan sekarang sangatlah patal.
"Lihat apa yang sudah terjadi! Karena kamu tidak fokus pada bisnis, kita harus menanggung kerugian besar ini!" ucapnya keras sampai rahangnya mengeras.
Ethan menatap papanya dengan tajam, "Ini terjadi karena Papa memaksa aku menjadi sesuatu yang tidak aku inginkan! Aku sudah berusaha, tapi aku tidak bisa melakukannya!" teriak Ethan tak mau kalah.
Kedua lelaki beda generasi itu saling menatap dengan tatapan tajam, keduanya terlibat dalam pertengkaran yang semakin memanas. Tuan Louis merasa putus asa karena putranya itu tidak mau mengikuti jejaknya, sedangkan Ethan merasa terkekang oleh harapan dan tekanan dari sang ayah. Sebab, Ethan anak satu-satunya dari keluarga Enderson.
Di luar ruangan, sang ibu, Nyonya Alice, menghela nafas mendengar pertengkaran tersebut. Ia merasa tak berdaya, tidak mampu menghentikan pertengkaran antara suami dan anaknya yang sudah berlangsung lama ini.
"Aku tidak bisa menjadi seperti Papa! Aku akan mengejar mimpiku menjadi musisi, dan aku tidak akan menyesal!" teriak Ethan, emosinya sudah mulai meledak.
"Ya sudah! Kalau kamu keras kepala. Pergi kamu di rumah ini, dan kejar mimpi sampahmu itu," ucap Tuan Louis tegas.
"Baik! Ethan akan pergi dari rumah ini! Aku akan buktikan, kalau Ethan bisa mengejar mimpi Ethan menjadi seorang musisi meskipun tanpa bantuan papa!" ucap Ethan begitu yakin dengan ucapannya tersebut.
"Silahkan! Buktikan ucapanmu itu, Ethan. Dan namamu, akan papa coret dari daftar keluarga!" ugap Tuan Louis saking kesalnya menghadapi putranya itu.
Nyonya Alice geleng-geleng kepala, wanita itu tidak setuju jika Ethan Jonathan Make—putra satu-satunya harus pegi dari rumah ini, apalagi sampai di coret dari daftar keluarga.
"Jangan pergi, Ethan! Mama tidak mau kamu sampai pergi. Kamu anak satu-satunya Mama dan Papa. Tetaplah tinggal di sini ya. Jadilah anak penurut. Jika bukan kamu yang meneruskan bisnis perusahaan keluarga kita, siapa lagi?" ucap Nyonya Alice, wanita itu memegang pergelangan tangan Ethan.
Perlahan, Ethan melepaskan tangan Mamanya. "Maaf, Ma! Ethan harus pergi. Aku tidak bisa terus-terusan dikekang seperti ini. Maafkan, Ethan!"
Tuan Louis mengambil dompet serta kunci mobil milik Ethan. Barang-barang berharga milik Ethan, ia rampas.
"Kalau kau ingin pergi dari rumah ini, pergilah! Tapi jangan membawa fasilitas yang biasa kamu nikmati. Pergilah tanpa membawa uang sepeserpun!" ucap Tuan Lois tegas.
Tuan Louis hanya menyerahkan kartu Identitas saja. Ethan mengangguk, kemudian bergegas ke lantai atas menuju ke kamarnya hanya untuk mengambil pakaiannya.
"Louis, aku mohon. Jangan usir Ethan. Dia adalah satu-satunya harapan kita. Kamu harus bisa bujuk dia," ucap Nyonya Alice memohon.
"Tidak, Alice! Itu sudah keputusan dia. Kita lihat saja nanti, sejauh mana dia bertahan hidup tanpa fasilitas mewah yang sering dia nikmati."
"Kamu benar-benar keterlaluan, Louis!" bentak Nyonya Alice.
Tak lama Ethan pun muncul, membawa sebuah ransel yang berisi beberapa pakaiannya.
Nyonya Alice menatap putranya dengan air mata menggenang di matanya. "Jangan pergi, Ethan!" pinta Nyonya Alice sambil mencoba menahan tangis. Ethan hanya menatap ibunya dengan wajah teguh, ia sudah mantap dengan keputusannya.
"Ethan, kamu yakin mau pergi? Kamu tahu betul hidup di luar sana tidak semudah yang kamu bayangkan," lanjut Nyonya Alice.
"Sudahlah Alice, biarkan dia pergi! Dia pasti akan kembali pulang, mana bisa hidup tanpa kekayaan kita," ucap Tuan Louis mengejek putranya tersebut.
Mendengar kata-kata papanya, Ethan merasa marah. Amarahnya memuncak, "Papa, dengar! Ethan tidak akan kembali sebelum aku bisa membuktikan bahwa aku bisa menjadi apa yang aku inginkan!" bentak Ethan, seraya mengepalkan kedua tangannya.
Tuan Louis tertawa mengejek, "Kita lihat saja nanti, Ethan. Kamu pasti akan sengsara dan menyesal. Percayalah, kamu tidak akan bertahan lama tanpa kekayaan yang biasa kamu nikmati!"
Ethan semakin marah, tetapi ia berusaha menahan emosinya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan orangtuanya.
"Ethan, kasihanilah ibumu ini. Jangan pergi. Kita bisa bicarakan masalah ini, kamu bisa mewujudkan mimpi kamu sebagai musisi sambil mengelola bisnis," ucap Nyonya Alice membujuk sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Ethan menatap ibunya, terlihat perasaan bersalah di matanya. Namun, tekadnya tetap bulat.
"Maaf, tapi Ethan akan tetap pergi dari rumah ini!" ucap Ethan dengan tegas.
Nyonya Alice pun mengangguk, ternyata sulit juga menahan putranya agar tidak pergi dari kediaman Anderson.
***
Gemerlap lampu yang tak pernah padam serta hiruk pikuk kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang, menciptakan suasana hidup yang dinamis. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menunjukkan prestise dan kejayaan kota metropolitan ini. Di antara keramaian tersebut, Ethan berjalan kaki, menggendong tas ranselnya dan membawa gitar kesayangannya.
"Lihat saja! Akan aku buktikan, kalau aku bisa!" gumam Ethan penuh semangat.
Ethan melangkah di trotoar yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima, pengamen, dan wisatawan yang berjalan tanpa tujuan. Di beberapa sudut, aroma makanan khas New York seperti hot dog dan pretzel menggoda indra penciuman membuat perut Ethan keroncongan.
Ethan meneguk salivanya, mengelus perutnya yang memang bener-bener terasa lapar. Namun, ia tidak bisa membeli makanan tersebut karena dirinya tidak memegang uang sepersen pun.
"Sebaiknya aku mengamen saja. Semangat, Ethan! Semangat ayo semangat!" Ethan terus menyemangati dirinya sendiri.
Dalam perjalanan mencari tempat yang tepat untuk mengamen, Ethan melewati taman-taman yang menjadi oasis hijau di tengah beton dan aspal. Anak-anak bermain di taman, sementara orang dewasa menikmati waktu santai di bangku-bangku yang tersebar di sekitar area hijau tersebut.
Setelah berjalan cukup jauh, Ethan tiba di sebuah sudut jalan yang cukup ramai, di mana dia memutuskan untuk mengeluarkan gitar kesayangannya dan mulai mengamen. Suara gitar dan nyanyian Ethan terdengar merdu di tengah kebisingan kota, menarik perhatian pejalan kaki yang melintas. Beberapa orang bahkan berhenti sejenak, menyaksikan pertunjukan jalanan yang ditawarkan oleh Ethan, lalu melanjutkan perjalanan mereka sambil meninggalkan sejumlah uang di kotak yang telah disediakan oleh Ethan.
"Wah, uangnya lumayan juga ternyata," ucap Ethan saat dirinya melihat uang hasil mengamen. Ia tersenyum bangga, ini perdana baginya bisa mendapatkan uang hasil jerih payahnya sendiri.
"Sepertinya aku tinggal di Kota Manhattan saja. Tapi, aku harus mengumpulkan uang banyak dulu," gumamnya kemudian.
Ya, Ethan memutuskan untuk tinggal di kota tersebut. Menurutnya akan lebih aman di sana, Ethan juga ingin memulai kehidupan baru. Akan ia buktikan kalau dirinya bisa menjadi apa yang dia inginkan meskipun tanpa dukungan mama dan papanya.
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya
Ethan melangkah dengan semangat menuju studio musik. Langkahnya ringan seiring alunan musik yang tercipta di benaknya. Suasana kota terlihat sibuk dan penuh kehidupan semakin menambah semangatnya untuk menggapai mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat empat orang lelaki bertubuh kekar menghalanginya."Minggir! Saya mau lewat!" ucap Ethan dengan tegas.Namun, para lelaki bertubuh kekar itu malah mengambil gitar milik Ethan yang sedang digendong di punggungnya. Mereka berlari, membawa gitar kesyangan Ethan."Kebalikan gitarku!" teriak Ethan dengan marah sambil langsung berlari mengejar keempat lelaki kekar itu. Keempat lelaki itu tertawa terbahak-bahak sambil berlari membawa gitar kesayangannya.Ethan mengejar para lelaki itu, ia berlari sekuat tenaga memasuki sebuah gang sempit yang tidak terlalu ramai. Di tempat yang terlihat sepi, Ethan berhasil mengejar para lelaki bertubuh kekar itu."Kembalikan gitarku, atau kalian akan menyesal!" ancam Ethan dengan nada beran
Di New York — Kediaman Andersson. Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas. "Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu. "Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai. "Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok. Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius. Nyon
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
Ethan berdiri tegak di depan jendela, ia menatap langit yang mulai berubah warna karena mendekati senja. Ia merasa lega karena akhirnya orang-orang yang terlibat dalam penggelapan uang perusahaan telah ditangkap dan dipenjara. Namun, ia tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu."Maxim," panggil Ethan kepada orang yang paling ia percayai, "aku ingin kau tetap waspada. Meskipun orang-orang pengkhianat itu sudah dipenjara, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi.""Baik, Tuan Muda," jawab Maxim dengan tegas, "aku akan terus waspada."Ethan menghela napas, lalu melanjutkan, "Dan jangan lupa untuk menjaga orang itu, orang yang kita tahan di gudang. Jangan biarkan dia lolos."Maxim mengangguk paham. "Tentu, Tuan Muda. Aku akan menjaga dia dengan baik."Ethan tersenyum tipis, menghargai kesetiaan Maxim yang tak pernah goyah. "Terima kasih, Maxim. Aku akan kembali ke kota Manhattan sebentar lagi, meninggalkan kota New York ini. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memberikan ka
Ethan pun melanjutkan kontes tersebut hingga berhasil masuk ke 3 besar. Saat Grand Final, Ethan harus bersaing dengan kontestan yang memiliki suara suaranya biasa saja."Ethan, ini saatnya kamu menunjukkan bakatmu. Jangan biarkan orang lain mengalahkanmu.""Aku akan berusaha, Evellyne. Semoga hasilnya memuaskan."Namun, di saat yang menentukan, Ethan harus puas dengan juara 2 setelah kalah dengan kontestan yang suaranya biasa saja. Ethan hanya mendapatkan hadiah $15000, namun tidak mendapatkan kontrak ekslusif."Ethan, jangan bersedih. Kamu sudah berhasil sampai di tahap ini. Itu sudah prestasi yang luar biasa.""Aku tahu, Evellyne. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kontrak. Padahal, itu impianku sejak dulu.""Tenang saja, Ethan. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Aku yakin kesempatan lain akan datang. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.""Iya, Evellyne. Aku berharap suatu saat nanti akan ada kesempatan yang lebih baik lagi.""Tentu saja! Aku yakin kamu akan mer
"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
"Maaf, Tuan Muda, keadaan ibu Anda belum ada kemajuan sama sekali," ucap sang Dokter. Ethan menghela napas panjang saat mendengar kabar dari dokter yang menangani ibunya. "Saya harap Mama bisa segera pulih," ucapnya pelan, penuh harap. Ia menghabiskan beberapa saat di sana, memberikan dukungan kepada ibunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit kejiwaan itu."Halo, Maxim!" Ethan menghubungi Maxim lewat telepon. "Ada apa, Tuan Muda?" sahut Maxim diujung telepon. "Aku akan kembali ke Manhattan. Aku titip mama," ucap Ethan. "Baik, Tuan Muda, saya pasti akan menjaga Nyonya. Apakah Tuan Muda perlu di antar ke sana?" tawar Maxim. "Tidak perlu, Maxim. Aku bisa pergi ke sana sendiri," ujar Ethan menolak tawaran dari Maxim. "Baik kalau begitu, Tuan Muda, hati-hati."Ethan segera menutup teleponnya, ia segera bersiap untuk pergi ke kota tersebut. Kota yang menjadi tempat persembunyian saat ini. Kembali ke Manhattan, Ethan segera menyamar kembali. Ia tahu betul bahwa ancaman masih men
"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
Ethan pun melanjutkan kontes tersebut hingga berhasil masuk ke 3 besar. Saat Grand Final, Ethan harus bersaing dengan kontestan yang memiliki suara suaranya biasa saja."Ethan, ini saatnya kamu menunjukkan bakatmu. Jangan biarkan orang lain mengalahkanmu.""Aku akan berusaha, Evellyne. Semoga hasilnya memuaskan."Namun, di saat yang menentukan, Ethan harus puas dengan juara 2 setelah kalah dengan kontestan yang suaranya biasa saja. Ethan hanya mendapatkan hadiah $15000, namun tidak mendapatkan kontrak ekslusif."Ethan, jangan bersedih. Kamu sudah berhasil sampai di tahap ini. Itu sudah prestasi yang luar biasa.""Aku tahu, Evellyne. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kontrak. Padahal, itu impianku sejak dulu.""Tenang saja, Ethan. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Aku yakin kesempatan lain akan datang. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.""Iya, Evellyne. Aku berharap suatu saat nanti akan ada kesempatan yang lebih baik lagi.""Tentu saja! Aku yakin kamu akan mer
Ethan berdiri tegak di depan jendela, ia menatap langit yang mulai berubah warna karena mendekati senja. Ia merasa lega karena akhirnya orang-orang yang terlibat dalam penggelapan uang perusahaan telah ditangkap dan dipenjara. Namun, ia tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu."Maxim," panggil Ethan kepada orang yang paling ia percayai, "aku ingin kau tetap waspada. Meskipun orang-orang pengkhianat itu sudah dipenjara, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi.""Baik, Tuan Muda," jawab Maxim dengan tegas, "aku akan terus waspada."Ethan menghela napas, lalu melanjutkan, "Dan jangan lupa untuk menjaga orang itu, orang yang kita tahan di gudang. Jangan biarkan dia lolos."Maxim mengangguk paham. "Tentu, Tuan Muda. Aku akan menjaga dia dengan baik."Ethan tersenyum tipis, menghargai kesetiaan Maxim yang tak pernah goyah. "Terima kasih, Maxim. Aku akan kembali ke kota Manhattan sebentar lagi, meninggalkan kota New York ini. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memberikan ka
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
Di New York — Kediaman Andersson. Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas. "Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu. "Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai. "Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok. Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius. Nyon
Ethan melangkah dengan semangat menuju studio musik. Langkahnya ringan seiring alunan musik yang tercipta di benaknya. Suasana kota terlihat sibuk dan penuh kehidupan semakin menambah semangatnya untuk menggapai mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat empat orang lelaki bertubuh kekar menghalanginya."Minggir! Saya mau lewat!" ucap Ethan dengan tegas.Namun, para lelaki bertubuh kekar itu malah mengambil gitar milik Ethan yang sedang digendong di punggungnya. Mereka berlari, membawa gitar kesyangan Ethan."Kebalikan gitarku!" teriak Ethan dengan marah sambil langsung berlari mengejar keempat lelaki kekar itu. Keempat lelaki itu tertawa terbahak-bahak sambil berlari membawa gitar kesayangannya.Ethan mengejar para lelaki itu, ia berlari sekuat tenaga memasuki sebuah gang sempit yang tidak terlalu ramai. Di tempat yang terlihat sepi, Ethan berhasil mengejar para lelaki bertubuh kekar itu."Kembalikan gitarku, atau kalian akan menyesal!" ancam Ethan dengan nada beran
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya