"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
"Maaf, Tuan Muda, keadaan ibu Anda belum ada kemajuan sama sekali," ucap sang Dokter. Ethan menghela napas panjang saat mendengar kabar dari dokter yang menangani ibunya. "Saya harap Mama bisa segera pulih," ucapnya pelan, penuh harap. Ia menghabiskan beberapa saat di sana, memberikan dukungan kepada ibunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit kejiwaan itu."Halo, Maxim!" Ethan menghubungi Maxim lewat telepon. "Ada apa, Tuan Muda?" sahut Maxim diujung telepon. "Aku akan kembali ke Manhattan. Aku titip mama," ucap Ethan. "Baik, Tuan Muda, saya pasti akan menjaga Nyonya. Apakah Tuan Muda perlu di antar ke sana?" tawar Maxim. "Tidak perlu, Maxim. Aku bisa pergi ke sana sendiri," ujar Ethan menolak tawaran dari Maxim. "Baik kalau begitu, Tuan Muda, hati-hati."Ethan segera menutup teleponnya, ia segera bersiap untuk pergi ke kota tersebut. Kota yang menjadi tempat persembunyian saat ini. Kembali ke Manhattan, Ethan segera menyamar kembali. Ia tahu betul bahwa ancaman masih men
PLAK!Tamparan keras sampai bulak-balik mengenai wajahnya Ethan Jonathan Make."Apa-apan ini, Ethan! Kamu sudah membuat perusahaan mengalami kerugian besar!" bentak Tuan Louis, sambil menunjukkan dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Tampak jelas kesalahan yang telah dilakukan oleh putra semata wayangnya dalam mengelola bisnis keluarga.Ethan yang memang tidak ingin menjadi seorang pengusaha menatap papanya dengan sorot mata yang tajam.BRAK!Ethan memukul meja dengan sangat kasar, kedua tangannya mengepal bahkan nafasnya sudah memburu."Sudah aku katakan! Aku tidak mau menjadi pengusaha seperti Papa. Aku ingin menjadi musisi!" teriak Ethan dengan lantang.Tuan Louis menghela nafas panjang, "Ethan, kita sudah membahas ini berkali-kali. Bisnis ini warisan keluarga, kamu harus melanjutkannya. Lagipula, kamu pikir dunia musik itu mudah? Hanya dengan menjadi musisi, kamu bisa mencukupi kebutuhan hidup?" bentak Tuan."Aku percaya pada bakatku, Papa! Dan aku tidak ingin menghabiskan h
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya
Ethan melangkah dengan semangat menuju studio musik. Langkahnya ringan seiring alunan musik yang tercipta di benaknya. Suasana kota terlihat sibuk dan penuh kehidupan semakin menambah semangatnya untuk menggapai mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat empat orang lelaki bertubuh kekar menghalanginya."Minggir! Saya mau lewat!" ucap Ethan dengan tegas.Namun, para lelaki bertubuh kekar itu malah mengambil gitar milik Ethan yang sedang digendong di punggungnya. Mereka berlari, membawa gitar kesyangan Ethan."Kebalikan gitarku!" teriak Ethan dengan marah sambil langsung berlari mengejar keempat lelaki kekar itu. Keempat lelaki itu tertawa terbahak-bahak sambil berlari membawa gitar kesayangannya.Ethan mengejar para lelaki itu, ia berlari sekuat tenaga memasuki sebuah gang sempit yang tidak terlalu ramai. Di tempat yang terlihat sepi, Ethan berhasil mengejar para lelaki bertubuh kekar itu."Kembalikan gitarku, atau kalian akan menyesal!" ancam Ethan dengan nada beran
Di New York — Kediaman Andersson. Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas. "Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu. "Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai. "Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok. Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius. Nyon
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
"Maaf, Tuan Muda, keadaan ibu Anda belum ada kemajuan sama sekali," ucap sang Dokter. Ethan menghela napas panjang saat mendengar kabar dari dokter yang menangani ibunya. "Saya harap Mama bisa segera pulih," ucapnya pelan, penuh harap. Ia menghabiskan beberapa saat di sana, memberikan dukungan kepada ibunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit kejiwaan itu."Halo, Maxim!" Ethan menghubungi Maxim lewat telepon. "Ada apa, Tuan Muda?" sahut Maxim diujung telepon. "Aku akan kembali ke Manhattan. Aku titip mama," ucap Ethan. "Baik, Tuan Muda, saya pasti akan menjaga Nyonya. Apakah Tuan Muda perlu di antar ke sana?" tawar Maxim. "Tidak perlu, Maxim. Aku bisa pergi ke sana sendiri," ujar Ethan menolak tawaran dari Maxim. "Baik kalau begitu, Tuan Muda, hati-hati."Ethan segera menutup teleponnya, ia segera bersiap untuk pergi ke kota tersebut. Kota yang menjadi tempat persembunyian saat ini. Kembali ke Manhattan, Ethan segera menyamar kembali. Ia tahu betul bahwa ancaman masih men
"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
Ethan pun melanjutkan kontes tersebut hingga berhasil masuk ke 3 besar. Saat Grand Final, Ethan harus bersaing dengan kontestan yang memiliki suara suaranya biasa saja."Ethan, ini saatnya kamu menunjukkan bakatmu. Jangan biarkan orang lain mengalahkanmu.""Aku akan berusaha, Evellyne. Semoga hasilnya memuaskan."Namun, di saat yang menentukan, Ethan harus puas dengan juara 2 setelah kalah dengan kontestan yang suaranya biasa saja. Ethan hanya mendapatkan hadiah $15000, namun tidak mendapatkan kontrak ekslusif."Ethan, jangan bersedih. Kamu sudah berhasil sampai di tahap ini. Itu sudah prestasi yang luar biasa.""Aku tahu, Evellyne. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kontrak. Padahal, itu impianku sejak dulu.""Tenang saja, Ethan. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Aku yakin kesempatan lain akan datang. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.""Iya, Evellyne. Aku berharap suatu saat nanti akan ada kesempatan yang lebih baik lagi.""Tentu saja! Aku yakin kamu akan mer
Ethan berdiri tegak di depan jendela, ia menatap langit yang mulai berubah warna karena mendekati senja. Ia merasa lega karena akhirnya orang-orang yang terlibat dalam penggelapan uang perusahaan telah ditangkap dan dipenjara. Namun, ia tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu."Maxim," panggil Ethan kepada orang yang paling ia percayai, "aku ingin kau tetap waspada. Meskipun orang-orang pengkhianat itu sudah dipenjara, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi.""Baik, Tuan Muda," jawab Maxim dengan tegas, "aku akan terus waspada."Ethan menghela napas, lalu melanjutkan, "Dan jangan lupa untuk menjaga orang itu, orang yang kita tahan di gudang. Jangan biarkan dia lolos."Maxim mengangguk paham. "Tentu, Tuan Muda. Aku akan menjaga dia dengan baik."Ethan tersenyum tipis, menghargai kesetiaan Maxim yang tak pernah goyah. "Terima kasih, Maxim. Aku akan kembali ke kota Manhattan sebentar lagi, meninggalkan kota New York ini. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memberikan ka
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
Di New York — Kediaman Andersson. Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas. "Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu. "Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai. "Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok. Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius. Nyon
Ethan melangkah dengan semangat menuju studio musik. Langkahnya ringan seiring alunan musik yang tercipta di benaknya. Suasana kota terlihat sibuk dan penuh kehidupan semakin menambah semangatnya untuk menggapai mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat empat orang lelaki bertubuh kekar menghalanginya."Minggir! Saya mau lewat!" ucap Ethan dengan tegas.Namun, para lelaki bertubuh kekar itu malah mengambil gitar milik Ethan yang sedang digendong di punggungnya. Mereka berlari, membawa gitar kesyangan Ethan."Kebalikan gitarku!" teriak Ethan dengan marah sambil langsung berlari mengejar keempat lelaki kekar itu. Keempat lelaki itu tertawa terbahak-bahak sambil berlari membawa gitar kesayangannya.Ethan mengejar para lelaki itu, ia berlari sekuat tenaga memasuki sebuah gang sempit yang tidak terlalu ramai. Di tempat yang terlihat sepi, Ethan berhasil mengejar para lelaki bertubuh kekar itu."Kembalikan gitarku, atau kalian akan menyesal!" ancam Ethan dengan nada beran
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya